Bab 5
Halimah termenung melihat Nadiya yang sejak kemarin hanya murung saja. Ia sedih melihat sang putri tampak abai pada laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya. "Nak," panggil Halimah saat Nadiya duduk di ruang tengah. Nadiya mendongak, menatap sumber suara yang sedang berdiri di depannya. "Ibu tahu pernikahan ini bukan pernikahan yang kamu impikan. Tapi runtutan kejadian membuatmu menjadi istri dari Dira Atmaja. Berarti menurut Allah, Dira adalah jodoh yang terbaik untukmu," sambung Halimah setelah ia duduk di samping putrinya. Tangan Halimah yang tak lagi mulus itu mengusap lembut rambut Nadiya yang dibiarkan tergerai. "Ibu paham bagaimana perasaanmu sebab dulu, Ibu pun mengalami hal yang sama. Bapak dan Ibu adalah hasil perjodohan. Tapi kami bisa saling menerima dan membuka hati hingga benih cinta tumbuh antara kami. Kalau kami bisa, mengapa kamu tidak?" Tatapan Halimah mengunci wajah putrinya. "Nadiya tidak tahu harus bagaimana, Bu. Rasanya hati Nadiya sudah mati. Foto itu dan apa yang terjadi semuanya sungguh membuat Nadiya tak punya semangat hidup." Nadiya berucap dengan lemah. Ia tak tahu harus bagaimana bersikap, terlebih pada laki-laki yang kini menjadi suaminya. "Cinta itu tidak harus selalu memiliki, Nak. Ibu tahu dalam hatimu masih ada nama Kavi, meskipun telah melukaimu sedemikian kejamnya. Tapi, apa yang terjadi ini adalah pertanda bahwa kalian tidak bisa bersatu. Lukamu akan sembuh seiring berjalannya waktu dan pernikahan ini, ada di depanmu, yang harus kamu jalani kedepannya. Lakukan kareja kewajiban, maka cinta akan tumbuh setelahnya." Nadiya bergeming. Ia tak tahu harus bagaimana. "Kami merestui kalian tapi faktanya, perempuan itu datang di rumah ini untuk meminta calon suamimu bertanggung jawab atas anak dalam rahimnya. Apa yang bisa kami lakukan?" sambung Halimah lagi untuk membuka hati Nadiya yang masih penuh dengan onak dan duri. Nadiya tak mampu bicara. Sedikit banyak apa yang diucapkan oleh ibunya itu benar adanya. Tapi untuk membuka hati rasanya masih perlu waktu. Entah sehari, satu minggu, satu bulan atau bahkan satu tahun. "Dira tampaknya laki-laki yang baik. Dia sopan sama Ibu dan saudaramu di sini. Kamu hanya belum mengenalnya," sambung Halimah untuk meyakinkan Nadiya. Nadiya mendongak, menatap wajah ibunya yang sejak tadi menatapnya sendu. Ada rasa sedih yang menyeruak ke dalam dada saat melihat nasibnya ini. Akan tetapi, ia bisa apa jika Tuhan sudah membuatnya demikian? Nadiya meraih badan ibunya untuk dipeluk erat. Air matanya tumpah di dalam dada hangat milik wanita yang telah melahirkannya itu. "Menangislah, Nak. Tidak ada yang salah dengan air mata. Menangislah sampai kamu lega dan mulai bisa membuka hati menerima semua ini." "Semua ini terlalu berat untuk Nadiya, Bu. Sakit rasanya." Nadiya terisak. "Bukan sakit. Hanya saja kamu belum terbiasa. Dira saja bisa menerima pernikahan ini, mengapa kamu tidak?" Halimah kembali mengusap sambut putrinya. "Jangan menangis. Malu sama Dira. Dia suamimu sekarang. Kalau kamu terus menangisi orang lain, dia pasti akan tersinggung." Halimah kembali memberi nasehat. "Hargai Dira karena dia sudah bersedia menolong kita terhindar dari rasa malu." Lagi, Halimah meyakinkan. Nadiya tersentak dengan ucapan Halimah itu. Ia sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Anak dari Halimah itu hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri tanpa melihat ada laki-laki lain yang juga berada di posisi yang sama dengannya. Setelah Nadiya tenang, ia kembali ke kamar. Dada yang sejak tadi penuh sesak, kini mulai terurai. Akan tetapi, nyalinya kembali menciut saat mendapati laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya menyambut kehadirannya di kamar dengan tatapan dingin. Nadiya mendekat ke arah ranjang, tempat suaminya terbaring sembari memainkan ponselnya. Ia harus mengajaknya makan siang ini. "Mas, waktunya makan," ucap Nadiya tanpa berani menatap wajah laki-laki di depannya. Tak ada sahutan, apalagi jawaban. Dira bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar tanpa ekspresi. Nyali Nadiya makin menciut melihat sikap lelaki itu. Ia tak tahu harus bagaimana bersikap. Semalam, lelaki itu tidur di atas sofa yang ada di sudut kamarnya. Seakan memasang benteng yang tinggi dengannya. "Aku ngga nyangka, akhirnya kita jadi besanan," ucap Yusuf membuka obrolan di meja makan. "Aku juga tapi lebih ngga nyangka lagi kalau Mas Radi harus pergi secepat itu." Halimah menyahuti. "Umur manusia memang ngga ada yang tahu. Sama kayak jodoh, lihatlah, anak kita akhirnya jadi suami istri," balas Yusuf sambil menatap kamar Nadiya yang berada tak jauh dari meja makan. Halimah tersenyum. Ia melakukan hal yang sama. "Semoga pernikahan ini berkah, sakinah, mawadah dan warahmah. Pacaran setelah menikah itu nikmat," papar Halimah. "Aamiin," jawab Yusuf. Dira datang lebih dulu di meja makan. Tak ada suara, ia duduk di samping papanya. Nadiya menyusul setelah itu. Ia duduk tepat di depan Dira. Rasa canggung masih menyelimuti keduanya. "Lihatlah, pengantin baru ini. Masih malu-malu kucing," ucap Yusuf sambil mengulum senyum. Namun, yang sedang dibicarakan tak memberikan respon apapun. Terlebih Dira. Ia sibuk menatap ponsel yang sejak tadi digenggamnya. "Duduk sini, Nak. Dekat suamimu. Ambilkan suamimu makan," titah Yusuf berusaha mencairkan suasana. Nadiya menganggu. "Iya, Pa." Urung duduk, Nadiya kembali berdiri. Ia meraih piring yang ada di depan Dira. "Permisi, Mas," ucap Nadiya sungkan. Tak menjawab, Dira meminggirkan tangannya untuk memberi Nadiya ruang. Ia membiarkan tangan Nadiya meraih piring yang ada di depannya tanpa menatap sumber suara. "Dira izin nanti malam balik ya, Pa?" ucap Dira membuka obrolan. Nadiya tersentak dengan ucapan Dira. Ia yang masih dalam kondisi berduka tak bisa begitu saja pergi dari rumah secepat ini mengikuti suaminya. "Jangan ngawur kamu! Tunggu sampai tujuh harinya mertuamu baru kamu balik!" sembur Yusuf tak setuju dengan permintaan Dira. "Ada meeting besok pagi, Pa!" "Ada asisten. Atau batalkan saja sampai tujuh hari ke depan." "Tapi, Pa," ucap Dira berusaha menyanggah ucapan papanya. "Tidak bisa. Tidak sopan jika kamu pergi dalam kondisi berkabung seperti ini. Kasihan istrimu kalau kamu ajak balik cepet-cepet." "Dira bisa pergi sendiri. Dia biar di sini." "Jangan asal kamu!" sentak Yusuf keras. Nadiya dan Halimah seketika beradu pandangan.Bab 6"Sayang kapan balik?" rengek suara diujung panggilan. Hal itu membuat Dira makin merasa bersalah sebab harus meninggalkan kekasihnya lebih lama lagi."Maafkan aku. Sepertinya aku belum bisa balik sekarang. Kamu sabar, ya? Setelah aku kembali, kamu boleh belanja apapun yang kamu mau. Aku janji." Dira berusaha mengambil hati Karina, kekasihnya."Kamu kan sudah janji cuma sebentar di sana?!" rengek Karina lagi. Nada suara yang dibuat semanja mungkin membuat lawan bicaranya tak mampu berkutik."Iya. Maafkan aku. Bapaknya baru saja meninggal pas malam pernikahan kami. Aku ngga boleh kembali sama Papa. Jadi aku harap kamu mengerti posisiku," balas Dira penuh penyesalan."Tapi kamu janji kan, ngga sentuh dia? Kamu cuma milikku!" sentak Karina lagi. Nada bicara yang manja tak lepas dari bibirnya yang dibalut dengan lip mate warna baby pink."Enggak, Sayang. Aku ngga sentuh dia. Aku kan sudah janji sama kamu. Masak kamu ngga percaya?" ucap Dira dengan suara tertahan. Posisinya yang sedan
Bab 7Nadiya terperanjat saat melihat sang suami terbangun dari tidurnya. Ia refleks meletakkan baju yang semula dipegangnya ke dalam koper."Kamu apakan koperku?" tanya Dira ketus. Sorot matanya tajam, seperti Elang menemukan mangsanya."Aku ... Aku hanya sedang merapikan pakaianmu, Mas. Sejak kemarin masih di dalam koper. Aku hanya menatanya di dalam lemari agar kamu mudah saat mengambil baju nanti," jawab Nadiya takut-takut. Ia tak berani menatap lawan bicaranya.Dira berdiri dari duduknya. Ia berjalan menghampiri sang istri yang sedang berdiri menunduk sebab rasa takut yang mendera."Apa kamu tidak punya mulut untuk meminta izin padaku sebelum membukanya?" Tak ada keramahan sedikitpun dari ucapan lelaki yang baru saja bangun tidur itu."Maaf, Mas. Aku salah," jawab Nadiya takut-takut.Tanpa permisi, Dira membuka lemari yang ada di hadapan Nadiya. Ia melihat beberapa barang pribadi yang sudah berpindah tempat ke dalamnya. Mata Dira membelalak saat melihat tas berisi pakaian dalam s
Bab 8Sarah mendatangi Kavi di kafe miliknya. Tanpa permisi, Sarah masuk ke dalam ruangannya dan langsung duduk di kursi depan meja kerjanya."Bisa permisi dulu ngga sih sebelum masuk?" sembur Kavi setelah Sarah duduk di kursi itu. Ia menatap perempuan yang baru saja duduk itu dengan mata melotot tajam.Rasa kesal bercampur benci tak lagi dapat ditutupi dari wajah Kavi. Ia muak dengan perempuan di depannya yang menurutnya sudah keterlaluan itu."Maaf. Aku terlalu bersemangat untuk berjumpa denganmu. Kapan kita akan menikah?" tanya Sarah tak peduli pada wajah yang sedang memerah di depannya."Kamu pikir menikah itu semudah membalikkan telapak tangan?" Lagi, mata Kavi kembali melotot tajam melihat perempuan di depannya."Santai dong! Jangan melotot gitu. Kan aku jadi takut," balas Sarah manja. Ia tak peduli emosi yang sedang membara di wajah lelaki di depannya itu."Gimana bisa santai kalau kamu tega sama aku! Meskipun kamu punya foto itu, aku tetap tidak yakin anak yang kamu kandung it
Bab 9Kavi membawa mobilnya dengan kecepatan kencang. Ia tak dapat menyembunyikan rasa takutnya atas dampak dari apa yang dilakukannya pada Sarah. Sesekali matanya melirik wanita yang sedang meringis di kursi samping. Bagaimanapun perasaan bencinya terhadap wanita itu, ia masih punya hati untuk menolong sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama."Sakit, Mas," lirih Sarah sambil memegang perutnya yang terasa nyeri."Sabar. Sebentar lagi sampai," balas Kavi tanpa menoleh. Ia harus fokus pada jalan raya yang padat. Ia pun menambah kecepatan mobilnya agar bisa segera sampai di rumah sakit."Semoga tidak terjadi apapun dengan anak kita," lirih Sarah ditengah rasa nyeri yang dirasakannya. Tangannya tak lepas dari perut yang masih rata itu.Setibanya di rumah sakit, dokter segera memeriksa kondisi Sarah. Beberapa petugas kesehatan turut bergabung bersama dokter jaga. Sementara Kavi hanya menunggu di luar tanpa berani menghubungi siapapun."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Kavi saat matanya
Bab 10Bu Halimah membelalakkan matanya saat melihat laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya. Ia berkacak pinggang dengan dagu terangkat ke atas. "Mau apa lagi? Hah?" cecarnya penuh emosi.Kavi berusaha tenang. Ia menyadari kesalahannya cukup besar sehingga tak salah jika Bu Halimah memberikan respon demikian."Saya ingin berjumpa dengan Nadiya, Bu. Ada yang ingin saya bicarakab. Tolong izinkan," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada respon mantan calon mertuanya itu."Antara kalian sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa kalian bahas. Nadiya sudah bahagia dengan suaminya, sebaiknya kamu pergi dari sini!" usir Bu Halimah lantang."Tidak, Bu. Saya masih harus minta maaf pada Nadiya. Tolong izinkan saya," balas Kavi lagi.Mendengar keributan di ruang tamu, Nadiya akhirnya keluar dari dalam kamarnya. Ia memberikan respon yang sama dengan ibunya. "Ada apa lagi Mas datang kemari?" "Dek, Mas mau bicara denganmu. Tolong izinkan, sebentar saja," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada pen
Bab 11Nadiya melangkah dengan ragu menuju ranjang kamarnya. Ia khawatir pertemuannya dengan Kavi memantik amarah dalam diri sang suami. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi hari ini," ucap Nadiya ragu-ragu. Ia berdiri dengan gelisah di dekat ranjang tempat sang suami terbaring.Dira yang sedang memainkan ponselnya terpaksa menghentikan aktifitasnya itu. Ia mengangkat wajah hingga pandangannya dan sang istri beradu."Tak masalah. Aku hanya tak mau kamu ikut denganku dan meninggalkan masalah di sini. Aku mau semuanya selesai saat ini." Tidak ada keramahan dalam ucapan Dira. Tak hanya dalam ucapan, sorot wajahnya pun datar. Tanpa ekspresi."Semuanya sudah selesai. Tidak ada masalah antara kami lagi." Nadiya kembali menjelaskan."Baiklah. Aku mau kita pulang besok." Dira berucap dengan entengnya. Sengaja.Mata Nadiya membola. Apa yang diucapkan Dira itu tidak sesuai dengan apa yang diucapkan papanya sebelum pulang. "Tapi, Mas, Papa bilang Mas masih harus di sini sampai sebulan. Mengap
Bab 12"Beri aku waktu selama sebulan ini untuk menjadi istrimu seutuhnya la-""Apa maksudmu menjadi istriku seutuhnya?" sahut Dira memotong ucapan Nadiya. "Maksudmu kamu menuntutku untuk memberikan nafkah secara lahir batin begitu?" sambung Dira dengan satu sudut bibir terangkat ke atas.Bibir Nadiya tersungging miring. Ucapan Dira itu terlalu berlebihan. "Aku tidak serendah itu dengan memintah nafkah batin dari laki-laki yang belum mencintaiku,' sergah Nadiya tak setuju dengan ucapan suaminya."Lalu?" Mata Dira memicing."Biarkan aku melayanimu layaknya seorang istri. Kasarnya kita kenalan dan kamu tidak boleh protes atas perlakuanku padamu yang layaknya seorang istri itu. Setelah sebulan dan dirasa kamu tidak menaruh hati padaku, kita bisa selesaikan ini baik-baik."Dira terdiam untuk mencerna ucapan Nadiya. Tawaran yang tidak buruk untuk mereka yang sama-sama terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.Sedangkan Nadiya, berbanding terbalik dengan Dira yang hanya menganggap pernikahan i
Bab 13Kesepakatan yang terjadi antara dirinya dan sang suami tak disia-siakan oleh Nadiya. Ia sengaja menjadikan itu sebagai alat untuk mengikat agar tahu lebih dalam tentang bagaimana karakter sang suami."Mas, yuk salat?" ajak Nadiya saat adzan Magrib berkumandang.Dira yang sedang sibuk dengan ponselnya tak menggubris ajakan sang istri. Matanya sibuk menekuri layar yang sedang menyala itu."Mas," panggil Nadiya lagi.Dira baru mengangkat wajah saat sang istri sudah berdiri di hadapannya. "Apa?""Yuk salat? Kita salat bareng," balas Nadiya kemudian.Dira kembali menatap layar ponsel, tak mempedulikan ucapan sang istri. Tak mau terus memaksa, Nadiya pun berjalan meninggalkan Dira di tempatnya."Kalau mau salat ya salat aja sendiri, ngga usah ajak-ajak kayak mereka yang menikah beneran!" omel Dira saat Nadiya sudah tidak lagi ada di hadapannya.Telinga Nadiya terusik dengan ucapan Dira. Ia lantas menoleh ke arah sang suami. "Kalau bukan menikah beneran lalu kita menikah apa? Surat n
Bab 38Bu Halimah kembali berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam. Hatinya senang sebab bisa membuat menu masakan untuk anak dan menantu serta besannya. Meskipun ada rasa sedih dalam hati sebab sang suami tak bisa mendampingi, tapi itu tak membuat kebahagiaannya berkurang.Bagaimana pun setiap manusia akan mati dan Bu Halimah tak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Selama hidupnya, ia sudah mengabdikan diri pada sang suami sehingga tak ada penyesalan disaat akhir pendamping hidupnya."Ibu kok ndak lihat suamimu, Nduk? Kemana dia?" tanya Bu Halimah saat sedang menyiapkan makanan ke atas meja makan.Nadiya yang ikut membantu hanya mengendikkan bahunya. "Entahlah. Tadi ngga bilang mau kemana," balas Nadiya seadanya karena memang tak tahu kemana sang suami pergi."Kamu itu, ya mbok kalau suami pergi ditanya dulu mau kemana. Masak ngga tahu kemana suaminya pergi." Bu Halimah kembali mengomel. "Mas Dira kan sudah besar, Bu. Ngga perlu selalu tanya dia mau kemana, nanti juga pulang s
Bab 37Dira terdiam ditempatnya duduk. Tatapannya menerawang jauh. Wajah itu, wajah yang ketika pertama menikah kerap mencari perhatiannya, kini mendadak abai setelah ia tak sengaja menyentuhnya."Sebenarnya aku juga tak ingin ada resepsi itu, tapi rasanya Papa akan marah jika aku yang menolaknya. Lebih baik kamu yang bicara pada Papa untuk menolak acara itu."Nadiya mengangkat wajahnya. Ia menatap Dira dengan tatapan malas. "Bicara sendiri. Mas punya mulut kan?" jawab Nadiya ketus."Papa tak akan bisa menerima jika aku yang menolak. Akan beda jawaban kalau kamu yang bilang. Tolong lah, Nad. Sekali ini saja.""Baiklah. Aku tidak janji. Akan kuusahakan semampuku tapi jangan terlalu berharap sebab aku malas berdebat dengan mereka. Kalau Mas mau, nanti ketika aku bicara, Mas yang menimpali."Dira mengangguk setuju. "Baiklah, aku setuju.""Oh iya. Aku mau tanya," ucap Dira takut-takut. Ia menatap lekat wajah Nadiya yang rasanya mulai bersahabat itu.Nadiya diam saja. Pandangannya sesekali
Bab 36Dira terdiam sambil menggenggam tangannya erat. Ia tahu sekarang bahwa semua yang terjadi di Bali adalah ulah kekasihnya. Bagaimana pun yang terjadi sekarang, tak seharusnya Karina berbuat demikian sebab akan menimbulkan masalah baru bagi keduanya.Kaki Dira melangkah dengan lebar menuju mobilnya. Ia tak bisa bicara dengan Karina di dalam rumah. Jika seisi rumah mendengar obrolannya dengan sang kekasih maka masalah baru akan kembali timbul."Iya, Sayang? Kenapa? Mau ketemuan?" jawab suara diujung setelah panggilan terhubung."Apa benar kamu yang memberikan minuman itu? Apa tujuan kamu memberi aku minuman yang sudah dicampur obat perangsang? Kamu sengaja membuat semua ini terjadi?" tanya Dira tanpa tedeng aling-aling. Napasnya menderu, sesuai dengan isi hatinya yang sedang meletup-letup."Kamu bicara apa sih!" sembur Karina pura-pura tak paham."Kejadian di Bali itu, apa benar kamu yang merencanakannya?" Dira mengulangi pertanyaannya."Kejadian apa sih!" Lagi, Karina pura-pura.
Bab 35Suasana makan malam terasa hangat dan intim. Nadiya yang mulai buka suara menyahuti obrolan ibunya membuat suasana ruang makan makin terasa hidup.Dira tak sanggup menyembunyikan rasa bahagianya melihat Nadiya sudah kembali seperti semula. Paling tidak, ia bisa bernapas lega sebab terlepas dari rasa bersalah yang sejak kemarin membelenggu hatinya."Kalian menginaplah di sini sampai ibumu pulang. Kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini?" pinta Pak Yusuf setelah mereka menyelesaikan makan malamnya.Kehangatan yang terjalmin dalam keluarga itu membuat Pak Yusuf tak rela melepasnya begitu saja. Paling tidak, ia tahu bahwa kondisi rumah tangga anaknya masih baik-baik saja setelah apa yang terjadi kemarin."Iya. Lusa Ibu baru balik. Setidaknya menginaplah di sini semalam agar besok pagi kita bisa makan bersama lagi," sahut Bu Halimah. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya melihat sang putri sudah sampai di titik ini, dibawa pulang ke rumah suaminya dengan raut wajah yang sumr
Bab 34Mata Nadiya membelalak saat pintu itu tiba-tiba saja terbuka. Bagaimana tidak, ia baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk sebatas dada tanpa sempat menutupnya dengan apapun. Namun, Nadiya berusaha tetap tenang. Ia tak peduli pada sorot mata laki-laki yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya tanpa permisi."Ah maaf. Aku tak sengaja." Dira kembali menutup pintu kamarnya. Entah mengapa kali ini hatinya terasa berbeda. Seharusnya pemandangan seperti tadi adalah hal biasa bagi Dira. Akan tetapi, hubungan yang sedang canggung itu membuatnya jadi salah tingkah."Buruan ganti baju, kita berangkat ke rumah Papa setelah ini," teriak Dira dari luar kamar.Nadiya mengerutkan dahinya. "Rumah Papa? Mau apa dia?" batin Nadiya terusik. Akan tetapi, ia malas berdebat dan lebih menurut saja kemana Dira akan membawanya. Semangat hidupnya sudah padam sejam ucapan Dira yang menyakiti hatinya itu.Dira pun bersiap. Ia harus tampak rapi di depan orang tuanya. Tak bisa ia biarkan papanya berpi
Bab 33Dira terdiam di tempatnya. Matanya masih saja terpaku pada pintu yang sudah tertutup rapat di depannya. Sikap Nadiya itu, menimbulkan rasa yang tak nyaman di hati Dira.Langkah Kaki Dira kembali melaju menuju depan kompor. Ia menghidu aroma nasi goreng yang masih tersisa di dalam wajan. "Hmmm," ucap Dira sambil memejamkan matanya. Aroma nasi goreng itu terasa nikmat dan menggugah selera makannya. Perut yang semula sudah berteriak minta diisi, kini makin bersorak tak sabaran.Tangan Dira meraih piring yang ada di atas rak. Ia segera mengambil seporsi nasi goreng dan membawanya ke meja makan, tak peduli pada sikap bungkam Nadiya padanya.Dira makan dengan lahapnya. Ia butuh tenaga untuk kembali melakukan aktivitas. Ah tidak, bukan untuk melakukan aktivitas tapi lebih karena ia butuh tenaga untuk mengatasi kondisi yang serba canggung antara dirinya dengan sang istri.Bagaimana pun hubungan antara mereka saat ini, pernikahan harus tetap berjalan paling tidak sebulan atau dua bulan
Bab 32Suasana lorong kamar tiba-tiba saja terasa mencekam. Ayunan tangan Karina itu membuat suasana makin tak karuan. Nadiya, sudah bersiap dengan tangan yang melindungi wajahnya agar terhindar dari ayunan tangan itu. Namun, sudah beberapa saat menunggu, tangan itu tak juga menepi di wajah Nadiya. Ia pun memberanikan diri untuk membuka matanya.Betapa terkejutnya Nadiya saat melihat tangan kekar Dira mencekal tangan itu dan mengambang di udara. Rahang Dira mengeras, seolah tak terima dengan sikap kekasihnya itu."Mas!" sentak Karina keras. Ia menarik tangannya agar terlepas dari pegangan tangan sang kekasih."Jangan sentuh Nadiya! Dia baru saja kembali. Setidaknya, biarkan dia tenang dulu setelah apa yang terjadi padanya." Dira mengutarakan maksud tangannya mencekal tangan Karina, bukan karena ada rasa atau yang lainnya.Karina menatap wajah Dira nyalang. Ia tak menyangka kekasihnya bisa berbicara seperti itu padanya dan lebih membela istri yang notabene orang baru dalam hidup mere
Bab 31Mata Nadiya menyapu sekitar ruangan. Sebuah kamar hotel yang tak jauh beda dengan kamar yang disewakan Dira untuknya cukup nyaman dan membuat hatinya tenang, setidaknya untuk sementara ini ketika hatinya sedang tidak baik-baik saja."Apa kamu sudah lebih baik? Mau jalan-jalan? Lihat pemandangan di luar? Atau mau main air di pantai?" Kavi menyambut wajah Nadiya dengan rentetan pertanyaan."Aku sudah terlalu lama di sini, Mas. Mas Dira pasti ...." Ucapan Nadiya terhenti. Ia mendadak tak yakin dengan ucapannya sendiri. Apa benar lelaki itu mencarinya? Ah rasanya tak mungkin mengingat saat terakhir bertemu ucapan Dira membuatnya sakit hati."Kenapa? Kenapa dengan Dira?" Kavi menyahuti. Wajahnya tampak penasaran dengan respon wanita di depannya itu.Nadiya menghela napas dalam. Ia mendadak ragu dengan ucapannya sendiri. Apa mungkin lelaki itu akan mencarinya setelah menghilang beberapa hari? "Kamu rindu suamimu?" Kavi kembali bertanya. "Apa mau aku cari dia di hotelnya? Sebenarnya
Bab 30Dira berjalan menyusuri batu karang yang disekelilingnya terdapat garis polisi. Di sana, tempat kejadian naas itu, di mana sang istri dengan sengaja menceburkan diri ke dalam lautan. Tak peduli teriakan orang sekitar, perempuan itu melaju dengan yakin untuk tenggelam ke dasar segara."Beruntung seseorang langsung menceburkan dirinya ke dalam laut untuk membawa perempuan itu kembali. Kalau tidak ada pemuda itu, pasti perempuan itu sudah tenggelam," papar seorang pedagang yang menjadi sasaran Dira meluapkan rasa penasarannya.Dira terdiam memikirkan nasib Nadiya, yang mungkin adalah orang yang dimaksud dari cerita pedagang di sekitar pantai. Tidak ada yang tahu identitas korban tapi berdasarkan cerita, saat kejadian itu adalah sehari setelah Dira berjumpa dengan Nadiya di ambang pintu kamarnya."Apa itu kerabat Bapak?" tanya pedagang itu lagi. Wajah Dira membuatnya mengerutkan dahi, menebak apa yang sedang ada di dalam kepala lelaki di depannya.Dira membelalakkan matanya. Lalu,