Mendengar teriakan sang nyonya tua, Albertina dan Georgina berlari menghadap Nyonya Marry. Wanita tua itu terlihat sangat kesal. Mandy sempat melarang ibunya itu, akan tetapi Mandy adalah anak yang selalu disetir oleh ibunya. Mandy tidak bisa melarang kehendak sang ibu. Namun, malam itu Mandy berani memprotes ibunya.
"Ibu, sudahlah. Tidak perlu diperbesar. Tamu ku dari Korea, wajar saja jika aku meminta para chef untuk memasak masakan Korea," tutur Mandy. Mendengar penuturan Mandy, Marry memilih diam. Terlebih lagi saat para tamu mengomentari tentang menu makan malam pada saat itu. "Siapa yang memasak sup kuah ini? Rasanya sama persis seperti yang ada di negara Korea," puji salah satu tamu. Mandy langsung menyuruh Albertina dan Georgina untuk kembali ke tempatnya. Marry pun membalikkan badannya dan tersenyum pada tamu itu, begitu juga dengan Mandy. "Benarkah?" ujar Marry memastikan. Tamu itu menganggukkan kepalanya. "Kami memang punya chef yang sangat berpengalaman. Itupun kami dapat dari seleksi yang ketat." "Saya berharap kalian puas dengan jamuan kami," timpal Mandy. "Tentu saja kami sangat puas. Kami harap anda segera mungkin mengabari kami, Nyonya Mandy." "Hmm ... saya akan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan suami saya. Nanti saya akan mengabari anda." Mandy berjabat tangan. Setelah para tamu pergi, beberapa maid mengambil piring-piring kotor dan merapikan meja makan. Kemudian Mandy menyuruh Georgina untuk menyiapkan menu makan malam kedua. Tentunya menu makan malam untuk Jacob dan Albert. "Suami mu pulang jam berapa?" tanya Nyonya Marry. "Mungkin Jacob akan pulang seperti biasanya," jawab Mandy. "Lalu buat apa kau menyuruh Georgina untuk memasak lagi. Bukankah seperti biasanya Jacob akan makan malam di luar dan membawa sesuatu untuk Albert," tekan Marry. "Sudahlah bu, aku sedang malas berdebat." Mandy berlalu dari hadapan Marry. Mandy menaiki anak tangga menuju kamarnya. Mandy sempat berhenti di kamar Albert saat mengetahui pintu kamar anak itu terbuka. Mandy hanya berdiri di depan pintu, wanita itu enggan masuk ke dalam kamar Albert. Tidak lama setelah itu dua orang maid keluar dari kamar Albert. "Selamat malam, nyonya muda," sapa maid itu. "Anak itu sudah makan malam?" tanya Mandy. "Sudah nyonya." "Baiklah. Kalian boleh kembali ke dapur." Kedua maid itu segera kembali ke dapur dan Mandy pun masuk ke dalam kamar. Wanita itu duduk di depan kaca rias sambil memperhatikan wajahnya sendiri. Kemudian Mandy berdiri dan pindah ke kaca cermin yang lebih besar. Dia berputar-putar di depan cermin dan memperhatikan tubuhnya sendiri dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Sempurna. Ehm ... adakah yang harus dirubah lagi?" ucapnya pada dirinya sendiri. Mandy terlihat bangga dengan bentuk tubuhnya. Mandy sungguh ingin terlihat sempurna di mata pria terutama suaminya, Jacob. Memang tidak salah jika Mandy menikahi Jacob karena pria kaya raya itu tidak pernah telat memberinya uang untuk kebutuhan pribadinya. Mandy dan ibunya sering berfoya-foya menghabiskan uang Jacob, akan tetapi Jacob tidak pernah protes ataupun marah setiap kali Mandy meminta uang padanya. Jacob adalah pewaris tunggal di keluarga Chase. Selama menikah dengan Mandy, Jacob belum dikaruniai seorang anak hingga Jacob mengadopsi Albert. Namun, kehadiran Albert sama sekali tidak disukai oleh Mandy dan Marry karena Jacob lebih memperhatikan Albert. *** Hari ketiga Ara kerja di rumah keluarga dan Ara sudah mendapat pujian atas masakan yang dihidangkan untuk tamu Nyonya Mandy. Ara pun mendapat kepercayaan untuk memasak masakan asing karena skill Ara dinilai bagus dalam memasak masakan dari negara lain. Ara pun menjadi buah bibir di kalangan maid senior dan juga maid pria. Hal itu tidak membuat Ara besar kepala, Ara tetaplah gadis polos dan lugu. "Hei ... kau sudah melihat berita terbaru yang sedang ramai?" Seorang maid mengeluarkan ponselnya di jam istirahat siang. "Lihatlah ada sebuah kecelakaan yang menewaskan sepasang kekasih," lanjutnya. "Mana coba, aku ingin melihatnya," kata Jean penasaran. Jean menerima uluran ponsel dari rekannya dan melihat berita kecelakaan tersebut. Ara ikut melihat dan Ara membulatkan matanya dengan sempurna. Ara sampai tersedak makanan yang sedang dia dikunyah. "Uhuk ... uhuk ...." Ara menepuk-nepuk dadanya sendiri. Jean segera menuangkan air ke dalam gelas lalu memberikannya pada Ara. Ara menegak air tersebut beberapa kali. Mata Ara merah berair akibat tersedak makanan itu. "Pelan-pelan dong makannya," celoteh Jean. Ara tersenyum nyengir. "Kau ini kenapa sampai bisa tersedak makanan?" "Tidak ada," sahut Ara singkat. Sebenarnya Ara masih ingin membaca berita itu, tapi karena Ara tidak membawa ponsel jadi Ara mengurungkan niatnya. Ara hanya ingin memastikan apakah benar itu adalah mereka. Sepanjang siang sampai malam Ara terus memikirkan tentang kecelakaan tersebut. Beruntung selama mengerjakan pekerjaannya Ara tidak pernah melakukan kesalahan. Ara masih bisa fokus sampai dia menyelesaikan pekerjaannya. Jam kerja telah usai. Tepat jam 9 malam seperti biasa para maid masuk ke kamar masing-masing. Ara mencuci tangannya dengan sabun lalu mengeringkan tangannya dengan kain lap yang ada di sisi keran. Setelah itu Ara melepaskan apron yang dia kenakan lalu menggantungnya di hanger. Ara dan Jean berjalan menuju kamarnya. Mereka berdua sempat berceloteh berebut untuk buru-buru mandi. Akhirnya Ara yang memenangkannya. "Aku mandi dulu, Jean." Ara keluar dari kamarnya dan segera mandi. Jean memilih untuk istirahat duduk terlebih dahulu sambil melipat jemuran. Sepuluh menit kemudian, Ara sudah selesai mandi. Dia masuk kamar sambil mengusap rambut basahnya. Giliran Jean yang mandi. Sambil menunggu Jean selesai mandi, Ara mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah mengeringkan rambutnya Ara naik ke atas ranjang dan Jean masuk ke dalam kamar, berjalan sambil mengelap pipinya. Jean melirik Ara yang tengah sibuk dengan benda pipih nya. Jean duduk di sisi ranjang dan menatap Ara. "Berita kecelakaan yang tadi siang itu———" Ara menggantungkan kalimatnya. Dia terfokus pada sesuatu. Jean memiringkan kepalanya, penasaran dengan kalimat Ara. Ara menarik napas panjang saat menyadari memang benar itu adalah mereka. Seperti apapun rasa sakit hati yang dirasakan Ara pada Ryan dan juga Ellen, tapi saat mengetahui mereka lah korban kecelakaan tabrak lari, hati Ara mendadak ngilu. "Ra, kenapa? Ada yang salah dengan berita kecelakaan itu?" Jean berdiri dan duduk di ranjang Ara. Jean sempat melongok melihat ponsel yang sedang digenggam oleh Ara. "Mereka——mereka telah meninggal." Mata Ara berkaca-kaca. "Mereka siapa, Ra?" Ara menarik napas panjang, mencoba menetralkan rasa hati yang bercampur aduk jadi satu. Ara memang benci pada mereka berdua, tapi sekarang justru rasa benci itu berubah menjadi rasa kasian. Ara pun menceritakan semuanya pada Jean secara detail. Jean menenangkan hati Ara dengan mengusap punggung Ara dengan lembut. "Ara, hukum karma itu ada. Siapa yang menabur-nya, dia-lah yang akan menuai-nya."Ara melirik Jean yang sudah tertidur pulas. Kedua mata Ara belum bisa diajak kerjasama. Badan Ara sudah sangat lelah, akan tetapi kedua mata Ara semakin lebar. Pastinya di dalam kepala Ara berkeliaran berbagai macam hal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu malam. "Fyuh, kenapa kecelakaan itu justru membuatku dilema? Dia sudah tidak ada hubungan apa-apa denganku, tapi kenapa aku masih belum ikhlas?" Bukan Ara tidak ikhlas akan hubungan Ryan dan Ellen, tapi Ara tidak ikhlas tentang hal lain. Ya, betul sekali. Ara tidak mengikhlaskan soal tempat tinggalnya. Susah payah Ara mengumpulkan uang dan bisa membeli sebuah rumah untuk melepas lelah, tapi rumah itu sekarang telah menjadi milik orang lain bahkan mungkin akan menjadi hak dari rentenir yang mengejar-ngejar Ara. Bahkan Ara juga belum menunjukkan rumah itu pada sang ibu. Hati dan pikiran Ara saat itu benar-benar berantakan. Rasanya dia ingin meluapkan semua emosinya, tapi kepada siapakah Ara akan meluapkan emosinya? Jawaba
Malam itu Ara kembali tidak bisa tidur. Ara terus dibayangi oleh bayang-bayang si pemilik sorot mata tajam yang mengerikan. Ara dibuat dilema antara khawatir dan takut jika pertemuan hari itu akan membuat bencana serta boomerang bagi diri Ara. Pagi harinya semua bekerja seperti biasanya, akan tetapi ada yang berbeda dari Ara. Ara tampak lesu dan kurang semangat. Ara tidak seceria seperti biasanya bahkan sering membuat kesalahan. Saat Ara memasak, masakannya cenderung berasa asin. Sampai Ara kena tegur maid lainnya. Beruntung tidak ada maid senior di dapur pada saat itu. Jika ada salah satu maid senior atau asisten nyonya besar pasti Ara akan kena marah. Bisa jadi Ara akan dipecat. "Ara, untuk hari ini lebih baik kau jangan memasak. Aku takut jika nanti masakannya tidak enak," saran dari Jean dan Ara pun menerima saran dari Jean. Ara memilih untuk bergeser. Ara mengakui jika dirinya tidak cukup fokus pada hari itu. "Ara, tolong ambilkan talenan." "Ini ...." Ara menyodorkan
Terpilihnya Ara menjadi pengasuh Albert membuat Jean senang, tapi tidak untuk Ara. Ara justru merasa jika posisinya menjadi seorang pengasuh di rumah itu adalah kutukan. Bagaimana tidak? Posisi itu mengharuskan Ara harus pindah dan masuk ke dalam rumah serta menempati kamar khusus. Bagi Jean menjadi pengasuh Albert adalah penghargaan besar karena pasti upah kerja akan lebih besar dari hanya seorang maid yang berkecimpung di dapur saja. Jean terus memberi semangat agar mental Ara kuat dan bahagia jika sudah pindah ke dalam. Banyak maid yang merasa iri pada Ara dan mereka menggosipkan Ara ke sana dan kemari. Banyak yang ingin naik jabatan tapi hal itu jarang terjadi. Beruntungnya Ara terpilih dan yang memilihnya langsung adalah Tuan Besar Jacob. Ara memutuskan untuk mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas. "Aku bingung dengan sikapmu itu, Jean. Apa kau senang jika aku tidak satu kamar denganmu lagi. Apa kau terganggu dengan rekan sekamar mu ini yang selalu berisik,"
Kehadiran wanita paruh baya itu membuat Ara langsung berdiri tegap serta memberi hormat dengan membungkukkan badannya. Begitu juga dengan Albert yang langsung bangun dan menundukkan kepalanya. Situasi terlihat aneh dan membuat Ara tidak berani berkata apa-apa saat wanita paruh baya itu mendekatinya. Wanita paruh baya itu berdiri di depan ranjang Albert. Melirik Ara, lalu beralih melirik Albert. Ara semakin menundukkan kepalanya. "Albert, cepat mandi!" "Iya, nek." Albert segera berlari masuk ke dalam kamar mandi dan dia ditemani oleh maid yang lain. Wanita paruh baya itu duduk di ranjang Albert sambil melipat kedua tangannya di dada. Sorot mata tajamnya menatap Ara yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk. "Hari ini aku akan memberitahumu cara merawat Albert. Apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukannya serta hal penting apa yang harus kau lakukan," ucapnya tegas. "Baik, nyonya," sahut Ara dengan posisi masih menundukkan kepalanya. "Panggil aku nyonya besa
Ara sempat terkejut dengan sikap Albert yang menepis loyang tersebut. Ara bisa memahami isi hati Albert, kenapa bocah itu sampai menolak dan menepisnya. Mata Ara berkaca-kaca melihat Albert dan juga obat yang berceceran di lantai. Ara segera memungutnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan amarah atau teguran pada Ara. Lebih untungnya lagi Ara memunggungi CCTV. "Kenapa kau tidak mau minum obat?" "Aku tidak suka. Aku sehat dan aku tidak sakit. Lalu kenapa aku harus minum obat setiap hari. Obat itu sangat tidak enak, rasanya pahit. Aku sudah muak meminumnya," rengek Albert dengan mimik muka cemberut. Ara menghela napas panjang sambil menggerakkan kepalanya. Ara harus memutar otak untuk mencari cara agar Albert mau minum obat. Jika hal itu tidak dia lakukan, maka dia-lah yang akan kena marah. "Tuan muda, ingin makan sesuatu atau tidak?" rayu Ara. "Aku ingin makan permen," sahutnya sambil menatap Ara. Ara menggerakkan alisnya. "Tapi kau harus janji minum obat," k
Ara membuka matanya saat ponselnya bergetar pada genggaman tangannya. Ara melirik layar ponselnya dan mengeja nama J-E-A-N. Ara memutarkan bola matanya dan menarik napas. "Tinggal satu atap, tapi kenapa harus begini caranya." Ara menggeser ikon hijau pada layar ponselnya dan menempelkan benda pipih itu pada telinganya. "Halo, Ara. Apa kabar?" "Menurutmu?" "Aku yakin kau pasti senang tinggal di dalam sana. Kau sudah menjadi bagian dari maid senior. Enaknya lagi seminggu sekali kau pasti libur. Sungguh enak jadi dirimu di sana," oceh Jean. Ara hanya menarik napas dan mendengus kesal. "Pffff ... mudahnya bibirmu bicara, Jean. Kau tidak tahu jika aku seharian ini stres dan depresi," keluh Ara. "Tidak masalah kau mau stres atau depresi. Yang jelas seminggu sekali kau bisa libur. Kau bisa pergi keluar untuk membuang rasa penat yang kau rasakan selama kerja." "Makin lama aku ingin menj
Jacob meninggalkan kamar Ara meninggalkan bau parfum khas. Aroma itu belum hilang dari tempat Jacob mencium Ara bahkan terbawa ke ranjang Ara. Beberapa kali Ara memejamkan matanya, tapi selalu gagal. Ara dibuat mabuk kepala dengan ketampanan Jacob, walaupun waktu itu hanya beberapa saat. "Aah, kenapa aku kesulitan memejamkan kedua mataku? Aku bisa bangun kesiangan jika begini, tapi kenapa wajah itu selalu menyusahkan ku?" kata Ara sambil memajukan bibirnya. "Eh, kenapa dia bisa masuk ke dalam kamarku? Bukankah pintu aku kunci? Hmm ... kunci ku pun raib entah kemana? Atau jangan-jangan——ah, sudahlah, aku ingin tidur." Ara terlelap dalam tidurnya setelah bergelut dengan bayangan wajah tuannya. Apakah Ara mulai terpikat dengan tuannya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. *** Profesi baru Ara memang tergolong tidak mudah. Dia harus memahami tahap demi tahap apa ya
Seusai sarapan, Jacob langsung pergi ke kantor. Tanpa menunggu perintah dari sang nyonya besar, Ara langsung menghampiri Albert. Gadis itu melakukan tanpa pikir panjang. Sebab jika dia lemot, dia pun yang akan kenyang ceramah pagi dari sang nyonya besar. Belum lagi sang nenek lampir, jika tahu ada keributan di pagi hari pasti dia akan ikutan berkicau. Namun, ada pemandangan janggal saat itu. Belum ada satu menit Jacob pergi, Mandy langsung menghubungi seseorang. Wanita itu terlihat tertawa bahagia dengan lawan bicara di seberang sana. Entah lawan bicaranya pria atau wanita yang jelas sikap Mandy sangat berbeda saat di samping sang suami. Ara menemani dan menyuapi Albert. Bocah tampan itu langsung tersenyum senang melihat pengasuhnya datang dan menyuapinya bahkan sarapan Albert habis tanpa sisa. Ara baru sadar jika Albert begitu manja. Wajar lah anak seusia Albert manja, tapi Albert sama sekali tidak mendapatkan kasih sayang dari sang ibu. Dia anak yang
Kabar itu telah sampai di telinga Nyonya Merry dan wanita tua itu bergegas pergi. Nyonya Merry mengharapkan hal yang terbaik untuk ke depannya. Satu-satunya alasan yang membuat Nyonya Merry masih terus bersandiwara.Dia melahirkan seorang bayi laki-laki dan janji Nyonya Merry pun di penuhi. Dia membayar lunas pada gadis itu. Nyonya Merry begitu tampak sumringah mendapatkan bayi laki-laki yang berkulit putih dan dia begitu tampan. Wanita itu berharap jika kelak bayi itu membawa keberuntungan untuk dirinya dan juga Mandy, walaupun entah sekarang Mandy berada dimana.***Flashback 10 bulan yang lalu.Wajah Tessa tampak pucat saat mendengar vonis penyakit yang diderita oleh ayahnya dan itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tessa benar-benar merasa frustrasi dengan kejadian yang tengah menimpa dirinya. Tessa tidak bisa berbuat banyak karena posisinya juga masih sekolah. Sedangkan sang ibu juga tidak bisa berbuat banyak.Tessa terisak duduk di depan ruangan dokter. Tessa tidak sadar ji
Setelah kepergian Yosep, Mandy menahan rasa sakit yang cukup luar biasa. Beruntung Mandy masih mempunyai obat pereda rasa nyeri yang dulu dia minta dari Dokter Payne. Mandy hanya meminum obat tersebut saat rasa sakit itu menyerangnya. Tubuh Mandy benar-benar bergetar hebat, dia merasakan gemetaran diseluruh tubuhnya."Apa penyakitku semakin parah?" Tentunya Mandy sudah paham betul konsekuensinya saat dia mengambil keputusan menolak untuk dioperasi. Padahal Mandy bisa saja dioperasi pada saat itu dan dia tidak akan merasakan kesakitan yang sangat luar biasa.Mandy mellangkah gemetaran menuju dapur untuk mengambil air minum. Setelah meminum obatnya Mandy duduk dan terdiam sesaat untuk menunggu obat tersebut bekerja. Barulah setelah rasa sakit itu sirna sedikit demi sedikit, Mandy beranjak untuk mengambil sandwich yang dimaksud oleh Yosep tadi.Mandy menggigit sedikit demi sedikit untuk mengganjal perutnya yang sudah mulai lapar. Dia berniat setelah makan ingin segera beristirahat.Saat
Tidak ada yang bisa melawan takdir yang sudah digariskan oleh sang pemberi hidup. Kematian yang tidak bisa dicegah dan hal itu harus bisa diterima dengan lapang dada serta ikhlas melepaskannya. Itulah yang sedang dirasakan oleh Jacob. Mansion yang besar nan megah sekarang jadi terasa sangat sepi seperti halnya hati Jacob. Berbeda dengan Nyonya Merry yang begitu terlihat bahagia atas kematian Albert."Satu benalu lagi telah pergi. Tuhan benar-benar baik hati. Dia berpihak pada ku, jadi aku tidak perlu bersusah payah mengotori tanganku untuk menyingkirkan anak itu."Niat jahat memang selalu mulus di awal. Mungkin saat itu Nyonya Merry masih bisa tersenyum bahagia, tapi tidak untuk nanti.Sehari setelah kepergian Albert, Jacob sudah kembali disibukkan dengan rutinitasnya seperti biasa. Selama itu juga Jacob tidak pernah menanyakan keberadaan Mandy. Jacob terlihat acuh, ada atau tidak ada Mandy semua sama saja.Jacob merapikan dasi yang dia kenakan dan memakai jas, lalu meraih tas kerjan
Jacob menemukan Albert dalam keadaan sudah meninggal. Semua orang terlihat panik dan Jacob langsung membawa Albert ke Villa. Pagi itu juga Jacob dan dokter membawa Albert terbang ke Blackfort. Dua puluh menit setelah kepergian Albert, Ara sampai di villa milik Jacob dan bejalan tertatih-tatih menuju tempat favorit Albert. Namun, sayangnya Ara terlambat. Ara hanya menemukan setangkai mawar merah yang sudah sedikit layu serta beberapa bercak darah yang sudah mengering."Albert ...," ucap Ara lirih. Ara didampingi oleh Tobey."Tuan Muda Albert baru saja dibawa ke Blackfort, tapi dia sudah dalam keadaan meninggal," tutur seorang pegawai yang sedang berjaga di villa itu. "Aku terlambat. Aku telah jahat pada anak itu, Tobey ...." Ara menangis tersedu-sedu memeluk Tobey dengan erat. Rasa penyesalan menghantui Ara. Rasa itu begitu dalam tanpa bisa Ara bendung. Tangisan Ara pecah dan membuat semua orang yang ada di sana ikut larut dalam kesedihan atas kepergian Albert."Tuan, tadi aku menemuk
Mansion tempat tinggal Jacob kembali ricuh karena tiba-tiba Albert kejang-kejang dan mimisan. Beruntung acara pesta ulang tahun Albert sudah berakhir.Jacob segera melarikan Albert ke rumah sakit dan Albert langsung mendapatkan penanganan langsung dari dokter yang sudah ahli. Di tengah kondisi Albert yang semakin memburuk, bocah itu selalu mengucapkan satu kata pada sang ayah, Jacob, "Ayah, aku ingin pergi ke Pulau Brillin untuk bertemu dengan ibu."Antara bingung ingin mengabulkannya atau tidak, tapi hal itu sangat tidak memungkinkan dan pihak dokter pun melarang keras agar Albert tidak pergi dari rumah sakit karena keadaannya yang sudah sangat parah serta bisa mengakibatkan hal yang tidak diinginkan.Sementara itu di kota Daeson, Ara sudah selesai menulis sebuah surat dan bermaksud memberikan hadiah pada Albert beserta sepasang sepatu kecil untuk memberitahukan kabar bahagia. Ara begitu bahagia dan bersemangat. Ini adalah pertama kalinya setelah menikah Tobey melihat istrinya bisa
Hari terus berganti begitu saja hingga minggu berlalu menjadi bulan. Tak terasa sudah tujuh bulan lamanya Jacob dan Ara berpisah. Keadaan Albert semakin parah, tubuhnya semakin kurus kering, rambutnya botak dan tidak lagi bisa tumbuh serta tubuhnya sudah tidak bertenaga seperti dulu.Setiap malam Albert selalu memanggil-manggil nama Ara dengan sebutan ibu. Hal itu terjadi setiap hari dan setiap malam karena rindu yang tidak kesampaian. Beberapa kali Jacob selalu membuainya dengan janji manis agar Albert mau minum obat.Semenjak kepergian Ara, tidak ada maid tetap yang mengurus dan merawat Albert. Jean yang sejatinya bersedia merawat Albert pun kewalahan karena bagaimana pun juga Jean bukan Ara yang bisa dengan tenang merawat Albert. Keadaan Albert begitu memprihatinkan sehingga Jacob harus sering meluangkan waktunya untuk menemani Albert di kamarnya karena Albert sudah tidak kuat untuk diajak berjalan-jalan keluar.Jacob selalu sabar ketika mendengar ocehan dari Albert yang selalu me
Semua orang pasti diberi rasa untuk bisa mencintai seseorang dan semua orang pernah merasa sangat mencintai pasangan sampai rela melakukan apa saja demi dirinya, tanpa memedulikan diri sendiri. Tidak mau melihat sisi baik atau buruk nya seseorang yang dia cintai baginya dan tuli nya seseorang itu tidak mau mendengarkan sesuatu yang baik dan juga buruk dari nya. Itulah yang dinamakan budak cinta. Setiap orang yang pernah jatuh cinta dengan sangat sampai lupa akan segalanya dan akhirnya menyesali. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Mencintai seseorang dengan cara berlebihan memang salah. Apalagi sampai mengorbankan segalanya. "Bodohnya aku!" keluh Ara. Begitulah, Ara selalu menyalahkan dirinya, tapi dalam keadaan seperti itu, Ara masih mengharapkan kedatangan Jacob. Sebenarnya posisi Ara sangat beruntung ada pria yang bersedia menanggung beban dia. Bertanggung jawab akan keadaannya dan siap menjadi ayah dari bayi yang dikandungnya. Namun, bagi Tobey tentunya lain. Pasalnya Tob
Nyonya Merry mengira jika Jacob sudah pergi ke kantor. Dia mulai bertingkah, merasa dirinya paling berkuasa. Nyonya Merry memarahi dua maid dan Albert yang tidak tahu apa-apa. Wanita paruh baya itu sering memarahi pegawainya, tapi tidak ada satu pun para pegawai yang berani melaporkan kepada Jacob dan pagi itu barulah Jacob melihat sendiri kelakuan sang mertua."Aku peringatkan pada ibu, jika ibu masih bertindak semena-mena di rumahku ini. Aku tidak segan untuk mengusir ibu dari rumah ini," hardik Jacob.Pernyataan Jacob langsung membuat Nyonya Merry kicep, bingung dan menundukkan kepalanya. Jujur saja Nyonya Merry baru kali ini melihat Jacob marah. Sebelumnya Jacob tidak pernah membantah.Jacob terus menatap ibu mertuanya itu dengan tatapan tajam. Entah apa yang ada dalam pikiran Jacob."Silakan ibu keluar dari kamar Albert jika memang ibu tidak kepentingan lain di kamar ini. Namun, jangan pernah masuk ke kamar ini jika hanya ingin memarahi seseorang," tutur Jacob. Jacob belum beranj
Langkah kaki itu semakin mendekat. Jean dan Liz kembali melakukan aktivitas membereskan peralatan dapur yang baru mereka cuci. "Kalian berdua diperintahkan oleh Tuan Jacob untuk mengambil sisa makan malam di kamar tuan muda," ujar Georgina. Jean dan Liz bergegas menuju ke dalam rumah. Saat sampai di depan kamar Albert, Liz yang hendak mengetuk pintu terkejut ketika pintu itu terbuka dan muncul lah Jacob dari dalam. "Bereskan itu. Setelahnya kalian boleh istirahat." "Baik, tuan." Kedua segera masuk ke dalam dan mengambil piring dan gelas sisa makan malam sang tuan beserta putranya. "Tunggu. Aku perintahkan pada kalian, mulai besok kalian lah yang mengurus Albert. Usahakan agar dia mau makan dan minum obat. Entah bagaimana cara kalian. Akan kuberi upah dua kali lipat untuk kalian," jelas Jacob. Keduanya saling pandang antara ragu dan bingung, "Bagaimana?" lanjutnya bertanya. "Ehm, maaf tuan. Apa kita perlu pindah kamar?" Jean kembali memberanikan diri untuk bertanya. Jacob terhen