Bab 1
"Pernikahan ini bukan mainan, Mas! Bapak bisa murka kalau dengar kabar ini!" Nadiya berucap dengan pandangan tak lepas dari laki-laki di depannya. "Aku ngga bermaksud seperti itu, tapi Sarah tiba-tiba datang pada Mas dengan membawa kabar itu," balas Kavi, laki-laki yang sudah menyiapkan sebuah pernikahan untuk Nadiya esok pagi. "Kalau Mas tidak merasa ya sudah. Jangan dihiraukan ucapan perempuan itu." Nadiya berusaha tenang meskipun hatinya timbul gelisah. "Semoga saja Sarah tidak nekat datang ke rumah kamu. Mas sudah katakan padanya kalau Mas tidak percaya tapi dia mengancam." "Datang atau tidak, selama Mas tidak melakukannya pernikahan ini akan tetap berjalan. Aku percaya penuh padamu, Mas," sambung Nadiya percaya diri. Namun malam itu, Sarah benar-benar datang ke rumah Nadiya untuk mengadukan semuanya. "Tolong batalkan pernikahan ini, Pak. Di dalam rahim saya ada benih Mas Kavi," ucap perempuan berambut panjang itu dengan raut penuh kesedihan. "Jangan ngawur kamu kalau bicara! Lihatlah, tenda pernikahan sudah berdiri kokoh. Pelaminan sedang dipasang, bahan makanan sudah diolah semuanya, bagaimana mungkin kamu meminta saya membatalkan pernikahan yang sudah tinggal menghitung jam?" Suradi berusaha menepis semua perkataan perempuan di depannya itu. Hati Suradi mulai gusar. Ia tahu bahwa kabar ini menyakitkan untuk dirinya, terlebih untuk putrinya. Akan tapi membatalkan pernikahan yang sudah didepan mata ini rasanya terlalu mendadak dan ia tak bisa mempercayai kabar ini begitu saja. "Saya bisa buktikan kalau ini memang benar anak Mas Kavi." Seolah tahu bahwa Suradi meragukan ucapannya, perempuan itu meraih sesuatu dari dalam tasnya, lalu menunjukkan selembar kertas di hadapan lelaki berkaca mata yang sedang diliputi emosi. Tangan Suradi terulur menerima kertas itu. Matanya melotot sempurna. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya ini. Akan tetapi, untuk mengelak pun rasanya tak mungkin sebab di dalam foto itu jelas terlihat ada wajah calon menantunya di sana. Suradi melepas kaca mata yang menempel di wajahnya. Ia tak sanggup lagi berkata-kata. Pandangannya menyapu sekitar, menatap para pekerja dekorasi yang sedang mengerjakan tugas mereka. Mau tak mau, suka tak suka, pernikahan ini memang harus dibatalkan. Suradi tak mau menikahkan putrinya dengan lelaki yang sudah menghamili perempuan lain. "Pak, itu semua ngga benar, Pak! Mas Kavi ngga mungkin melakukan itu! Dia lelaki baik-baik, Mas Kavi tahu mana yang boleh dan tak boleh dilakukan!" Nadiya berucap dengan kencangnya setelah langkahnya terhenti di depan sang bapak. Ia tak terima calon suaminya dituduh melakukan hal keji. "Mau mengelak gimana, lihatlah foto ini," ucap Suradi seraya menunjukkan foto itu pada Nadiya, putrinya. Wajahnya berubah muram. Nadiya meraih foto itu. Ia melihat dengan seksama foto yang ada di hadapannya. Mata yang bening itu tiba-tiba saja berair. Hati yang tak percaya, perlahan berubah jadi sesak sebab apa yang dilihat itu terkesan nyata dan bukan foto hasil editan. Namun, Nadiya tahu bagaimana Kavi. Lelaki yang sudah menjalin hubungan dengannya selama beberapa tahun itu tidak berani menyentuhnya lebih dari sekedar hal yang wajar. Sayangnya, foto yang dipegang Suradi itu membuat apa yang dirasakannya seolah hanyalah ilusi. "Kamu pikir aku bohong? Lihatlah, itu Mas Kavi. Kami tak sengaja melakukan itu bulan lalu dan sekarang, aku mengandung anaknya," ucap Sarah, perempuan yang mengaku sedang hamil anak calon suami Nadiya. Seulas senyum penuh kemenangan terbit di wajahnya yang cantik setelah melihat reaksi perempuan berambut panjang di depannya itu. "Di dalam sini, sudah bersemayam benih Mas Kavi dan dia harus bertanggung jawab," sambung Sarah sembari memegang perutnya yang masih rata. Nadiya menatap Sarah dengan tatapan geram. "Jangan fitnah kamu!" sentak Nadiya penuh emosi. "Nak sudah!" Halimah, istri Suradi turut bersuara. Ia memegangi tangan putrinya agar tak melayang di wajah perempuan yang mengaku tengah hamil itu. "Sebaiknya kamu pergi. Saya akan urus semuanya." Suradi kembali bersuara. Sebagai seorang bapak, ia harus tegas dengan semua ini. Anak adalah penyambung orang tua sampai kapanpun dan ia tak mau anaknya menjadi penghalang antara bayi dalam kandungan Sarah dengan bapaknya. Sarah pun pergi. Senyum penuh kelegaan hadir di wajahnya yang penuh dengan riasan mekap. Tak butuh waktu lama, Kavi datang dengan tergesa. Ia tak mau pernikahan yang sudah diimpikannya gagal hanya karena ucapan Sarah yang menyakitkan. "Saya minta maaf, Pak. Saya tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Saya tidak sadarkan diri," ucap Kavi dengan raut penuh penyesalan. Ia tak tahu apa yang terjadi malam itu. Yang ia tahu, pagi itu memang ia bangun dalam kondisi tubuh tanpa busana dan hanya tertutup selimut. Kavi mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tahu ia ceroboh. Tapi semua itu terjadi karena sebuah ketidaksengajaan. "Kalau begitu, maafkan saya. Saya tidak bisa menikahkan kamu dengan putri saya," ucap Suradi penuh penyesalan. "Pak, tolong beri kami kesempatan untuk membuktikan bahwa tuduhan itu salah!" ucap Nadiya turut bersuara. Ia tak bisa percaya begitu saja pada kabar yang dibawa oleh Sarah. Kavi tak berani bicara. Ia tahu apa yang terjadi itu sudah kelewat batas dan tidak menyalahkan jika Suradi murka hingga membatalkan pernikahannya. "Tidak bisa, Nak. Meskipun nasab anak diluar nikah tidak berada di garis bapaknya, Kavi tetap harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya." Mendapati ucapan bapaknya, Nadiya merasa tertampar. Hatinya tiba-tiba saja terasa sesak. Kebahagiaan yang harusnya di depan mata tiba-tiba lenyap begitu saja. Nadiya berteriak histeris. Air matanya membanjiri wajah yang baru saja selesai menjalani perawatan demi mendapatkan hasil mekap terbaik di hari spesial. Ia tak peduli pada beberapa orang diluar sana yang menyaksikan pertikaian ini. Tangan yang sudah dihiasi dengan henna maroon itu berontak dari genggaman ibunya, lalu berlari menuju dapur untuk mengambil sesuatu. "Pak, Nadiya lebih baik mati saja, Pak! Nadiya tidak bisa menerima semua ini!" ucap Nadiya sambil meletakkan pisau di atas pergelangan tangannya. Ia tak bisa berbuat apapun. Rasa sakit dan rasa malu akan batalnya pernikahan sungguh mencekik kewarasannya. "Nak jangan main-main!" sentak Halimah berusaha meraih benda di atas pergelangan tangan putrinya itu. "Tidak, Ibu. Jika Tuhan tidak mengizinkan Nadiya menikah dengan Mas Kavi karena anak itu, maka biarkan Nadiya mati saja!" sambung Nadiya lagi. "Sayang, jangan begini. Berikan pisaunya," ucap Kavi berusaha mendekati Nadiya. Ia tak sampai hati melihat Nadiya sekacau ini. "Sudahlah, Nak Kavi! Kamu sebaiknya pulang saja. Pernikahan ini seharusnya dibatalkan dan kamu harus bertanggung jawab pada perempuan itu!" ucap Suradi lagi. "Tapi, Pak," sela Kavi sambil terus menatap Nadiya yang tengah menangis memandangi benda di pergelangan tangannya. Saat Nadiya lengah, Kavi meraih benda yang sudah menempel di atas pergelangan tangan perempuan yang dicintainya itu. Ia tak peduli jika tangannya berlumuran darah. Yang ia tahu, perempuan yang sangat dicintainya itu tak boleh mati. "Mas!" pekik Nadiya keras. Ia kaget dengan apa yang dilakukan Kavi. "Auww!" Kavi meringis setelah berhasil merebut benda tajam itu dari tangan Nadiya. Sisi tajam benda panjang itu tak sengaja menggores telapak tangan Kavi. Tangan yang semula bersih itu, kini penuh dengan darah. Wajah Kavi meringis kesakitan menahan nyeri. "Sudahlah, sebaiknya kamu pergi saja. Jangan lagi datang ke rumah ini!" sentak Suradi tak peduli pada luka di tangan Kavi. "Tidak, Pak! Tangan Mas Kavi berdarah! Ini harus diobati!" Nadiya mengabaikan hatinya dan segera berlari menuju ruang tengah untuk mengambil kotak P3K. "Nadiya! Sudah! Biarkan dia pergi! Pernikahan kalian tak seharusnya terjadi!" sentak Suradi kencang. "Tapi, Pak, tangan Mas Kavi terluka!" sengit Nadiya lagi. Matanya menatap sang bapak dengan tatapan sengit. Suradi tertegun melihat wajah putrinya. "Sudah berani membantah Bapak kamu, hah?!" pekik Suradi kencang. Namun, tiba-tiba saja Suradi memegangi dadanya yang terasa nyeri. Badannya tiba-tiba saja kaku. Wajahnya meringis menahan sakit. "Pak, Bapak kenapa?" Halimah berlari mendekati suaminya. Suradi yang sedang menahan nyeri di dadanya segera dibawa ke rumah sakit. Kondisinya mengkhawatirkan. "Bu, ca-ca-rikan la-laki-laki lain untuk Nadiya. Bapak tidak ridho jika Nadiya menikah dengan Kavi yang sudah menghamili perempuan lain," ucap Suradi terbata ditengah-tengah keadaannya menahan sakit. Nadiya tercengang dengan apa yang diucapkan bapaknya. Untuk menolak pun ia tak punya hati sebab melihat kondisi bapaknya yang sedang sakit.Bab 2"Kamu dengar sendiri kan, Nak," ucap Halimah setelah keluar dari ruang rawat Suradi. Ia kembali meyakinkan putrinya untuk tetap menikah, entah dengan siapa."Bu, Bapak sedang seperti ini. Aku tidak akan bisa tenang meninggalkannya di rumah sakit hanya untuk pernikahan yang bisa ditunda sewaktu-waktu." Nadiya berusaha mengulur waktu. "Bapakmu akan sembuh tapi undangan pernikahanmu sudah disebar. Bagaimana jika tamu undangan datang tapi kamu tidak jadi menikah? Mau ditaruh mana muka Bapak dan Ibu? Kalau kamu egois, sama saja kamu meraup wajah kedua orang tuamu dengan kotoran!" Halimah menatap wajah anaknya dengan tatapan tak dapat dibantah.Nadiya bergeming. Ia berusaha mencerna ucapan ibunya. "Menikah? Dengan siapa?" batin Nadiya bertanya-tanya.Bersamaan dengan itu, ponsel Halimah berdering. Sebuah nomor yang lama tak menghubunginya tiba-tiba muncul di saat genting seperti ini."Assalamualaikum," sapa suara diujung."Waalaikum salam. Mas Yusuf?" balas Halimah sopan."Iya, Hal
Bab 3Pernikahan tetap digelar seperti rencana awal. Meskipun hati Halimah terbagi dengan kondisi sang suami yang sedang di rumah sakit tapi sedikit banyak hatinya lega karena terselamatkan dari rasa malu.Hal yang sama pun ditunjukkan oleh Nadiya. Ia tak bisa menepis kesedihan agar tak terpancar di wajahnya yang sudah dihiasi mekap tebal. Hal itu pun membuat lelaki yang baru saja mengucapkan ijab atas dirinya tak bisa diam saja."Jangan menunjukkan raut sedih seperti itu. Kamu pikir aku bahagia dengan pernikahan ini?" Dira berucap tanpa menoleh. Matanya tertuju pada tamu undangan yang memenuhi tenda pelaminan.Nadiya terhenyak. Bagaimana tidak bersedih jika pernikahan yang didambanya gagal terjadi dan harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya. Jangankan kenal, tahu wajahnya saja baru kemarin.Nama Dira memang tak asing bagi Nadiya tapi hanya sebatas cerita dari orang tua mereka. Selama dewasa ini keduanya tak pernah sekalipun berjumpa. "Maafkan aku. Aku hanya tak b
Bab 4Tak hanya keluarga Nadiya yang dilanda kesedihan, keluarga Kavi pun demikian. Pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang tiba-tiba saja harus gagal hanya karena berita yang dibawa oleh Sarah.Aisyah, ibunya Kavi tak henti menangis saat kabar kehamilan Sarah sampai padanya. Selama ini ia selalu mendidik Kavi dengan baik agar menjadi anak yang membanggakan. Akan tetapi, fakta yang ia dapatkan kini membuatnya merasa gagal sebagai orang tua."Ibu tak pernah mengajarimu menjadi laki-laki pecundang. Mau tak mau, kamu memang harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan." Aisyah berkata dengan hati perih. Sekuat tenaga ia menutupi apa yang sedang terasa sesak dalam hatinya.Namun percuma. Air mata yang ditahan Aisyah itu ternyata luruh juga. "Tapi, Bu, kabar itu belum tentu benar. Bisa saja Sarah mengada-ada," sanggah Kavi membela diri. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi malam itu dan bagaimana bisa asal mengakui bahwa anak dalam rahim Sarah adalah darah dagingn
Bab 5Halimah termenung melihat Nadiya yang sejak kemarin hanya murung saja. Ia sedih melihat sang putri tampak abai pada laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya."Nak," panggil Halimah saat Nadiya duduk di ruang tengah.Nadiya mendongak, menatap sumber suara yang sedang berdiri di depannya."Ibu tahu pernikahan ini bukan pernikahan yang kamu impikan. Tapi runtutan kejadian membuatmu menjadi istri dari Dira Atmaja. Berarti menurut Allah, Dira adalah jodoh yang terbaik untukmu," sambung Halimah setelah ia duduk di samping putrinya.Tangan Halimah yang tak lagi mulus itu mengusap lembut rambut Nadiya yang dibiarkan tergerai."Ibu paham bagaimana perasaanmu sebab dulu, Ibu pun mengalami hal yang sama. Bapak dan Ibu adalah hasil perjodohan. Tapi kami bisa saling menerima dan membuka hati hingga benih cinta tumbuh antara kami. Kalau kami bisa, mengapa kamu tidak?" Tatapan Halimah mengunci wajah putrinya."Nadiya tidak tahu harus bagaimana, Bu. Rasanya hati Nadiya sudah mati. Foto itu da
Bab 6"Sayang kapan balik?" rengek suara diujung panggilan. Hal itu membuat Dira makin merasa bersalah sebab harus meninggalkan kekasihnya lebih lama lagi."Maafkan aku. Sepertinya aku belum bisa balik sekarang. Kamu sabar, ya? Setelah aku kembali, kamu boleh belanja apapun yang kamu mau. Aku janji." Dira berusaha mengambil hati Karina, kekasihnya."Kamu kan sudah janji cuma sebentar di sana?!" rengek Karina lagi. Nada suara yang dibuat semanja mungkin membuat lawan bicaranya tak mampu berkutik."Iya. Maafkan aku. Bapaknya baru saja meninggal pas malam pernikahan kami. Aku ngga boleh kembali sama Papa. Jadi aku harap kamu mengerti posisiku," balas Dira penuh penyesalan."Tapi kamu janji kan, ngga sentuh dia? Kamu cuma milikku!" sentak Karina lagi. Nada bicara yang manja tak lepas dari bibirnya yang dibalut dengan lip mate warna baby pink."Enggak, Sayang. Aku ngga sentuh dia. Aku kan sudah janji sama kamu. Masak kamu ngga percaya?" ucap Dira dengan suara tertahan. Posisinya yang sedan
Bab 7Nadiya terperanjat saat melihat sang suami terbangun dari tidurnya. Ia refleks meletakkan baju yang semula dipegangnya ke dalam koper."Kamu apakan koperku?" tanya Dira ketus. Sorot matanya tajam, seperti Elang menemukan mangsanya."Aku ... Aku hanya sedang merapikan pakaianmu, Mas. Sejak kemarin masih di dalam koper. Aku hanya menatanya di dalam lemari agar kamu mudah saat mengambil baju nanti," jawab Nadiya takut-takut. Ia tak berani menatap lawan bicaranya.Dira berdiri dari duduknya. Ia berjalan menghampiri sang istri yang sedang berdiri menunduk sebab rasa takut yang mendera."Apa kamu tidak punya mulut untuk meminta izin padaku sebelum membukanya?" Tak ada keramahan sedikitpun dari ucapan lelaki yang baru saja bangun tidur itu."Maaf, Mas. Aku salah," jawab Nadiya takut-takut.Tanpa permisi, Dira membuka lemari yang ada di hadapan Nadiya. Ia melihat beberapa barang pribadi yang sudah berpindah tempat ke dalamnya. Mata Dira membelalak saat melihat tas berisi pakaian dalam s
Bab 8Sarah mendatangi Kavi di kafe miliknya. Tanpa permisi, Sarah masuk ke dalam ruangannya dan langsung duduk di kursi depan meja kerjanya."Bisa permisi dulu ngga sih sebelum masuk?" sembur Kavi setelah Sarah duduk di kursi itu. Ia menatap perempuan yang baru saja duduk itu dengan mata melotot tajam.Rasa kesal bercampur benci tak lagi dapat ditutupi dari wajah Kavi. Ia muak dengan perempuan di depannya yang menurutnya sudah keterlaluan itu."Maaf. Aku terlalu bersemangat untuk berjumpa denganmu. Kapan kita akan menikah?" tanya Sarah tak peduli pada wajah yang sedang memerah di depannya."Kamu pikir menikah itu semudah membalikkan telapak tangan?" Lagi, mata Kavi kembali melotot tajam melihat perempuan di depannya."Santai dong! Jangan melotot gitu. Kan aku jadi takut," balas Sarah manja. Ia tak peduli emosi yang sedang membara di wajah lelaki di depannya itu."Gimana bisa santai kalau kamu tega sama aku! Meskipun kamu punya foto itu, aku tetap tidak yakin anak yang kamu kandung it
Bab 9Kavi membawa mobilnya dengan kecepatan kencang. Ia tak dapat menyembunyikan rasa takutnya atas dampak dari apa yang dilakukannya pada Sarah. Sesekali matanya melirik wanita yang sedang meringis di kursi samping. Bagaimanapun perasaan bencinya terhadap wanita itu, ia masih punya hati untuk menolong sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama."Sakit, Mas," lirih Sarah sambil memegang perutnya yang terasa nyeri."Sabar. Sebentar lagi sampai," balas Kavi tanpa menoleh. Ia harus fokus pada jalan raya yang padat. Ia pun menambah kecepatan mobilnya agar bisa segera sampai di rumah sakit."Semoga tidak terjadi apapun dengan anak kita," lirih Sarah ditengah rasa nyeri yang dirasakannya. Tangannya tak lepas dari perut yang masih rata itu.Setibanya di rumah sakit, dokter segera memeriksa kondisi Sarah. Beberapa petugas kesehatan turut bergabung bersama dokter jaga. Sementara Kavi hanya menunggu di luar tanpa berani menghubungi siapapun."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Kavi saat matanya
Bab 12"Beri aku waktu selama sebulan ini untuk menjadi istrimu seutuhnya la-""Apa maksudmu menjadi istriku seutuhnya?" sahut Dira memotong ucapan Nadiya. "Maksudmu kamu menuntutku untuk memberikan nafkah secara lahir batin begitu?" sambung Dira dengan satu sudut bibir terangkat ke atas.Bibir Nadiya tersungging miring. Ucapan Dira itu terlalu berlebihan. "Aku tidak serendah itu dengan memintah nafkah batin dari laki-laki yang belum mencintaiku,' sergah Nadiya tak setuju dengan ucapan suaminya."Lalu?" Mata Dira memicing."Biarkan aku melayanimu layaknya seorang istri. Kasarnya kita kenalan dan kamu tidak boleh protes atas perlakuanku padamu yang layaknya seorang istri itu. Setelah sebulan dan dirasa kamu tidak menaruh hati padaku, kita bisa selesaikan ini baik-baik."Dira terdiam untuk mencerna ucapan Nadiya. Tawaran yang tidak buruk untuk mereka yang sama-sama terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.Sedangkan Nadiya, berbanding terbalik dengan Dira yang hanya menganggap pernikahan i
Bab 11Nadiya melangkah dengan ragu menuju ranjang kamarnya. Ia khawatir pertemuannya dengan Kavi memantik amarah dalam diri sang suami. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi hari ini," ucap Nadiya ragu-ragu. Ia berdiri dengan gelisah di dekat ranjang tempat sang suami terbaring.Dira yang sedang memainkan ponselnya terpaksa menghentikan aktifitasnya itu. Ia mengangkat wajah hingga pandangannya dan sang istri beradu."Tak masalah. Aku hanya tak mau kamu ikut denganku dan meninggalkan masalah di sini. Aku mau semuanya selesai saat ini." Tidak ada keramahan dalam ucapan Dira. Tak hanya dalam ucapan, sorot wajahnya pun datar. Tanpa ekspresi."Semuanya sudah selesai. Tidak ada masalah antara kami lagi." Nadiya kembali menjelaskan."Baiklah. Aku mau kita pulang besok." Dira berucap dengan entengnya. Sengaja.Mata Nadiya membola. Apa yang diucapkan Dira itu tidak sesuai dengan apa yang diucapkan papanya sebelum pulang. "Tapi, Mas, Papa bilang Mas masih harus di sini sampai sebulan. Mengap
Bab 10Bu Halimah membelalakkan matanya saat melihat laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya. Ia berkacak pinggang dengan dagu terangkat ke atas. "Mau apa lagi? Hah?" cecarnya penuh emosi.Kavi berusaha tenang. Ia menyadari kesalahannya cukup besar sehingga tak salah jika Bu Halimah memberikan respon demikian."Saya ingin berjumpa dengan Nadiya, Bu. Ada yang ingin saya bicarakab. Tolong izinkan," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada respon mantan calon mertuanya itu."Antara kalian sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa kalian bahas. Nadiya sudah bahagia dengan suaminya, sebaiknya kamu pergi dari sini!" usir Bu Halimah lantang."Tidak, Bu. Saya masih harus minta maaf pada Nadiya. Tolong izinkan saya," balas Kavi lagi.Mendengar keributan di ruang tamu, Nadiya akhirnya keluar dari dalam kamarnya. Ia memberikan respon yang sama dengan ibunya. "Ada apa lagi Mas datang kemari?" "Dek, Mas mau bicara denganmu. Tolong izinkan, sebentar saja," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada pen
Bab 9Kavi membawa mobilnya dengan kecepatan kencang. Ia tak dapat menyembunyikan rasa takutnya atas dampak dari apa yang dilakukannya pada Sarah. Sesekali matanya melirik wanita yang sedang meringis di kursi samping. Bagaimanapun perasaan bencinya terhadap wanita itu, ia masih punya hati untuk menolong sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama."Sakit, Mas," lirih Sarah sambil memegang perutnya yang terasa nyeri."Sabar. Sebentar lagi sampai," balas Kavi tanpa menoleh. Ia harus fokus pada jalan raya yang padat. Ia pun menambah kecepatan mobilnya agar bisa segera sampai di rumah sakit."Semoga tidak terjadi apapun dengan anak kita," lirih Sarah ditengah rasa nyeri yang dirasakannya. Tangannya tak lepas dari perut yang masih rata itu.Setibanya di rumah sakit, dokter segera memeriksa kondisi Sarah. Beberapa petugas kesehatan turut bergabung bersama dokter jaga. Sementara Kavi hanya menunggu di luar tanpa berani menghubungi siapapun."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Kavi saat matanya
Bab 8Sarah mendatangi Kavi di kafe miliknya. Tanpa permisi, Sarah masuk ke dalam ruangannya dan langsung duduk di kursi depan meja kerjanya."Bisa permisi dulu ngga sih sebelum masuk?" sembur Kavi setelah Sarah duduk di kursi itu. Ia menatap perempuan yang baru saja duduk itu dengan mata melotot tajam.Rasa kesal bercampur benci tak lagi dapat ditutupi dari wajah Kavi. Ia muak dengan perempuan di depannya yang menurutnya sudah keterlaluan itu."Maaf. Aku terlalu bersemangat untuk berjumpa denganmu. Kapan kita akan menikah?" tanya Sarah tak peduli pada wajah yang sedang memerah di depannya."Kamu pikir menikah itu semudah membalikkan telapak tangan?" Lagi, mata Kavi kembali melotot tajam melihat perempuan di depannya."Santai dong! Jangan melotot gitu. Kan aku jadi takut," balas Sarah manja. Ia tak peduli emosi yang sedang membara di wajah lelaki di depannya itu."Gimana bisa santai kalau kamu tega sama aku! Meskipun kamu punya foto itu, aku tetap tidak yakin anak yang kamu kandung it
Bab 7Nadiya terperanjat saat melihat sang suami terbangun dari tidurnya. Ia refleks meletakkan baju yang semula dipegangnya ke dalam koper."Kamu apakan koperku?" tanya Dira ketus. Sorot matanya tajam, seperti Elang menemukan mangsanya."Aku ... Aku hanya sedang merapikan pakaianmu, Mas. Sejak kemarin masih di dalam koper. Aku hanya menatanya di dalam lemari agar kamu mudah saat mengambil baju nanti," jawab Nadiya takut-takut. Ia tak berani menatap lawan bicaranya.Dira berdiri dari duduknya. Ia berjalan menghampiri sang istri yang sedang berdiri menunduk sebab rasa takut yang mendera."Apa kamu tidak punya mulut untuk meminta izin padaku sebelum membukanya?" Tak ada keramahan sedikitpun dari ucapan lelaki yang baru saja bangun tidur itu."Maaf, Mas. Aku salah," jawab Nadiya takut-takut.Tanpa permisi, Dira membuka lemari yang ada di hadapan Nadiya. Ia melihat beberapa barang pribadi yang sudah berpindah tempat ke dalamnya. Mata Dira membelalak saat melihat tas berisi pakaian dalam s
Bab 6"Sayang kapan balik?" rengek suara diujung panggilan. Hal itu membuat Dira makin merasa bersalah sebab harus meninggalkan kekasihnya lebih lama lagi."Maafkan aku. Sepertinya aku belum bisa balik sekarang. Kamu sabar, ya? Setelah aku kembali, kamu boleh belanja apapun yang kamu mau. Aku janji." Dira berusaha mengambil hati Karina, kekasihnya."Kamu kan sudah janji cuma sebentar di sana?!" rengek Karina lagi. Nada suara yang dibuat semanja mungkin membuat lawan bicaranya tak mampu berkutik."Iya. Maafkan aku. Bapaknya baru saja meninggal pas malam pernikahan kami. Aku ngga boleh kembali sama Papa. Jadi aku harap kamu mengerti posisiku," balas Dira penuh penyesalan."Tapi kamu janji kan, ngga sentuh dia? Kamu cuma milikku!" sentak Karina lagi. Nada bicara yang manja tak lepas dari bibirnya yang dibalut dengan lip mate warna baby pink."Enggak, Sayang. Aku ngga sentuh dia. Aku kan sudah janji sama kamu. Masak kamu ngga percaya?" ucap Dira dengan suara tertahan. Posisinya yang sedan
Bab 5Halimah termenung melihat Nadiya yang sejak kemarin hanya murung saja. Ia sedih melihat sang putri tampak abai pada laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya."Nak," panggil Halimah saat Nadiya duduk di ruang tengah.Nadiya mendongak, menatap sumber suara yang sedang berdiri di depannya."Ibu tahu pernikahan ini bukan pernikahan yang kamu impikan. Tapi runtutan kejadian membuatmu menjadi istri dari Dira Atmaja. Berarti menurut Allah, Dira adalah jodoh yang terbaik untukmu," sambung Halimah setelah ia duduk di samping putrinya.Tangan Halimah yang tak lagi mulus itu mengusap lembut rambut Nadiya yang dibiarkan tergerai."Ibu paham bagaimana perasaanmu sebab dulu, Ibu pun mengalami hal yang sama. Bapak dan Ibu adalah hasil perjodohan. Tapi kami bisa saling menerima dan membuka hati hingga benih cinta tumbuh antara kami. Kalau kami bisa, mengapa kamu tidak?" Tatapan Halimah mengunci wajah putrinya."Nadiya tidak tahu harus bagaimana, Bu. Rasanya hati Nadiya sudah mati. Foto itu da
Bab 4Tak hanya keluarga Nadiya yang dilanda kesedihan, keluarga Kavi pun demikian. Pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang tiba-tiba saja harus gagal hanya karena berita yang dibawa oleh Sarah.Aisyah, ibunya Kavi tak henti menangis saat kabar kehamilan Sarah sampai padanya. Selama ini ia selalu mendidik Kavi dengan baik agar menjadi anak yang membanggakan. Akan tetapi, fakta yang ia dapatkan kini membuatnya merasa gagal sebagai orang tua."Ibu tak pernah mengajarimu menjadi laki-laki pecundang. Mau tak mau, kamu memang harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan." Aisyah berkata dengan hati perih. Sekuat tenaga ia menutupi apa yang sedang terasa sesak dalam hatinya.Namun percuma. Air mata yang ditahan Aisyah itu ternyata luruh juga. "Tapi, Bu, kabar itu belum tentu benar. Bisa saja Sarah mengada-ada," sanggah Kavi membela diri. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi malam itu dan bagaimana bisa asal mengakui bahwa anak dalam rahim Sarah adalah darah dagingn