Jangan terlalu dipikirkan. Jadi, tadi nggak belanja?" tanya Bu Mega. Aku hanya nyengir, lalu menggeleng. Bu Mega pun ikut menggelengkan kepalanya, kemudian memanggil Desi. "Belikan daging, kentang, sama cabai di tukang sayur depan, Des." "Baik, Nyah..." Setelah kepergian Desi, aku masih duduk di meja makan. "Oh iya, Bik Minah mau sampai kapan di kampung, Bu?" tanyaku. "Minggu depan juga balik, katanya. Kamu ketemu waktu itu?" Aku mengangguk. Bik Minah memang sudah mau sebulan tinggal di kampung, sebab anaknya dilarikan ke rumah sakit. Ia terlibat dengan tawuran dan mengakibatkan luka bacok di punggungnya. "Semoga anaknya cepat sembuh. Terakhir dengar sih sudah masa pemulihan. Lukanya panjang dan cukup dalam." "Iya, Nining juga lihat pas lagi di kampung. Tidurnya aja tengkurep. Kadang kalau lagi nggak sadar, suka telentang dan berakhir dengan sakit." "Itu lah, anak jaman sekarang bukannya cari uang yang benar malah ikutan tawuran begitu." Aku mengangguk. Jadi teringat dengan
"Aura di rumah?" tanyaku pada Keysha."Tadi sih Key lihat, lagi mainan boneka di teras pas mamanya nyiram bunga," jawab Keysha. Aku hanya ber-oh ria. Ah, ya, mungkin Mbak Nesha masih marah padaku sehingga tak mengizinkan anaknya untuk main. Tapi, kenapa? Bukan kah seharusnya jangan sampai mencampurkan urusan orang dewasa dengan anak-anak? "Boleh kan, Ma?" "Boleh, dong. Kasihan juga Dedek Ghani sama Shani kalau diajak main terus setiap minggu. Lebih baik di rumah, istirahat sama Papa. Bener kan, Mas?" tanyaku pada Mas Andra. "Eh? Iya, bener yang dibilang Mama. Key, sarapan dulu ya sama Mbak Sinta," ucap Mas Andra sambil memanggilkan Sinta, lalu menggendong Ghani dan membawanya keluar. Ghani memang dekat dengan papanya, sementara Shani terkesan biasa saja. Entah? Biasanya, anak perempuan begitu senang dengan papanya. Usia mereka pas enam bulan seminggu yang lalu, sehingga aku memutuskan untuk memulai memberikan makanan pendamping asi pada mereka. Setelah mencari di google sepanjan
"Ini, Susan W* katanya makasih kemarin kita udah mau dateng." Mendengar nama Susan disebut, aku segera menoleh, lalu memasang wajah judes kala suamiku itu menengok ke arahku. "Kenapa?" "Cari perhatian aja tuh si Susan. Padahal kemarin udah ngucapin terima kasih." Mas Andra yang semua duduk di sofa, kini turun dan duduk di sampingku. "Kenapa? Cemburu?" tanyanya menggoda. "Dih, pede." "Yakin? Dulu kamu cemburu loh sama dia." "Jadi?" "Jadi apa?" "Jadi kamu emang ada apa-apa ya sama dia makanya ngarep aku cemburu?" tanyaku. "Loh? Enggak, kok." "Lah, alasan!" "Kamu, kalau lagi cemburu gini, bikin aku pengen..." Prang! Suara pecahan gelas membuatku menoleh, di sana kulihat Desi tengah menatap kami berdua. Namun langsung membuka wajah. "Maaf, Bu, Pak. Saya nggak bermaksud ganggu. Coba kasih kode dulu, pasti saya nggak bakal ke sini," ucap Desi sambil membereskan pecahan piring dan pergi ke belakang. "Kamu sih, Mas." "Lah kenapa? Konsekwensi lah, punya bos udah nikah." "Tapi
"Key, kamu ke belakang terus panggil Mbak Desi dan mbak Sinta untuk mengambil adek Shani dan Ghani, ya?" "Mama mau ke mana?" tanyanya berusaha mengintip ke luar. "Sayang, Mama tadi minta tolong apa?" "Iya, Ma." "Mama nggak ke mana-mana, cuma ke depan aja. Mama minta tolong ya, Nak?" Keysha mengangguk, lalu berlari menuju dapur tempat Desi dan Sinta berada. Aku pun keluar, dengan menutup pintu tanpa suara. "Ehemmm, ngapain?" Suara dehemanku ternyata membuat Mas Andra dan Mbak Nesha terkejut, tangan Mas Andra yang tadi ada di lengan Mbak Nesha pun segera dilepaskannya. "Ning?" "Mbak Nesha? Ada urusan apa?" tanyaku, berusaha kalem. Jangan sampai ia tahu kalau sekarang aku tengah dikuasai oleh kecemburuan. "Mbak Nining tanya aja ke suaminya. Tadi Mas Andra yang manggil saya, kok. Ya kan, Mas?" tanya Mbak Nesha, sambil menatap Mas Andra. Bukannya menjawab, Mas Andra malah terlihat kebingungan dan mengaruk tengkuk yang kurasa tak benar-benar gatal itu. Kutarik napas, lalu mendeka
Kudorong tangan Mas Andra meski berat, lalu segera menutup pintu. Di dalam taxi, aku menangis. Kenapa peristiwa seperti ini kembali lagi? Apa Mas Andra mengkhianatiku? "Ke mana, Bu?" tanya supir taxi setelah cukup lama mobil berjalan. Aku berpikir sejenak. Sepertinya, pulang menggunakan bis tak efisien mengingat aku membawa Shaniya. Aku takut ia menangis sepanjang jalan, mengingat jauhnya perjalanan. "Kita cari hotel terdekat saja, Pak." Mobil pun berjalan menyusuri jalanan ibu kota yang padat kendaraan ini. Setelah beberapa kali melihat, akhirnya aku memilih menempati hotel bintang empat di kawasan Jakarta Timur ini. "Kembaliannya ambil saja, Pak," ucapku. "Tapi ini kebanyakan, Bu." "Nggak papa." Aku pun turun, lalu mulai menanyakan kamar kosong. Tak kusangka, resepsionis di hotel bagus ini, malah merendahkanku. "Maaf, Bu, yang tersisa hanya deluxe." "Berapa harga permalamnya, Mbak?" "Memangnya, Ibu bisa bayar? Mahal loh, Bu." Aku yang memang tengah emosi, malah semakin t
Suara tangis Shani membangunkanku, segera kuberi ia asi agar tenang. Kulirik ponsel, nampak ada sebuah pesan masuk. Ternyata baru pukul tiga pagi. Untungnya semalam aku sudah meminta Indra untuk membelikanku diapers dan snacknya Shaniya. Untuk makan, aku nanti akan membeli bubur instan saja di minimarket lewat ojek online. Setelah memandikan Athaya dan memakaikan baju, segera aku turun ke bawah untuk mengambil belanjaan yang dititipkan di resepsionis. Sampai di bawah, ternyata Arumi yang kembali bertugas. Sikapnya berbeda dari pada kemarin. Memang ya, uang bisa membuat orang berubah. "Bu, tadi Pak Indra menitipkan ini," ucap Arumi lalu aku menerimanya. "Indranya ke mana?" "Pak Indra ambil cuti, Bu." "Oh, ya sudah. Terima kasih banyak ya." Aku pun naik lagi ke atas, Shani nampak tak nyaman. Apakah karena ia kembar identik dengan Ghani? Apa Ghani, sedang tak baik-baik saja? Usai menyuapi Shani, aku rebahan di sampingnya. Menatap dua bola mata besar yang mirip sekali dengan sang
"Iya, Wak. Masa Indra bohong?" "Baiklah. Sebaiknya kamu pulang dan istiharat. Makasih udah mau nganterin Mbakmu ya. Nanti Wak ganti ongkosnya." "Nggak perlu, Wak. Indra kan juga lama nggak pulang." "Ya sudah, hati-hati di jalan, ya.""Iya, Wak." Aku menghela napas saat Indra sudah pergi dari sini. Alhamdulillah. Maafkan anakmu ini, Pak, Bu, belum bisa bercerita sepenuhnya. --Sore hari. Murni baru saja pulang, ternyata ia sudah bekerja di gerai minimarket merah. Aku bersyukur karena ia sudah memiliki pekerjaan. "Selamat ya, Mur," ucapku, saat kami tengah bersantai di teras sambil menyuapi Shani. "Makasih, Mbak. Mbak pulang kok nggak bilang-bilang? Aku kaget karena lihat Mbak sudah di rumah. Padahal baru sebulan yang lalu pulang juga." "Jadi nggak boleh?" tanyaku, cemberut. "Bukan gitu, Mbak. Tapi namanya sudah punya suami, apa Mas Andra mengizinkan? Apa jangan-jangan, Mbak ke sini karena ada masalah dengan Mas Andra?" tanya Murni lagi. "Nggak ada, Mur. Semua baik-baik saja,"
"Ning, maafkan Mas. Tolong." Aku membuang muka. Tak ingin termakan kesedihan palsunya. Tangan Mas Andra memegang tanganku, terasa dingin. Wajahnya pun pucat. "Mas janji, takkan mengulangi ini semua, Ning." "Ini semua itu yang mana?" tanyaku. "Maksudmu?" Aku mengambil ponsel, lalu membuka aplikasi chatting dan memperlihatkan sebuah pesan dari Mbak Nesha untukku. Terlihat di sana Mas Andra tengah tertidur di samping Mbak Nesha. Hal ini lah, sebenarnya yang menjadi alasan terkuatku ingin bercerai darinya. Flashback-[Halo, Mbak Nining. Sedang di mana kamu sekarang?] Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Setelag melihat foto profilnya ternyata itu adalah Mbak Nesha. Kuletakkan kembali ponsel di atas nakas, lalu kembali fokus menyusui Shani. Namun, beruntun pesan masuk hingga membuatku mau tak mau mengambil benda itu lagi. [Kenap cuma dibaca? Marah sama aku? Lah, kan suamimu loh, yang pengen sama aku.] [Oh, iya, yang kemarin Mbak Nining lihat itu benar, kok. Bahkan aku punya