Sean mengerutkan dahinya. Tentu saja ia tak percaya dengan ucapan lelaki di hadapannya. Ia yakin sekali pasti lelaki di hadapannya memiliki waktu sebentar saja hanya untuk memeriksa isi flashdisk tersebut “Saya berani bersumpah, Tuan!” Anwar meyakinkan Sean dengan sumpahnya. Lelaki itu bahkan kini mengangkat satu tangannya dan menatap Sean dengan tatapan penuh keyakinan. Sean tak menjawab. Ia merogoh saku jasnya lagi mengeluarkan sebuah benda kecil. Kemudian Sean mengambil ponsel miliknya dan memasukkan benda tadi yang merupakan konektor yang bisa menjadi penghubung ponselnya dan flashdisk tersebut. Tentu saja, Sean harus memeriksa kebenaran flashdisk tersebut. Indera penglihatan Sean menatap tajam pada layar ponselnya. Tampaknya ia tak berniat mengedipkan matanya, walaupun satu kali saja. Ia benar-benar fokus memeriksa isi flashdisk tersebut. Anwar terlihat menghembuskan napas lega saat menyadari wajah Sean terlihat lebih tenang. Namun, ia kembali berubah tegang dan panik saat Sea
“Bi Asti?” Suara panggilan Zia menghentikan langkah asisten rumah tangganya Sean. Ia hanya berniat memeriksa keadaan gadis itu setelah Sean lama pergi dalam waktu yang lama. Bi Asti mendekat pada Zia yang kini sudah membuka matanya. “Nona Zia, nggak tidur?” tanyanya dengan tatapan bersalah. Tentu saja wanita paruh baya itu merasa bersalah sudah mengganggu istirahatnya Zia. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Wajahnya kini sudah tak terlalu pucat saat Sean membawa dokter untuknya. “Nona Zia, nggak bisa tidur?” tanya bi Asti lagi dan langsung dijawab anggukan kepala Zia. “Ada apa, Nona? Sepertinya Nona sedang banyak pikiran? Kalau Nona mau cerita, saya bersedia menjadi pendengarnya. Nona, tenang saja, saya bisa jaga rahasia!” pungkasnya diakhiri tawa kecilnya. Zia ikut terkikih. Tampaknya bi Asti pandai merayu dirinya. Perlahan tubuh Zia bergerak naik. Tangan bi Asti refleks membantunya bangun dan mengambilkan satu bantai untuk gadis itu bersandar. “Terima kasih, Bi Asti,” ucap Zia
“Nona Zia pasti tidak menyangka ‘kan kalau takdir kalian ternyata sudah terjalin sejak dulu,” ucapan bi Asti membuat kedua bola mata Zia yang membulat sempurna kembali ke ukuran normal.“Maksud bi Asti?” tanya Zia penasaran.Wanita paruh baya di hadapan gadis manis itu tersenyum tipis. “Pak Darul sudah seperti ayah kedua buat tuan Sean. Tuan Sean muda sangat menghormati pak Darul yang sangat santun dan lembut padanya, walaupun dia hanya seorang sopir,” jawabnya.“Seringnya tuan Alan jarang di rumah dan pak Darul yang selalu menghiburnya. Pak Darul dan saya sama-sama bekerja di rumah tuan Alan di tahun yang sama, jadi kami sering bercerita tentang keluarga masing-masing. Saya tidak menyangka ternyata bisa bertemu dengan Nona Zia, anak teman saya,” ucap bi Asti diakhiri senyuman lebarnya.Zia tersenyum. Kemudian ia kembali tertunduk. Pikirannya masih bercabang.“Lalu bagaimana dengan ayahku dan tuan Sean setelah kepergian nyonya Lucy?” tanya Zia dengan tatapan berat.Bi Asti terdiam sej
Pertanyaan bi Asti membuat gadis itu langsung menaikkan pandangannya. Benar, Zia dan Sean memang saling menyukai. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa rendah diri saat menyadari siapa dirinya dan Sean. Ia hanya mencoba menuruti permintaan ayahnya menjaga lelaki yang menjadi tokoh biografinya.Bukannya Zia tak mau bersama dengan Sean. Namun, pengalamannya sebagai seorang penulis novel romansa. Kisah antara si miskin dan si kaya hanyalah khayalan semata saja. Tentunya ia sudah melakukan beberapa riset untuk semua novelnya, tak ada yang berhasil dengan perbedaan status yang jauh.Mungkin, ia lebih suka menjalani posisinya sebagai sugar baby-nya Sean. Bisa menjaga dan mencintai lelaki tampan itu tanpa bisa memiliki. Kebaikan Sean untuk ayahnya dan juga uang yang sudah ia curi lima tahun lalu sudah sangat cukup untuknya menjaga Sean.“Aku pasti akan menjaga tuan Sean sebisaku, Bi, tapi hanya sebatas itu saja. Waktuku di sin
“Ini dua tiket kapal sesuai pesanan kamu dan ini bayaranmu. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!” ucap seorang lelaki dengan mengenakan topi hitam dan masker hitam seraya melempar dua amplop. Lelaki di hadapannya yang tampak sebaya dengannya meraih satu amplop panjang berwarna putih dan membuka isinya, dua tiket perjalanan kapal lintas provinsi. Kemudian ia membuka satu amplop panjang berwarna coklat dan sedikit lebih tebal, uang pecahan rupiah. Tangannya menghitung tumpukan uang tersebut. “Kenapa hanya 10 juta?” protesnya dengan tatapan kesal. "Heh, jangan serakah! Rencanamu gagal, terima saja dan cepat pergi sebelum orang-orangnya Sean menemukan kamu dan kekasihmu itu,” peringat lelaki bertopi hitam yang tak lain adalah Niko. Niko melepaskan satu tali maskernya pada telinga kirinya. Ia memajukan sedikit punggungnya dan menatap lekat pada kedua netra lelaki di hadapannya. Ya, lelaki di hadapan Niko adalah Arya, orang yang tadinya menjadi kepercayaan Sean. “Ingatlah, kamu sekar
Niko melajukan mobilnya memasuki rumah tersebut setelah mendapatkan izin dari si pemilik rumah saat melakukan panggilan telepon tadi. Sesampainya di dalam, ia juga langsung masuk ke dalam rumah tersebut. Agnes, pemilik rumah itu sudah menyambutnya dengan senyuman sinis dan membawanya menuju sofa tamu. “Awas saja jika kedatanganmu tidak penting!” seru Agnes sebagai ucapan selamat datang pada tamunya seraya duduk di sofa tunggal. Niko menghela napas panjang. Sejujurnya ia kesal mendapatkan perlakuan wanita tersebut yang tak sopan, menurutnya. “Santai saja, aku ke sini untuk beraliansi denganmu,” sahutnya kesal dan ikut duduk di sofa yang lebih dekat dengan Agnes. “Kalau begitu langsung saja, jangan berbasa basi! Kamu tahu aku sedang kesal, ‘kan?” Agnes melirik sinis. “Berikan aku minum dulu, kek! Aku ‘kan tamu,” protes Niko, tetapi ia lantas menghela napas lagi menahan kesalnya menyadari Agnes manatapnya kesal. “Oke, aku akan langsung saja,” Lelaki itu lalu menyandarkan punggungnya
“Tuan, saya menerima laporan kalau tuan Niko memesan tiket kapal perahu antar pulau,” lapor pak Sadin pada atasannya.Sean tersenyum tipis nan puas. Ia yang baru saja memasuki mobilnya setelah dari gedung redaksinya pak Simon terlihat makin puas mendengar laporan pak Sadin. Jari jemari lelaki tampan itu bermain mengetuk pelan kain yang melapisi lututnya sembari memasang wajah berpikir.“Siapkan tim keamanan kita dan hubungi polisi untuk menjemput Arya dan nona Tiara Dewi di pelabuhan! Pastikan tak ada yang lecet pada tubuh mereka!” perintah Sean dengan nada santai. “Pak Sadin, jangan lupa beri tahu kakaknya nona Tiara Dewi! Saya yakin gadis itu belum berpamitan pada kakaknya,” sambung Sean diikuti senyuman sinisnya.“Baik, Tuan. Setelah ini, kita langsung pulang ke kantor?” ucap pak Sadin kemudian bertanya pada atasannya.Lelaki tampan dengan iris mata
Tuan Alan lantas menepuk pundak anak lelakinya. Tatapannya penuh kebanggan. “Ayah percaya kamu bisa menangani masalah kecil seperti ini, tapi ada satu hal yang masih membuat ayah bingung, Sean,” ujarnya diikuti ekspresi berpikir.“Bingung? Apa yang membuat Ayah bingung?” tanya Sean seraya mengerutkan dahinya.“Apa istimewanya penulis itu hingga kamu memilihnya dari pada Agnes? Bukankah kalau kamu memilih Agnes, bisa sangat membantu usahamu semakin berkembang pesat, ‘kan?” ujar tuan Alan seraya menatap wajah anak lelakinya.Sean tersenyum. Memang benar yang diucapkan ayahnya. Tuan David yang memang memiliki pengaruh besar dalam industri bisnis, apalagi sejak ia memasuki dunia politik. Hampir semua pengusaha tunduk padanya.Namun, Sean tidak ingin memilih jalan yang instan. Ia sudah sangat bangga dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Sean tidak ingin serakah. Te