“Tuan, saya menerima laporan kalau tuan Niko memesan tiket kapal perahu antar pulau,” lapor pak Sadin pada atasannya.
Sean tersenyum tipis nan puas. Ia yang baru saja memasuki mobilnya setelah dari gedung redaksinya pak Simon terlihat makin puas mendengar laporan pak Sadin. Jari jemari lelaki tampan itu bermain mengetuk pelan kain yang melapisi lututnya sembari memasang wajah berpikir.
“Siapkan tim keamanan kita dan hubungi polisi untuk menjemput Arya dan nona Tiara Dewi di pelabuhan! Pastikan tak ada yang lecet pada tubuh mereka!” perintah Sean dengan nada santai. “Pak Sadin, jangan lupa beri tahu kakaknya nona Tiara Dewi! Saya yakin gadis itu belum berpamitan pada kakaknya,” sambung Sean diikuti senyuman sinisnya.
“Baik, Tuan. Setelah ini, kita langsung pulang ke kantor?” ucap pak Sadin kemudian bertanya pada atasannya.
Lelaki tampan dengan iris mata
Tuan Alan lantas menepuk pundak anak lelakinya. Tatapannya penuh kebanggan. “Ayah percaya kamu bisa menangani masalah kecil seperti ini, tapi ada satu hal yang masih membuat ayah bingung, Sean,” ujarnya diikuti ekspresi berpikir.“Bingung? Apa yang membuat Ayah bingung?” tanya Sean seraya mengerutkan dahinya.“Apa istimewanya penulis itu hingga kamu memilihnya dari pada Agnes? Bukankah kalau kamu memilih Agnes, bisa sangat membantu usahamu semakin berkembang pesat, ‘kan?” ujar tuan Alan seraya menatap wajah anak lelakinya.Sean tersenyum. Memang benar yang diucapkan ayahnya. Tuan David yang memang memiliki pengaruh besar dalam industri bisnis, apalagi sejak ia memasuki dunia politik. Hampir semua pengusaha tunduk padanya.Namun, Sean tidak ingin memilih jalan yang instan. Ia sudah sangat bangga dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Sean tidak ingin serakah. Te
Nyonya Felicia menghembuskan napas berat nan panjang. Seolah ia tengah mengeluarkan semua rasa peluhnya. “Ayahmu sering mengeluhkan sakit dada, tetapi selalu menolak jika kuajak menemui dokter,” adunya dengan nada berat.“Felicia! Jangan seperti itu, kasihan Sean sedang banyak masalah,” tegur tuan Alan pada istrinya.“Tapi, Mas. Jika tidak begini, kamu akan terus menolak,” sahut nyonya Felicia seraya memasang wajah kesal. “Aku hanya mencemaskan kondisi jantungmu. Apalagi akhir-akhir ini kamu sedang menghadapi banyak masalah. Itu sangat berpengaruh pada kesehatanmu, Mas!” tandasnya.Wajah tuan Alan memasang wajah kesal pada istrinya. Nyonya Felicia memasang wajah merajuk. Tuan Alan pun memegangi tangan istrinya lembut. “Kamu terlalu berlebihan, Felicia! Aku baik-baik saja,” yakinnya.“Nyonya Felicia benar, Yah. Sebaiknya Ayah harus meme
Wajah Sean terlihat sangat kecewa mendengar perkataan ayahnya. Tuan Alan mengusirnya? Tidak, Sean yakin kalau ayahnya hanya perlu beristirahat dan tak ingin diganggu.“Baik, Yah. Aku akan pulang, tapi Ayah harus beristirahat dengan benar!” pesan Sean sebelum ia bangkit.Tuan Alan mengangguk. Lelaki paruh baya itu terus memegangi dadanya sembari mengatur napasnya. Sementara Sean langsung bangkit dari duduknya tanpa melihat ekspresi nyonya Felicia yang menatapnya sinis.“Panggilkan pak Abnu!” perintah tuan Sean pada istrinya.“Sebentar, Mas,” sahut nyonya Felicia seraya bergegas bangkit.Wanita itu langsung meninggalkan tuan Alan yang kini menyandarkan tubuhnya pandaran kursinya. Pikirannya terasa pelik hingga membuatnya makin kesulitan bernapas. Tangannya berusaha menjangkau gelas bening di hadapannya.Sayangnya, ia harus mengerahkan tenaganya hanya untuk menjangkau gelas tersebut. Tuan Alan mengerang menyalurkan tenaganya seraya menahan rasa sakit pada dadanya. Tangannya berhasil mera
“Ayah, Ibu, kenapa kalian ada di luar?” tanya Niko langsung setelah mereka berada di hadapan keduanya. “Tuan, mobilnya sudah siap,” ucap pak Abnu setelah Niko bertanya. Niko menoleh pada ibunya dengan tatapan penuh pertanyaan. Nyonya Felicia hanya menggelengkan kepalanya dan menahan rasa kesalnya. Sementara tuan Alan mengulurkan tangannya pada pak Abnu, isyarat meminta sopirnya membantunya berdiri. Lelaki itu tak berniat menjawab pertanyaan anak tirinya dan juga istrinya. “Mari, Tuan, saya bantu berjalan ke mobil,” ujar pak Abnu sembari meraih tangah tuan Alan dan membantunya bangkit dari kursi. “Aku akan tetap menemani kamu, Mas,” seru nyonya Felicia bangkit dari duduknya. “Tidak usah!” tegas tuan Alan dengan nada meninggi. “Apa ucapanku kurang jelas?” sambungnya tetap dengan nada tinggi. Nyonya Felicia mematung. Tergambar jelas rasa kecewa dan kesal. Ia tak terima dengan bentakan suaminya. “Kamu itu kenapa sih, Mas? Kenapa kamu tiba-tiba begini padaku? Apa karena Sean?” cecar
“Tuan Alan, kita sudah sampai,” suara pak Abnu menyadarkan majikannya. Ternyata tuan Alan benar-benar tertidur. Ia lantas menggeliat meregangkan otot-otot pada tubuhnya. Perjalanan dari rumahnya menuju rumah sakit hanya membutuhkan waktu 35 menit, tetapi rasanya cukup untuk menyegarkan tubuhnya.“Saya sudah melakukan temu janji dengan dokter Ryan. Waktu pertemuan Tuan Alan lima menit lagi,” laporan pak Abnu langsung membuat senyuman lelaki paruh baya itu mengembang sempurna. “Oh iya, ini air mineral yang sudah saya beli tadi setelah saya memeriksa jadwal dokter Ryan,” ucapnya seraya menyerahkan botol air mineral.“Terima kasih, Pak Abnu. Berarti kamu meninggalkan saya sendirian di mobil?” tanya tuan Alan seraya menerima botol pemberian supir pribadinya.“Maafkan saya, Tuan. Tuan Alan tampak sangat pulas sekali, jadi saya tidak tega membangunkan,” jawab pak Abnu seraya menundukkan wajahnya.Tuan Alan justru tertawa seraya memutar tutup botolnya. Ia justru merasa senang dengan ketangga
Dokter Ryan bangkit dari duduknya sebentar. Ia berjalan menuju meja kerjanya dan meraih lembaran map di atasnya. Kemudian dokter Ryan kembali menghampiri ayah dari sahabatnya tersebut.“Lihatlah ini, Tuan!” dokter Ryan meletakan dua lembar kertas yang ia bawa tadi di atas meja hadapan tuan Alan. “Lihatlah lambang botol ini dan perusahaan farmasi ini!” tunjuknya pada gambar kertas.Tuan Alan merogoh saku kemeja berwarna biru tua. Ia mengeluarkan kotak kacamata dan membukanya, kemudian mengaitkan pengait kacamata tersebut pada kedua telinganya. Lelaki paruh baya itu lantas meneliti gambar yang ditunjuk dokter Ryan.“Foto botol ini berasal dari botol kecil yang ditemukan Sean dari pegawai yang mengantarkan makanan untuknya. Labelnya sudah dikelupas, tetapi saya menaburkannya dengan bubuk halus berwarna hitam untuk mendapatkan jejak bentuk pada labelnya,” jelas dokter Ryan yakin.&n
Mungkin ia terlalu bersemangat hingga tak menyadari wajah tuan Alan kini terlihat gelisah. Bagaimana tidak, orang yang dimaksud tuan Alan adalah kakak iparnya, kakak dari nyonya Felicia. Jika memang benar obat tersebut berasal dari perusahaan tersebut melalui perantara Jordi, kakak iparnya tersebut artinya pelakunya adalah istri atau anak tirinya.Tunggu! Bisa saja itu hanya kebetulan saja dan pelakunya adalah orang lain yang sengaja ingin menjatuhkan anak lelakinya. Apalagi saat itu Sean tengah terlibat skandal dan momen tersebut sangat tepat untuk menjatuhkannya. Ya, tuan Alan harus menyelidikinya dahulu dan memastikannya sebelum ia dikuasai prasangka buruknya.“Tuan Alan? Anda kenapa?” tanya dokter Ryan menyadari lelaki paruh baya itu terdiam.“Sepertinya aku harus mencari tahu dulu tentang orang itu, dokter Ryan. Sudah lama aku hilang kontak dengannya,” jawab tuan Alan berbohong. “Mm ...
Zia tengah berkutat dengan layar laptopnya di atas pangkuannya. Jari jemarinya masih lincah menekat tutskeyboardlaptopnya yang ia alaskan di atas bantal hingga ia bisa mengetik dalam posisi bersandar di atas ranjang tidurnya. Walaupun tangannya masih terhubung dengan selang infus, tetapi tak mengganggu kelincahan gerak tangannya. Mungkin karena ia sudah terbiasa bermain dengan tuts keyboard laptop?Gadis itu tak bisa beristirahat dengan tenang. Rasa kantuk dari obat yang ia konsumsi tak cukup ampuh membuatnya tertidur lelap. Pikiran Zia sedang tidak tenang, hingga ia memilih melanjutkan pekerjaannya agar bisa mengalihkan pikiran buruknya.Percakapan dengan bi Asti sedikit menenangkan dirinya, tetapi tidak sepenuhnya tenang. Ia ingin secepatnya menyelesaikan tugasnya agar bisa berpikir jernih dan tak terlibat perasaan mendalam pada Sean. Gerakan tangannya tiba-tiba terhenti saat ia mendengar suara ketukan pintu kamarnya.
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te