Ara melirik Jean yang sudah tertidur pulas. Kedua mata Ara belum bisa diajak kerjasama. Badan Ara sudah sangat lelah, akan tetapi kedua mata Ara semakin lebar. Pastinya di dalam kepala Ara berkeliaran berbagai macam hal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu malam.
"Fyuh, kenapa kecelakaan itu justru membuatku dilema? Dia sudah tidak ada hubungan apa-apa denganku, tapi kenapa aku masih belum ikhlas?" Bukan Ara tidak ikhlas akan hubungan Ryan dan Ellen, tapi Ara tidak ikhlas tentang hal lain. Ya, betul sekali. Ara tidak mengikhlaskan soal tempat tinggalnya. Susah payah Ara mengumpulkan uang dan bisa membeli sebuah rumah untuk melepas lelah, tapi rumah itu sekarang telah menjadi milik orang lain bahkan mungkin akan menjadi hak dari rentenir yang mengejar-ngejar Ara. Bahkan Ara juga belum menunjukkan rumah itu pada sang ibu. Hati dan pikiran Ara saat itu benar-benar berantakan. Rasanya dia ingin meluapkan semua emosinya, tapi kepada siapakah Ara akan meluapkan emosinya? Jawabannya tentu saja tidak ada, karena dua orang itu sudah berpindah alam. Banyak kenangan yang dilalui Ara dan Ryan, tapi kenapa Ellen harus menusuknya dari belakang? "Apakah aku kurang menarik?" ujar Ara lirih sambil matanya menatap langit-langit kamar dan akhirnya Ara terlelap dalam tidurnya. Pagi menyambut hangat. Saat Jean sudah bersiap untuk memulai aktivitasnya, gadis itu tidak melihat Ara. "Di mana dia?" Ternyata Ara sedang termenung. Jean mendekati Ara yang sedang berdiri di depan sebuah jendela kaca yang besar di salah satu sudut dapur. Ara terlihat melamun di sana, padahal masih jam kerja. Jean takut jika nanti ketahuan oleh Albertina atau Georgina, Ara akan kena tegur. Justru Jean khawatir jika Ara masih kepikiran soal berita kecelakaan kemarin siang. Jean menyentuh bahu Ara dan membuat gadis itu terkejut. "Kau baik-baik saja hari ini?" Ara menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Aku baik-baik saja kok. Pasti kau berpikiran jika aku sedih karena berita kecelakaan itu?" Ara menarik napas panjang kedua netranya menatap jauh ke seberang sana, lalu Ara membalikkan badannya dan berhadapan dengan Jean. "Semalaman aku tidak bisa tidur karena aku merenungkan diri. Aku berpikir untuk mencoba ikhlas akan semua yang aku alami, karena dengan ikhlas semua akan terasa ringan dan tidak ada beban. Aku pun mencoba untuk berdamai dengan diriku sendiri. *** Hari demi hari telah dilalui oleh Ara. Seminggu sudah Ara bekerja di rumah keluarga Chase dalam keadaan damai dan tentram. Hingga pada hari ke delapan sebuah pengumuman mengejutkan diumumkan oleh Georgina selalu asisten nyonya besar Marry. "Aku minta tiga orang di antara kalian mengantarkan makan malam ke kamar nyonya besar." Akhirnya terpilih Ara, Jean, dan satu orang maid lainnya untuk membawa makan malam ke kamar nyonya besar. Kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Ara yang sangat ingin menghirup udara segar. Ara ingin melihat suasana di luar dapur karena kehidupan dia sehari-hari hanya di sekitar dapur dan kamarnya saja. Ara terkesima dan dibuat takjub. Rumah tempat Ara bekerja seperti istana. Indah dan megah. Ara menatap langit-langit rumah dan setiap sudut rumah tersebut. Begitu sangat luas sehingga Ara lupa dari sudut pintu mana dia keluar. "Ara, percepat langkahmu," tegur Jean yang heran melihat Ara seperti orang kampung yang baru saja datang ke kota. Sampailah mereka di kamar Nyonya besar dan kembali Ara dibuat ternganga akan isi kamar nyonya besar yang super mewah. Ara sempat membandingkan kamar tersebut dengan rumah milik dirinya. 'Wah, luas kamar ini hampir sama persis dengan luar rumahku,' batin Ara. "Kalian letakkan saja makanan itu di meja dekat sofa," kata wanita tua yang duduk dengan kaki menyilang sambil tangannya memegang segelas anggur merah. Dengan cekatan ketiganya menaruh makanan itu di meja. Setelah menyelesaikan tugasnya dan memberi hormat segeralah ketiganya pamit. Namun, perasaan Ara masih dibuat kagum akan keindahan isi rumah keluarga Chase. Setelah keluar dari kamar nyonya besar, Ara dikejutkan dengan sebuah bola yang menggelinding dan menabrak sepatunya. Bola itu berasal dari kamar yang tidak jauh dari kamar nyonya besar, kamar yang hanya selisih satu kamar saja. Ara menunduk dan mengambil bola tersebut, lalu Ara menoleh dan mendapatkan seorang anak laki-laki sedang berdiri di ambang pintu sambil menatap bola yang dipegang Ara. "Bola ini milikmu?" Ara mengangkat tangan kanannya. Anak laki-laki itu mengangguk dan meminta bola itu. Ara mengulurkan tangannya dan anak laki-laki tersebut meraih bola itu lalu menutup pintu kamarnya. Celakanya Ara pada saat itu. Ara kehilangan jejak dari dua rekan kerjanya. Ara tampak bingung karena di sana ada banyak pintu. Ara tidak ingat pintu yang mana yang harus dia tuju. Ara berlari dan terus mencari, akan tetapi Ara tidak menemukannya. Gadis cantik itu terus berputar mencari pintu menuju ke dapur, tapi usaha Ara gagal hingga membuat Ara kebingungan dan kelelahan. Ara terlihat frustrasi karena Ara kembali berpijak di tempat di mana dia bertemu dengan anak laki-laki itu. "Apa aku tersesat? Aku bisa gila kalau begini." Ara mengacak-acak rambutnya. Ara kembali melangkahkan kakinya, akan tetapi tiba-tiba Ara menghentikan langkahnya karena telinga Ara dibuat penasaran oleh suara rintihan seorang perempuan. Ara melangkah beberapa langkah dan Ara tidak sengaja menoleh ke satu kamar yang pintunya terbuka lebar. Di waktu bersamaan kedua mata Ara beradu pandang dengan sepasang mata milik seorang pria tampan dan gagah tanpa busana yang tengah bercinta dengan sang istri. Ara terdiam mematung dengan mulut menganga. Ara tidak percaya dengan apa yang dia lihat detik itu juga. Ara melihat wanita itu dengan posisi duduk di atas pangkuan sang suami sedang melakukan penetrasi untuk memuaskan suaminya. Kedua mata pria tampan itu menatap tajam ke arah Ara tanpa sepengetahuan sang istri yang sedang sibuk bermain kuda. Hampir tiga puluh detik Ara tidak sadar, sebelum akhirnya tersadar dari lamunannya. Ara segera membalikkan badannya dan pergi dari tempat itu sebelum nona besar mengetahui jika dia mengintip. Hingga akhirnya hubungan suami istri itu selesai dan wanita itu sadar jika dia lupa menutup pintu kamarnya. "Maafkan aku sayang. Aku lupa menutup pintunya." Mengenakan piyama tidurnya sambil melangkah dan menutup pintu kamar. "Jacob sayang, apakah kau ingin aku puaskan sekali lagi," bujuk Mandy sambil meraba dada Jacob. "Tidak. Aku sudah tidak berselera," tolak Jacob sambil menikmati segelas Champagne. Sedangkan Mandy sibuk memberi rangsangan pada Jacob agar Jacob mau mengulangi aktivitas bercinta mereka. Ara dibuat panas dingin setelah menonton adegan panas tersebut. Wajahnya pucat ditambah lagi dia tersesat dan belum menemukan pintu untuk kembali ke dapur. "Ara!" Jean menepuk pundak Ara hingga membuat Ara terkejut dan hampir pingsan. Jantungnya serasa berhenti berdetak dan matanya sempat berkunang-kunang. Saat Ara ditanya oleh Jean, Ara hanya diam membisu. Ara masih terngiang-ngiang akan tajamnya sorot mata si pria tampan.Malam itu Ara kembali tidak bisa tidur. Ara terus dibayangi oleh bayang-bayang si pemilik sorot mata tajam yang mengerikan. Ara dibuat dilema antara khawatir dan takut jika pertemuan hari itu akan membuat bencana serta boomerang bagi diri Ara. Pagi harinya semua bekerja seperti biasanya, akan tetapi ada yang berbeda dari Ara. Ara tampak lesu dan kurang semangat. Ara tidak seceria seperti biasanya bahkan sering membuat kesalahan. Saat Ara memasak, masakannya cenderung berasa asin. Sampai Ara kena tegur maid lainnya. Beruntung tidak ada maid senior di dapur pada saat itu. Jika ada salah satu maid senior atau asisten nyonya besar pasti Ara akan kena marah. Bisa jadi Ara akan dipecat. "Ara, untuk hari ini lebih baik kau jangan memasak. Aku takut jika nanti masakannya tidak enak," saran dari Jean dan Ara pun menerima saran dari Jean. Ara memilih untuk bergeser. Ara mengakui jika dirinya tidak cukup fokus pada hari itu. "Ara, tolong ambilkan talenan." "Ini ...." Ara menyodorkan
Terpilihnya Ara menjadi pengasuh Albert membuat Jean senang, tapi tidak untuk Ara. Ara justru merasa jika posisinya menjadi seorang pengasuh di rumah itu adalah kutukan. Bagaimana tidak? Posisi itu mengharuskan Ara harus pindah dan masuk ke dalam rumah serta menempati kamar khusus. Bagi Jean menjadi pengasuh Albert adalah penghargaan besar karena pasti upah kerja akan lebih besar dari hanya seorang maid yang berkecimpung di dapur saja. Jean terus memberi semangat agar mental Ara kuat dan bahagia jika sudah pindah ke dalam. Banyak maid yang merasa iri pada Ara dan mereka menggosipkan Ara ke sana dan kemari. Banyak yang ingin naik jabatan tapi hal itu jarang terjadi. Beruntungnya Ara terpilih dan yang memilihnya langsung adalah Tuan Besar Jacob. Ara memutuskan untuk mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas. "Aku bingung dengan sikapmu itu, Jean. Apa kau senang jika aku tidak satu kamar denganmu lagi. Apa kau terganggu dengan rekan sekamar mu ini yang selalu berisik,"
Kehadiran wanita paruh baya itu membuat Ara langsung berdiri tegap serta memberi hormat dengan membungkukkan badannya. Begitu juga dengan Albert yang langsung bangun dan menundukkan kepalanya. Situasi terlihat aneh dan membuat Ara tidak berani berkata apa-apa saat wanita paruh baya itu mendekatinya. Wanita paruh baya itu berdiri di depan ranjang Albert. Melirik Ara, lalu beralih melirik Albert. Ara semakin menundukkan kepalanya. "Albert, cepat mandi!" "Iya, nek." Albert segera berlari masuk ke dalam kamar mandi dan dia ditemani oleh maid yang lain. Wanita paruh baya itu duduk di ranjang Albert sambil melipat kedua tangannya di dada. Sorot mata tajamnya menatap Ara yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk. "Hari ini aku akan memberitahumu cara merawat Albert. Apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukannya serta hal penting apa yang harus kau lakukan," ucapnya tegas. "Baik, nyonya," sahut Ara dengan posisi masih menundukkan kepalanya. "Panggil aku nyonya besa
Ara sempat terkejut dengan sikap Albert yang menepis loyang tersebut. Ara bisa memahami isi hati Albert, kenapa bocah itu sampai menolak dan menepisnya. Mata Ara berkaca-kaca melihat Albert dan juga obat yang berceceran di lantai. Ara segera memungutnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan amarah atau teguran pada Ara. Lebih untungnya lagi Ara memunggungi CCTV. "Kenapa kau tidak mau minum obat?" "Aku tidak suka. Aku sehat dan aku tidak sakit. Lalu kenapa aku harus minum obat setiap hari. Obat itu sangat tidak enak, rasanya pahit. Aku sudah muak meminumnya," rengek Albert dengan mimik muka cemberut. Ara menghela napas panjang sambil menggerakkan kepalanya. Ara harus memutar otak untuk mencari cara agar Albert mau minum obat. Jika hal itu tidak dia lakukan, maka dia-lah yang akan kena marah. "Tuan muda, ingin makan sesuatu atau tidak?" rayu Ara. "Aku ingin makan permen," sahutnya sambil menatap Ara. Ara menggerakkan alisnya. "Tapi kau harus janji minum obat," k
Ara membuka matanya saat ponselnya bergetar pada genggaman tangannya. Ara melirik layar ponselnya dan mengeja nama J-E-A-N. Ara memutarkan bola matanya dan menarik napas. "Tinggal satu atap, tapi kenapa harus begini caranya." Ara menggeser ikon hijau pada layar ponselnya dan menempelkan benda pipih itu pada telinganya. "Halo, Ara. Apa kabar?" "Menurutmu?" "Aku yakin kau pasti senang tinggal di dalam sana. Kau sudah menjadi bagian dari maid senior. Enaknya lagi seminggu sekali kau pasti libur. Sungguh enak jadi dirimu di sana," oceh Jean. Ara hanya menarik napas dan mendengus kesal. "Pffff ... mudahnya bibirmu bicara, Jean. Kau tidak tahu jika aku seharian ini stres dan depresi," keluh Ara. "Tidak masalah kau mau stres atau depresi. Yang jelas seminggu sekali kau bisa libur. Kau bisa pergi keluar untuk membuang rasa penat yang kau rasakan selama kerja." "Makin lama aku ingin menj
Jacob meninggalkan kamar Ara meninggalkan bau parfum khas. Aroma itu belum hilang dari tempat Jacob mencium Ara bahkan terbawa ke ranjang Ara. Beberapa kali Ara memejamkan matanya, tapi selalu gagal. Ara dibuat mabuk kepala dengan ketampanan Jacob, walaupun waktu itu hanya beberapa saat. "Aah, kenapa aku kesulitan memejamkan kedua mataku? Aku bisa bangun kesiangan jika begini, tapi kenapa wajah itu selalu menyusahkan ku?" kata Ara sambil memajukan bibirnya. "Eh, kenapa dia bisa masuk ke dalam kamarku? Bukankah pintu aku kunci? Hmm ... kunci ku pun raib entah kemana? Atau jangan-jangan——ah, sudahlah, aku ingin tidur." Ara terlelap dalam tidurnya setelah bergelut dengan bayangan wajah tuannya. Apakah Ara mulai terpikat dengan tuannya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. *** Profesi baru Ara memang tergolong tidak mudah. Dia harus memahami tahap demi tahap apa ya
Seusai sarapan, Jacob langsung pergi ke kantor. Tanpa menunggu perintah dari sang nyonya besar, Ara langsung menghampiri Albert. Gadis itu melakukan tanpa pikir panjang. Sebab jika dia lemot, dia pun yang akan kenyang ceramah pagi dari sang nyonya besar. Belum lagi sang nenek lampir, jika tahu ada keributan di pagi hari pasti dia akan ikutan berkicau. Namun, ada pemandangan janggal saat itu. Belum ada satu menit Jacob pergi, Mandy langsung menghubungi seseorang. Wanita itu terlihat tertawa bahagia dengan lawan bicara di seberang sana. Entah lawan bicaranya pria atau wanita yang jelas sikap Mandy sangat berbeda saat di samping sang suami. Ara menemani dan menyuapi Albert. Bocah tampan itu langsung tersenyum senang melihat pengasuhnya datang dan menyuapinya bahkan sarapan Albert habis tanpa sisa. Ara baru sadar jika Albert begitu manja. Wajar lah anak seusia Albert manja, tapi Albert sama sekali tidak mendapatkan kasih sayang dari sang ibu. Dia anak yang
Usulan dari asisten rumah tangganya diterima dengan baik oleh Mandy. Yang tadinya Mandy akan ikut dengan sang ibu, tiba-tiba pindah haluan. Mandy mengatakan jika dia tidak jadi ikut, itu membuat wanita paruh baya itu sedikit kesal. "Itulah yang ibu tidak suka dari kau, Mandy. Kau tidak bisa memilih dari dua pilihan. Selalu plin-plan jika disuruh mengambil keputusan." "Maaf, bu. Aku mendadak bad mood. Dari pada nanti di sana aku malah uring-uringan." "Baiklah, tapi jaga sikapmu selama ibu pergi. Ibu tidak ingin kau membuat masalah dan membuat Jacob marah besar. Kau tahu kan artinya jika Jacob sampai murka," hardik Nyonya Merry. Mandy hanya menganggukkan kepalanya dan mengiyakan perintah ibunya. Setelah ibunya pergi barulah Mandy mencari cara. "Nyonya———" Mandy sedikit terkejut saat asistennya menepuk bahu Mandy. Wanita itu sempat terjengit kaget. Dia memegang dadanya. Posisi Mandy saat itu sed
Jacob berdiri di depan sebuah nisan bertuliskan Mandy Feehily, beberapa kali pria itu menghela napas panjang tanpa sedikit pun untuk berkata pada orang yang sedang tertidur pulas di dalam sana. Sejujurnya pria itu masih sedikit kesal dengan mendiang sang istri yang terlalu bodoh dan dengan mudahnya diperalat oleh ibunya sendiri. Hal yang juga membuat Yosep heran adalah dia datang, tapi tidak membawa bunga sama sekali sekedar untuk menghiasi makamnya."Setelah istrimu meninggal pun kau sama sekali tidak romantis padanya ish ... ish ...," ejek Yosep."Lain kali aku akan datang ke sini lagi. Untuk sekarang aku hanya ingin tahu di mana makam mendiang istriku. Terima kasih sebelumnya kau sudah merawatnya dan membuat dia berubah, jadi dia meninggal tidak sia-sia. Dia meninggal sudah dalam keadaan menjadi orang baik," ungkap Jacob membalikkan badannya dan menatap Yosep."Uh, aku tidak berbuat banyak padanya, bahkan aku sering berkata kasar mengusirnya," balas Yosep."Baiklah. Aku pamit dul
Yosep berdiri terkejut saat membukakan pintu untuk sang tamunya. Tamu yang memang tidak asing lagi bagi Yosep karena beberapa hari sebelumya dia sudah pernah bertemu dengannya. Yosep mempersilakan Jacob untuk masuk ke dalam rumahnya. Jacob pun masuk ke dalam rumah dan duduk setelah tuan rumah mempersilahkan dia untuk duduk. Jacob menyebarkan pandangannya ke seluruh rumah tersebut. Awal mulanya Jacob agak sedikit risih dengan keadaan rumah Yosep, karena rumah tersebut lumayan cukup berantakan. Tuan rumah pun bergegas merapikan sedikit barang-barang yang berserakan di ruang tamu, dia membersihkan ruang tamu dengan tersenyum dan agak sedikit malu. "Maaf, rumahku agak berantakan. Ya, memang begini-lah keadaannya." Yosep menatap Jacob yang tidak berekspresi sama sekali. "Kau mau minum apa? Aku hanya punya air mineral dingin," lanjut Yosep menawarkan minuman untuk sang tamu. Jacob memperhatikan Yosep dengan seksama, lalu dia tersenyum, "Boleh." Yosep pun mengambil dua botol air mineral
Nyonya Merry masih bisa berkeliaran bebas dan keluar masuk ke dalam rumah Jacob, tapi si empunya rumah pun sudah punya taktik tersendiri untuk mengawasi si musuh dalam selimut. Jacob pun tidak membiarkan seseorang yang berhati iblis tinggal di rumahnya lebih lama lagi. Terlebih lagi status dia bukan lagi mertuanya, tapi anehnya si wanita paruh baya itu belum juga menyadarinya.Dia masih bisa menemui bawahannya atau mungkin sedang berusaha merencanakan sesuatu."Nyonya, apa kita harus tetap mencarinya?" ujarnya memberanikan diri untuk bertanya karena sebelumnya dia merasa takut karena wajahnya sudah tidak bersahabat.Nyonya Merry mengangkat kepalanya. "Apa penjelasanku kurang jelas! Kalian dibayar untuk melakukan tugas ini. Aku membayar kalian semua dengan nominal yang cukup besar. Aku tidak mau tahu, kalian harus selesaikan tugas itu dan kalian harus bisa mendapatkan apa yang ku maksud. Paham!" Wanita tua itu menggebrak meja dan begitu saja pergi dari sana.Empat orang bawahannya yang
Sebuah suara keluar dari benda yang sedang dipegang oleh Jacob dan pastinya wanita paruh baya itu mengenali suara tersebut. Ya, Nyonya Merry merasakan seluruh badannya bergetar hebat. Darahnya berdesir hingga terasa nyeri. Kedua kakinya tidak mampu lagi untuk menopang badannya."Ibu mengenali suara siapa?" tanya Jacob menatap tajam pada mertuanya. Seolah tatapan itulah yang mencerca Nyonya Merry. Kenapa ibu diam?""I-ibu ti-dak mengenali suara itu. Memangnya itu suara siapa?" sangkalnya.Jacob tersenyum smirk. Dia tahu jika mertuanya itu sebenarnya ketakutan. Sudah bisa dilihat dari wajah wanita paruh baya itu."Oh, jadi ibu tidak mengenali suara itu?""I-iya. Tentu saja!" Mendadak suara gugup itu meninggi.Suasana hening sebenar. Jacob masih terus memperhatikan mertuanya dan sang mertua berusaha untuk menutupi kegugupannya."Bagaimana jika begini?" Jacob menunjukan sesuatu pada Nyonya Merry. Pria itu menunjukkan senyum sengitnya pada wanita paruh baya yang berdiri tidak jauh dari tem
Jacob tersenyum sengit saat dia sudah mendapatkan rekaman CCTV tersebut. Tentunya dia bisa membungkam kebusukan orang itu.Namun, sepertinya Jacob punya rencana lain untuk orang tersebut. Dia enggan bertindak langsung dalam waktu dekat. Dia ingin memberi pelajaran dulu pada orang tersebut.Setelah selesai dengan urusannya di Cafe tersebut, Jacob langsung kembali ke rumah sakit dan ternyata Ara pun belum siuman.Harap-harap cemas itulah yang dirasakan oleh Jacob saat menunggu Ara sadar. Ara memang sudah ditangani oleh dokter yang berpengalaman, tapi Jacob juga harus bersiap menerima konsekwensinya. Ketika Ara sadar, pastilah Jacob juga akan menjadi sasaran amukan pada diri Ara."Apapun yang terjadi aku tetap akan bertanggung jawab karena dari pertama dokter bilang untuk mencari suaminya dan aku lah yang menawarkan untuk memegang tanggung jawab pada diri Ara." Semua Jacob lakukan karena dia masih sangat mencintai Ara.Jacob masih punya keinginan untuk bersatu dengan Ara setelah kejadian
Ara terperanjat kaget dengan mulut menganga saat mengetahui sosok pria yang menghentikan langkahnya. "Kita bertemu lagi setelah sekian lama!" "Tuan Jacob?" Ara benda-benda tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat. Pandangan Jacob langsung teralih pada perut Ara yang membuncit. Dia terdiam sesaat terlihat tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat itu. "Bagaimana kabarmu?" tanya Jacob sambil berjalan mendekati Ara. "Aku baik-baik saja dengan kehidupanku!" "Bahagia? Aku tidak percaya dengan semua bualanmu itu." Ara yang mendengus dan mengalihkan pandangannya dari Jacob. Wanita itu mencoba melanjutkan perjalanan mengakhiri pembicaraan dengan Jacob, tapi sepertinya itu semua belum ingin diakhiri oleh Jacob. Pria itu pun menarik tangan arah untuk mencegahnya pergi. "Di mana anakku?" "Anak siapa yang kau maksud? Lupakan itu dan tolong jangan usik hidupku!" ujar Ara ketus menepis tangan Jacob yang menggenggam erat lengannya. "Aku benar-benar menyesalinya. Aku pun baru mengeta
Tugas Yosep belum selesai. Masih ada satu surat yang belum disampaikan ke penerimanya. Ya, surat milik Ara. Surat itu masih dipegang oleh Yosep karena dia belum bertemu dengan Ara. Kemarin saat di rumah Jacob, salah satu pekerja mengatakan bahwa Ara sudah tidak bekerja di rumah itu. Yosep menghela napas panjang. "Aku harus mencarinya ke mana lagi?" Pria itu menatap lekat sebuah surat yang tengah dia pegang. "Atau aku buang saja?" Dia berpikir sesaat. "Jika kubuang surat ini maka aku yang berdosa pada Mandy, tapi jika tidak kubuang——ah, sudahlah. Pasti nanti akan ada jalan keluarnya. Aku yakin, aku akan bisa menemukan si penerima surat ini." Yosep kembali memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Walaupun Yosep secara jujur menaruh hati pada Mandy dan dari lubuk hatinya juga Yosep ada rencana untuk menghalalkan wanita itu, tapi semuanya tidak sesuai dengan harapan Yosep. Sebelum meninggal justru Mandy sudah terang-terangan menolaknya bahkan wanita itu tidak ingin dibawa ke rumah sakit
Singkat cerita Yosep telah berhasil menemukan alamat tempat tinggal Jacob Chase dan juga pastinya Nyonya Merry yang ditulis oleh Mandy pada surat terakhir yang dia titipkan pada Yosep.Mandy sendiri sengaja mencantumkan alamat yang salah di surat itu untuk menghambat langkah Yosep memberikan surat tersebut agar supaya dia lebih dulu yang meninggal dunia ketika surat itu sampai pada orang-orang yang dituju.Kedua surat itu akhirnya dia sampaikan pada orang-orang yang tepat enam bulan setelah kematian Mandy.Yosep menaiki sepeda motornya mengelilingi kota Blackfort hanya untuk mencari sebuah alamat. Yosep sempat putus asa karena alamat yang tercantum tidak jelas. Kadang Yosep kesasar ke tempat pemakaman.Kedua tangannya meraup ke mukanya sendiri. Pria itu sedikit menggerutu karena kesal."Mandy ... kau sungguh merepotkan," keluhnya kesal.***Saat Yosep menerima berkas yang ditinggalkan ke dia dari Mandy, kedua tangannya bergetar saat membukanya. Yosep mengeluarkan sebuah dokumen yang
Waktu terus berlalu dengan cepat dan Jaden mendapat beasiswa dari sebuah sekolah elite di Blackfort. Tempat itu akan melatih khusus kemampuan daya pikir Jaden yang luar biasa."Apakah anda setuju?" tanya seorang wali kelas Jaden yang memberikan tawaran kesempatan emas itu."Apakah semuanya tidak bisa dilakukan di Kota Daeson?""Nyonya, kemampuan yang dimiliki Jaden harus diasah. Dia akan menjadi kebanggaan negara dan akan mendapatkan penghormatan atas kemampuan yang dia miliknya. Itulah kenapa kami menyarankan akan lebih baik jika Jaden berada di Blackfort." Ara terlihat sangat bimbang. Dia tidak bisa menerima itu dengan baik. Namun, dia teringat cita-cita sang putra yang ingin jadi profesor dan itu membuat Ara kesulitan untuk memutuskan iya atau tidak."Tolong, beri aku waktu untuk memikirkan ini. Aku juga ingin berdiskusi dulu dengan suamiku."Wali kelas Jaden menghela napas, "Nyonya, Jaden adalah anak yang sangat langka. Dia adalah anak yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata.