"Kenapa kau kunci pintunya?" ucap Barnes. Ara menepuk jidatnya sendiri, gadis itu benar-benar lupa jika pintunya dia kunci.
"Ma-af, aku menguncinya karena tadi aku pergi mandi dan aku lupa membuka kuncinya," tutur Ara.Wajahnya menjadi merah seperti tomat, tapi selang beberapa menit Ara mengubah mimik wajahnya saat melihat gadis yang ada di belakang Bernas.
"Oiya ... Ara, perkenalkan ini adikku." Bernas menarik tangan gadis itu hingga berdiri berjajar dengannya. "Halo ...," sapa gadis itu dengan ramah. Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Ara. Justru Ara terlihat masih sedikit canggung. Namun, akhirnya Ara membalas uluran tangan dari gadis itu. "Namaku Jean," lanjutnya tersenyum. "Aku———Ara," balas Ara sambil tersenyum.Dibalik senyuman itu, Ara mengira jika Jean adalah sosok gadis yang jutek.
***
"Kau sedang mencari pekerjaan?" tanya Jean disela-sela makan malamnya bersama dengan Barnes dan juga Ara. "Eh, serius makanan ini enak sekali," lanjut Jean memuji masakan Ara. Jean dan Barnes kompakan menatap Ara. Pujian dari Jean dibenarkan oleh Barnes. Laki-laki itu pun mengacungkan jempol kanannya. "Sepertinya kau sangat berbakat di dunia perdapuran," celoteh Jean dengan memasukkan sendok ke mulutnya. Suapan terakhir dan sempurna masuk ke dalam perut. "Kau punya pengalaman kerja di mana?" lanjutnya. "Restoran," jawab Ara singkat. "Mungkin kau bisa membantunya, Jean. Tempat kerjaku sedang membutuhkan tenaga pria. Jika yang dibutuhkan tenaga wanita, aku akan membawa Ara untuk bekerja di tempatku." Barnes menatap Ara, lalu berpindah ke Jean. "Bolehkah aku memakan habis sayuran ini?" tunjuk Barnes pada piring yang isinya sayur brokoli. "Tentu saja. Lagi pula aku sudah kenyang. Mungkin Ara iki makan lagi?" Jean memegangi perutnya. "Ti-tidak. Aku sudah kenyang. Kau boleh menghabiskan sayuran itu. Tidak baik juga membuang sayuran," tukas Ara. Setelah makan malam mereka bertiga duduk santai di ruang depan. Mereka terlihat sedang serius. Tentu saja mereka bertiga sedang membahas masalah pekerjaan. "Kau sangat pandai di dapur. Kau memang cocok kerja di restoran atau mungkin juga kerja rumahan," cicit Barnes. "Hmm ... Ara, apa kau pernah bekerja di rumahan?" tanya Jean. Ara menggelengkan kepalanya. "Jika kau minat kerja rumahan, aku akan coba mencari info di tempatku kerja. Seminggu yang lalu aku sempat mendengar bahwa majikan ku akan mencari asisten maid." "Asisten maid?" Ara mengulang kata-kata itu. Jean pun menganggukkan kepalanya. "Aku akan mencoba mencari tahu infonya terlebih dahulu. Nanti jika info yang aku dapat sudah akurat, aku akan mengirim kabar pada Kak Barnes, tapi tentunya kau harus siap tidur di dalam." "Aku tidak masalah jika harus tidur di dalam asalkan aku bisa bekerja," balas Ara. "Baiklah. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Aku harus segera kembali ke rumah majikan ku," jelas Jean. "Aku pikir kau akan menginap dan pulang besok," kata Barnes. "Tidak bisa. Tadi aku izin keluar hanya sampai jam 8 malam. Hari ini sudah ada beberapa maid yang izin pulang," imbuh Jean dengan wajah yang sedikit letih. "Perlu aku antar?" tawar Barnes. "Tidak perlu kak. Jarak dari sini ke rumah majikan juga tidak terlalu jauh jadi aku bisa pulang sendiri." Jean bangkit dari duduknya. Setelah berpamitan Jean kembali pulang ke tempat kerjanya. Tinggallah Ara dan Barnes yang sedang membereskan ruang depan. "Kau tidak khawatir dengan adikmu itu?" tanya Ara mencairkan suasana agar tidak sepi. "Tidak. Jean sudah terbiasa dengan kehidupannya. Tadinya aku tidak mengizinkan Jean untuk bekerja. Aku ingin dia kuliah dan biar aku saja yang bekerja, tapi Jean tidak mau. Justru dia ingin segera bekerja agar bisa membantu keuangan keluarga di kampung." Ara mengangguk.Setelah mereka menyelesaikan membersihkan ruang depan. Keduanya masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Di dalam kamar Ara terbaring di atas ranjang milik Jean. Dalam hati Ara, dia berharap akan mendapatkan kabar baik dari Jean.
"Semoga saja aku segera mendapatkan pekerjaan. Aku tidak ingin membuat ibuku di kampung khawatir. Dia pasti akan sedikit saat mendengarkan kabar berita tentang ujiannya yang menimpaku. Ya Tuhan, kenapa engkau memberiku cobaan yang begitu sangat berat." Ara meraupkan kedua tangan ke wajahnya.Dan begitulah Ara mulai mempersiapkan segalanya untuk melamar pekerjaan sebagai tukang masak di Keluarga Chase, hingga hari seleksi pun tiba.
Pagi itu ditemani oleh Barnes, Ara berangkat menuju alamat di mana Jean bekerja di sana.
Kebetulan, tempat kerja Barnes dan Jean hanya selisih beberapa blok saja.
Tak terasa, Barnes berhenti.
Jantung Ara berdegup kencang kala melihat rumah yang mereka tuju sudah mulai ramai dengan gadis-gadis yang hendak melamar kerja.
Ara begitu takjub dengan keadaan rumah mewah itu. Bak istana di negeri dongeng, rumah itu sangat megah dan indah.
"Rumah ini besar sekali," ucapnya tanpa sadar.
Barnes tertawa pelan mendengarkan celotehan Ara. Barnes begitu sangat lega, akan tetapi di balik itu semua dia merasa sedih karena akan berpisah dengan Ara.
Sepertinya, rumahnya akan kembali sepi seperti semula.
"Ara, kau bisa bergabung dengan lainnya di sana. Sebentar lagi mungkin akan dimulai penyeleksiannya."
Ara mengangguk, "Kau akan menunggu di sini?"
"Tidak, Ara. Aku harus kerja. Aku sudah memberitahu Jean," terang Barnes. "Ara, ingatlah pesanku padamu. Hidup ini keras, kau harus bisa menjaga dirimu sendiri dan tetap berhati-hati. Untuk seleksi ini kau harus percaya diri jika kau akan diterima bekerja di rumah ini. Jika ada waktu luang main lah ke rumah," lanjut Barnes.
Hal itu dijawab dengan anggukan kepala dari Ara. "Kita pasti bertemu kembali. Lagi pula aku dan Jean kerja di satu tempat."
Ara melangkah penuh percaya diri bergabung dengan para peserta lainnya.
Hanya saja, peserta yang mendaftar tampaknya semakin banyak.
Ara tampak pesimis, dia berpikir jika dirinya tidak akan lolos seleksi.
Sebab gadis-gadis lain yang berdatangan mereka semua tampak berpenampilan cantik dan modis, sedangkan dirinya berpenampilan sederhana!
"Tolong berbaris yang rapi!"
Suara wanita yang begitu lantang dan tegas mendadak terdengar.
Manik mata wanita paruh baya itu memperhatikan para gadis yang melamar kerja di rumah megah tersebut.
Semua pelamar kerja, termasuk Ara sontak menurut, mereka merapikan barisan masing-masing.
"Kami akan memulai menyeleksi. Kami hanya membutuhkan dua orang saja," lanjutnya lagi.
Mendadak suasana menjadi riuh. Semua pelamar langsung protes. Dari sekian banyak pelamar hanya dua orang yang akan beruntung kerja di istana megah itu?
"Maaf. Bukannya di selembaran tertera membutuhkan lima orang. Kenapa anda bilang hanya membutuhkan dua orang?" sela seseorang yang memprotes.
Albertina langsung menoleh ke arah suara tersebut dan menatap tajam gadis itu. Para pelayan yang ada di dalam ruangan tersebut langsung memberi kode dengan jari telunjuk menempel di mulut mereka masing-masing, bahkan ada yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Albertina terus menatap gadis itu hingga gadis tersebut menundukkan kepalanya.
"Ma-maaf."
Kemudian wanita paruh baya tersebut menatap lainnya. "Masih ada yang ingin protes?" teriak Albertina. "Jika masih ada yang protes, maka aku akan langsung mencoretnya dari daftar. Termasuk dia!" Albertina menunjuk gadis yang pertama kali protes.
Deg!
Tidak ada yang berani menjawab atau menatap Albertina. Semua menunduk ke bawah termasuk Ara. Albertina pun memulai penyeleksian.
Dari penyeleksian itu banyak pelamar kerja yang gugur. Entah tes apa yang diberikan oleh wanita paruh baya tersebut hingga banyak yang berguguran. Hal itu membuat nyali Ara semakin menciut dan pasrah.
Hingga pada akhirnya orang yang berdiri di depan Ara maju ke depan. Ara semakin gemetaran dan gugup serta dia merasa takut jika dirinya akan gugur juga seperti yang lainnya. Termasuk gadis yang berdiri di depannya. Gadis itu tidak lolos seleksi. Gadis itu melangkah lesu dengan wajah yang sangat sedih dan sekarang giliran Ara.
Ara maju ke depan dengan langkah pelan dan gemetaran. Dia berdiri di depan Albertina.
"Siapa namamu?"
"Ara Shanelly," ujar Ara sambil memperhatikan Albertina yang tengah membaca sebuah kertas.
Di sisi lain, Albertina menatap Ara, wanita paruh baya itu memperhatikan gadis cantik yang sedang berdiri di depannya, dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Pergilah ke dapur dan buatkan aku menu masakan yang spesial," pinta Albertina pada Ara.
Ara terkejut mendengarkannya. Dia berdiri mematung di sana. Tiba-tiba Ara diserang rasa gugup yang teramat sangat. Padahal selama kerja di restoran Ara tidak pernah merasa gugup!
"Kenapa kau malah bengong di situ? Kau bisa masak atau tidak? Jika kau tidak bisa masak maka kau akan gugur!" Albertina menatap tajam pada Ara. "Kau tahu kan lowongan kerja apa yang sedang kami cari?" "Anda sedang mencari Chef," jawab Ara tegas kala tersadar. "Lalu kenapa kau masih bengong di situ? Kau bisa memasak?" "Eh--anu--itu---" "Ganti!" sela Albertina. "Tunggu! Maafkan Aku." "Masih banyak yang antri dan kau tidak masuk dalam kriteria." "Bagaimana bisa anda bilang jika aku tidak termasuk dalam kriteria, sedangkan anda sama sekali belum mempekerjakan ku." "Semua keputusan ada di tanganku." "Hmm ... jika kau mencari yang sempurna, maka semua yang antri di sini tidak ada yang masuk dalam kriteria," celetuk Ara membela dirinya sendiri juga yang lainnya. Pelayan di samping Albertina berbisik disusul senyum manis di bibir Albertina. "Baiklah. Kau diterima bekerja di sini.".... "A-apa? Aku diterima?" Ara terlihat tidak percaya. "Tidak diterima salah, diterima
"Hah? Apa?" sahut Ara melongo. "Ah, sudahlah. Aku terlalu capek saat mengobrol dengan mu untuk saat ini. Aku seperti sedang bicara dengan patung." Jean memangku dagunya sendiri. Jean terlihat merajuk pada Ara. Ara pun berusaha untuk menghiburnya. Celotehan Ara berhasil membuat Jean tertawa. Bagaimana pun juga kedatangan Ara di rumah keluarga Chase memberi warna yang berbeda. Kadang sikap polos Ara membuat para maid yang bekerja di rumah itu menjadi heran, terkadang Ara juga bisa tegas. "Ara, apakah kau punya kepribadian ganda?" tanya seorang maid yang baru saja masuk ke dapur. "Hah? Enak saja kau bilang aku punya kepribadian ganda," protes Ara. Dapur kembali ramai karena celotehan Ara dan maid-maid lainnya, tapi setelah itu dapur yang ukurannya sangat besar seperti dapur di restoran ternama mendadak menjadi hening. Albertina masuk ke dalam dapur bersama dengan Georgina. Mereka berdua adalah maid senior di rumah itu. Mereka lah yang paling awet bekerja di sana. Kedua maid
Mendengar teriakan sang nyonya tua, Albertina dan Georgina berlari menghadap Nyonya Marry. Wanita tua itu terlihat sangat kesal. Mandy sempat melarang ibunya itu, akan tetapi Mandy adalah anak yang selalu disetir oleh ibunya. Mandy tidak bisa melarang kehendak sang ibu. Namun, malam itu Mandy berani memprotes ibunya. "Ibu, sudahlah. Tidak perlu diperbesar. Tamu ku dari Korea, wajar saja jika aku meminta para chef untuk memasak masakan Korea," tutur Mandy. Mendengar penuturan Mandy, Marry memilih diam. Terlebih lagi saat para tamu mengomentari tentang menu makan malam pada saat itu. "Siapa yang memasak sup kuah ini? Rasanya sama persis seperti yang ada di negara Korea," puji salah satu tamu. Mandy langsung menyuruh Albertina dan Georgina untuk kembali ke tempatnya. Marry pun membalikkan badannya dan tersenyum pada tamu itu, begitu juga dengan Mandy. "Benarkah?" ujar Marry memastikan. Tamu itu menganggukkan kepalanya. "Kami memang punya chef yang sangat berpengalaman. Itupun kami da
Ara melirik Jean yang sudah tertidur pulas. Kedua mata Ara belum bisa diajak kerjasama. Badan Ara sudah sangat lelah, akan tetapi kedua mata Ara semakin lebar. Pastinya di dalam kepala Ara berkeliaran berbagai macam hal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu malam. "Fyuh, kenapa kecelakaan itu justru membuatku dilema? Dia sudah tidak ada hubungan apa-apa denganku, tapi kenapa aku masih belum ikhlas?" Bukan Ara tidak ikhlas akan hubungan Ryan dan Ellen, tapi Ara tidak ikhlas tentang hal lain. Ya, betul sekali. Ara tidak mengikhlaskan soal tempat tinggalnya. Susah payah Ara mengumpulkan uang dan bisa membeli sebuah rumah untuk melepas lelah, tapi rumah itu sekarang telah menjadi milik orang lain bahkan mungkin akan menjadi hak dari rentenir yang mengejar-ngejar Ara. Bahkan Ara juga belum menunjukkan rumah itu pada sang ibu. Hati dan pikiran Ara saat itu benar-benar berantakan. Rasanya dia ingin meluapkan semua emosinya, tapi kepada siapakah Ara akan meluapkan emosinya? Jawaba
Malam itu Ara kembali tidak bisa tidur. Ara terus dibayangi oleh bayang-bayang si pemilik sorot mata tajam yang mengerikan. Ara dibuat dilema antara khawatir dan takut jika pertemuan hari itu akan membuat bencana serta boomerang bagi diri Ara. Pagi harinya semua bekerja seperti biasanya, akan tetapi ada yang berbeda dari Ara. Ara tampak lesu dan kurang semangat. Ara tidak seceria seperti biasanya bahkan sering membuat kesalahan. Saat Ara memasak, masakannya cenderung berasa asin. Sampai Ara kena tegur maid lainnya. Beruntung tidak ada maid senior di dapur pada saat itu. Jika ada salah satu maid senior atau asisten nyonya besar pasti Ara akan kena marah. Bisa jadi Ara akan dipecat. "Ara, untuk hari ini lebih baik kau jangan memasak. Aku takut jika nanti masakannya tidak enak," saran dari Jean dan Ara pun menerima saran dari Jean. Ara memilih untuk bergeser. Ara mengakui jika dirinya tidak cukup fokus pada hari itu. "Ara, tolong ambilkan talenan." "Ini ...." Ara menyodorkan
Terpilihnya Ara menjadi pengasuh Albert membuat Jean senang, tapi tidak untuk Ara. Ara justru merasa jika posisinya menjadi seorang pengasuh di rumah itu adalah kutukan. Bagaimana tidak? Posisi itu mengharuskan Ara harus pindah dan masuk ke dalam rumah serta menempati kamar khusus. Bagi Jean menjadi pengasuh Albert adalah penghargaan besar karena pasti upah kerja akan lebih besar dari hanya seorang maid yang berkecimpung di dapur saja. Jean terus memberi semangat agar mental Ara kuat dan bahagia jika sudah pindah ke dalam. Banyak maid yang merasa iri pada Ara dan mereka menggosipkan Ara ke sana dan kemari. Banyak yang ingin naik jabatan tapi hal itu jarang terjadi. Beruntungnya Ara terpilih dan yang memilihnya langsung adalah Tuan Besar Jacob. Ara memutuskan untuk mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas. "Aku bingung dengan sikapmu itu, Jean. Apa kau senang jika aku tidak satu kamar denganmu lagi. Apa kau terganggu dengan rekan sekamar mu ini yang selalu berisik,"
Kehadiran wanita paruh baya itu membuat Ara langsung berdiri tegap serta memberi hormat dengan membungkukkan badannya. Begitu juga dengan Albert yang langsung bangun dan menundukkan kepalanya. Situasi terlihat aneh dan membuat Ara tidak berani berkata apa-apa saat wanita paruh baya itu mendekatinya. Wanita paruh baya itu berdiri di depan ranjang Albert. Melirik Ara, lalu beralih melirik Albert. Ara semakin menundukkan kepalanya. "Albert, cepat mandi!" "Iya, nek." Albert segera berlari masuk ke dalam kamar mandi dan dia ditemani oleh maid yang lain. Wanita paruh baya itu duduk di ranjang Albert sambil melipat kedua tangannya di dada. Sorot mata tajamnya menatap Ara yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk. "Hari ini aku akan memberitahumu cara merawat Albert. Apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukannya serta hal penting apa yang harus kau lakukan," ucapnya tegas. "Baik, nyonya," sahut Ara dengan posisi masih menundukkan kepalanya. "Panggil aku nyonya besa
Ara sempat terkejut dengan sikap Albert yang menepis loyang tersebut. Ara bisa memahami isi hati Albert, kenapa bocah itu sampai menolak dan menepisnya. Mata Ara berkaca-kaca melihat Albert dan juga obat yang berceceran di lantai. Ara segera memungutnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan amarah atau teguran pada Ara. Lebih untungnya lagi Ara memunggungi CCTV. "Kenapa kau tidak mau minum obat?" "Aku tidak suka. Aku sehat dan aku tidak sakit. Lalu kenapa aku harus minum obat setiap hari. Obat itu sangat tidak enak, rasanya pahit. Aku sudah muak meminumnya," rengek Albert dengan mimik muka cemberut. Ara menghela napas panjang sambil menggerakkan kepalanya. Ara harus memutar otak untuk mencari cara agar Albert mau minum obat. Jika hal itu tidak dia lakukan, maka dia-lah yang akan kena marah. "Tuan muda, ingin makan sesuatu atau tidak?" rayu Ara. "Aku ingin makan permen," sahutnya sambil menatap Ara. Ara menggerakkan alisnya. "Tapi kau harus janji minum obat," k
Kabar itu telah sampai di telinga Nyonya Merry dan wanita tua itu bergegas pergi. Nyonya Merry mengharapkan hal yang terbaik untuk ke depannya. Satu-satunya alasan yang membuat Nyonya Merry masih terus bersandiwara.Dia melahirkan seorang bayi laki-laki dan janji Nyonya Merry pun di penuhi. Dia membayar lunas pada gadis itu. Nyonya Merry begitu tampak sumringah mendapatkan bayi laki-laki yang berkulit putih dan dia begitu tampan. Wanita itu berharap jika kelak bayi itu membawa keberuntungan untuk dirinya dan juga Mandy, walaupun entah sekarang Mandy berada dimana.***Flashback 10 bulan yang lalu.Wajah Tessa tampak pucat saat mendengar vonis penyakit yang diderita oleh ayahnya dan itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tessa benar-benar merasa frustrasi dengan kejadian yang tengah menimpa dirinya. Tessa tidak bisa berbuat banyak karena posisinya juga masih sekolah. Sedangkan sang ibu juga tidak bisa berbuat banyak.Tessa terisak duduk di depan ruangan dokter. Tessa tidak sadar ji
Setelah kepergian Yosep, Mandy menahan rasa sakit yang cukup luar biasa. Beruntung Mandy masih mempunyai obat pereda rasa nyeri yang dulu dia minta dari Dokter Payne. Mandy hanya meminum obat tersebut saat rasa sakit itu menyerangnya. Tubuh Mandy benar-benar bergetar hebat, dia merasakan gemetaran diseluruh tubuhnya."Apa penyakitku semakin parah?" Tentunya Mandy sudah paham betul konsekuensinya saat dia mengambil keputusan menolak untuk dioperasi. Padahal Mandy bisa saja dioperasi pada saat itu dan dia tidak akan merasakan kesakitan yang sangat luar biasa.Mandy mellangkah gemetaran menuju dapur untuk mengambil air minum. Setelah meminum obatnya Mandy duduk dan terdiam sesaat untuk menunggu obat tersebut bekerja. Barulah setelah rasa sakit itu sirna sedikit demi sedikit, Mandy beranjak untuk mengambil sandwich yang dimaksud oleh Yosep tadi.Mandy menggigit sedikit demi sedikit untuk mengganjal perutnya yang sudah mulai lapar. Dia berniat setelah makan ingin segera beristirahat.Saat
Tidak ada yang bisa melawan takdir yang sudah digariskan oleh sang pemberi hidup. Kematian yang tidak bisa dicegah dan hal itu harus bisa diterima dengan lapang dada serta ikhlas melepaskannya. Itulah yang sedang dirasakan oleh Jacob. Mansion yang besar nan megah sekarang jadi terasa sangat sepi seperti halnya hati Jacob. Berbeda dengan Nyonya Merry yang begitu terlihat bahagia atas kematian Albert."Satu benalu lagi telah pergi. Tuhan benar-benar baik hati. Dia berpihak pada ku, jadi aku tidak perlu bersusah payah mengotori tanganku untuk menyingkirkan anak itu."Niat jahat memang selalu mulus di awal. Mungkin saat itu Nyonya Merry masih bisa tersenyum bahagia, tapi tidak untuk nanti.Sehari setelah kepergian Albert, Jacob sudah kembali disibukkan dengan rutinitasnya seperti biasa. Selama itu juga Jacob tidak pernah menanyakan keberadaan Mandy. Jacob terlihat acuh, ada atau tidak ada Mandy semua sama saja.Jacob merapikan dasi yang dia kenakan dan memakai jas, lalu meraih tas kerjan
Jacob menemukan Albert dalam keadaan sudah meninggal. Semua orang terlihat panik dan Jacob langsung membawa Albert ke Villa. Pagi itu juga Jacob dan dokter membawa Albert terbang ke Blackfort. Dua puluh menit setelah kepergian Albert, Ara sampai di villa milik Jacob dan bejalan tertatih-tatih menuju tempat favorit Albert. Namun, sayangnya Ara terlambat. Ara hanya menemukan setangkai mawar merah yang sudah sedikit layu serta beberapa bercak darah yang sudah mengering."Albert ...," ucap Ara lirih. Ara didampingi oleh Tobey."Tuan Muda Albert baru saja dibawa ke Blackfort, tapi dia sudah dalam keadaan meninggal," tutur seorang pegawai yang sedang berjaga di villa itu. "Aku terlambat. Aku telah jahat pada anak itu, Tobey ...." Ara menangis tersedu-sedu memeluk Tobey dengan erat. Rasa penyesalan menghantui Ara. Rasa itu begitu dalam tanpa bisa Ara bendung. Tangisan Ara pecah dan membuat semua orang yang ada di sana ikut larut dalam kesedihan atas kepergian Albert."Tuan, tadi aku menemuk
Mansion tempat tinggal Jacob kembali ricuh karena tiba-tiba Albert kejang-kejang dan mimisan. Beruntung acara pesta ulang tahun Albert sudah berakhir.Jacob segera melarikan Albert ke rumah sakit dan Albert langsung mendapatkan penanganan langsung dari dokter yang sudah ahli. Di tengah kondisi Albert yang semakin memburuk, bocah itu selalu mengucapkan satu kata pada sang ayah, Jacob, "Ayah, aku ingin pergi ke Pulau Brillin untuk bertemu dengan ibu."Antara bingung ingin mengabulkannya atau tidak, tapi hal itu sangat tidak memungkinkan dan pihak dokter pun melarang keras agar Albert tidak pergi dari rumah sakit karena keadaannya yang sudah sangat parah serta bisa mengakibatkan hal yang tidak diinginkan.Sementara itu di kota Daeson, Ara sudah selesai menulis sebuah surat dan bermaksud memberikan hadiah pada Albert beserta sepasang sepatu kecil untuk memberitahukan kabar bahagia. Ara begitu bahagia dan bersemangat. Ini adalah pertama kalinya setelah menikah Tobey melihat istrinya bisa
Hari terus berganti begitu saja hingga minggu berlalu menjadi bulan. Tak terasa sudah tujuh bulan lamanya Jacob dan Ara berpisah. Keadaan Albert semakin parah, tubuhnya semakin kurus kering, rambutnya botak dan tidak lagi bisa tumbuh serta tubuhnya sudah tidak bertenaga seperti dulu.Setiap malam Albert selalu memanggil-manggil nama Ara dengan sebutan ibu. Hal itu terjadi setiap hari dan setiap malam karena rindu yang tidak kesampaian. Beberapa kali Jacob selalu membuainya dengan janji manis agar Albert mau minum obat.Semenjak kepergian Ara, tidak ada maid tetap yang mengurus dan merawat Albert. Jean yang sejatinya bersedia merawat Albert pun kewalahan karena bagaimana pun juga Jean bukan Ara yang bisa dengan tenang merawat Albert. Keadaan Albert begitu memprihatinkan sehingga Jacob harus sering meluangkan waktunya untuk menemani Albert di kamarnya karena Albert sudah tidak kuat untuk diajak berjalan-jalan keluar.Jacob selalu sabar ketika mendengar ocehan dari Albert yang selalu me
Semua orang pasti diberi rasa untuk bisa mencintai seseorang dan semua orang pernah merasa sangat mencintai pasangan sampai rela melakukan apa saja demi dirinya, tanpa memedulikan diri sendiri. Tidak mau melihat sisi baik atau buruk nya seseorang yang dia cintai baginya dan tuli nya seseorang itu tidak mau mendengarkan sesuatu yang baik dan juga buruk dari nya. Itulah yang dinamakan budak cinta. Setiap orang yang pernah jatuh cinta dengan sangat sampai lupa akan segalanya dan akhirnya menyesali. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Mencintai seseorang dengan cara berlebihan memang salah. Apalagi sampai mengorbankan segalanya. "Bodohnya aku!" keluh Ara. Begitulah, Ara selalu menyalahkan dirinya, tapi dalam keadaan seperti itu, Ara masih mengharapkan kedatangan Jacob. Sebenarnya posisi Ara sangat beruntung ada pria yang bersedia menanggung beban dia. Bertanggung jawab akan keadaannya dan siap menjadi ayah dari bayi yang dikandungnya. Namun, bagi Tobey tentunya lain. Pasalnya Tob
Nyonya Merry mengira jika Jacob sudah pergi ke kantor. Dia mulai bertingkah, merasa dirinya paling berkuasa. Nyonya Merry memarahi dua maid dan Albert yang tidak tahu apa-apa. Wanita paruh baya itu sering memarahi pegawainya, tapi tidak ada satu pun para pegawai yang berani melaporkan kepada Jacob dan pagi itu barulah Jacob melihat sendiri kelakuan sang mertua."Aku peringatkan pada ibu, jika ibu masih bertindak semena-mena di rumahku ini. Aku tidak segan untuk mengusir ibu dari rumah ini," hardik Jacob.Pernyataan Jacob langsung membuat Nyonya Merry kicep, bingung dan menundukkan kepalanya. Jujur saja Nyonya Merry baru kali ini melihat Jacob marah. Sebelumnya Jacob tidak pernah membantah.Jacob terus menatap ibu mertuanya itu dengan tatapan tajam. Entah apa yang ada dalam pikiran Jacob."Silakan ibu keluar dari kamar Albert jika memang ibu tidak kepentingan lain di kamar ini. Namun, jangan pernah masuk ke kamar ini jika hanya ingin memarahi seseorang," tutur Jacob. Jacob belum beranj
Langkah kaki itu semakin mendekat. Jean dan Liz kembali melakukan aktivitas membereskan peralatan dapur yang baru mereka cuci. "Kalian berdua diperintahkan oleh Tuan Jacob untuk mengambil sisa makan malam di kamar tuan muda," ujar Georgina. Jean dan Liz bergegas menuju ke dalam rumah. Saat sampai di depan kamar Albert, Liz yang hendak mengetuk pintu terkejut ketika pintu itu terbuka dan muncul lah Jacob dari dalam. "Bereskan itu. Setelahnya kalian boleh istirahat." "Baik, tuan." Kedua segera masuk ke dalam dan mengambil piring dan gelas sisa makan malam sang tuan beserta putranya. "Tunggu. Aku perintahkan pada kalian, mulai besok kalian lah yang mengurus Albert. Usahakan agar dia mau makan dan minum obat. Entah bagaimana cara kalian. Akan kuberi upah dua kali lipat untuk kalian," jelas Jacob. Keduanya saling pandang antara ragu dan bingung, "Bagaimana?" lanjutnya bertanya. "Ehm, maaf tuan. Apa kita perlu pindah kamar?" Jean kembali memberanikan diri untuk bertanya. Jacob terhen