Bab 15"Apa ini artinya kamu siap kuajak kembali ke rumahku?" tanya Kavi tepat di depan Nadiya. Gerakan tangan Nadiya terhenti. Urung membuka penutup koper, kepalanya menatap sumber suara di depannya. "Siap ngga siap memang aku akan ikut Mas ke Surabaya. Tapi bukan berarti sekarang. Aku hanya ingin membersihkan koper ini sebelum kugunakan untuk membawa baju-bajuku ke rumahmu."Dira melengos. Ia pergi begitu saja dari hadapan sang istri. Tak peduli bagaimana reaksi wanita itu, ia hanya sedang berusaha mengendalikan perasaannya sendiri.Janji yang kerap ditunaikan pada sang kekasih kembali lagi harus diingkari. Dira, tak tahu lagi harus merayu yang bagaimana agar hati sang kekasih luluh akibat pernikahannya."Buru-buru aja ke rumahmu. Kalau ngga ada wanita yang sedang nunggu kamu mungkin aku akan menyetujui permintaanmu. Tapi ada wanita lain, biar saja di sini lebih lama. Biar mereka ngga punya kesempatan untuk bertemu," gerutu Nadiya selepas kepergian Dira. Sejujurnya ada rasa kesal s
Bab 16Nadiya berjalan dengan tergesa menuju ruang tamu, tempat di mana sang suami sedang bersantai. Nihil. Tidak ada Dira di ruang tamu. Nadiya pun mencari sang suami di teras rumah saat telinganya mendengar suara orang sedang berbicara."Iya, Sayang. Aku janji akan pulang secepatnya. Sayangnya aku ngga tahu kapan itu. Kamu bisa habiskan waktumu buat jalan-jalan atau shopping ke mall. Kamu bisa beli apapun yang kamu mau dengan uang yang sudah ditransfer." Lirih suara Dira cukup jelas terdengar di telinga Nadiya.Hati perempuan yang baru saja menyandang gelar seorang istri itu pun terusik. Bagaimana bisa sang suami memberikan uang untuk kekasihnya sementara dirinya yang sebagai istri tidak diberikan sepeserpun. "Kamu jangan khawatir. Aku bisa jaga diri. Yang penting, kamu harus tahu kalau aku tetep cinta sama kamu apapun yang terjadi," ucap Dira lagi yang membuat Nadiya makin kebat kebit hatinya.Berbagai pikiran buruk kembali hadir dalam benak Nadiya. Berjauhan saja keduanya bisa s
Bab 17Beberapa barang belanjaan sudah masuk ke dalam troli yang didorong oleh Dira. Sedangkan Nadiya masih sibuk memilih barang lainnya pada lorong yang mereka lewati."Mas mau beli apa lagi, Mas? Barangkali ada yang mau dibeli," tawar Nadiya pada sang suami yang berjalan di belakangnya."Enggak. Ngga ada.""Mau dimasakin apa? Barangkali Mas kepengen makan apa gitu?" sambung Nadiya lagi. Ia tak putus asa untuk terus bertanya pada sang suami."Enggak. Apapun yang Ibu masak pasti kumakan." Dira menjawab dengan datar, mematahkan pertanyaan yang diharapkan Nadiya bisa kembali terlontar.Namun, Nadiya tak kehabisan akal. Ia terus mencari pertanyaan lain yang membuat keduanya terlibat obrolan lagi."Kalau aku yang masak, apa Mas juga akan memakannya?" sahut Nadiya lagi.Dira membalas pertanyaan Nadiya dengan tatapan datar. Sejurus kemudian, lelaki itu berlalu begitu saja meninggalkan Nadiya di tempatnya berdiri.Nadiya akhirnya kembali membalikkan badan. Helaan napas panjang keluar dari bi
Bab 18Nadiya masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Bibirnya diam, tapi kepalanya penuh dengan tanya. Setelah gagal memperpanjang acara jalan-jalannya dengan sang suami, kini ia kembali harus memikirkan cara yang kata ibunya harus lebih "agresif" mendekati sang suami."Agresif yanh bagaimana? Apa aku harus merayu Mas Dira? Berpakaian seksi di depannya? Atau? Aahhh," desis Nadiya frustasi. Karena pikirannya yang penuh itu, ia tak sadar kini langkahnya sudah sampai di ambang pintu.Kepala Nadiya mendongak, baru menyadari bahwa bibirnya yang sedang mengomel itu menjadi pusat perhatian sang suami."Kenapa?" tanya Dira tanpa ekspresi. Ia menghentikan aktivitas jarinya di atas layar untuk menatap wajah wanita yang sedang mengomel sendiri itu."Hehehe ... Enggak kok, Mas. Ngga apa-apa. Mas capek? Mau dipijitin?" tanya Nadiya spontan. Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam kepalanya.Dahi Dira mengerut. "Kenapa lagi kamu?" Nadiya buru-buru mendekat ke arah ranjang, dimana sang suami ten
Bab 19Dira berjalan tergesa menuju kamarnya. Ia harus bicara pada sang istri perihal acara bulan madu yang direncanakan orang tuanya. Meskipun tahu nahwa Nadiya pasti akan bersemangat dengan rencana itu, ia tak peduli akan hancurnya hati sang istri jika membawa serta Karina di sana. Bagi Dira, yang penting berangkat. Perihal bagaimana di sana itu urusan nanti. Apalagi soal perasaan Nadiya, ia seolah tak ambil pusing.Langkah Dira terhenti saat melihat wajah wanita yang telah sah menjadi istrinya sedang terlelap. Kecantikan yang terpancar dari raut yang sedang pulas itu tampak alami. Jauh berbeda dengan wajah sang kekasih yang selalu dibalut mekap tebal serta pakaian seksi yang selalu membungkus badannya.Bibir Dira tersungging miring. Tak dapat dipungkiri, wajah itu memang menarik. Bulu mata tebal nan lentik dengan alis lebat alami menambah pesona wanita itu. Wajah yang mulus dengan bibir penuh membuat wajahnya tampak sedap dipandang mata.Sayangnya, Dira buru-buru menampik isi hati
Bab 20Bu Wati tersenyum melihat ekspresi Nadiya yang seolah penuh dengan tanda tanya. Ia memaklumi jika yang ditanya tak paham sebab kiasan yang ia gunakan jauh berbeda dengan maksud pertanyaannya."Sudah berapa ronde belah durennya?" bisik Bu Wati lagi yang seketika membuat wajah Nadiya bersemu merah. Malu."Astaga Ibuuu, kirain apaan," jawab Nadiya sambil menutup bibirnya dengan kedua tangan."Yuk duduk dulu. Ibu panggilkan Kepala Sekolah," ucap Bu Wati lagi, tak menanggapi jawaban Nadiya sebab ia pun malu sendiri.Tangan Bu Wati menunjuk kursi panjang yang ada di sudut ruangan untuk mempersilahkan Nadiya dan suaminya duduk."Silahkan, Mas," ucap Bu Wati sambil menatap Dira yang sejak tadi hanya diam menyaksikan dua wanita beda usia saling melepas rindu."Yuk Mas," ajak Nadiya. Ia tak mau duduk sebelum sang suami duduk lebih dulu.Dira melangkah dengan malas menuju kursi yang ditunjuk Nadiya. Pandangannya menyapu sekitar. Tangan yang semula dimasukkan ke dalam saku celana itu seger
Bab 21Nadiya merasa aneh sejak di dalam mobil hingga keduanya tiba di bandara. Untuk bertanya pun Nadiya sudah malas sebab dua kali mengajak bicara Dira hanya menjawab seadanya. Dira seolah sibuk dengan dunianya sendiri. Tak peduli ada wanita yang sejak tadi berusaha mengajaknya bicara agar tidak bosan selama perjalanan tapi ia tetap asik sendiri dengan ponselnya.Namun, ingatan Nadiya kembali terbayang apa yang diucapkan ibunya. "Jangan bosan untuk mengambil hati suamimu. Kalau dia ngga respon, terus pancing sampai dia mau peduli sama kamu. Namanya juga nikah karena terpaksa, harap maklum kalau dia agak kaku, apalagi dingin. Tetapi, sebagai istri kamu ngga boleh ikut ngga peduli juga. Dia sudah baik dengan mau membantu kita lepas dari rasa malu. Maka dari itu, kamu harus memberikan pelayanan terbaik agar dia tidak menyesal telah menikahimu."Nadiya menghela napas panjang. "Baiklah. Biar kucoba lagi," batinnya."Mas, tujuan kita kemana aja?" tanya Nadiya takut-takut. Takut kalau per
Bab 22Nadiya terhenyak seketika dengan tantangan yang diberikan Karina. Ia tiba-tiba saja meragu atas tantangannya itu. Akan tetapi, senyum meremehkan yang terpasang di wajah Karina kembali membuat nyalinya bangkit."Baiklah. Aku bisa laporkan kalian. Jadi jangan macam-macam." Nadiya berusaha menutupi kegugupannya."Apaan sih kalian!" sentak Dira cepat. Matanya menatap dua wajah cantik di depannya bergantian dengan tatapan tajam."Kamu pikir aku bodoh? Aku tidak mungkin memesan kamar hanya satu sementara kita bertiga!" sembur Dira lagi. Kali ini pandangannya berhenti tepat di depan wajah Nadiya, seolah sedang menegaskan kekhawatiran yang sempat muncul dalam dirinya.Karina dan Nadiya hanya mampu terdiam mendapati jawaban Dira yang mematahkan ancaman keduanya."Aku sudah memesan tiga kamar. Jadi kamu jangan berpikir yang aneh-aneh! Aku cukup tahu diri dan tahu batas." Lagi, Dira menyembur Nadiya dengan kalimatnya yang tegas dan penuh penekanan.Plong. Hati Nadiya merasa lega seketika.
Bab 38Bu Halimah kembali berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam. Hatinya senang sebab bisa membuat menu masakan untuk anak dan menantu serta besannya. Meskipun ada rasa sedih dalam hati sebab sang suami tak bisa mendampingi, tapi itu tak membuat kebahagiaannya berkurang.Bagaimana pun setiap manusia akan mati dan Bu Halimah tak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Selama hidupnya, ia sudah mengabdikan diri pada sang suami sehingga tak ada penyesalan disaat akhir pendamping hidupnya."Ibu kok ndak lihat suamimu, Nduk? Kemana dia?" tanya Bu Halimah saat sedang menyiapkan makanan ke atas meja makan.Nadiya yang ikut membantu hanya mengendikkan bahunya. "Entahlah. Tadi ngga bilang mau kemana," balas Nadiya seadanya karena memang tak tahu kemana sang suami pergi."Kamu itu, ya mbok kalau suami pergi ditanya dulu mau kemana. Masak ngga tahu kemana suaminya pergi." Bu Halimah kembali mengomel. "Mas Dira kan sudah besar, Bu. Ngga perlu selalu tanya dia mau kemana, nanti juga pulang s
Bab 37Dira terdiam ditempatnya duduk. Tatapannya menerawang jauh. Wajah itu, wajah yang ketika pertama menikah kerap mencari perhatiannya, kini mendadak abai setelah ia tak sengaja menyentuhnya."Sebenarnya aku juga tak ingin ada resepsi itu, tapi rasanya Papa akan marah jika aku yang menolaknya. Lebih baik kamu yang bicara pada Papa untuk menolak acara itu."Nadiya mengangkat wajahnya. Ia menatap Dira dengan tatapan malas. "Bicara sendiri. Mas punya mulut kan?" jawab Nadiya ketus."Papa tak akan bisa menerima jika aku yang menolak. Akan beda jawaban kalau kamu yang bilang. Tolong lah, Nad. Sekali ini saja.""Baiklah. Aku tidak janji. Akan kuusahakan semampuku tapi jangan terlalu berharap sebab aku malas berdebat dengan mereka. Kalau Mas mau, nanti ketika aku bicara, Mas yang menimpali."Dira mengangguk setuju. "Baiklah, aku setuju.""Oh iya. Aku mau tanya," ucap Dira takut-takut. Ia menatap lekat wajah Nadiya yang rasanya mulai bersahabat itu.Nadiya diam saja. Pandangannya sesekali
Bab 36Dira terdiam sambil menggenggam tangannya erat. Ia tahu sekarang bahwa semua yang terjadi di Bali adalah ulah kekasihnya. Bagaimana pun yang terjadi sekarang, tak seharusnya Karina berbuat demikian sebab akan menimbulkan masalah baru bagi keduanya.Kaki Dira melangkah dengan lebar menuju mobilnya. Ia tak bisa bicara dengan Karina di dalam rumah. Jika seisi rumah mendengar obrolannya dengan sang kekasih maka masalah baru akan kembali timbul."Iya, Sayang? Kenapa? Mau ketemuan?" jawab suara diujung setelah panggilan terhubung."Apa benar kamu yang memberikan minuman itu? Apa tujuan kamu memberi aku minuman yang sudah dicampur obat perangsang? Kamu sengaja membuat semua ini terjadi?" tanya Dira tanpa tedeng aling-aling. Napasnya menderu, sesuai dengan isi hatinya yang sedang meletup-letup."Kamu bicara apa sih!" sembur Karina pura-pura tak paham."Kejadian di Bali itu, apa benar kamu yang merencanakannya?" Dira mengulangi pertanyaannya."Kejadian apa sih!" Lagi, Karina pura-pura.
Bab 35Suasana makan malam terasa hangat dan intim. Nadiya yang mulai buka suara menyahuti obrolan ibunya membuat suasana ruang makan makin terasa hidup.Dira tak sanggup menyembunyikan rasa bahagianya melihat Nadiya sudah kembali seperti semula. Paling tidak, ia bisa bernapas lega sebab terlepas dari rasa bersalah yang sejak kemarin membelenggu hatinya."Kalian menginaplah di sini sampai ibumu pulang. Kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini?" pinta Pak Yusuf setelah mereka menyelesaikan makan malamnya.Kehangatan yang terjalmin dalam keluarga itu membuat Pak Yusuf tak rela melepasnya begitu saja. Paling tidak, ia tahu bahwa kondisi rumah tangga anaknya masih baik-baik saja setelah apa yang terjadi kemarin."Iya. Lusa Ibu baru balik. Setidaknya menginaplah di sini semalam agar besok pagi kita bisa makan bersama lagi," sahut Bu Halimah. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya melihat sang putri sudah sampai di titik ini, dibawa pulang ke rumah suaminya dengan raut wajah yang sumr
Bab 34Mata Nadiya membelalak saat pintu itu tiba-tiba saja terbuka. Bagaimana tidak, ia baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk sebatas dada tanpa sempat menutupnya dengan apapun. Namun, Nadiya berusaha tetap tenang. Ia tak peduli pada sorot mata laki-laki yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya tanpa permisi."Ah maaf. Aku tak sengaja." Dira kembali menutup pintu kamarnya. Entah mengapa kali ini hatinya terasa berbeda. Seharusnya pemandangan seperti tadi adalah hal biasa bagi Dira. Akan tetapi, hubungan yang sedang canggung itu membuatnya jadi salah tingkah."Buruan ganti baju, kita berangkat ke rumah Papa setelah ini," teriak Dira dari luar kamar.Nadiya mengerutkan dahinya. "Rumah Papa? Mau apa dia?" batin Nadiya terusik. Akan tetapi, ia malas berdebat dan lebih menurut saja kemana Dira akan membawanya. Semangat hidupnya sudah padam sejam ucapan Dira yang menyakiti hatinya itu.Dira pun bersiap. Ia harus tampak rapi di depan orang tuanya. Tak bisa ia biarkan papanya berpi
Bab 33Dira terdiam di tempatnya. Matanya masih saja terpaku pada pintu yang sudah tertutup rapat di depannya. Sikap Nadiya itu, menimbulkan rasa yang tak nyaman di hati Dira.Langkah Kaki Dira kembali melaju menuju depan kompor. Ia menghidu aroma nasi goreng yang masih tersisa di dalam wajan. "Hmmm," ucap Dira sambil memejamkan matanya. Aroma nasi goreng itu terasa nikmat dan menggugah selera makannya. Perut yang semula sudah berteriak minta diisi, kini makin bersorak tak sabaran.Tangan Dira meraih piring yang ada di atas rak. Ia segera mengambil seporsi nasi goreng dan membawanya ke meja makan, tak peduli pada sikap bungkam Nadiya padanya.Dira makan dengan lahapnya. Ia butuh tenaga untuk kembali melakukan aktivitas. Ah tidak, bukan untuk melakukan aktivitas tapi lebih karena ia butuh tenaga untuk mengatasi kondisi yang serba canggung antara dirinya dengan sang istri.Bagaimana pun hubungan antara mereka saat ini, pernikahan harus tetap berjalan paling tidak sebulan atau dua bulan
Bab 32Suasana lorong kamar tiba-tiba saja terasa mencekam. Ayunan tangan Karina itu membuat suasana makin tak karuan. Nadiya, sudah bersiap dengan tangan yang melindungi wajahnya agar terhindar dari ayunan tangan itu. Namun, sudah beberapa saat menunggu, tangan itu tak juga menepi di wajah Nadiya. Ia pun memberanikan diri untuk membuka matanya.Betapa terkejutnya Nadiya saat melihat tangan kekar Dira mencekal tangan itu dan mengambang di udara. Rahang Dira mengeras, seolah tak terima dengan sikap kekasihnya itu."Mas!" sentak Karina keras. Ia menarik tangannya agar terlepas dari pegangan tangan sang kekasih."Jangan sentuh Nadiya! Dia baru saja kembali. Setidaknya, biarkan dia tenang dulu setelah apa yang terjadi padanya." Dira mengutarakan maksud tangannya mencekal tangan Karina, bukan karena ada rasa atau yang lainnya.Karina menatap wajah Dira nyalang. Ia tak menyangka kekasihnya bisa berbicara seperti itu padanya dan lebih membela istri yang notabene orang baru dalam hidup mere
Bab 31Mata Nadiya menyapu sekitar ruangan. Sebuah kamar hotel yang tak jauh beda dengan kamar yang disewakan Dira untuknya cukup nyaman dan membuat hatinya tenang, setidaknya untuk sementara ini ketika hatinya sedang tidak baik-baik saja."Apa kamu sudah lebih baik? Mau jalan-jalan? Lihat pemandangan di luar? Atau mau main air di pantai?" Kavi menyambut wajah Nadiya dengan rentetan pertanyaan."Aku sudah terlalu lama di sini, Mas. Mas Dira pasti ...." Ucapan Nadiya terhenti. Ia mendadak tak yakin dengan ucapannya sendiri. Apa benar lelaki itu mencarinya? Ah rasanya tak mungkin mengingat saat terakhir bertemu ucapan Dira membuatnya sakit hati."Kenapa? Kenapa dengan Dira?" Kavi menyahuti. Wajahnya tampak penasaran dengan respon wanita di depannya itu.Nadiya menghela napas dalam. Ia mendadak ragu dengan ucapannya sendiri. Apa mungkin lelaki itu akan mencarinya setelah menghilang beberapa hari? "Kamu rindu suamimu?" Kavi kembali bertanya. "Apa mau aku cari dia di hotelnya? Sebenarnya
Bab 30Dira berjalan menyusuri batu karang yang disekelilingnya terdapat garis polisi. Di sana, tempat kejadian naas itu, di mana sang istri dengan sengaja menceburkan diri ke dalam lautan. Tak peduli teriakan orang sekitar, perempuan itu melaju dengan yakin untuk tenggelam ke dasar segara."Beruntung seseorang langsung menceburkan dirinya ke dalam laut untuk membawa perempuan itu kembali. Kalau tidak ada pemuda itu, pasti perempuan itu sudah tenggelam," papar seorang pedagang yang menjadi sasaran Dira meluapkan rasa penasarannya.Dira terdiam memikirkan nasib Nadiya, yang mungkin adalah orang yang dimaksud dari cerita pedagang di sekitar pantai. Tidak ada yang tahu identitas korban tapi berdasarkan cerita, saat kejadian itu adalah sehari setelah Dira berjumpa dengan Nadiya di ambang pintu kamarnya."Apa itu kerabat Bapak?" tanya pedagang itu lagi. Wajah Dira membuatnya mengerutkan dahi, menebak apa yang sedang ada di dalam kepala lelaki di depannya.Dira membelalakkan matanya. Lalu,