"Iya, Wak. Masa Indra bohong?" "Baiklah. Sebaiknya kamu pulang dan istiharat. Makasih udah mau nganterin Mbakmu ya. Nanti Wak ganti ongkosnya." "Nggak perlu, Wak. Indra kan juga lama nggak pulang." "Ya sudah, hati-hati di jalan, ya.""Iya, Wak." Aku menghela napas saat Indra sudah pergi dari sini. Alhamdulillah. Maafkan anakmu ini, Pak, Bu, belum bisa bercerita sepenuhnya. --Sore hari. Murni baru saja pulang, ternyata ia sudah bekerja di gerai minimarket merah. Aku bersyukur karena ia sudah memiliki pekerjaan. "Selamat ya, Mur," ucapku, saat kami tengah bersantai di teras sambil menyuapi Shani. "Makasih, Mbak. Mbak pulang kok nggak bilang-bilang? Aku kaget karena lihat Mbak sudah di rumah. Padahal baru sebulan yang lalu pulang juga." "Jadi nggak boleh?" tanyaku, cemberut. "Bukan gitu, Mbak. Tapi namanya sudah punya suami, apa Mas Andra mengizinkan? Apa jangan-jangan, Mbak ke sini karena ada masalah dengan Mas Andra?" tanya Murni lagi. "Nggak ada, Mur. Semua baik-baik saja,"
"Ning, maafkan Mas. Tolong." Aku membuang muka. Tak ingin termakan kesedihan palsunya. Tangan Mas Andra memegang tanganku, terasa dingin. Wajahnya pun pucat. "Mas janji, takkan mengulangi ini semua, Ning." "Ini semua itu yang mana?" tanyaku. "Maksudmu?" Aku mengambil ponsel, lalu membuka aplikasi chatting dan memperlihatkan sebuah pesan dari Mbak Nesha untukku. Terlihat di sana Mas Andra tengah tertidur di samping Mbak Nesha. Hal ini lah, sebenarnya yang menjadi alasan terkuatku ingin bercerai darinya. Flashback-[Halo, Mbak Nining. Sedang di mana kamu sekarang?] Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Setelag melihat foto profilnya ternyata itu adalah Mbak Nesha. Kuletakkan kembali ponsel di atas nakas, lalu kembali fokus menyusui Shani. Namun, beruntun pesan masuk hingga membuatku mau tak mau mengambil benda itu lagi. [Kenap cuma dibaca? Marah sama aku? Lah, kan suamimu loh, yang pengen sama aku.] [Oh, iya, yang kemarin Mbak Nining lihat itu benar, kok. Bahkan aku punya
"Tunggu, Bu, maksudnya ada apa, ya?" tanya Bapak. Bu Mega pun menjelaskan semuanya. Bapak hampir saja tersulut emosi dan hendak meninju Mas Andra, tapi untungnya, Bu Mega berhasil menghalangi. "Sabar, Pak. Kita selesaikan semua ini dengan baik-baik." "Bagaimana bisa dengan cara baik-baik, Bu Mega? Anak saya loh, disakitin sampai sebegitunya!" "Iya, pak, saya paham. Tapi kita dengarkan dulu penjelasan Andra." Kami semua menatap Mas Andra, termasuk aku. Kutatap dua bola mata suamiku itu dengan tajam. Mencoba melihat lebih dalam, apakah ada kejanggalan atau kebohongan di sana? "Demi Allah, Rasulullah, saya tak pernah melakukan itu, Pak, Bu. Cinta saya hanya untuk Nining. Saya tak semurahan itu sampai tidur dengan wanita lain. Ibu dan Nining tahu persis bagaimana saya selama ini." "Lalu soal foto itu gimana?" tanya Bapak. "Mungkin foto itu hasil editan, Pak. Jaman sekarang, banyak foto palsu hasil editan untuk menjebak seseorang. Tapi saya bisa pastikan, kalau saya tak pernah satu
"Ada mertuamu, Ning?" tanya Paman Saleh tiba-tiba, tanpa menanyakan kabarku terlebih dahulu. "Iya, Paman." Paman Saleh masuk ke dalam rumah dan menyalami mertuaku. Aku sudah ketar-ketir duluan takut beliau mengucapkan hal yang mempermalukan keluarga kami. "Kamu nyusul tah Ndra ke sini?" tanya Paman Saleh. "Iya, Paman." "Kok si Nining bisa pulang sama si Indra? Emang kamu di mana? Masa istri mau pulang, malah merepotkan keluarganya, sih?" Tuh, kan? Apa kubilang? Perasaanku tak akan pernah tenang jika lelaki itu datang ke sini. "Iya, kemarin sibuk, Paman. Kebetulan ada Indra, jadi saya nitipkannya." "Untung aja ada Indra, dia mau mengantarkan istrimu pulang yang jaraknya jauh." "Sudah loh, Leh. Lagian Indra juga mau pulang, kan?" ucap Ibu, tak ingin dipermalukan di depan besannya. "Alah, Mbak. Dikira ongkos tol itu murah?" Brak! Aku terkejut saat Bu Mega mengeluarkan segepok uang di meja. Mataku membulat melihat tumpukan uang itu, apalagi Paman Saleh. Ia langsung megap-megap
"Sudah, nggak usah ditanyakan. Yang penting Key nggak begitu, biarkan saja Arfan melakukannya asal anak Mama yang satu ini tidak. Jadi contoh yang baik untuk adik-adiknya kelak ya, Nak," ucapku seraya mencubit pipi gembulnya. "Siap, Ma!" Aku pun tersenyum dan menyuruhnya untuk memberitahu Desi serta Sinta. Mbok Minah sendiri belum kami kunjungi mengingat jaraknya lumayan. Mungkin esok saja. Malam hari. Keysha berdecak kagum saat kami sampai di alun-alun Purwokerto. Aku tersenyum melihat wajah bahagianya. "Ingat ya, Sayang? Kita nggak akan lama-lama di sini karena kasihan Dedek Shani dan Ghani kalau terlalu lama terkena angin malam." "Iya, Ma. Key cuma pengen lihat aja." Aku mengangguk, sementara aku menemani Keysha, Mas Andra menuju Rita Supermall untuk membeli buah. Lelaki itu memang tak bisa jauh dari dunia perbuahan. Tak apa, karena itu bisa menyehatkan badan dan juga menjadi segar. "Sin, tolong jagain Keysha, ya? Saya mau menyusui Ghani dulu," ucapku saat merasakan Ghani mu
"Hati-hati dalam berbicara ya, Yuk. Pakai nyangkutin ini sama hal mistis seperti itu!" ucapku meradang. "Loh, aku cuma kasih saran aja, kok." Terdengar bunyi langkah menuju tempatku dan Yuk Mei bertengkar. Ternyata Ibu. "Ada apa, toh? Kalian berdua ini, sudah tua tapi masih saja kaya bocah. Berantem terus kerjaannya." "Lob, Lek Rus, aku cuma ngasih saran aja, kok. Ghani kaya gitu tuh karena ketempelan. Lagian, bayi baru enam bulan saja sudah dibawa pergi-pergi terus. Susah sih, jadi orang panasan," sewot Yuk Mei. "Apa kamu bilang? Siapa yang panasan? Menantuku? Jangankan ke alun-alun, rumah sama motor bututmu itu bisa kubeli!" ucap Bu Mega, beliau memang selalu savage kata Desi, dalam menanggapi omongan orang. Semenjak hidup di kota, aku jadi lebih memperbarui bahasa-bahasa aneh. Kata Desi, lebih baik tahu dari pada tidak, masalah mau dipake apa nggak, itu urusan nanti hihi. "Saya tahu, kalian dari kota, masa iya sanggup beli rumahku. Dan lagi ya, Bu, itu bukan motor butut. Kel
Aku mengernyit. Mengeluarkan gas? Maksudnya, kentut? Ah, iya! Sudah tiga hari ini memang Ghani tak buang air besar. Namun, biasanya tak apa karena sering kentut juga. Apa karena itu? "Nanti akan dibimbing oleh Bidan bagaimana cara membantu bayi supaya kentut. Nak Ghani juga sepertinya sudah lama tak mengeluarkan fasesnya. Sebaiknya, beri makanan seperti pepaya supaya mempermudah ia buang air besar karena sudah mulai makan. Ini saya beri resep." Lalu datang seorang suster, ia meletakkam Ghani di kasur kecil dan membantunya untuk kentut. Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya terdengar suara merdu itu. Ah, lega sekali rasanya melihat Ghani tertawa. Apakah kamu tersiksa karena tak bisa kentut, Nak? Setelah menebus obat yang berupa sirup dan juga salep, kami pun pulang. Sepanjang perjalanan, tak hentinya Mas Andra menggoda Ghani. "Jadi, mending kentut di depan orang daripada nggak kentut ya, Mas?""Ya itu nggak benar juga, Dek. Saat kita mau kentut itu sebaiknya ya kita menghindar jug
"Bu Nining, ayo di makan rujaknya," tawar Ibu-ibu yang lain. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Meski rujak begitu terlihat segar, tapi apa daya perutku tak bsa menolerir rasa pedas lagi sekarang. "Makasih banyak, Bu. Asam lambung sering naik, nggak berani makan pedas." "Oh, ya, Bu Nining. Emang benar kalau kemarin ini Bu Nining nuduh Bu Nesha pelakor lagi?" tanya Bu Aisyah. "Hah? Kapan, Bu?" "Beberapa hari lalu. Terus katanya, Bu Nining pulang kampung karena kabur. Cemburu pada Bu Nesha." "Apa Bu Nesha yang mengatakan itu semua, Bu?" tanyaku. "Benar." Aku menggeram dalam hati. Jika masih ada di hadapanku, sudah pasti akan kucabik-cabik mulutnya itu. Aku bukan sembarang menuduh karena memang si Mbak Nesha itu calon pelakor. "Dia memang pelakor, kan? Istri kedua, apa bedanya dengan pelakor?" "Iya, sih. Tapi kemarin kasihan Bu Nesha sampai nangis-nangis pas ngomong ke kita. Nggak tega juga lihatnya." "Kayaknya dia itu emang sensi ke saya, Bu Wina. Mulai dari jalan-jalan, sa