"Kenapa kau malah bengong di situ? Kau bisa masak atau tidak? Jika kau tidak bisa masak maka kau akan gugur!" Albertina menatap tajam pada Ara. "Kau tahu kan lowongan kerja apa yang sedang kami cari?"
"Anda sedang mencari Chef," jawab Ara tegas kala tersadar. "Lalu kenapa kau masih bengong di situ? Kau bisa memasak?" "Eh--anu--itu---" "Ganti!" sela Albertina. "Tunggu! Maafkan Aku." "Masih banyak yang antri dan kau tidak masuk dalam kriteria." "Bagaimana bisa anda bilang jika aku tidak termasuk dalam kriteria, sedangkan anda sama sekali belum mempekerjakan ku." "Semua keputusan ada di tanganku." "Hmm ... jika kau mencari yang sempurna, maka semua yang antri di sini tidak ada yang masuk dalam kriteria," celetuk Ara membela dirinya sendiri juga yang lainnya. Pelayan di samping Albertina berbisik disusul senyum manis di bibir Albertina. "Baiklah. Kau diterima bekerja di sini."....
"A-apa? Aku diterima?" Ara terlihat tidak percaya. "Tidak diterima salah, diterima juga salah. Apa kau ingin protes lagi?" Albertina bangkit dari duduknya. "Ti-tidak. Terima kasih atas kesempatan yang anda berikan untuk saya," kata Ara sambil menundukkan kepalanya. Namun, begitulah yang terjadi.Awal yang baik untuk Ara.
Dia mendapatkan pekerjaan dan dia tidak akan merepotkan Barnes lagi.
Bagi Ara menjadi tukang masak tidaklah buruk, yang penting Ara tidak merepotkan orang lain dan dia tetap bisa melanjutkan kehidupannya. Berkutat di dapur bukan lah hal baru bagi Ara, tapi bekerja di rumah yang begitu besar bak istana dengan banyak pelayan bagi Ara itu adalah hal baru.****
"Akhirnya aku tidak tidak tidur sendirian lagi. Akhirnya aku punya teman satu kamar." Jean memeluk Ara dengan erat. Dia mengantarkan Ara ke kamar. "Ara, kau bisa tidur di ranjang itu," tunjuk Jean pada sebuah ranjang kosong dan belum terpasang seprai. Ranjang itu saling berhadapan dengan ranjang milik Jean. Ara masuk ke dalam dan menaruh tas jinjing yang dia bawa. "Maaf, ruang kamar kita tidak terlalu lebar," lanjut Jean. "Tidak masalah, Jean. Yang penting aku punya tempat untuk berteduh dan melepas lelah setelah seharian bekerja," balas Ara tersenyum. Jean membuka lemari plastik atom dan mengeluarkan seprai dan sarung bantal guling. "Pakailah ini untuk ranjangmu itu." "Terima kasih, Jean. Maaf merepotkanmu." "Tidak masalah, Ara. Aku justru senang kau diterima kerja di sini. Baiklah. Aku akan kembali bekerja. Kau bisa membereskan ranjang mu dan beristirahat. Kamar mandi ada di samping. Jika kau lapar, di dalam lemari kayu dekat ranjang ku ada beberapa cemilan. Kau bisa memakannya." Lalu Jean meninggalkan Ara di kamar sendirian. Ara berdiri berkacak pinggang melihat ranjangnya. Terbesit dalam pikiran Ara untuk merapikan ranjangnya terlebih dahulu setelah itu dia akan menyusun pakaiannya di lemari. Ara juga mendapatkan lemari plastik atom untuk tempat pakaiannya. Selesai merapikan semuanya Ara membuka lemari kayu yang ada di samping ranjang Jean. Ara melihat beberapa cemilan tapi perut Ara masih kenyang. "Lebih baik aku istirahat sebentar. Tenagaku terkuras habis saat sesi wawancara tadi," keluh Ara. Ara pun membaringkan tubuhnya di atas ranjang barunya yang sudah di desain sedemikian rupa bahkan wangi kopi aroma terapi yang dia gantungkan di pojok ranjangnya sudah menyebar dan menambah ketenangan dalam diri Ara. *** Tak terasa, ini hari kedua Ara bekerja.Ara yang notabene-nya adalah gadis yang mudah berbaur dengan orang lain bahkan dengan mudahnya Ara dikenal dengan cepat oleh para maid senior di rumah itu. Kecantikan Ara pun menjadi buah bibir dikalangan maid terutama maid laki-laki.
Ara sangat kagum dengan keadaan rumah itu. Rumah yang begitu besar dan sangat luas serta taman-taman yang begitu indah. Saat tengah berjalan Ara tak henti-hentinya mendongak ke atas menatap ornamen dinding dengan pahatan demi pahatan yang begitu indah. "Selera Tuan Chase sangat tinggi," cicitnya membuat Jean yang berjalan di depan menoleh ke belakang. "Hah? Apa kau bilang?" tanya Jean. "Sepertinya majikan kita punya selera yang sangat tinggi," kata Ara mengulangnya dengan memegang ornamen yang ada di dinding. "Eh, hati-hati," tukas Jean memegang tangan Ara. "Apa? Kenapa?" ujar Ara terkejut. "Hati-hati. Jangan sembarangan menyentuh ornamen ini. Kotor sedikit nanti Nyonya Marry akan marah," jelas Jean. "Ketat sekali peraturan di rumah ini?" "Benar. Parahnya jika beliau sudah tidak suka dengan salah satu maid yang bekerja di sini, siap-siap saja maid itu angkat kaki dari rumah ini," beber Jean. "Hah? Angkat kaki? Maksudmu dipecat?" kata Ara, disambut anggukan dari Jean. "Iya. Jika masih ingin bekerja di rumah ini harus menaati peraturan yang ada di rumah ini karena nyonya besar satu dan dua, mereka tidak suka dengan orang-orang yang suka usil, cari perhatian, atau cari muka. Kalau tuan besar, beliau selalu sibuk di kantor jadi jarang sekali ikut campur." "Rumah ini begitu besar. Berapa orang yang tinggal di sini?" tanya Ara penasaran karena rumah itu begitu besar seperti sebuah istana. "Ratusan," jawab Jean sambil menarik tangan Ara yang masih berdiri menatap taman yang ada di samping dekat dengan dapur. "Hah? Serius? Ratusan?" Ara tampak terkejut mendengar penuturan dari Jean. "Aku jadi ingin jalan-jalan melihat sekeliling rumah ini," lanjut Ara antusias. "Ara, sebenarnya bukan kapasitas kita untuk jalan-jalan mengelilingi rumah karena sebagai asisten chef tentu saja garis batas kita hanya di sekitaran dapur saja." Ara menghela napas panjang. "Masa sih? Bahkan di jam istirahat pun tidak boleh?" "Seperti yang aku bicarakan tadi. Jangankan kau yang masih baru. Aku yang sudah satu tahun kerja di sini pun sama sekali belum pernah menjelajahi setiap sudut yang ada di rumah ini bahkan wajah majikan kita pun aku belum pernah melihatnya," ungkap Jean. Ara jadi merasa heran pada Jean. "Ah, merepotkan sekali. Apakah sesulit itu? Mereka membangun rumah ini dengan sangat megah dan indah, tapi kenapa para pelayan tampak seperti tinggal di penjara," cicit Ara. "Hush, jangan bicara seperti itu. Di sini banyak CCTV." Jean menepuk bahu Ara dengan pelan. Ara pun mendongakkan kepalanya dan dia hanya melihat satu kamera. "Hanya satu saja kok," tunjuk Ara dengan sangat polosnya. "Eits ... bukan CCTV itu, tapi CCTV orang yang suka cari muka." Jean memegang tangan Ara. "Maksudmu orang yang suka lapor ini dan itu." "Tepat sekali. Jadi kita harus hati-hati dalam bertutur kata atau berbuat!" Ara memutarkan kedua bola matanya.Padahal, dia hanya pekerja di dapur, tapi sulit sekali!
"Sudahlah, Ara. Nikmati saja pekerjaan ini. Dari pada kau jadi pengangguran dan dikejar-kejar penagih hutang, kau mau pilih yang mana? Kau aman tinggal di sini, tidak ada penagih hutang yang berani masuk ke rumah ini. Keamanan terjaga dengan ketat. Kau bisa melihat para pengawal yang menjaga pintu gerbang depan," cicit Jean.
Ara hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Sebenarnya dia tidak fokus mendengar celotehan Jean. Apa yang diucapkan oleh Jean masuk ke telinga kanan Ara lalu keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak terekam di otak Ara.
"Ara--kau mendengarkan apa yang aku ucapkan?"
"Hah? Apa?" sahut Ara melongo. "Ah, sudahlah. Aku terlalu capek saat mengobrol dengan mu untuk saat ini. Aku seperti sedang bicara dengan patung." Jean memangku dagunya sendiri. Jean terlihat merajuk pada Ara. Ara pun berusaha untuk menghiburnya. Celotehan Ara berhasil membuat Jean tertawa. Bagaimana pun juga kedatangan Ara di rumah keluarga Chase memberi warna yang berbeda. Kadang sikap polos Ara membuat para maid yang bekerja di rumah itu menjadi heran, terkadang Ara juga bisa tegas. "Ara, apakah kau punya kepribadian ganda?" tanya seorang maid yang baru saja masuk ke dapur. "Hah? Enak saja kau bilang aku punya kepribadian ganda," protes Ara. Dapur kembali ramai karena celotehan Ara dan maid-maid lainnya, tapi setelah itu dapur yang ukurannya sangat besar seperti dapur di restoran ternama mendadak menjadi hening. Albertina masuk ke dalam dapur bersama dengan Georgina. Mereka berdua adalah maid senior di rumah itu. Mereka lah yang paling awet bekerja di sana. Kedua maid
Mendengar teriakan sang nyonya tua, Albertina dan Georgina berlari menghadap Nyonya Marry. Wanita tua itu terlihat sangat kesal. Mandy sempat melarang ibunya itu, akan tetapi Mandy adalah anak yang selalu disetir oleh ibunya. Mandy tidak bisa melarang kehendak sang ibu. Namun, malam itu Mandy berani memprotes ibunya. "Ibu, sudahlah. Tidak perlu diperbesar. Tamu ku dari Korea, wajar saja jika aku meminta para chef untuk memasak masakan Korea," tutur Mandy. Mendengar penuturan Mandy, Marry memilih diam. Terlebih lagi saat para tamu mengomentari tentang menu makan malam pada saat itu. "Siapa yang memasak sup kuah ini? Rasanya sama persis seperti yang ada di negara Korea," puji salah satu tamu. Mandy langsung menyuruh Albertina dan Georgina untuk kembali ke tempatnya. Marry pun membalikkan badannya dan tersenyum pada tamu itu, begitu juga dengan Mandy. "Benarkah?" ujar Marry memastikan. Tamu itu menganggukkan kepalanya. "Kami memang punya chef yang sangat berpengalaman. Itupun kami da
Ara melirik Jean yang sudah tertidur pulas. Kedua mata Ara belum bisa diajak kerjasama. Badan Ara sudah sangat lelah, akan tetapi kedua mata Ara semakin lebar. Pastinya di dalam kepala Ara berkeliaran berbagai macam hal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu malam. "Fyuh, kenapa kecelakaan itu justru membuatku dilema? Dia sudah tidak ada hubungan apa-apa denganku, tapi kenapa aku masih belum ikhlas?" Bukan Ara tidak ikhlas akan hubungan Ryan dan Ellen, tapi Ara tidak ikhlas tentang hal lain. Ya, betul sekali. Ara tidak mengikhlaskan soal tempat tinggalnya. Susah payah Ara mengumpulkan uang dan bisa membeli sebuah rumah untuk melepas lelah, tapi rumah itu sekarang telah menjadi milik orang lain bahkan mungkin akan menjadi hak dari rentenir yang mengejar-ngejar Ara. Bahkan Ara juga belum menunjukkan rumah itu pada sang ibu. Hati dan pikiran Ara saat itu benar-benar berantakan. Rasanya dia ingin meluapkan semua emosinya, tapi kepada siapakah Ara akan meluapkan emosinya? Jawaba
Malam itu Ara kembali tidak bisa tidur. Ara terus dibayangi oleh bayang-bayang si pemilik sorot mata tajam yang mengerikan. Ara dibuat dilema antara khawatir dan takut jika pertemuan hari itu akan membuat bencana serta boomerang bagi diri Ara. Pagi harinya semua bekerja seperti biasanya, akan tetapi ada yang berbeda dari Ara. Ara tampak lesu dan kurang semangat. Ara tidak seceria seperti biasanya bahkan sering membuat kesalahan. Saat Ara memasak, masakannya cenderung berasa asin. Sampai Ara kena tegur maid lainnya. Beruntung tidak ada maid senior di dapur pada saat itu. Jika ada salah satu maid senior atau asisten nyonya besar pasti Ara akan kena marah. Bisa jadi Ara akan dipecat. "Ara, untuk hari ini lebih baik kau jangan memasak. Aku takut jika nanti masakannya tidak enak," saran dari Jean dan Ara pun menerima saran dari Jean. Ara memilih untuk bergeser. Ara mengakui jika dirinya tidak cukup fokus pada hari itu. "Ara, tolong ambilkan talenan." "Ini ...." Ara menyodorkan
Terpilihnya Ara menjadi pengasuh Albert membuat Jean senang, tapi tidak untuk Ara. Ara justru merasa jika posisinya menjadi seorang pengasuh di rumah itu adalah kutukan. Bagaimana tidak? Posisi itu mengharuskan Ara harus pindah dan masuk ke dalam rumah serta menempati kamar khusus. Bagi Jean menjadi pengasuh Albert adalah penghargaan besar karena pasti upah kerja akan lebih besar dari hanya seorang maid yang berkecimpung di dapur saja. Jean terus memberi semangat agar mental Ara kuat dan bahagia jika sudah pindah ke dalam. Banyak maid yang merasa iri pada Ara dan mereka menggosipkan Ara ke sana dan kemari. Banyak yang ingin naik jabatan tapi hal itu jarang terjadi. Beruntungnya Ara terpilih dan yang memilihnya langsung adalah Tuan Besar Jacob. Ara memutuskan untuk mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas. "Aku bingung dengan sikapmu itu, Jean. Apa kau senang jika aku tidak satu kamar denganmu lagi. Apa kau terganggu dengan rekan sekamar mu ini yang selalu berisik,"
Kehadiran wanita paruh baya itu membuat Ara langsung berdiri tegap serta memberi hormat dengan membungkukkan badannya. Begitu juga dengan Albert yang langsung bangun dan menundukkan kepalanya. Situasi terlihat aneh dan membuat Ara tidak berani berkata apa-apa saat wanita paruh baya itu mendekatinya. Wanita paruh baya itu berdiri di depan ranjang Albert. Melirik Ara, lalu beralih melirik Albert. Ara semakin menundukkan kepalanya. "Albert, cepat mandi!" "Iya, nek." Albert segera berlari masuk ke dalam kamar mandi dan dia ditemani oleh maid yang lain. Wanita paruh baya itu duduk di ranjang Albert sambil melipat kedua tangannya di dada. Sorot mata tajamnya menatap Ara yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk. "Hari ini aku akan memberitahumu cara merawat Albert. Apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukannya serta hal penting apa yang harus kau lakukan," ucapnya tegas. "Baik, nyonya," sahut Ara dengan posisi masih menundukkan kepalanya. "Panggil aku nyonya besa
Ara sempat terkejut dengan sikap Albert yang menepis loyang tersebut. Ara bisa memahami isi hati Albert, kenapa bocah itu sampai menolak dan menepisnya. Mata Ara berkaca-kaca melihat Albert dan juga obat yang berceceran di lantai. Ara segera memungutnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan amarah atau teguran pada Ara. Lebih untungnya lagi Ara memunggungi CCTV. "Kenapa kau tidak mau minum obat?" "Aku tidak suka. Aku sehat dan aku tidak sakit. Lalu kenapa aku harus minum obat setiap hari. Obat itu sangat tidak enak, rasanya pahit. Aku sudah muak meminumnya," rengek Albert dengan mimik muka cemberut. Ara menghela napas panjang sambil menggerakkan kepalanya. Ara harus memutar otak untuk mencari cara agar Albert mau minum obat. Jika hal itu tidak dia lakukan, maka dia-lah yang akan kena marah. "Tuan muda, ingin makan sesuatu atau tidak?" rayu Ara. "Aku ingin makan permen," sahutnya sambil menatap Ara. Ara menggerakkan alisnya. "Tapi kau harus janji minum obat," k
Ara membuka matanya saat ponselnya bergetar pada genggaman tangannya. Ara melirik layar ponselnya dan mengeja nama J-E-A-N. Ara memutarkan bola matanya dan menarik napas. "Tinggal satu atap, tapi kenapa harus begini caranya." Ara menggeser ikon hijau pada layar ponselnya dan menempelkan benda pipih itu pada telinganya. "Halo, Ara. Apa kabar?" "Menurutmu?" "Aku yakin kau pasti senang tinggal di dalam sana. Kau sudah menjadi bagian dari maid senior. Enaknya lagi seminggu sekali kau pasti libur. Sungguh enak jadi dirimu di sana," oceh Jean. Ara hanya menarik napas dan mendengus kesal. "Pffff ... mudahnya bibirmu bicara, Jean. Kau tidak tahu jika aku seharian ini stres dan depresi," keluh Ara. "Tidak masalah kau mau stres atau depresi. Yang jelas seminggu sekali kau bisa libur. Kau bisa pergi keluar untuk membuang rasa penat yang kau rasakan selama kerja." "Makin lama aku ingin menj
Jacob berdiri di depan sebuah nisan bertuliskan Mandy Feehily, beberapa kali pria itu menghela napas panjang tanpa sedikit pun untuk berkata pada orang yang sedang tertidur pulas di dalam sana. Sejujurnya pria itu masih sedikit kesal dengan mendiang sang istri yang terlalu bodoh dan dengan mudahnya diperalat oleh ibunya sendiri. Hal yang juga membuat Yosep heran adalah dia datang, tapi tidak membawa bunga sama sekali sekedar untuk menghiasi makamnya."Setelah istrimu meninggal pun kau sama sekali tidak romantis padanya ish ... ish ...," ejek Yosep."Lain kali aku akan datang ke sini lagi. Untuk sekarang aku hanya ingin tahu di mana makam mendiang istriku. Terima kasih sebelumnya kau sudah merawatnya dan membuat dia berubah, jadi dia meninggal tidak sia-sia. Dia meninggal sudah dalam keadaan menjadi orang baik," ungkap Jacob membalikkan badannya dan menatap Yosep."Uh, aku tidak berbuat banyak padanya, bahkan aku sering berkata kasar mengusirnya," balas Yosep."Baiklah. Aku pamit dul
Yosep berdiri terkejut saat membukakan pintu untuk sang tamunya. Tamu yang memang tidak asing lagi bagi Yosep karena beberapa hari sebelumya dia sudah pernah bertemu dengannya. Yosep mempersilakan Jacob untuk masuk ke dalam rumahnya. Jacob pun masuk ke dalam rumah dan duduk setelah tuan rumah mempersilahkan dia untuk duduk. Jacob menyebarkan pandangannya ke seluruh rumah tersebut. Awal mulanya Jacob agak sedikit risih dengan keadaan rumah Yosep, karena rumah tersebut lumayan cukup berantakan. Tuan rumah pun bergegas merapikan sedikit barang-barang yang berserakan di ruang tamu, dia membersihkan ruang tamu dengan tersenyum dan agak sedikit malu. "Maaf, rumahku agak berantakan. Ya, memang begini-lah keadaannya." Yosep menatap Jacob yang tidak berekspresi sama sekali. "Kau mau minum apa? Aku hanya punya air mineral dingin," lanjut Yosep menawarkan minuman untuk sang tamu. Jacob memperhatikan Yosep dengan seksama, lalu dia tersenyum, "Boleh." Yosep pun mengambil dua botol air mineral
Nyonya Merry masih bisa berkeliaran bebas dan keluar masuk ke dalam rumah Jacob, tapi si empunya rumah pun sudah punya taktik tersendiri untuk mengawasi si musuh dalam selimut. Jacob pun tidak membiarkan seseorang yang berhati iblis tinggal di rumahnya lebih lama lagi. Terlebih lagi status dia bukan lagi mertuanya, tapi anehnya si wanita paruh baya itu belum juga menyadarinya.Dia masih bisa menemui bawahannya atau mungkin sedang berusaha merencanakan sesuatu."Nyonya, apa kita harus tetap mencarinya?" ujarnya memberanikan diri untuk bertanya karena sebelumnya dia merasa takut karena wajahnya sudah tidak bersahabat.Nyonya Merry mengangkat kepalanya. "Apa penjelasanku kurang jelas! Kalian dibayar untuk melakukan tugas ini. Aku membayar kalian semua dengan nominal yang cukup besar. Aku tidak mau tahu, kalian harus selesaikan tugas itu dan kalian harus bisa mendapatkan apa yang ku maksud. Paham!" Wanita tua itu menggebrak meja dan begitu saja pergi dari sana.Empat orang bawahannya yang
Sebuah suara keluar dari benda yang sedang dipegang oleh Jacob dan pastinya wanita paruh baya itu mengenali suara tersebut. Ya, Nyonya Merry merasakan seluruh badannya bergetar hebat. Darahnya berdesir hingga terasa nyeri. Kedua kakinya tidak mampu lagi untuk menopang badannya."Ibu mengenali suara siapa?" tanya Jacob menatap tajam pada mertuanya. Seolah tatapan itulah yang mencerca Nyonya Merry. Kenapa ibu diam?""I-ibu ti-dak mengenali suara itu. Memangnya itu suara siapa?" sangkalnya.Jacob tersenyum smirk. Dia tahu jika mertuanya itu sebenarnya ketakutan. Sudah bisa dilihat dari wajah wanita paruh baya itu."Oh, jadi ibu tidak mengenali suara itu?""I-iya. Tentu saja!" Mendadak suara gugup itu meninggi.Suasana hening sebenar. Jacob masih terus memperhatikan mertuanya dan sang mertua berusaha untuk menutupi kegugupannya."Bagaimana jika begini?" Jacob menunjukan sesuatu pada Nyonya Merry. Pria itu menunjukkan senyum sengitnya pada wanita paruh baya yang berdiri tidak jauh dari tem
Jacob tersenyum sengit saat dia sudah mendapatkan rekaman CCTV tersebut. Tentunya dia bisa membungkam kebusukan orang itu.Namun, sepertinya Jacob punya rencana lain untuk orang tersebut. Dia enggan bertindak langsung dalam waktu dekat. Dia ingin memberi pelajaran dulu pada orang tersebut.Setelah selesai dengan urusannya di Cafe tersebut, Jacob langsung kembali ke rumah sakit dan ternyata Ara pun belum siuman.Harap-harap cemas itulah yang dirasakan oleh Jacob saat menunggu Ara sadar. Ara memang sudah ditangani oleh dokter yang berpengalaman, tapi Jacob juga harus bersiap menerima konsekwensinya. Ketika Ara sadar, pastilah Jacob juga akan menjadi sasaran amukan pada diri Ara."Apapun yang terjadi aku tetap akan bertanggung jawab karena dari pertama dokter bilang untuk mencari suaminya dan aku lah yang menawarkan untuk memegang tanggung jawab pada diri Ara." Semua Jacob lakukan karena dia masih sangat mencintai Ara.Jacob masih punya keinginan untuk bersatu dengan Ara setelah kejadian
Ara terperanjat kaget dengan mulut menganga saat mengetahui sosok pria yang menghentikan langkahnya. "Kita bertemu lagi setelah sekian lama!" "Tuan Jacob?" Ara benda-benda tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat. Pandangan Jacob langsung teralih pada perut Ara yang membuncit. Dia terdiam sesaat terlihat tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat itu. "Bagaimana kabarmu?" tanya Jacob sambil berjalan mendekati Ara. "Aku baik-baik saja dengan kehidupanku!" "Bahagia? Aku tidak percaya dengan semua bualanmu itu." Ara yang mendengus dan mengalihkan pandangannya dari Jacob. Wanita itu mencoba melanjutkan perjalanan mengakhiri pembicaraan dengan Jacob, tapi sepertinya itu semua belum ingin diakhiri oleh Jacob. Pria itu pun menarik tangan arah untuk mencegahnya pergi. "Di mana anakku?" "Anak siapa yang kau maksud? Lupakan itu dan tolong jangan usik hidupku!" ujar Ara ketus menepis tangan Jacob yang menggenggam erat lengannya. "Aku benar-benar menyesalinya. Aku pun baru mengeta
Tugas Yosep belum selesai. Masih ada satu surat yang belum disampaikan ke penerimanya. Ya, surat milik Ara. Surat itu masih dipegang oleh Yosep karena dia belum bertemu dengan Ara. Kemarin saat di rumah Jacob, salah satu pekerja mengatakan bahwa Ara sudah tidak bekerja di rumah itu. Yosep menghela napas panjang. "Aku harus mencarinya ke mana lagi?" Pria itu menatap lekat sebuah surat yang tengah dia pegang. "Atau aku buang saja?" Dia berpikir sesaat. "Jika kubuang surat ini maka aku yang berdosa pada Mandy, tapi jika tidak kubuang——ah, sudahlah. Pasti nanti akan ada jalan keluarnya. Aku yakin, aku akan bisa menemukan si penerima surat ini." Yosep kembali memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Walaupun Yosep secara jujur menaruh hati pada Mandy dan dari lubuk hatinya juga Yosep ada rencana untuk menghalalkan wanita itu, tapi semuanya tidak sesuai dengan harapan Yosep. Sebelum meninggal justru Mandy sudah terang-terangan menolaknya bahkan wanita itu tidak ingin dibawa ke rumah sakit
Singkat cerita Yosep telah berhasil menemukan alamat tempat tinggal Jacob Chase dan juga pastinya Nyonya Merry yang ditulis oleh Mandy pada surat terakhir yang dia titipkan pada Yosep.Mandy sendiri sengaja mencantumkan alamat yang salah di surat itu untuk menghambat langkah Yosep memberikan surat tersebut agar supaya dia lebih dulu yang meninggal dunia ketika surat itu sampai pada orang-orang yang dituju.Kedua surat itu akhirnya dia sampaikan pada orang-orang yang tepat enam bulan setelah kematian Mandy.Yosep menaiki sepeda motornya mengelilingi kota Blackfort hanya untuk mencari sebuah alamat. Yosep sempat putus asa karena alamat yang tercantum tidak jelas. Kadang Yosep kesasar ke tempat pemakaman.Kedua tangannya meraup ke mukanya sendiri. Pria itu sedikit menggerutu karena kesal."Mandy ... kau sungguh merepotkan," keluhnya kesal.***Saat Yosep menerima berkas yang ditinggalkan ke dia dari Mandy, kedua tangannya bergetar saat membukanya. Yosep mengeluarkan sebuah dokumen yang
Waktu terus berlalu dengan cepat dan Jaden mendapat beasiswa dari sebuah sekolah elite di Blackfort. Tempat itu akan melatih khusus kemampuan daya pikir Jaden yang luar biasa."Apakah anda setuju?" tanya seorang wali kelas Jaden yang memberikan tawaran kesempatan emas itu."Apakah semuanya tidak bisa dilakukan di Kota Daeson?""Nyonya, kemampuan yang dimiliki Jaden harus diasah. Dia akan menjadi kebanggaan negara dan akan mendapatkan penghormatan atas kemampuan yang dia miliknya. Itulah kenapa kami menyarankan akan lebih baik jika Jaden berada di Blackfort." Ara terlihat sangat bimbang. Dia tidak bisa menerima itu dengan baik. Namun, dia teringat cita-cita sang putra yang ingin jadi profesor dan itu membuat Ara kesulitan untuk memutuskan iya atau tidak."Tolong, beri aku waktu untuk memikirkan ini. Aku juga ingin berdiskusi dulu dengan suamiku."Wali kelas Jaden menghela napas, "Nyonya, Jaden adalah anak yang sangat langka. Dia adalah anak yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata.