Pak Kaivan yang sepertinya sadar dengan penolakanku menyambut tangannya, memundurkan tubuh sedikit. Ia kemudian membiarkanku melangkah lebih dulu.
Aku terkesiap saat ada yang membukakan pintu untuk kami saat aku baru saja sampai di teras. Tepat di depan pintu. “Eh, sudah datang?” ucap wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan tertutup yang membuka pintu. Pak Kaivan yang ada di belakang, melewatiku kemudian segera menyalami wanita paruh baya itu dengan takzim. Aku pun mengikuti gerakannya meski tanda tanya bercokol di kepala tentang siapa wanita ini? Ibunyakah? Hmm ... sepertinya bukan. “Oya, Alya. Ini Bu Rumi. Sudah seperti ibu saya sendiri. Beliau yang akan menemani kamu tinggal di sini.” Pak Kaivan menatapku sepintas. Benar, 'kan? Memang bukan ibunya. Jadi, Bu Rumi yang akan menemaniku di rumah ini? Baiklah, sepertinya tidak buruk. Menurut perkiraanku Bu Rumi masih lebih muda daripada ibuku. Ah, Ibu. Aku jadi teringat, aku sudah berbohong pada Ibu dan Ayah. Pak Kaivan menyengol lenganku, membuatku terkesiap. Aku pun mengangguk hormat, tetapi kikuk pada wanita di depan kami. “Kalian pasti lapar. Makan malam baru saja siap.” Suara Bu Rumi terdengar halus dan ramah. Wajahnya tampak sumringah menatap kami bergantian. Wanita itu mengambil tanganku, kemudian menggiringku ke dalam. Aku pun mengikuti ke mana dia pergi dengan sedikit rasa canggung. Sementara Pak Kaivan sepertinya mengikuti di belakang. Dering ponsel Pak Kaivan menginterupsi langkah kami. Aku melempar pandang padanya sesaat. Dia pun menatapku sepintas sebelum kemudian buru-buru mengangkat, kemudian berbalik arah. Sementara Bu Rumi menuntunku melanjutkan langkah. Aku masih sempat melirik ke arah Pak Kaivan yang serius menerima panggilan entah dari siapa. "Ah, memang siapa lagi yang bisa bikin dia bersemangat angkat telepon kalau bukan istrinya? Ya Allah, aku juga istrinya, kan?” keluhku dalam hati. Duh, Alya, tahu diri ajalah. Aku menarik bibir ke samping saat Bu Rumi menepuk pelan bahuku yang ia rangkul. Apakah beliau bisa membaca kegelisahanku? “Hmmm, Ibu ini ...?” Aku menggantung ucapan, mencoba mencairkan suasana yang beku. “Ibu yang ngasuh Nak Kaivan sejak kecil.” Senyum itu terlihat begitu tulus di mataku. Aku pun mengangguk tanda mengerti. Sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut tentang semua yang berhubungan dengan suamiku itu. Tanya tentang Bu Kinan misalnya. Namun, mungkin tidak sekarang. Masih banyak waktu, bukan? “Buk, saya titip Alya, ya. Sepertinya saya harus pergi sekarang.” Suara Pak Kaivan tiba-tiba muncul di belakang kami. Aku sudah duduk di depan meja makan. Sementara Bu Rumi yang tengah menyendokkan nasi ke piringku pun menoleh pada pria itu. “Tapi kamu belum makan, Nak. Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu loh, ini ada pepes ikan mas, lengkap daun singkong rebus dan sambal terasi.” Aku bisa melihat dengan jelas raut kecewa di wajah wanita paruh baya itu. Pak Kaivan menatap meja makan. Aku bisa melihat dengan jelas ia menelan ludah. Bu Rumi terlihat mengulas senyum lebar saat melihat Pak Kaivan berjalan mendekati meja makan. “Ya udah deh, sayang kalau nggak dicicip. Dikit saja nggak apa, ya, Buk. Soalnya tadi sudah janji makan di rumah, Kinan sudah masak juga.” Bu Rumi mengangguk dengan senyum bahagia. Aku mengamati gerakan sedikit terburu-buru Pak Kaivan yang menyendok nasi dan mengambil lauk dan sayur, lengkap dengan sambalnya. Sementara aku yang sudah mulai menyendok makanan terkesiap dan berhenti saat dia mengambil duduk di sampingku. “Makan yang banyak, Al. Biar dia tumbuh sehat di dalam sini.” Pak Kaivan berucap dengan pelan. Sedetik kemudian, entah dengan sadar atau tidak, dia mengelus perutku pelan. Refleks membuatku menahan napas. Tindakannya benar-benar di luar dugaan. Membuat frekuensi detak jantung ini seketikameningkat. Duh, tolong. Aku takut baper. Memalukan. Aku tidak dapat mengontrol suhu di pipi yang semakin menghangat. Namun, ada hal yang lebih mengganggu otakku. Bagaimana jika wanita paruh baya itu mendengar dan tahu ke mana arah kalimat Pak Kaivan? Sungguh, aku belum siap jika dipandang rendah oleh orang yang bahkan belum kukenal. Terlebih orang itu akan tinggal bersamaku. Meski aku tahu, lambat laun ibu asuh suamiku itu akan tahu juga, tetapi sekarang aku belum siap. “Pak ....” Aku menepis pelan tangan Pak Kaivan. Selain canggung karena kami baru menikah dan mengingat status pernikahan ini, menurutku seharusnya Pak Kaivan tidak melakukan ini di depan Bu Rumi. Bagaimana kalau wanita paruh baya itu mendengar dan tahu hubungan kami yang sebenarnya. Aku hanya berharap semoga Bu Rumi di seberang kami itu tidak mengerti maksud kalimat Pak Kaivan barusan. Pria berambut lurus itu menarik tangannya kembali. Mungkin mengerti apa yang tengah kurasakan sekarang.Pria berambut lurus itu menarik tangannya kembali. Mungkin mengerti apa yang tengah kurasakan sekarang. Pria itu kemudian lanjut makan. Jika aku tidak salah hitung, dia sudah nambah dua kali. Padahal tadi bilang hanya akan mencicip dan makan di rumah. Nyicip, 'kan biasanya sedikit, ini kenapa malah nambah dua kali? Berbeda dengan aku sendiri yang baru makan tiga suap. Itu pun rasanya susah sekali menghabiskan makanan yang sudah masuk ke mulut. Entahlah, rasanya aneh sekali dengan masakan ini sebenarnya. Namun, aku merasa tidak enak hati pada Bu Rumi yang sudah susah payah memasak bila tidak memakannya. Aroma kunyit yang berasal dari bumbu pepes ikan buatan Bu Rumi ini membuat perut terasa bergejolak. Namun, aku benar-benar tidak berani berkata jujur. Selain takut wanita paruh baya itu tersinggung, aku juga takut jika Bu Rumi tahu tentang kehamilanku. Bagaimana ini? Rasanya benar-benar membuatku mual. Beberapa hari ini rasa mual yang aneh itu memang kerap datang tiba-tiba. Namun, te
"Ibu tahu ....?" Pria itu mengangguk. Seketika membuatku menghela napas panjang. “Saya nggak bisa menyimpan sendirian, Al. Ibu yang menjadi tempat saya berbagi semuanya, bahkan melebihi mama saya sendiri.”Suaranya lebih terdengar seperti keluhan. Apa tadi dia baru saja memberitahu hal pribadinya padaku?“Ya udah kamu mau makan ap—" Dering ponsel memotong ucapan pria itu.“Itu pasti Bu Kinan. Pak Kaivan pulang aja, saya udah nggak apa-apa.” Ucapanku tidak sepenuhnya bohong, karena aku memang sudah lebih baik. Aku bahkan merasa tidak nyaman berada dalam situasi ini. Rasa mual pun sudah mulai berkurang. Hanya kepala saja yang kini terasa pusing, juga perut yang kembali terasa lapar. Drama mual-mual hari ini akhirnya berakhir, setelah aku memakan sate madura gerobak yang kata Pak Kaivan mangkal tidak jauh dari rumah. Sebelumnya aku sudah mencoba memakan-makanan yang ada di rumah, tetapi terasa sia-sia setelah aku menelannya. Akhirnya pria itu pergi setelah lewat jam sepuluh malam.
Aku berbalik. "Jangan, Pak. Kasihan Bu Kinan kalau tahu Bapak--" "Alya, bisa nggak sih kamu jangan panggil saya Bapak? Saya suami kamu loh, bukan bapak kamu." Dia mengalihkan pembicaraan. Aku bergeming. Sementara dia mulai melangkah mendekat. "Kalau kamu nggak mau ke dokter nggak apa-apa. Gimana kalau kita jalan-jalan keluar?" Dia memberikan penawaran. Aku menggeleng, Aku benar-benar tidak mood untuk pergi ke mana pun. Lebih baik berdiam diri di kamar sambil menamatkan novel. Aku melengos. Melangkah meninggalkan dia yang masih berdiri di sana. "Alya." Dia meraih pergelangan tanganku. "Tolong maafkan saya." Dia berucap lagi. "Entah kenapa saya merasa kamu sedang marah sama saya." Aku nyaris tertawa. Dosen muda yang dikenal tegas dan selalu perfeksionis untuk sekian kalinya meminta maaf padaku? "Entahlah, saya merasa bersalah karena mengabaikan kamu." Dia masih memegang pergelangan tanganku. Mungkin takut aku pergi lagi. "Pak, tolong jangan gini," ucapku memohon sa
Pov Kaivan"Kapan kamu akan menceraikan Kinan, Kai?" Suara Mama yang menuntut di seberang sana cukup membuatku pusing. Mama selalu begini. Hampir setiap hari dia membahas hal itu, padahal aku tidak pernah berpikir sekali pun untuk mencari Kinan. "Mama apaan sih, pagi-pagi bahas cerai. Sudah kubilang, aku tidak akan menceraikan Kinan, Ma. Apa pun yang terjadi," tugasku. "Mama butuh cucu, Kai," selanya tak mau kalah."Iya, Kai tahu. Tapi ....""Dengar, Kai. Sampai kapan kamu mempertahankan perempuan yang tidak pernah mau memberimu keturunan, Kai?" Mama terdengar kesal. "Ma, Kinan bukan nggak mau, tapi mem–""Kenapa sih kamu nggak pernah mau dengarin Mama. Kamu benar-benar dibutakan cinta oleh Kinan. Sampai-sampai kamu nggak bisa menemukan kejelekannya." Aku tertawa lirih. Mama benar. Aku selalu melihat Kinan yang selalu sempurna. Belum ada cela yang bisa kutemukan. "Ma, beri kami waktu. Kita sedang berusaha?""Waktu? Kalian sudah menikah tujuh tahun, Kai? Mau selama apa lagi? Kamu
Pov Kaivan Aku mengerutkan dahi mendengar jawaban Kayra yang penuh dengan teka-teki. Mama cukup dekat dengan Kayra yang merupakan anak dari sahabat masa kecilnya.Mama sempat menjodohkanku dengan Kayra. Namun, kami sama-sama menolak. Karena hubungan kami murni adalah persahabatan. "Kamu terlalu percaya pada Kinan, Kay. Itu pil kontr asepsi." Setelah berkata begitu Kayra menutup telepon. Namun, kalimat terakhirnya berhasil membuatku syok. Jadi, Mama benar. Kinan bukan belum bisa hamil, tetapi memang tidak mau hamil. Kenapa Kinan harus melakukan itu? Dia tidak pernah mengatakan ingin menunda kehamilan. Dia bahkan selalu bersikap seolah-olah sama inginnya sepertiku yang rindu akan hadirnya buah hati. Lantas, kenapa dia harus mengkonsumsi pil penunda keha milan? Sejak kapan dia mengkonsumsinya? Apakah selama tujuh tahun pernikahan kami? Untuk apa?Ah, memikirkan ini kepalaku terasa ingin pecah. Kinan jelas-jelas membohongiku. Entah apa tujuannya. Tapi kebohongan ini cukup membuatku be
PoV Kaivan "Mas dari mana aja?" Kinan bersedekap menatapku saat aku baru saja membuka pintu. Matanya tak berkedip menatapku, menelusuri tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin heran melihat penampilanku yang kacau. Kemeja berantakan dan kusut, rambut yang sudah mulai gondrong tidak lagi tertata. Belum lagi wajah yang sudah pasti sama kusutnya. "Ini bukan pertama kalinya Mas pulang larut seperti ini!" Aku bergeming. Tanpa menghiraukannya aku bergegas melangkah, melewati dia yang masih dengan posisi semula. Jujur saja aku kesal. Aku lelah, mood berantakan, sampai rumah malah disambut dengan sikap ingin menghakimi darinya. Sejak kepergian Alya aku memang kerap pulang larut. Waktu yang tersisa kugunakan untuk mencarinya ke mana saja. Terkadang aku malah memilih pulang dan berdiam diri di rumah sana. Malam ini jika Bu Rumi tidak mendesakku untuk pulang, mungkin aku tidak pulang lagi. Aku seperti kehabisan akal. Orang-orang yang kukerahkan untuk mencari Alya sam
"Mas Kai mau cari siapa? Mereka? Mereka ... siapa yang Mas Kai maksud?" Kinan mengerutkan dahi. Aku gelagapan. Apa yang harus kulakukan? Aku memang cukup kecewa dengan kebohongan yang dia buat bertahun-tahun. Namun, aku belum siap melihatnya terluka. "Hmm, bukan Apa-apa. Cuma ... cuma mahasiswa." Apa aku terlihat gugup? Mata Kinan menatap seperti menyelidik. "Mahasiswa?" Aku mengangguk tanpa suara, tak ingin salah bicara. Kemudian beranjak meninggalkannya untuk mengganti pakaian salat yang masih kukenakan. "Mas." Ternyata dia membuntutiku.Aku melirik dengan ujung mata. Tetap bergeming dalam mode dingin yang masih belum bisa kuperbaiki saat berhadapan dengan Kinan."Apa begitu sulit untuk memaafkanku? Kita udah cukup lama kayak gini, Mas," protes Kinan, "kita udah kayak orang lain di rumah dan kamar yang sama, Mas." Aku menoleh, berhadapan dengan dirinya. Menatap dia dengan tatapan ... mungkin jenuh. Ya, jenuh."Gimana aku bisa maafin kamu sementara kamu nggak benar-benar ikhla
Rutinitas hari ini kujalani jauh dari kata profesional. Fokusku terbagi ke mana-mana. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Dari masalah keberadaan Alya dan anakku yang belum kutemukan rimbanya, perdebatan dingin dengan Kinan pagi ini, hingga fakta yang baru saja kutemukan jika Mama mengetahui pernikahan keduaku. Saat menelepon Mama, belum sempat bertanya apa pun aku sudah diserang habis-habisan."Kamu benar-benar, ya, Kai. Keterlaluan banget, segitu bencinyakah kamu ke Mama sampai hal sebesar ini kamu sembunyikan dari Mama." Mama mengomel seperti biasa. Aku hanya meringis seperti biasa. Omelan Mama adalah hal biasa. Namun, ada hal yang lebih mengganggu. "Buat apa kamu tanya KK dan buku nikah? Kamu kan nggak butuh. Jadi, biar Mama yang simpan," ucap Mama saat aku mengkonfirmasi kebenaran ucapan Bu Rumi."Lebih nggak masuk akal lagi kalau Mama yang simpan, 'kan?" protesku tak terima."Udah, deh, kamu urusin aja tuh istri kesayanganmu. Nggak perlu peduli apa yang Mama lakukan."
"Apa yang sudah dilakukan Kinan sama kamu, Al?" Aku menggeleng. Menahan perasaan yang tak kusuka kembali hadir. Aku benci mengingat bayangan buruk yang terjadi di masa lalu. Namun, aku memang harus jujur, 'kan?"Saya enggak yakin Pak Kaivan akan percaya kalau saya jujur?" ucapku akhirnya."Alya, kamu ...." Mama bersuara membuat mataku beralih dari Pak Kaivan. Dia setengah tertawa dan menatapku tak percaya. Sementara aku masih menunggu dia melanjutkan ucapannya."Kamu masih panggil Kaivan 'Pak'?" Wanita paruh baya itu melanjutkan.Kehabisan kata, meski aku sedikit bersyukur karena tidak perlu menceritakan tentang Bu Kinan untuk sekarang. Aku mengalihkan pandangan pada pria di dekatku. Dia hanya mengulum senyum sambil menaikkan alisnya. Sepertinya dia sengaja tidak ingin membantuku.Aku beralih pada Mama. "Mama, 'kan tahu gimana pernikahan ini terjadi dan terjalani, Ma. Jadi–""Alya," seru mereka bersamaan. Kedua ibu dan anak itu menatapku dengan pandangan yang tak kumengerti. Aku kic
Aku tidak mengira jika aku bisa mengatakan hal itu. Dia tertegun beberapa saat menatapku. Aku yakin, dia tidak akan bisa meninggalkan wanita itu. Entahlah.Kenapa? Kalian mau bilang aku egois? Tidak masalah, sih. Jika dia memang bisa mengabulkan permintaanku itu bagus, bukan? Setidaknya cap pelakor yang pernah disematkan Bu Kinan untukku tidak sia-sia. Dia cukup lama terdiam, pegangan di tanganku sempat mengendur. "Kenapa? Pak Kaivan nggak bisa, 'kan? Saya tahu, Pak Kaivan tidak akan bisa melakukan itu. Makanya sejak awal saya tahu diri, Pak. Saya nggak mau mengubah panggilan saya ke Pak Kaivan karena tidak mau mendorong diri saya untuk berharap lebih dari pernikahan ini. Sejak awal yang saya pikirkan hanya masa depan anak saya. Saya hanya tidak ingin dia tidak memiliki status. Sejak saat saya tahu dia tumbuh di dalam rahim saya, saya melupakan semua keinginan dan mimpi saya. Tidak, bukan kehadirannya yang saya anggap menghancurkan mimpi saya, tapi ...." Aku tak mampu melanjutkan uca
Pria itu masih terus menggendong Rayyan dan terus mengajak berinteraksi.Jelas sekali ada kebahagian terlihat di sana. Sesekali Pak Kaivan mengusap matanya yang berair. Sepertinya dia tidak bosan-bosan terus mengajak makhluk kecil itu bicara dan bercanda, meski makhluk kecil itu belum mampu merespons dengan baik. Dia hanya terus menatap lawan bicaranya seolah mendengar dan mengerti apa yang tengah dibicarakan oleh sang ayah.Namun, lama-lama dia bosan dan menangis juga. Saat itulah Pak Kaivan mengembalikan padaku."Kayaknya udah haus lagi dia, Al," ucapnya.Masih dengan perasaan canggung dan sedikit grogi aku menerima bayi Rayyan yang masih menangis. Saat terpaksa bersentuhan dengannya, aku menahan napas untuk beberapa detik. Sepertinya akan makin mengusir rasa yang terlanjur tumbuh. "Alya, dia nangis terus tuh. Sus uin gih!" Suara Pak Kaivan membuatku terkesiap, naik dari tenggelamnya perasaan.Dia sudah duduk di sampingku. Jarak kami hanya sekitar dua puluh senti."Bapak keluar dul
"Jujur? Tentang?" tanyanya sambil mengerucutkan dahi, kemudian mengembalikan cermin kecil itu ke dalam tas."Mama ibunya Pak Kaivan, 'kan?" tanyaku lagi. Aku bisa melihat jelas garis wajahnya yang berubah seketika, tampak terkejut. Dia tertegun dalam kebisuan, tetapi kemudian cepat menutupinya. "Kenapa bertanya seperti itu? Apa yang membuatmu yakin sekali, Al?" Dia bertanya, dengan nada bicara khas yang lembut."Nama Mama, Mitha. Ibu kandungnya Pak Kaivan juga Mitha, Bu Rumi pernah bilang. Dan, setelah dilihat-lihat wajah kalian mirip." Aku mengeluarkan uneg-unegku.Wanita itu terdiam sejenak. Kemudian menghela napas panjang. "Sekarang kamu tahu kan apa alasannya saya menolong dan mempertahankan kamu di sini?" ujarnya kemudian. "Saya pikir saya tidak akan diterima di keluarga Pak Kaivan, karena saya hanya–""Ssst! Nggak usah diterusin." Dia meraih tanganku. "Kamu tahu, enggak? Berbulan-bulan Mama nungguin kabar pernikahan kalian, tapi anak itu kayaknya ga ada niat buat berkata juju
"Terus kumpulkan bukti kejahatannya untuk menjebloskan dia ke penjara."Aku bergidik mendengar kalimat itu. Siapa perempuan yang dia maksud. Aku memilih menjauh, tidak ingin tahu lebih banyak. Setidaknya aku harus tahu diri, 'kan? Beliau sudah menolongku dari sekapan Bu Kinan saat itu, kemudian memberi tumpangan, membiayai pengobatanku hingga pulih, dan memberiku kehidupan baru. Lebih penting lagi, dia memperlakukanku seperti anaknya sendiri.Jik aku ketahuan menguping, dia pasti tersinggung. Jadi, akan lebih baik jika aku tidak tahu apa pun urusan pribadi yang ia sembunyikan. "Maaf, apa Tante punya anak?" tanyaku suatu ketika saat kami sedang di meja makan. Menu makanan yang tersaji selalu kompleks memenuhi kebutuhanku sebagai ibu hamil.Dia mengangguk. "Anak laki-laki, satu-satunya. Tapi jauh, dia juga ga mau tinggal sama Tante. Lebih milih tinggal sama istrinya yang nggak pernah suka sama Tante." Matanya menerawang saat mengatakan itu. Aku membaca ada kesedihan di dalam sana. Dia
POV Alya Aku tidak pernah bermimpi menjadi istri kedua. Apalagi sampai dilabrak istri pertama. Dikatain pelakor dimaki habis-habisan dan diseret paksa keluar dari rumah.Aku bahkan tidak sempat pamit pada Bu Rumi. Sekadar mengatakan selamat tinggal untuk tak 'kan pernah kembali. Mereka membungkam mulutku dengan sapu tangan hingga aku tak mampu bersuara dan kehilangan setengah kesadaranku. Aku tahu, hatinya terluka karena suaminya menitipkan benih di rahim perempuan lain? Namun, pantaskah dia memperlakukanku seperti bina-.tang? Tidak bisakah dia memberiku kesempatan padaku untuk menjelaskan kenapa ini bisa terjadi? Apakah dia masih tega melakukan ini jika tahu siapa yang menyebabkan petaka itu terjadi padaku? Seharusnya dia marah pada kakaknya, 'kan? Bukan padaku.Saat terbangun, aku terbaring di atas sehelai tikar pandan. Di sekitarku banyak kotak-kotak kardus yang bertumpuk. Bau debu yang menyengat hidung juga cukup menyesakkan. Ruangan tak diberikan penerangan sama sekali. Tempat
Rutinitas hari ini kujalani jauh dari kata profesional. Fokusku terbagi ke mana-mana. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Dari masalah keberadaan Alya dan anakku yang belum kutemukan rimbanya, perdebatan dingin dengan Kinan pagi ini, hingga fakta yang baru saja kutemukan jika Mama mengetahui pernikahan keduaku. Saat menelepon Mama, belum sempat bertanya apa pun aku sudah diserang habis-habisan."Kamu benar-benar, ya, Kai. Keterlaluan banget, segitu bencinyakah kamu ke Mama sampai hal sebesar ini kamu sembunyikan dari Mama." Mama mengomel seperti biasa. Aku hanya meringis seperti biasa. Omelan Mama adalah hal biasa. Namun, ada hal yang lebih mengganggu. "Buat apa kamu tanya KK dan buku nikah? Kamu kan nggak butuh. Jadi, biar Mama yang simpan," ucap Mama saat aku mengkonfirmasi kebenaran ucapan Bu Rumi."Lebih nggak masuk akal lagi kalau Mama yang simpan, 'kan?" protesku tak terima."Udah, deh, kamu urusin aja tuh istri kesayanganmu. Nggak perlu peduli apa yang Mama lakukan."
"Mas Kai mau cari siapa? Mereka? Mereka ... siapa yang Mas Kai maksud?" Kinan mengerutkan dahi. Aku gelagapan. Apa yang harus kulakukan? Aku memang cukup kecewa dengan kebohongan yang dia buat bertahun-tahun. Namun, aku belum siap melihatnya terluka. "Hmm, bukan Apa-apa. Cuma ... cuma mahasiswa." Apa aku terlihat gugup? Mata Kinan menatap seperti menyelidik. "Mahasiswa?" Aku mengangguk tanpa suara, tak ingin salah bicara. Kemudian beranjak meninggalkannya untuk mengganti pakaian salat yang masih kukenakan. "Mas." Ternyata dia membuntutiku.Aku melirik dengan ujung mata. Tetap bergeming dalam mode dingin yang masih belum bisa kuperbaiki saat berhadapan dengan Kinan."Apa begitu sulit untuk memaafkanku? Kita udah cukup lama kayak gini, Mas," protes Kinan, "kita udah kayak orang lain di rumah dan kamar yang sama, Mas." Aku menoleh, berhadapan dengan dirinya. Menatap dia dengan tatapan ... mungkin jenuh. Ya, jenuh."Gimana aku bisa maafin kamu sementara kamu nggak benar-benar ikhla
PoV Kaivan "Mas dari mana aja?" Kinan bersedekap menatapku saat aku baru saja membuka pintu. Matanya tak berkedip menatapku, menelusuri tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin heran melihat penampilanku yang kacau. Kemeja berantakan dan kusut, rambut yang sudah mulai gondrong tidak lagi tertata. Belum lagi wajah yang sudah pasti sama kusutnya. "Ini bukan pertama kalinya Mas pulang larut seperti ini!" Aku bergeming. Tanpa menghiraukannya aku bergegas melangkah, melewati dia yang masih dengan posisi semula. Jujur saja aku kesal. Aku lelah, mood berantakan, sampai rumah malah disambut dengan sikap ingin menghakimi darinya. Sejak kepergian Alya aku memang kerap pulang larut. Waktu yang tersisa kugunakan untuk mencarinya ke mana saja. Terkadang aku malah memilih pulang dan berdiam diri di rumah sana. Malam ini jika Bu Rumi tidak mendesakku untuk pulang, mungkin aku tidak pulang lagi. Aku seperti kehabisan akal. Orang-orang yang kukerahkan untuk mencari Alya sam