Bab 3
Pernikahan tetap digelar seperti rencana awal. Meskipun hati Halimah terbagi dengan kondisi sang suami yang sedang di rumah sakit tapi sedikit banyak hatinya lega karena terselamatkan dari rasa malu. Hal yang sama pun ditunjukkan oleh Nadiya. Ia tak bisa menepis kesedihan agar tak terpancar di wajahnya yang sudah dihiasi mekap tebal. Hal itu pun membuat lelaki yang baru saja mengucapkan ijab atas dirinya tak bisa diam saja. "Jangan menunjukkan raut sedih seperti itu. Kamu pikir aku bahagia dengan pernikahan ini?" Dira berucap tanpa menoleh. Matanya tertuju pada tamu undangan yang memenuhi tenda pelaminan. Nadiya terhenyak. Bagaimana tidak bersedih jika pernikahan yang didambanya gagal terjadi dan harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya. Jangankan kenal, tahu wajahnya saja baru kemarin. Nama Dira memang tak asing bagi Nadiya tapi hanya sebatas cerita dari orang tua mereka. Selama dewasa ini keduanya tak pernah sekalipun berjumpa. "Maafkan aku. Aku hanya tak bisa tenang dengan kondisi bapak yang sedang terbaring di rumah sakit." Nadiya beralasan. Sedikit banyak memang benar soal kesedihan mengenai kondisi bapaknya tapi disisi lain ia juga sedih atas pernikahan tanpa cinta ini. Kebahagiaan yang sudah terbayang di depan mata kini lenyap begitu saja. Berganti dengan tangis pilu dan kekhawatiran akan rumah tangga yang akan dijalaninya kelak. Laki-laki di samping Nadiya itu, sama sekali tak menunjukkan keramahan sejak akad terucap. Tak ada senyum keramahan sedikitpun pada Nadiya yang kini sudah resmi menjadi istrinya. "Aku tahu. Tapi kesedihan yang terpancar di wajahmu tak hanya menunjukkan kesedihan soal bapakmu tapi juga penolakan terhadap pernikahan ini. Kamu pikir aku menerima? Aku hanya menuruti apa yang diperintahkan oleh Papa." Dira tak segan menunjukkan isi hatinya. Ia tak bisa berpura-pura manis di depan Nadiya, apalagi ini soal hati. Dan di sana ada hati yang sedang tersakiti akan pernikahan ini. "Sekali lagi aku minta maaf." Nadiya menghela napas panjang. Ia berusaha mengurai kesedihan di wajahnya agar tak terlalu kentara. Sementara itu, Halimah yang sedang sibuk menerima tamu tak mendengar dering ponsel yang sejak tadi memanggilnya. "Bulik, Ibu menghubungi. Kondisi Paklik kritis," ucap Diana, keponakan Halimah. "Astaghfirullah," lirih Halimah. Ia bergegas meninggalkan tamu untuk mendatangi suaminya yang tengah dititipkan pada adik kandungnya. "Pergi sama aku," sahut Yusuf yang dengan sigapnya meraih kunci mobil dari dalam saku. "Nadiya ikut, Bu!" ucap Nadiya menghentikan langkah ibunya. "Tidak, Nak. Kamu disini saja. Tamu undangan yang masih banyak ini tak mungkin kamu tinggal begitu saja," sergah Halimah. Tak punya pilihan lain, Nadiya akhirnya menurut. Orang tua Nadiya dan Dira itu pun segera meninggalkan pesta. Rasa cemas tak lepas dari wajah Halimah yang kembali basah. "Sabar ya," ucap Yusuf ditengah perjalanan. Halimah hanya mengangguk. Ia tak punya banyak kata untuk menjawab ucapan Yusuf. Hati dan pikiran dipenuhi dengan wajah sang suami. "Mas Radi," teriak Halimah histeris saat berada di depan ruangan sang suami. Kain putih menutupi sekujur tubuh yang terbaring di atasnya. Tak lagi ada alat atau apapun yanh melekat, semuanya sudah dilepas sebab tak lagi ada kehidupan pada sosok tersebut. "Mas Radi, Mbak," lirih Nur, adik Suradi yang menjaganya. "Tadi masih bisa diajak bicara. Setelah kutinggal ke kantin, kondisinya kritis. Lalu tak lama, suster mengabari kalau Mas Radi meninggal," papat Nur menjelaskan kronologi kejadiannya. "Bagaimana bisa! Tadi sebelum aku pergi dia masih baik dan bisa diajak bicara! Kenapa sekarang meninggal? Bangun, Mas! Bangun, jangan pergi!" teriak Halimah tak percaya. Ia mengguncang tubuh yang sudah tak bernyawa itu. "Halimah istighfar," ucap Yusuf menenangkan. Ia tak sanggup melihat wanita di depannya itu meraung karena kehilangan sang suami. "Mas Radi, Mas. Dia pergi meninggalkanku," ucap Halimah lirih. Air di pelupuk mata itu tak henti mengalir. Wajah Hamilah tertelungkup di atas dada lelaki yang sudah tak bernyawa itu. Yusuf memeluk Halimah. Ia berusaha menenangkannya. Sekeras apapun wanita itu menangis, Suradi tak akan bisa bangun lagi. Seorang laki-laki tengah mengintip apa yang sedang terjadi di ruangan itu. Ia lantas menghubungi seseorang di ujung sana. "Lapor, Bos. Semuanya beres. Korban sudah mati." Selesai menghubungi seseorang diujung sana, laki-laki itu bergegas pergi. Tugasnya selesai. Setelah mengurus administrasi, jenazah Suradi segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan. Tangis haru dari keluarga menyambut kedatangan mobil jenazah itu. Termasuk Nadiya. Pesta pernikahan yang terpaksa dilakukan kini berganti dengan tangis duka karena kepergian bapaknya. Bahagia yang seharusnya menyapa, sekarang berubah menjadi hujan air mata. "Biar saya bantu, Pak," ucap Kavi yang datang setelah mendengar kabar kematian mantan calon mertuanya. Bagaimana pun keadaannya, ia tetap menganggap keluarga Nadiya sebagai saudara. Ia berusaha membantu memegang tandu jenazah yang sedang dipikul kerabat dekat keluarga Suradi. "Jangan sentuh jenazah suamiku! Pergi kamu dari sini!" sentak Halimah keras. Ia murka terhadap Kavi yang menyebabkan semua ini terjadi. "Bu, sudah," lirih Nadiya berusaha menenangkan ibunya. "Tidak, Nak! Ibu tidak rela dia membantu membawa jenazah ayahmu setelah semua yang dia lakukan terhadapmu! Kalau bisa bicara, bapakmu pun rasanya juga tak akan rela!" Halimah tak peduli pada puluhan pasang mata yang menyaksikan kejadian ini. "Sudah, Mas. Sebaiknya saya saja yang pegang dari pada makin membuat gaduh," ucap lelaki pemegang tandu keranda sebelumnya. Tak punya pilihan lain, Kavi pun akhirnya mengalah. Ia memberikan pegangan tandu pada laki-laki itu. Pemakaman berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan apapun. Setelah kembang ditabur di atas pusara, para pelayat bubar meninggalkan area pemakaman. Hanya Halimah dan keluarganya yang masih berdiri memandangi batu nisan bertuliskan Suradi binti Sutopo. "Mas, kenapa kamu pergi secepat ini," lirih Halimah diiringi lelehan air mata di wajahnya. Yusuf mendekati Halimah. Ia berjongkok tepat di samping Halimah yang sedang memeluk batu nisan suaminya. Hati Yusuf berdesir. Rasa yang tersimpan selama sekian tahun itu kembali hadir menyeruak ke dalam dada. Sayangnya, Yusuf tak punya cukup nyali untuk mengutarakan apa yang dirasakannya itu. Ia hanya bisa menenangkan dengan lisan, tanpa mampu memeluk seperti dua insan yang saling menguatkan. "Semuanya sudah jadi takdir Tuhan, Hal. Kamu yang sabar. Radi sudah tenang di sana," jawab Yusuf berusaha menenangkannya. Tak hanya menangkan Halimah, ia juga menenangkan hatinya sendiri yang sedang dilanda galau. "Lalu bagaimana denganku, Mas. Aku sendirian setelah ini," lirih Halimah lagi. Mendengar pertanyaan Halimah itu, secercah harapan timbul dalam hati Yusuf.Bab 4Tak hanya keluarga Nadiya yang dilanda kesedihan, keluarga Kavi pun demikian. Pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang tiba-tiba saja harus gagal hanya karena berita yang dibawa oleh Sarah.Aisyah, ibunya Kavi tak henti menangis saat kabar kehamilan Sarah sampai padanya. Selama ini ia selalu mendidik Kavi dengan baik agar menjadi anak yang membanggakan. Akan tetapi, fakta yang ia dapatkan kini membuatnya merasa gagal sebagai orang tua."Ibu tak pernah mengajarimu menjadi laki-laki pecundang. Mau tak mau, kamu memang harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan." Aisyah berkata dengan hati perih. Sekuat tenaga ia menutupi apa yang sedang terasa sesak dalam hatinya.Namun percuma. Air mata yang ditahan Aisyah itu ternyata luruh juga. "Tapi, Bu, kabar itu belum tentu benar. Bisa saja Sarah mengada-ada," sanggah Kavi membela diri. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi malam itu dan bagaimana bisa asal mengakui bahwa anak dalam rahim Sarah adalah darah dagingn
Bab 5Halimah termenung melihat Nadiya yang sejak kemarin hanya murung saja. Ia sedih melihat sang putri tampak abai pada laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya."Nak," panggil Halimah saat Nadiya duduk di ruang tengah.Nadiya mendongak, menatap sumber suara yang sedang berdiri di depannya."Ibu tahu pernikahan ini bukan pernikahan yang kamu impikan. Tapi runtutan kejadian membuatmu menjadi istri dari Dira Atmaja. Berarti menurut Allah, Dira adalah jodoh yang terbaik untukmu," sambung Halimah setelah ia duduk di samping putrinya.Tangan Halimah yang tak lagi mulus itu mengusap lembut rambut Nadiya yang dibiarkan tergerai."Ibu paham bagaimana perasaanmu sebab dulu, Ibu pun mengalami hal yang sama. Bapak dan Ibu adalah hasil perjodohan. Tapi kami bisa saling menerima dan membuka hati hingga benih cinta tumbuh antara kami. Kalau kami bisa, mengapa kamu tidak?" Tatapan Halimah mengunci wajah putrinya."Nadiya tidak tahu harus bagaimana, Bu. Rasanya hati Nadiya sudah mati. Foto itu da
Bab 6"Sayang kapan balik?" rengek suara diujung panggilan. Hal itu membuat Dira makin merasa bersalah sebab harus meninggalkan kekasihnya lebih lama lagi."Maafkan aku. Sepertinya aku belum bisa balik sekarang. Kamu sabar, ya? Setelah aku kembali, kamu boleh belanja apapun yang kamu mau. Aku janji." Dira berusaha mengambil hati Karina, kekasihnya."Kamu kan sudah janji cuma sebentar di sana?!" rengek Karina lagi. Nada suara yang dibuat semanja mungkin membuat lawan bicaranya tak mampu berkutik."Iya. Maafkan aku. Bapaknya baru saja meninggal pas malam pernikahan kami. Aku ngga boleh kembali sama Papa. Jadi aku harap kamu mengerti posisiku," balas Dira penuh penyesalan."Tapi kamu janji kan, ngga sentuh dia? Kamu cuma milikku!" sentak Karina lagi. Nada bicara yang manja tak lepas dari bibirnya yang dibalut dengan lip mate warna baby pink."Enggak, Sayang. Aku ngga sentuh dia. Aku kan sudah janji sama kamu. Masak kamu ngga percaya?" ucap Dira dengan suara tertahan. Posisinya yang sedan
Bab 7Nadiya terperanjat saat melihat sang suami terbangun dari tidurnya. Ia refleks meletakkan baju yang semula dipegangnya ke dalam koper."Kamu apakan koperku?" tanya Dira ketus. Sorot matanya tajam, seperti Elang menemukan mangsanya."Aku ... Aku hanya sedang merapikan pakaianmu, Mas. Sejak kemarin masih di dalam koper. Aku hanya menatanya di dalam lemari agar kamu mudah saat mengambil baju nanti," jawab Nadiya takut-takut. Ia tak berani menatap lawan bicaranya.Dira berdiri dari duduknya. Ia berjalan menghampiri sang istri yang sedang berdiri menunduk sebab rasa takut yang mendera."Apa kamu tidak punya mulut untuk meminta izin padaku sebelum membukanya?" Tak ada keramahan sedikitpun dari ucapan lelaki yang baru saja bangun tidur itu."Maaf, Mas. Aku salah," jawab Nadiya takut-takut.Tanpa permisi, Dira membuka lemari yang ada di hadapan Nadiya. Ia melihat beberapa barang pribadi yang sudah berpindah tempat ke dalamnya. Mata Dira membelalak saat melihat tas berisi pakaian dalam s
Bab 8Sarah mendatangi Kavi di kafe miliknya. Tanpa permisi, Sarah masuk ke dalam ruangannya dan langsung duduk di kursi depan meja kerjanya."Bisa permisi dulu ngga sih sebelum masuk?" sembur Kavi setelah Sarah duduk di kursi itu. Ia menatap perempuan yang baru saja duduk itu dengan mata melotot tajam.Rasa kesal bercampur benci tak lagi dapat ditutupi dari wajah Kavi. Ia muak dengan perempuan di depannya yang menurutnya sudah keterlaluan itu."Maaf. Aku terlalu bersemangat untuk berjumpa denganmu. Kapan kita akan menikah?" tanya Sarah tak peduli pada wajah yang sedang memerah di depannya."Kamu pikir menikah itu semudah membalikkan telapak tangan?" Lagi, mata Kavi kembali melotot tajam melihat perempuan di depannya."Santai dong! Jangan melotot gitu. Kan aku jadi takut," balas Sarah manja. Ia tak peduli emosi yang sedang membara di wajah lelaki di depannya itu."Gimana bisa santai kalau kamu tega sama aku! Meskipun kamu punya foto itu, aku tetap tidak yakin anak yang kamu kandung it
Bab 9Kavi membawa mobilnya dengan kecepatan kencang. Ia tak dapat menyembunyikan rasa takutnya atas dampak dari apa yang dilakukannya pada Sarah. Sesekali matanya melirik wanita yang sedang meringis di kursi samping. Bagaimanapun perasaan bencinya terhadap wanita itu, ia masih punya hati untuk menolong sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama."Sakit, Mas," lirih Sarah sambil memegang perutnya yang terasa nyeri."Sabar. Sebentar lagi sampai," balas Kavi tanpa menoleh. Ia harus fokus pada jalan raya yang padat. Ia pun menambah kecepatan mobilnya agar bisa segera sampai di rumah sakit."Semoga tidak terjadi apapun dengan anak kita," lirih Sarah ditengah rasa nyeri yang dirasakannya. Tangannya tak lepas dari perut yang masih rata itu.Setibanya di rumah sakit, dokter segera memeriksa kondisi Sarah. Beberapa petugas kesehatan turut bergabung bersama dokter jaga. Sementara Kavi hanya menunggu di luar tanpa berani menghubungi siapapun."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Kavi saat matanya
Bab 10Bu Halimah membelalakkan matanya saat melihat laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya. Ia berkacak pinggang dengan dagu terangkat ke atas. "Mau apa lagi? Hah?" cecarnya penuh emosi.Kavi berusaha tenang. Ia menyadari kesalahannya cukup besar sehingga tak salah jika Bu Halimah memberikan respon demikian."Saya ingin berjumpa dengan Nadiya, Bu. Ada yang ingin saya bicarakab. Tolong izinkan," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada respon mantan calon mertuanya itu."Antara kalian sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa kalian bahas. Nadiya sudah bahagia dengan suaminya, sebaiknya kamu pergi dari sini!" usir Bu Halimah lantang."Tidak, Bu. Saya masih harus minta maaf pada Nadiya. Tolong izinkan saya," balas Kavi lagi.Mendengar keributan di ruang tamu, Nadiya akhirnya keluar dari dalam kamarnya. Ia memberikan respon yang sama dengan ibunya. "Ada apa lagi Mas datang kemari?" "Dek, Mas mau bicara denganmu. Tolong izinkan, sebentar saja," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada pen
Bab 11Nadiya melangkah dengan ragu menuju ranjang kamarnya. Ia khawatir pertemuannya dengan Kavi memantik amarah dalam diri sang suami. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi hari ini," ucap Nadiya ragu-ragu. Ia berdiri dengan gelisah di dekat ranjang tempat sang suami terbaring.Dira yang sedang memainkan ponselnya terpaksa menghentikan aktifitasnya itu. Ia mengangkat wajah hingga pandangannya dan sang istri beradu."Tak masalah. Aku hanya tak mau kamu ikut denganku dan meninggalkan masalah di sini. Aku mau semuanya selesai saat ini." Tidak ada keramahan dalam ucapan Dira. Tak hanya dalam ucapan, sorot wajahnya pun datar. Tanpa ekspresi."Semuanya sudah selesai. Tidak ada masalah antara kami lagi." Nadiya kembali menjelaskan."Baiklah. Aku mau kita pulang besok." Dira berucap dengan entengnya. Sengaja.Mata Nadiya membola. Apa yang diucapkan Dira itu tidak sesuai dengan apa yang diucapkan papanya sebelum pulang. "Tapi, Mas, Papa bilang Mas masih harus di sini sampai sebulan. Mengap
Bab 12"Beri aku waktu selama sebulan ini untuk menjadi istrimu seutuhnya la-""Apa maksudmu menjadi istriku seutuhnya?" sahut Dira memotong ucapan Nadiya. "Maksudmu kamu menuntutku untuk memberikan nafkah secara lahir batin begitu?" sambung Dira dengan satu sudut bibir terangkat ke atas.Bibir Nadiya tersungging miring. Ucapan Dira itu terlalu berlebihan. "Aku tidak serendah itu dengan memintah nafkah batin dari laki-laki yang belum mencintaiku,' sergah Nadiya tak setuju dengan ucapan suaminya."Lalu?" Mata Dira memicing."Biarkan aku melayanimu layaknya seorang istri. Kasarnya kita kenalan dan kamu tidak boleh protes atas perlakuanku padamu yang layaknya seorang istri itu. Setelah sebulan dan dirasa kamu tidak menaruh hati padaku, kita bisa selesaikan ini baik-baik."Dira terdiam untuk mencerna ucapan Nadiya. Tawaran yang tidak buruk untuk mereka yang sama-sama terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.Sedangkan Nadiya, berbanding terbalik dengan Dira yang hanya menganggap pernikahan i
Bab 11Nadiya melangkah dengan ragu menuju ranjang kamarnya. Ia khawatir pertemuannya dengan Kavi memantik amarah dalam diri sang suami. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi hari ini," ucap Nadiya ragu-ragu. Ia berdiri dengan gelisah di dekat ranjang tempat sang suami terbaring.Dira yang sedang memainkan ponselnya terpaksa menghentikan aktifitasnya itu. Ia mengangkat wajah hingga pandangannya dan sang istri beradu."Tak masalah. Aku hanya tak mau kamu ikut denganku dan meninggalkan masalah di sini. Aku mau semuanya selesai saat ini." Tidak ada keramahan dalam ucapan Dira. Tak hanya dalam ucapan, sorot wajahnya pun datar. Tanpa ekspresi."Semuanya sudah selesai. Tidak ada masalah antara kami lagi." Nadiya kembali menjelaskan."Baiklah. Aku mau kita pulang besok." Dira berucap dengan entengnya. Sengaja.Mata Nadiya membola. Apa yang diucapkan Dira itu tidak sesuai dengan apa yang diucapkan papanya sebelum pulang. "Tapi, Mas, Papa bilang Mas masih harus di sini sampai sebulan. Mengap
Bab 10Bu Halimah membelalakkan matanya saat melihat laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya. Ia berkacak pinggang dengan dagu terangkat ke atas. "Mau apa lagi? Hah?" cecarnya penuh emosi.Kavi berusaha tenang. Ia menyadari kesalahannya cukup besar sehingga tak salah jika Bu Halimah memberikan respon demikian."Saya ingin berjumpa dengan Nadiya, Bu. Ada yang ingin saya bicarakab. Tolong izinkan," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada respon mantan calon mertuanya itu."Antara kalian sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa kalian bahas. Nadiya sudah bahagia dengan suaminya, sebaiknya kamu pergi dari sini!" usir Bu Halimah lantang."Tidak, Bu. Saya masih harus minta maaf pada Nadiya. Tolong izinkan saya," balas Kavi lagi.Mendengar keributan di ruang tamu, Nadiya akhirnya keluar dari dalam kamarnya. Ia memberikan respon yang sama dengan ibunya. "Ada apa lagi Mas datang kemari?" "Dek, Mas mau bicara denganmu. Tolong izinkan, sebentar saja," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada pen
Bab 9Kavi membawa mobilnya dengan kecepatan kencang. Ia tak dapat menyembunyikan rasa takutnya atas dampak dari apa yang dilakukannya pada Sarah. Sesekali matanya melirik wanita yang sedang meringis di kursi samping. Bagaimanapun perasaan bencinya terhadap wanita itu, ia masih punya hati untuk menolong sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama."Sakit, Mas," lirih Sarah sambil memegang perutnya yang terasa nyeri."Sabar. Sebentar lagi sampai," balas Kavi tanpa menoleh. Ia harus fokus pada jalan raya yang padat. Ia pun menambah kecepatan mobilnya agar bisa segera sampai di rumah sakit."Semoga tidak terjadi apapun dengan anak kita," lirih Sarah ditengah rasa nyeri yang dirasakannya. Tangannya tak lepas dari perut yang masih rata itu.Setibanya di rumah sakit, dokter segera memeriksa kondisi Sarah. Beberapa petugas kesehatan turut bergabung bersama dokter jaga. Sementara Kavi hanya menunggu di luar tanpa berani menghubungi siapapun."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Kavi saat matanya
Bab 8Sarah mendatangi Kavi di kafe miliknya. Tanpa permisi, Sarah masuk ke dalam ruangannya dan langsung duduk di kursi depan meja kerjanya."Bisa permisi dulu ngga sih sebelum masuk?" sembur Kavi setelah Sarah duduk di kursi itu. Ia menatap perempuan yang baru saja duduk itu dengan mata melotot tajam.Rasa kesal bercampur benci tak lagi dapat ditutupi dari wajah Kavi. Ia muak dengan perempuan di depannya yang menurutnya sudah keterlaluan itu."Maaf. Aku terlalu bersemangat untuk berjumpa denganmu. Kapan kita akan menikah?" tanya Sarah tak peduli pada wajah yang sedang memerah di depannya."Kamu pikir menikah itu semudah membalikkan telapak tangan?" Lagi, mata Kavi kembali melotot tajam melihat perempuan di depannya."Santai dong! Jangan melotot gitu. Kan aku jadi takut," balas Sarah manja. Ia tak peduli emosi yang sedang membara di wajah lelaki di depannya itu."Gimana bisa santai kalau kamu tega sama aku! Meskipun kamu punya foto itu, aku tetap tidak yakin anak yang kamu kandung it
Bab 7Nadiya terperanjat saat melihat sang suami terbangun dari tidurnya. Ia refleks meletakkan baju yang semula dipegangnya ke dalam koper."Kamu apakan koperku?" tanya Dira ketus. Sorot matanya tajam, seperti Elang menemukan mangsanya."Aku ... Aku hanya sedang merapikan pakaianmu, Mas. Sejak kemarin masih di dalam koper. Aku hanya menatanya di dalam lemari agar kamu mudah saat mengambil baju nanti," jawab Nadiya takut-takut. Ia tak berani menatap lawan bicaranya.Dira berdiri dari duduknya. Ia berjalan menghampiri sang istri yang sedang berdiri menunduk sebab rasa takut yang mendera."Apa kamu tidak punya mulut untuk meminta izin padaku sebelum membukanya?" Tak ada keramahan sedikitpun dari ucapan lelaki yang baru saja bangun tidur itu."Maaf, Mas. Aku salah," jawab Nadiya takut-takut.Tanpa permisi, Dira membuka lemari yang ada di hadapan Nadiya. Ia melihat beberapa barang pribadi yang sudah berpindah tempat ke dalamnya. Mata Dira membelalak saat melihat tas berisi pakaian dalam s
Bab 6"Sayang kapan balik?" rengek suara diujung panggilan. Hal itu membuat Dira makin merasa bersalah sebab harus meninggalkan kekasihnya lebih lama lagi."Maafkan aku. Sepertinya aku belum bisa balik sekarang. Kamu sabar, ya? Setelah aku kembali, kamu boleh belanja apapun yang kamu mau. Aku janji." Dira berusaha mengambil hati Karina, kekasihnya."Kamu kan sudah janji cuma sebentar di sana?!" rengek Karina lagi. Nada suara yang dibuat semanja mungkin membuat lawan bicaranya tak mampu berkutik."Iya. Maafkan aku. Bapaknya baru saja meninggal pas malam pernikahan kami. Aku ngga boleh kembali sama Papa. Jadi aku harap kamu mengerti posisiku," balas Dira penuh penyesalan."Tapi kamu janji kan, ngga sentuh dia? Kamu cuma milikku!" sentak Karina lagi. Nada bicara yang manja tak lepas dari bibirnya yang dibalut dengan lip mate warna baby pink."Enggak, Sayang. Aku ngga sentuh dia. Aku kan sudah janji sama kamu. Masak kamu ngga percaya?" ucap Dira dengan suara tertahan. Posisinya yang sedan
Bab 5Halimah termenung melihat Nadiya yang sejak kemarin hanya murung saja. Ia sedih melihat sang putri tampak abai pada laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya."Nak," panggil Halimah saat Nadiya duduk di ruang tengah.Nadiya mendongak, menatap sumber suara yang sedang berdiri di depannya."Ibu tahu pernikahan ini bukan pernikahan yang kamu impikan. Tapi runtutan kejadian membuatmu menjadi istri dari Dira Atmaja. Berarti menurut Allah, Dira adalah jodoh yang terbaik untukmu," sambung Halimah setelah ia duduk di samping putrinya.Tangan Halimah yang tak lagi mulus itu mengusap lembut rambut Nadiya yang dibiarkan tergerai."Ibu paham bagaimana perasaanmu sebab dulu, Ibu pun mengalami hal yang sama. Bapak dan Ibu adalah hasil perjodohan. Tapi kami bisa saling menerima dan membuka hati hingga benih cinta tumbuh antara kami. Kalau kami bisa, mengapa kamu tidak?" Tatapan Halimah mengunci wajah putrinya."Nadiya tidak tahu harus bagaimana, Bu. Rasanya hati Nadiya sudah mati. Foto itu da
Bab 4Tak hanya keluarga Nadiya yang dilanda kesedihan, keluarga Kavi pun demikian. Pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang tiba-tiba saja harus gagal hanya karena berita yang dibawa oleh Sarah.Aisyah, ibunya Kavi tak henti menangis saat kabar kehamilan Sarah sampai padanya. Selama ini ia selalu mendidik Kavi dengan baik agar menjadi anak yang membanggakan. Akan tetapi, fakta yang ia dapatkan kini membuatnya merasa gagal sebagai orang tua."Ibu tak pernah mengajarimu menjadi laki-laki pecundang. Mau tak mau, kamu memang harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan." Aisyah berkata dengan hati perih. Sekuat tenaga ia menutupi apa yang sedang terasa sesak dalam hatinya.Namun percuma. Air mata yang ditahan Aisyah itu ternyata luruh juga. "Tapi, Bu, kabar itu belum tentu benar. Bisa saja Sarah mengada-ada," sanggah Kavi membela diri. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi malam itu dan bagaimana bisa asal mengakui bahwa anak dalam rahim Sarah adalah darah dagingn