Bab 20Bu Wati tersenyum melihat ekspresi Nadiya yang seolah penuh dengan tanda tanya. Ia memaklumi jika yang ditanya tak paham sebab kiasan yang ia gunakan jauh berbeda dengan maksud pertanyaannya."Sudah berapa ronde belah durennya?" bisik Bu Wati lagi yang seketika membuat wajah Nadiya bersemu merah. Malu."Astaga Ibuuu, kirain apaan," jawab Nadiya sambil menutup bibirnya dengan kedua tangan."Yuk duduk dulu. Ibu panggilkan Kepala Sekolah," ucap Bu Wati lagi, tak menanggapi jawaban Nadiya sebab ia pun malu sendiri.Tangan Bu Wati menunjuk kursi panjang yang ada di sudut ruangan untuk mempersilahkan Nadiya dan suaminya duduk."Silahkan, Mas," ucap Bu Wati sambil menatap Dira yang sejak tadi hanya diam menyaksikan dua wanita beda usia saling melepas rindu."Yuk Mas," ajak Nadiya. Ia tak mau duduk sebelum sang suami duduk lebih dulu.Dira melangkah dengan malas menuju kursi yang ditunjuk Nadiya. Pandangannya menyapu sekitar. Tangan yang semula dimasukkan ke dalam saku celana itu seger
Bab 21Nadiya merasa aneh sejak di dalam mobil hingga keduanya tiba di bandara. Untuk bertanya pun Nadiya sudah malas sebab dua kali mengajak bicara Dira hanya menjawab seadanya. Dira seolah sibuk dengan dunianya sendiri. Tak peduli ada wanita yang sejak tadi berusaha mengajaknya bicara agar tidak bosan selama perjalanan tapi ia tetap asik sendiri dengan ponselnya.Namun, ingatan Nadiya kembali terbayang apa yang diucapkan ibunya. "Jangan bosan untuk mengambil hati suamimu. Kalau dia ngga respon, terus pancing sampai dia mau peduli sama kamu. Namanya juga nikah karena terpaksa, harap maklum kalau dia agak kaku, apalagi dingin. Tetapi, sebagai istri kamu ngga boleh ikut ngga peduli juga. Dia sudah baik dengan mau membantu kita lepas dari rasa malu. Maka dari itu, kamu harus memberikan pelayanan terbaik agar dia tidak menyesal telah menikahimu."Nadiya menghela napas panjang. "Baiklah. Biar kucoba lagi," batinnya."Mas, tujuan kita kemana aja?" tanya Nadiya takut-takut. Takut kalau per
Bab 22Nadiya terhenyak seketika dengan tantangan yang diberikan Karina. Ia tiba-tiba saja meragu atas tantangannya itu. Akan tetapi, senyum meremehkan yang terpasang di wajah Karina kembali membuat nyalinya bangkit."Baiklah. Aku bisa laporkan kalian. Jadi jangan macam-macam." Nadiya berusaha menutupi kegugupannya."Apaan sih kalian!" sentak Dira cepat. Matanya menatap dua wajah cantik di depannya bergantian dengan tatapan tajam."Kamu pikir aku bodoh? Aku tidak mungkin memesan kamar hanya satu sementara kita bertiga!" sembur Dira lagi. Kali ini pandangannya berhenti tepat di depan wajah Nadiya, seolah sedang menegaskan kekhawatiran yang sempat muncul dalam dirinya.Karina dan Nadiya hanya mampu terdiam mendapati jawaban Dira yang mematahkan ancaman keduanya."Aku sudah memesan tiga kamar. Jadi kamu jangan berpikir yang aneh-aneh! Aku cukup tahu diri dan tahu batas." Lagi, Dira menyembur Nadiya dengan kalimatnya yang tegas dan penuh penekanan.Plong. Hati Nadiya merasa lega seketika.
Bab 23Karina tersenyum penuh arti sambil menatap segelas minuman yang ada di tangannya. Rencananya siap dieksekusi. Ia tak boleh gagal kali ini. Apapun resikonya, ia akan siap menerima agar bisa tetap bersama dengan sang kekasih.Langkah Karina terasa ringan menuju kamar Dira. Ia siap menyerahkan dirinya hari ini. Tak hanya cinta, apapun akan diberikannya untuk lelaki yang sangat dicintainya itu.Di depan pintu kamar Dira, Karina mengambil ponselnya. Ia mencari kontak sang kekasih dan segera menghubunginya. Sekali, dua kali hingga tiga kali menekan panggilan ulang barulah Dira mengangkat panggilannya itu."Sayang bukain pintunya, aku bawa sesuatu buat kamu," ucap Karina dalam sambungan telepon. "Hemm," jawab suara diujung panggilan.Dengan malas, Dira bangkit dari tidurnya untuk membukakan pintu. Matanya masih setengah memejam saat tangannya menarik gagang pintu demi memberi jalan sang kekasih untuk masuk ke ruangannya.Karina tersenyum senang saat mendapati wajah sang kekasih yang
Bab 24Nadiya tersenyum penuh kemenangan. Keadaanya kini, membuat semua orang tahu bahwa ada sesuatu yang sudah terjadi antara dirinya dengan sang suami, lelaki yang masih terlelap di atas ranjang itu. Badan Dira yang hanya terbungkus selimut, badan Nadiya yang hanya terbungkus handuk, serta pakaian yang masih tergeletak di atas lantai begitu saja menjadi bukti nyata atas kebahagiaan yang sudah mereka reguk bersama.Demikian dengan Karina. Dalam kepalanya sudah bisa menebak apa yang baru saja terjadi. Obat yang sudah dimasukkan ke dalam minuman Dira dengan maksud untuk membuat sang kekasih segera menyentuh dan menyemai benih di dalam rahimnya, tapi rupanya apa yang sudah direncanakan itu malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Hal itu membuatnya mendecih penuh emosi. Rencana Karina gagal karena ia terbuai dengan barang belanjaan yang membuatnya lupa akan rencana yang sudah disusunnya."Shitt!" umpat Karina kesal. Tapi umpatan itu cukup terdengar jelas di telinga Nadiya."Kamu m
Bab 25Nadiya mematut diri di depan cermin. Ia harus berhias untuk kembali menemui sang suami. Bayangan kegiatannya di atas ranjang tadi membuat wajah itu kadang tersenyum sendiri. Tak jarang semburat merah di kedua pipinya yang tirus."Makasih ya Allah. Tak perlu aku meminta, Mas Dira datang sendiri mengajakku. Makasih," ucap Nadiya dengan gelegak bahagia dalam dadanya. Ponsel Nadiya berdering saat tangannya sibuk memoles krim pemutih di wajahnya. Ia bergegas meraih ponsel yang tergeletak begitu saja di atas kasur."Assalamualaikum Ibu," ucap Nadiya penuh semangat. Ponsel itu mengarah ke wajahnya yang sedang tersenyum bahagia."Waalaikum salam. Anak Ibu senyum-senyum bahagia, pasti ada sesuatu yang sudah terjadi," jawab Bu Halimah turut mengulum senyum."Iya, Bu. Nadiya bahagia sekali," balas Nadiya lagi."Alhamdulillah. Ibu selalu berdoa untuk kebahagiaan kamu. Dira ngajak kencan ya?"Nadiya tak bisa menutupi semburat merah yang tercipta di wajahnya. Ada rasa malu bercampur bahagi
Bab 26Bu Halimah tak bisa menahan senyumnya. Ia merasa lega sebab sang putri terdengar bahagia di acara bulan madunya. Pernikahan yang dipaksakan, rupanya tak terlalu buruk. Harapan demi harapan teruntai sempurna di hatinya yang mulai merasa lega.Namun, hingga malam hari sang putri tak juga bisa ditelepon. Berulang kali panggilannya tersambung tapi tak kunjung diangkat. Hal itu membuat Bu Halimah mendadak gelisah.Berawal dari rasa gelisah, Bu Halimah tak dapat tidur dengan nyenyak. Seperti ada yang mengganjal dalam dadanya. Hal itu makin membuat tidurnya menjadi tak karuan. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya terus bekerja.Mimpi buruk pun menyapa Bu Halimah dan makin menambah rasa cemasnya terhadap sang putri. Tidak pernah dalam hidupnya ia berpisah jarak jauh seperti sekarang ini. Apalagi ditambah dengan kekhawatiran yang melanda hatinya.Tak bisa diam saja, Bu Halimah kembali menghubungi Pak Yusuf keesokan harinya untuk menyalurkan rasa gelisahnya. Berharap lelaki itu mampu
Bab 27Karina menatap wajah Dira dengan senyum meremehkan. Ia lantas berjalan menuju dinding kaca yang menampakkan pemandangan luar yang sayang untuk dilewatkan. Tangan Karina bersidekap, matanya menatap pemandangan di luar sebelum kembali terarah pada wajah lelaki di belakangnya."Kamu pikir dia anak kecil yang tidak bisa menggunakan mulutnya untuk bertanya? Banyak jalan untuk pulang jika dia ingin. Perempuan itu sudah dewasa, tak perlu kamu khawatirkan seperti itu," ucap Karina santai. "Tapi Sayang, aku suaminya. Aku tak bisa diam saja melihat dia tidak ada di kamarnya," sanggah Dira cepat."Ini masih semalam. Mungkin dia tertidur atau sedang menghabiskan waktu di tempat yang lain. Kamu jangan berpikiran buruk dulu," lanjut Karina lagi. Ia tak mau termakan kekhawatiran yang sedang dirasakan kekasihnya.Karina menatap wajah sang kekasih. Ia berangsur mendekat lalu melingkarkan tangannya di leher pria yang masih dicintainya itu, bermaksud untuk merayunya."Aku bisa membuatmu tenang.
Bab 37Dira terdiam ditempatnya duduk. Tatapannya menerawang jauh. Wajah itu, wajah yang ketika pertama menikah kerap mencari perhatiannya, kini mendadak abai setelah ia tak sengaja menyentuhnya."Sebenarnya aku juga tak ingin ada resepsi itu, tapi rasanya Papa akan marah jika aku yang menolaknya. Lebih baik kamu yang bicara pada Papa untuk menolak acara itu."Nadiya mengangkat wajahnya. Ia menatap Dira dengan tatapan malas. "Bicara sendiri. Mas punya mulut kan?" jawab Nadiya ketus."Papa tak akan bisa menerima jika aku yang menolak. Akan beda jawaban kalau kamu yang bilang. Tolong lah, Nad. Sekali ini saja.""Baiklah. Aku tidak janji. Akan kuusahakan semampuku tapi jangan terlalu berharap sebab aku malas berdebat dengan mereka. Kalau Mas mau, nanti ketika aku bicara, Mas yang menimpali."Dira mengangguk setuju. "Baiklah, aku setuju.""Oh iya. Aku mau tanya," ucap Dira takut-takut. Ia menatap lekat wajah Nadiya yang rasanya mulai bersahabat itu.Nadiya diam saja. Pandangannya sesekali
Bab 36Dira terdiam sambil menggenggam tangannya erat. Ia tahu sekarang bahwa semua yang terjadi di Bali adalah ulah kekasihnya. Bagaimana pun yang terjadi sekarang, tak seharusnya Karina berbuat demikian sebab akan menimbulkan masalah baru bagi keduanya.Kaki Dira melangkah dengan lebar menuju mobilnya. Ia tak bisa bicara dengan Karina di dalam rumah. Jika seisi rumah mendengar obrolannya dengan sang kekasih maka masalah baru akan kembali timbul."Iya, Sayang? Kenapa? Mau ketemuan?" jawab suara diujung setelah panggilan terhubung."Apa benar kamu yang memberikan minuman itu? Apa tujuan kamu memberi aku minuman yang sudah dicampur obat perangsang? Kamu sengaja membuat semua ini terjadi?" tanya Dira tanpa tedeng aling-aling. Napasnya menderu, sesuai dengan isi hatinya yang sedang meletup-letup."Kamu bicara apa sih!" sembur Karina pura-pura tak paham."Kejadian di Bali itu, apa benar kamu yang merencanakannya?" Dira mengulangi pertanyaannya."Kejadian apa sih!" Lagi, Karina pura-pura.
Bab 35Suasana makan malam terasa hangat dan intim. Nadiya yang mulai buka suara menyahuti obrolan ibunya membuat suasana ruang makan makin terasa hidup.Dira tak sanggup menyembunyikan rasa bahagianya melihat Nadiya sudah kembali seperti semula. Paling tidak, ia bisa bernapas lega sebab terlepas dari rasa bersalah yang sejak kemarin membelenggu hatinya."Kalian menginaplah di sini sampai ibumu pulang. Kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini?" pinta Pak Yusuf setelah mereka menyelesaikan makan malamnya.Kehangatan yang terjalmin dalam keluarga itu membuat Pak Yusuf tak rela melepasnya begitu saja. Paling tidak, ia tahu bahwa kondisi rumah tangga anaknya masih baik-baik saja setelah apa yang terjadi kemarin."Iya. Lusa Ibu baru balik. Setidaknya menginaplah di sini semalam agar besok pagi kita bisa makan bersama lagi," sahut Bu Halimah. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya melihat sang putri sudah sampai di titik ini, dibawa pulang ke rumah suaminya dengan raut wajah yang sumr
Bab 34Mata Nadiya membelalak saat pintu itu tiba-tiba saja terbuka. Bagaimana tidak, ia baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk sebatas dada tanpa sempat menutupnya dengan apapun. Namun, Nadiya berusaha tetap tenang. Ia tak peduli pada sorot mata laki-laki yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya tanpa permisi."Ah maaf. Aku tak sengaja." Dira kembali menutup pintu kamarnya. Entah mengapa kali ini hatinya terasa berbeda. Seharusnya pemandangan seperti tadi adalah hal biasa bagi Dira. Akan tetapi, hubungan yang sedang canggung itu membuatnya jadi salah tingkah."Buruan ganti baju, kita berangkat ke rumah Papa setelah ini," teriak Dira dari luar kamar.Nadiya mengerutkan dahinya. "Rumah Papa? Mau apa dia?" batin Nadiya terusik. Akan tetapi, ia malas berdebat dan lebih menurut saja kemana Dira akan membawanya. Semangat hidupnya sudah padam sejam ucapan Dira yang menyakiti hatinya itu.Dira pun bersiap. Ia harus tampak rapi di depan orang tuanya. Tak bisa ia biarkan papanya berpi
Bab 33Dira terdiam di tempatnya. Matanya masih saja terpaku pada pintu yang sudah tertutup rapat di depannya. Sikap Nadiya itu, menimbulkan rasa yang tak nyaman di hati Dira.Langkah Kaki Dira kembali melaju menuju depan kompor. Ia menghidu aroma nasi goreng yang masih tersisa di dalam wajan. "Hmmm," ucap Dira sambil memejamkan matanya. Aroma nasi goreng itu terasa nikmat dan menggugah selera makannya. Perut yang semula sudah berteriak minta diisi, kini makin bersorak tak sabaran.Tangan Dira meraih piring yang ada di atas rak. Ia segera mengambil seporsi nasi goreng dan membawanya ke meja makan, tak peduli pada sikap bungkam Nadiya padanya.Dira makan dengan lahapnya. Ia butuh tenaga untuk kembali melakukan aktivitas. Ah tidak, bukan untuk melakukan aktivitas tapi lebih karena ia butuh tenaga untuk mengatasi kondisi yang serba canggung antara dirinya dengan sang istri.Bagaimana pun hubungan antara mereka saat ini, pernikahan harus tetap berjalan paling tidak sebulan atau dua bulan
Bab 32Suasana lorong kamar tiba-tiba saja terasa mencekam. Ayunan tangan Karina itu membuat suasana makin tak karuan. Nadiya, sudah bersiap dengan tangan yang melindungi wajahnya agar terhindar dari ayunan tangan itu. Namun, sudah beberapa saat menunggu, tangan itu tak juga menepi di wajah Nadiya. Ia pun memberanikan diri untuk membuka matanya.Betapa terkejutnya Nadiya saat melihat tangan kekar Dira mencekal tangan itu dan mengambang di udara. Rahang Dira mengeras, seolah tak terima dengan sikap kekasihnya itu."Mas!" sentak Karina keras. Ia menarik tangannya agar terlepas dari pegangan tangan sang kekasih."Jangan sentuh Nadiya! Dia baru saja kembali. Setidaknya, biarkan dia tenang dulu setelah apa yang terjadi padanya." Dira mengutarakan maksud tangannya mencekal tangan Karina, bukan karena ada rasa atau yang lainnya.Karina menatap wajah Dira nyalang. Ia tak menyangka kekasihnya bisa berbicara seperti itu padanya dan lebih membela istri yang notabene orang baru dalam hidup mere
Bab 31Mata Nadiya menyapu sekitar ruangan. Sebuah kamar hotel yang tak jauh beda dengan kamar yang disewakan Dira untuknya cukup nyaman dan membuat hatinya tenang, setidaknya untuk sementara ini ketika hatinya sedang tidak baik-baik saja."Apa kamu sudah lebih baik? Mau jalan-jalan? Lihat pemandangan di luar? Atau mau main air di pantai?" Kavi menyambut wajah Nadiya dengan rentetan pertanyaan."Aku sudah terlalu lama di sini, Mas. Mas Dira pasti ...." Ucapan Nadiya terhenti. Ia mendadak tak yakin dengan ucapannya sendiri. Apa benar lelaki itu mencarinya? Ah rasanya tak mungkin mengingat saat terakhir bertemu ucapan Dira membuatnya sakit hati."Kenapa? Kenapa dengan Dira?" Kavi menyahuti. Wajahnya tampak penasaran dengan respon wanita di depannya itu.Nadiya menghela napas dalam. Ia mendadak ragu dengan ucapannya sendiri. Apa mungkin lelaki itu akan mencarinya setelah menghilang beberapa hari? "Kamu rindu suamimu?" Kavi kembali bertanya. "Apa mau aku cari dia di hotelnya? Sebenarnya
Bab 30Dira berjalan menyusuri batu karang yang disekelilingnya terdapat garis polisi. Di sana, tempat kejadian naas itu, di mana sang istri dengan sengaja menceburkan diri ke dalam lautan. Tak peduli teriakan orang sekitar, perempuan itu melaju dengan yakin untuk tenggelam ke dasar segara."Beruntung seseorang langsung menceburkan dirinya ke dalam laut untuk membawa perempuan itu kembali. Kalau tidak ada pemuda itu, pasti perempuan itu sudah tenggelam," papar seorang pedagang yang menjadi sasaran Dira meluapkan rasa penasarannya.Dira terdiam memikirkan nasib Nadiya, yang mungkin adalah orang yang dimaksud dari cerita pedagang di sekitar pantai. Tidak ada yang tahu identitas korban tapi berdasarkan cerita, saat kejadian itu adalah sehari setelah Dira berjumpa dengan Nadiya di ambang pintu kamarnya."Apa itu kerabat Bapak?" tanya pedagang itu lagi. Wajah Dira membuatnya mengerutkan dahi, menebak apa yang sedang ada di dalam kepala lelaki di depannya.Dira membelalakkan matanya. Lalu,
Bab 29Pemandangan di luar kamar itu terasa menyakitkan untuknya. Laut lepas ditambah deburan ombak yang membuatnya trauma seolah semakin menenggelamkan hatinya ke dasar lautan. Sakit hati, merasa diabaikan dan tak dihargai setelah disentuh sedemikian rupa.Air matanya terus saja mengalir. Penyesalan yang dalam membuatnya enggan bangkit dari duduknya sejak kemarin. Kepalanya bertumpu di atas lutut yang ditekuk. Sesekali pandangannya terarah pada deburan ombak yang terus saja menari di atas segara. Hatinya lagi-lagi terpanggil untuk melangkah keluar, masuk ke dalam pusara air yang kedalamannya bisa melahap nyawanya."Seharusnya kamu tidak perlu menyelamatkanku. Seharusnya biarkan aku mati. Tak hanya pernikahanku yang gagal, kehormatanku pun rupanya tak ada harganya," lirihnya dengan air mata yang terus saja berurai."Aku tidak akan biarkan itu terjadi. Kalaupun kamu harus mati, paling tidak setelah semuanya kembali menjadi baik. Bukan pasrah dan larut dalam kesedihan seperti ini," ucap