Bab 6
"Sayang kapan balik?" rengek suara diujung panggilan. Hal itu membuat Dira makin merasa bersalah sebab harus meninggalkan kekasihnya lebih lama lagi. "Maafkan aku. Sepertinya aku belum bisa balik sekarang. Kamu sabar, ya? Setelah aku kembali, kamu boleh belanja apapun yang kamu mau. Aku janji." Dira berusaha mengambil hati Karina, kekasihnya. "Kamu kan sudah janji cuma sebentar di sana?!" rengek Karina lagi. Nada suara yang dibuat semanja mungkin membuat lawan bicaranya tak mampu berkutik. "Iya. Maafkan aku. Bapaknya baru saja meninggal pas malam pernikahan kami. Aku ngga boleh kembali sama Papa. Jadi aku harap kamu mengerti posisiku," balas Dira penuh penyesalan. "Tapi kamu janji kan, ngga sentuh dia? Kamu cuma milikku!" sentak Karina lagi. Nada bicara yang manja tak lepas dari bibirnya yang dibalut dengan lip mate warna baby pink. "Enggak, Sayang. Aku ngga sentuh dia. Aku kan sudah janji sama kamu. Masak kamu ngga percaya?" ucap Dira dengan suara tertahan. Posisinya yang sedang di teras rumah membuat suaranya tak bisa bebas. Ia harus berjaga-jaga agar tak ada yang mendengar pembicaraannya dengan sang kekasih. "Beneran ya?! Awas kamu sampai berani sentuh dia!" "Enggak! Kapan aku pernah ingkar janji!" "Sekarang! Kemarin kamu janji mau lamar aku tapi nyatanya kamu malah nikah sama perempuan lain!" "Astaga Sayang. Ini diluar kemauanku. Kamu paham kan?" "Iya iya!" Tanpa Dira tahu, di balik pintu ruang tamu seseorang mendengar pembicaraannya. Tanpa tahu jawaban dari ujung panggilan, seseorang itu tahu kemana arah pembicaraan mereka. Wanita paruh baya yang mendengar obrolan Dira itu segera berjalan menuju kamarnya. Ia terdiam sambil menunduk, memikirkan nasib putrinya yang sepertinya tidak seberuntung dirinya saat pertama kali mendapatkan gelar sebagai seorang istri dulu. "Ada yang dirahasiakan suamimu," ucap Halimah setelah berhasil memanggil Nadiya ke kamarnya. Nadiya tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup lawan bicaranya tahu untuk segera melanjutkan pembicaraannya. "Dia punya kekasih." "Lalu?" Nadiya tak bersemangat. "Nak, kamu sudah jadi istrinya. Kamu berhak atas diri suamimu ketimbang wanita itu yang hanya sebagai kekasih." Halimah memindai wajah putrinya yang masih di balut kesedihan. "Berusahalah menjadi istri yang baik untuknya. Rebut hatinya dari rasanya untuk kekasihnya itu," sambung Halimah berusaha menyemangati putrinya. "Nadiya tak tahu harus memulainya dari mana, Bu. Mas Dira tak pernah mengajakku bicara. Dia hanya diam sambil memegang ponselnya saat di kamar." "Kalau dia diam, berarti kamu yang harus aktif. Dekati dia, tawarkan apapun yang seharusnya dilakukan sang istri. Jangan menunggu dia yang mengajak bicara." Nadiya menghela napas dalam. Melihat wajah sang suami saja kadang nyalinya menciut. Apalagi harus memulai mengajaknya bicara. "Jangan takut. Semuanya tidak semengerikan yang ada dalam pikiranmu," ucap Bu Halimah seolah tahu apa yang sedang dirasakan oleh putrinya. "Nadiya tidak pernah ada di posisi ini sebelumnya. Jadi Nadiya masih belum tahu harus bagaimana." "Lakukan saja tugasmu sebagai istri. Layani dia, penuhi semua kebutuhannya agar dia tahu bahwa kamu adalah istri yang baik. Tidak hanya di sini, ketika kalian kembali ke kota juga kamu harus begitu." Nadiya diam seraya mencerna ucapan ibunya. Meskipun terdengar mengerikan, tapi ia harus tetap mencobanya. Dira sudah terlelap saat Nadiya kembali ke kamarnya. Tidak seperti malam kemarin, Dira tidur di atas ranjang. Merasa mendapatkan kesempatan, Nadiya pun bergegas naik ke atas ranjang dengan hati-hati agar tidak membangunkan sang suami. Dada Nadiya berdebar. Bukan debar karena hendak menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Tapi berdebar karena khawatir terjadi penolakan dari lelaki yang sedang memejamkan mata di sebelahnya. Nadiya menatap langit-langit kamar. Betapa miris nasibnya. Seharusnya malam pertama sebagai pasangan suami istri adalah mereguk surga dunia bersama-sama dengan penuh cinta. Tapi yang didapatnya malah malam yang mencekam. Dira yang merasakan ada sebuah gerakan di sebelahnya segera membuka mata. Ia merasa harus menepati janjinya pada sang kekasih. Ia pun segera bangkit dari tempat tidur untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dira duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Ia menatap wajah wanita yang sedang tidur itu. Tak dapat dipungkiri bahwa wanita yang tidur di depannya itu terlihat cantik natural. Tanpa mekap yang menempel di wajahnya, wanita itu sudah terlihat ayu. Sayangnya, cintanya yang besar untuk Karina membuat Dira menutup mata dari wanita yang ada di depannya itu. Nadiya sedikit kecewa saat matanya terbuka tapi tak didapatinya sang suami di sisi. Matanya segera menoleh ke samping, di mana terdapat kursi yang ada di sudut ruangan. Benar saja, Dira terlelap di sana. Ucapan Bu Halimah kembali terngiang di kepala Nadiya. Ia tak boleh putus asa. Sebagai seorang istri, ia harus berusaha mendekati sang suami untuk mendapatkan hatinya. "Mas, sholat Subuh, yuk?" ajak Nadiya setelah mengusap lengan suaminya. Suara yang lirih serta usapan yang lembut cukup mampu mengusik tidur lelaki yang sedang kalut itu. Mata Dira mengerjap, mengumpulkan kesadaran yang baru saja datang menghampiri. Tangan kanan lelaki itu tergerak ke wajah untuk mengusapnya. "Kamu saja duluan," ucap Dira asal. Ia kembali memejamkan matanya untuk menghindari kontak mata dengan wanita di depannya. Nadiya menghela napas panjang. "Sabar Nadiya," lirihnya sambil mengusap dada. Ia lantas berjalan menuju sajadah yang sudah digelar untuk salat seorang diri. Sebuah koper yang teronggok di dekat lemari mencuri perhatian Nadiya. Ia harus melakukan sesuatu untuk mulai mengambil hati sang suami. "Sebaiknya kutata saja bajunya sebagai bentuk baktiku padanya," lirih Nadiya. Ia lantas mengosongkan satu rak untuk dipenuhi dengan pakaian milik lelaki yang sedang terlelap di kursi itu. Ada beberapa barang pribadi milik Dira yang ada dalam koper dan dimasukkan ke dalam tas kecil. Akan tetapi, Nadiya tidak kepo dengan apapun isi koper itu. Ia hanya menata baju di dalam lemari tanpa ingin tahu benda yang ada dalam tas itu. Saat tangan Nadiya sibuk menata baju, mata Dira terbuka. Kelopak yang baru saja terbuka itu makin melebar manakala melihat kopernya ada di hadapan Nadiya dengan posisi terbuka. "Apa yang kamu lakukan dengan koperku?" ucap Dira yang seketika membuat Nadiya terkaget.Bab 7Nadiya terperanjat saat melihat sang suami terbangun dari tidurnya. Ia refleks meletakkan baju yang semula dipegangnya ke dalam koper."Kamu apakan koperku?" tanya Dira ketus. Sorot matanya tajam, seperti Elang menemukan mangsanya."Aku ... Aku hanya sedang merapikan pakaianmu, Mas. Sejak kemarin masih di dalam koper. Aku hanya menatanya di dalam lemari agar kamu mudah saat mengambil baju nanti," jawab Nadiya takut-takut. Ia tak berani menatap lawan bicaranya.Dira berdiri dari duduknya. Ia berjalan menghampiri sang istri yang sedang berdiri menunduk sebab rasa takut yang mendera."Apa kamu tidak punya mulut untuk meminta izin padaku sebelum membukanya?" Tak ada keramahan sedikitpun dari ucapan lelaki yang baru saja bangun tidur itu."Maaf, Mas. Aku salah," jawab Nadiya takut-takut.Tanpa permisi, Dira membuka lemari yang ada di hadapan Nadiya. Ia melihat beberapa barang pribadi yang sudah berpindah tempat ke dalamnya. Mata Dira membelalak saat melihat tas berisi pakaian dalam s
Bab 8Sarah mendatangi Kavi di kafe miliknya. Tanpa permisi, Sarah masuk ke dalam ruangannya dan langsung duduk di kursi depan meja kerjanya."Bisa permisi dulu ngga sih sebelum masuk?" sembur Kavi setelah Sarah duduk di kursi itu. Ia menatap perempuan yang baru saja duduk itu dengan mata melotot tajam.Rasa kesal bercampur benci tak lagi dapat ditutupi dari wajah Kavi. Ia muak dengan perempuan di depannya yang menurutnya sudah keterlaluan itu."Maaf. Aku terlalu bersemangat untuk berjumpa denganmu. Kapan kita akan menikah?" tanya Sarah tak peduli pada wajah yang sedang memerah di depannya."Kamu pikir menikah itu semudah membalikkan telapak tangan?" Lagi, mata Kavi kembali melotot tajam melihat perempuan di depannya."Santai dong! Jangan melotot gitu. Kan aku jadi takut," balas Sarah manja. Ia tak peduli emosi yang sedang membara di wajah lelaki di depannya itu."Gimana bisa santai kalau kamu tega sama aku! Meskipun kamu punya foto itu, aku tetap tidak yakin anak yang kamu kandung it
Bab 9Kavi membawa mobilnya dengan kecepatan kencang. Ia tak dapat menyembunyikan rasa takutnya atas dampak dari apa yang dilakukannya pada Sarah. Sesekali matanya melirik wanita yang sedang meringis di kursi samping. Bagaimanapun perasaan bencinya terhadap wanita itu, ia masih punya hati untuk menolong sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama."Sakit, Mas," lirih Sarah sambil memegang perutnya yang terasa nyeri."Sabar. Sebentar lagi sampai," balas Kavi tanpa menoleh. Ia harus fokus pada jalan raya yang padat. Ia pun menambah kecepatan mobilnya agar bisa segera sampai di rumah sakit."Semoga tidak terjadi apapun dengan anak kita," lirih Sarah ditengah rasa nyeri yang dirasakannya. Tangannya tak lepas dari perut yang masih rata itu.Setibanya di rumah sakit, dokter segera memeriksa kondisi Sarah. Beberapa petugas kesehatan turut bergabung bersama dokter jaga. Sementara Kavi hanya menunggu di luar tanpa berani menghubungi siapapun."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Kavi saat matanya
Bab 10Bu Halimah membelalakkan matanya saat melihat laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya. Ia berkacak pinggang dengan dagu terangkat ke atas. "Mau apa lagi? Hah?" cecarnya penuh emosi.Kavi berusaha tenang. Ia menyadari kesalahannya cukup besar sehingga tak salah jika Bu Halimah memberikan respon demikian."Saya ingin berjumpa dengan Nadiya, Bu. Ada yang ingin saya bicarakab. Tolong izinkan," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada respon mantan calon mertuanya itu."Antara kalian sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa kalian bahas. Nadiya sudah bahagia dengan suaminya, sebaiknya kamu pergi dari sini!" usir Bu Halimah lantang."Tidak, Bu. Saya masih harus minta maaf pada Nadiya. Tolong izinkan saya," balas Kavi lagi.Mendengar keributan di ruang tamu, Nadiya akhirnya keluar dari dalam kamarnya. Ia memberikan respon yang sama dengan ibunya. "Ada apa lagi Mas datang kemari?" "Dek, Mas mau bicara denganmu. Tolong izinkan, sebentar saja," ucap Kavi memohon. Ia tak peduli pada pen
Bab 11Nadiya melangkah dengan ragu menuju ranjang kamarnya. Ia khawatir pertemuannya dengan Kavi memantik amarah dalam diri sang suami. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi hari ini," ucap Nadiya ragu-ragu. Ia berdiri dengan gelisah di dekat ranjang tempat sang suami terbaring.Dira yang sedang memainkan ponselnya terpaksa menghentikan aktifitasnya itu. Ia mengangkat wajah hingga pandangannya dan sang istri beradu."Tak masalah. Aku hanya tak mau kamu ikut denganku dan meninggalkan masalah di sini. Aku mau semuanya selesai saat ini." Tidak ada keramahan dalam ucapan Dira. Tak hanya dalam ucapan, sorot wajahnya pun datar. Tanpa ekspresi."Semuanya sudah selesai. Tidak ada masalah antara kami lagi." Nadiya kembali menjelaskan."Baiklah. Aku mau kita pulang besok." Dira berucap dengan entengnya. Sengaja.Mata Nadiya membola. Apa yang diucapkan Dira itu tidak sesuai dengan apa yang diucapkan papanya sebelum pulang. "Tapi, Mas, Papa bilang Mas masih harus di sini sampai sebulan. Mengap
Bab 12"Beri aku waktu selama sebulan ini untuk menjadi istrimu seutuhnya la-""Apa maksudmu menjadi istriku seutuhnya?" sahut Dira memotong ucapan Nadiya. "Maksudmu kamu menuntutku untuk memberikan nafkah secara lahir batin begitu?" sambung Dira dengan satu sudut bibir terangkat ke atas.Bibir Nadiya tersungging miring. Ucapan Dira itu terlalu berlebihan. "Aku tidak serendah itu dengan memintah nafkah batin dari laki-laki yang belum mencintaiku,' sergah Nadiya tak setuju dengan ucapan suaminya."Lalu?" Mata Dira memicing."Biarkan aku melayanimu layaknya seorang istri. Kasarnya kita kenalan dan kamu tidak boleh protes atas perlakuanku padamu yang layaknya seorang istri itu. Setelah sebulan dan dirasa kamu tidak menaruh hati padaku, kita bisa selesaikan ini baik-baik."Dira terdiam untuk mencerna ucapan Nadiya. Tawaran yang tidak buruk untuk mereka yang sama-sama terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.Sedangkan Nadiya, berbanding terbalik dengan Dira yang hanya menganggap pernikahan i
Bab 13Kesepakatan yang terjadi antara dirinya dan sang suami tak disia-siakan oleh Nadiya. Ia sengaja menjadikan itu sebagai alat untuk mengikat agar tahu lebih dalam tentang bagaimana karakter sang suami."Mas, yuk salat?" ajak Nadiya saat adzan Magrib berkumandang.Dira yang sedang sibuk dengan ponselnya tak menggubris ajakan sang istri. Matanya sibuk menekuri layar yang sedang menyala itu."Mas," panggil Nadiya lagi.Dira baru mengangkat wajah saat sang istri sudah berdiri di hadapannya. "Apa?""Yuk salat? Kita salat bareng," balas Nadiya kemudian.Dira kembali menatap layar ponsel, tak mempedulikan ucapan sang istri. Tak mau terus memaksa, Nadiya pun berjalan meninggalkan Dira di tempatnya."Kalau mau salat ya salat aja sendiri, ngga usah ajak-ajak kayak mereka yang menikah beneran!" omel Dira saat Nadiya sudah tidak lagi ada di hadapannya.Telinga Nadiya terusik dengan ucapan Dira. Ia lantas menoleh ke arah sang suami. "Kalau bukan menikah beneran lalu kita menikah apa? Surat n
Bab 14Hari baru dengan status dan kehidupan baru sedang dijalani oleh Sarah dan Kavi. Babak baru dengan tanggung jawab baru harus diemban keduanya. Meskipun terasa berat, mereka tak mampu mengelak dari keadaan yang menyiksa ini.Sarah boleh merasa lega sebab janin dalam kandungannya itu kini sudah berbapak. Meskipun seharusnya tidak sah secara agama, tapi pernikahan itu cukup membuatnya bisa tinggal di kediaman Bu Aisyah, sesuai dengan apa yang diinginkan selama ini.Sayangnya, apa yang dirasakan oleh Sarah itu berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Kavi. Rumah yang dulunya memberikan kenyamanan, beberapa hari ini berubah bak onak yang penuh dengan duri. Wajahnya selalu tertekuk manakala masuk ke dalam kamar yang biasanya menjadi tempat ternyaman.Ya, Sarah sudah tinggal dan berada di kamar Kavi saat ini. Wanita yang mengaku hamil anak Kavi itu bisa tidur dengan nyenyak di kasur berukuran sedang miliknya, tak peduli bagaimana perasaan sang empunya tempat tidur."Mas," pan
Bab 37Dira terdiam ditempatnya duduk. Tatapannya menerawang jauh. Wajah itu, wajah yang ketika pertama menikah kerap mencari perhatiannya, kini mendadak abai setelah ia tak sengaja menyentuhnya."Sebenarnya aku juga tak ingin ada resepsi itu, tapi rasanya Papa akan marah jika aku yang menolaknya. Lebih baik kamu yang bicara pada Papa untuk menolak acara itu."Nadiya mengangkat wajahnya. Ia menatap Dira dengan tatapan malas. "Bicara sendiri. Mas punya mulut kan?" jawab Nadiya ketus."Papa tak akan bisa menerima jika aku yang menolak. Akan beda jawaban kalau kamu yang bilang. Tolong lah, Nad. Sekali ini saja.""Baiklah. Aku tidak janji. Akan kuusahakan semampuku tapi jangan terlalu berharap sebab aku malas berdebat dengan mereka. Kalau Mas mau, nanti ketika aku bicara, Mas yang menimpali."Dira mengangguk setuju. "Baiklah, aku setuju.""Oh iya. Aku mau tanya," ucap Dira takut-takut. Ia menatap lekat wajah Nadiya yang rasanya mulai bersahabat itu.Nadiya diam saja. Pandangannya sesekali
Bab 36Dira terdiam sambil menggenggam tangannya erat. Ia tahu sekarang bahwa semua yang terjadi di Bali adalah ulah kekasihnya. Bagaimana pun yang terjadi sekarang, tak seharusnya Karina berbuat demikian sebab akan menimbulkan masalah baru bagi keduanya.Kaki Dira melangkah dengan lebar menuju mobilnya. Ia tak bisa bicara dengan Karina di dalam rumah. Jika seisi rumah mendengar obrolannya dengan sang kekasih maka masalah baru akan kembali timbul."Iya, Sayang? Kenapa? Mau ketemuan?" jawab suara diujung setelah panggilan terhubung."Apa benar kamu yang memberikan minuman itu? Apa tujuan kamu memberi aku minuman yang sudah dicampur obat perangsang? Kamu sengaja membuat semua ini terjadi?" tanya Dira tanpa tedeng aling-aling. Napasnya menderu, sesuai dengan isi hatinya yang sedang meletup-letup."Kamu bicara apa sih!" sembur Karina pura-pura tak paham."Kejadian di Bali itu, apa benar kamu yang merencanakannya?" Dira mengulangi pertanyaannya."Kejadian apa sih!" Lagi, Karina pura-pura.
Bab 35Suasana makan malam terasa hangat dan intim. Nadiya yang mulai buka suara menyahuti obrolan ibunya membuat suasana ruang makan makin terasa hidup.Dira tak sanggup menyembunyikan rasa bahagianya melihat Nadiya sudah kembali seperti semula. Paling tidak, ia bisa bernapas lega sebab terlepas dari rasa bersalah yang sejak kemarin membelenggu hatinya."Kalian menginaplah di sini sampai ibumu pulang. Kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini?" pinta Pak Yusuf setelah mereka menyelesaikan makan malamnya.Kehangatan yang terjalmin dalam keluarga itu membuat Pak Yusuf tak rela melepasnya begitu saja. Paling tidak, ia tahu bahwa kondisi rumah tangga anaknya masih baik-baik saja setelah apa yang terjadi kemarin."Iya. Lusa Ibu baru balik. Setidaknya menginaplah di sini semalam agar besok pagi kita bisa makan bersama lagi," sahut Bu Halimah. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya melihat sang putri sudah sampai di titik ini, dibawa pulang ke rumah suaminya dengan raut wajah yang sumr
Bab 34Mata Nadiya membelalak saat pintu itu tiba-tiba saja terbuka. Bagaimana tidak, ia baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk sebatas dada tanpa sempat menutupnya dengan apapun. Namun, Nadiya berusaha tetap tenang. Ia tak peduli pada sorot mata laki-laki yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya tanpa permisi."Ah maaf. Aku tak sengaja." Dira kembali menutup pintu kamarnya. Entah mengapa kali ini hatinya terasa berbeda. Seharusnya pemandangan seperti tadi adalah hal biasa bagi Dira. Akan tetapi, hubungan yang sedang canggung itu membuatnya jadi salah tingkah."Buruan ganti baju, kita berangkat ke rumah Papa setelah ini," teriak Dira dari luar kamar.Nadiya mengerutkan dahinya. "Rumah Papa? Mau apa dia?" batin Nadiya terusik. Akan tetapi, ia malas berdebat dan lebih menurut saja kemana Dira akan membawanya. Semangat hidupnya sudah padam sejam ucapan Dira yang menyakiti hatinya itu.Dira pun bersiap. Ia harus tampak rapi di depan orang tuanya. Tak bisa ia biarkan papanya berpi
Bab 33Dira terdiam di tempatnya. Matanya masih saja terpaku pada pintu yang sudah tertutup rapat di depannya. Sikap Nadiya itu, menimbulkan rasa yang tak nyaman di hati Dira.Langkah Kaki Dira kembali melaju menuju depan kompor. Ia menghidu aroma nasi goreng yang masih tersisa di dalam wajan. "Hmmm," ucap Dira sambil memejamkan matanya. Aroma nasi goreng itu terasa nikmat dan menggugah selera makannya. Perut yang semula sudah berteriak minta diisi, kini makin bersorak tak sabaran.Tangan Dira meraih piring yang ada di atas rak. Ia segera mengambil seporsi nasi goreng dan membawanya ke meja makan, tak peduli pada sikap bungkam Nadiya padanya.Dira makan dengan lahapnya. Ia butuh tenaga untuk kembali melakukan aktivitas. Ah tidak, bukan untuk melakukan aktivitas tapi lebih karena ia butuh tenaga untuk mengatasi kondisi yang serba canggung antara dirinya dengan sang istri.Bagaimana pun hubungan antara mereka saat ini, pernikahan harus tetap berjalan paling tidak sebulan atau dua bulan
Bab 32Suasana lorong kamar tiba-tiba saja terasa mencekam. Ayunan tangan Karina itu membuat suasana makin tak karuan. Nadiya, sudah bersiap dengan tangan yang melindungi wajahnya agar terhindar dari ayunan tangan itu. Namun, sudah beberapa saat menunggu, tangan itu tak juga menepi di wajah Nadiya. Ia pun memberanikan diri untuk membuka matanya.Betapa terkejutnya Nadiya saat melihat tangan kekar Dira mencekal tangan itu dan mengambang di udara. Rahang Dira mengeras, seolah tak terima dengan sikap kekasihnya itu."Mas!" sentak Karina keras. Ia menarik tangannya agar terlepas dari pegangan tangan sang kekasih."Jangan sentuh Nadiya! Dia baru saja kembali. Setidaknya, biarkan dia tenang dulu setelah apa yang terjadi padanya." Dira mengutarakan maksud tangannya mencekal tangan Karina, bukan karena ada rasa atau yang lainnya.Karina menatap wajah Dira nyalang. Ia tak menyangka kekasihnya bisa berbicara seperti itu padanya dan lebih membela istri yang notabene orang baru dalam hidup mere
Bab 31Mata Nadiya menyapu sekitar ruangan. Sebuah kamar hotel yang tak jauh beda dengan kamar yang disewakan Dira untuknya cukup nyaman dan membuat hatinya tenang, setidaknya untuk sementara ini ketika hatinya sedang tidak baik-baik saja."Apa kamu sudah lebih baik? Mau jalan-jalan? Lihat pemandangan di luar? Atau mau main air di pantai?" Kavi menyambut wajah Nadiya dengan rentetan pertanyaan."Aku sudah terlalu lama di sini, Mas. Mas Dira pasti ...." Ucapan Nadiya terhenti. Ia mendadak tak yakin dengan ucapannya sendiri. Apa benar lelaki itu mencarinya? Ah rasanya tak mungkin mengingat saat terakhir bertemu ucapan Dira membuatnya sakit hati."Kenapa? Kenapa dengan Dira?" Kavi menyahuti. Wajahnya tampak penasaran dengan respon wanita di depannya itu.Nadiya menghela napas dalam. Ia mendadak ragu dengan ucapannya sendiri. Apa mungkin lelaki itu akan mencarinya setelah menghilang beberapa hari? "Kamu rindu suamimu?" Kavi kembali bertanya. "Apa mau aku cari dia di hotelnya? Sebenarnya
Bab 30Dira berjalan menyusuri batu karang yang disekelilingnya terdapat garis polisi. Di sana, tempat kejadian naas itu, di mana sang istri dengan sengaja menceburkan diri ke dalam lautan. Tak peduli teriakan orang sekitar, perempuan itu melaju dengan yakin untuk tenggelam ke dasar segara."Beruntung seseorang langsung menceburkan dirinya ke dalam laut untuk membawa perempuan itu kembali. Kalau tidak ada pemuda itu, pasti perempuan itu sudah tenggelam," papar seorang pedagang yang menjadi sasaran Dira meluapkan rasa penasarannya.Dira terdiam memikirkan nasib Nadiya, yang mungkin adalah orang yang dimaksud dari cerita pedagang di sekitar pantai. Tidak ada yang tahu identitas korban tapi berdasarkan cerita, saat kejadian itu adalah sehari setelah Dira berjumpa dengan Nadiya di ambang pintu kamarnya."Apa itu kerabat Bapak?" tanya pedagang itu lagi. Wajah Dira membuatnya mengerutkan dahi, menebak apa yang sedang ada di dalam kepala lelaki di depannya.Dira membelalakkan matanya. Lalu,
Bab 29Pemandangan di luar kamar itu terasa menyakitkan untuknya. Laut lepas ditambah deburan ombak yang membuatnya trauma seolah semakin menenggelamkan hatinya ke dasar lautan. Sakit hati, merasa diabaikan dan tak dihargai setelah disentuh sedemikian rupa.Air matanya terus saja mengalir. Penyesalan yang dalam membuatnya enggan bangkit dari duduknya sejak kemarin. Kepalanya bertumpu di atas lutut yang ditekuk. Sesekali pandangannya terarah pada deburan ombak yang terus saja menari di atas segara. Hatinya lagi-lagi terpanggil untuk melangkah keluar, masuk ke dalam pusara air yang kedalamannya bisa melahap nyawanya."Seharusnya kamu tidak perlu menyelamatkanku. Seharusnya biarkan aku mati. Tak hanya pernikahanku yang gagal, kehormatanku pun rupanya tak ada harganya," lirihnya dengan air mata yang terus saja berurai."Aku tidak akan biarkan itu terjadi. Kalaupun kamu harus mati, paling tidak setelah semuanya kembali menjadi baik. Bukan pasrah dan larut dalam kesedihan seperti ini," ucap