"Kau bisa beristirahat di kamar ini. Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu dan aku letakkan di atas kasur gulung," jelas Barnes.
"Pa-pakaian untukku," balas Ara kikuk. "Jangan salah paham. Aku tinggal dengan adikku dan pakaian yang aku siapkan untukmu itu adalah pakaian milik adikku," jelas Barnes. "A-adikmu?" Ara merasa tidak enak. Barnes tersenyum melihat reaksi Ara. "Iya, adikku. Aku pikir ukuran pakaian adikku sama persis denganmu. Kau tidak perlu sungkan seperti itu. Anggap saja di rumah sendiri," jelas Barnes. "Lalu di mana adikmu?" tanya Ara karena sedari tadi Ara tidak melihat siapapun selain dirinya dan Barnes. "Adikku tidak di rumah. Dia kerja di rumah keluarga yang sangat kaya raya. Mungkin besok dia akan pulang ke rumah dan aku akan coba menanyakan padanya apakah di tempat dia kerja sedang membutuhkan tenaga?" "Aku jadi merepotkan mu," ujar Ara lesu. "Tidak masalah. Sesama perantauan harus saling tolong menolong. Kau bisa beristirahat dulu, aku akan membersihkan badanku." Selama Barnes mandi, Ara melihat foto yang berdiri berjajar pada sebuah lemari kayu. Ara hampir kelepasan tertawa saat melihat sebuah foto. Di dalam foto itu ada dua anak kecil dengan pose sangat lucu. Ara bisa menebak jika dua anak itu adalah Barnes dan Ara. Ara bergerak ke kanan untuk melihat beberapa foto dan dia berdiri mematung saat melihat sebuah foto seorang perempuan cantik. Ara terus menatap foto itu. "Aku merasa tidak asing dengan foto itu," kata Ara. Bukan foto perempuan itu yang mengalihkan atensi Ara, tapi pada sebuah foto kecil yang memang terpasang pada satu bingkai dan foto itu berada di sudut kanan bingkai. "Aku seperti pernah bertemu dengan sosok anak laki-laki ini." Ara mencoba mengingatnya, tapi dia tidak bisa mengingat kenangan masa kecilnya. Sepuluh menit berlalu, Barnes keluar dari kamar mandi dengan memakai setelan kaos dan celana pendek. Dengan keadaan rambut yang masih basah Barnes sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Barnes melihat Ara yang tengah duduk di sofa. "Kau bisa memakai kamar mandinya," ujar Barnes. "I-iya, kalau begitu aku akan membersihkan badanku terlebih dahulu." Ara segera masuk ke kamar mandi. Sedangkan Barnes menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Malam kian larut, Ara terbaring di sebuah kasur gulung yang halus dan empuk. Begitu nyamannya hingga membuatnya langsung terlelap tidur. "Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" tanya Barnes di pagi hari. "Nyenyak sekali. Aku tidur sangat lelap. Terima kasih," balas Ara. Barnes menghela napas. "Dari kemari kata-kata itu terus yang selalu aku dengar. Aku sungguh bosan mendengarkan itu." Barnes memberikan sepiring roti oles untuk Ara. "Ma-maaf ...." Ara tidak tahu lagi harus berkata apa. "Aku harus berangkat kerja. Anggap saja rumah sendiri. Nanti aku akan mencarikan info lowongan kerja untukmu. Aku biasa pulang kerja pada sore hari. Jadi kalau kau lapar, kau bisa memasak sesuatu. Semua bahan ada di dalam kulkas." Barnes menjelaskan sedetailnya pada Ara sebelum berangkat kerja. Sebelum Barnes memutar gagang pintu dan dia membalikkan badannya ke belakang. "Mungkin adikku akan pulang hari ini, tapi aku tidak tahu juga dan aku sudah memberitahu adikku tentang keberadaan mu di rumah ini," jelas Barnes. "Ka-kau sudah memberitahu adikmu?" ucap Ara terkejut. Barnes menganggukkan kepalanya. "Itulah kenapa dia bilang ingin pulang, tapi semua tergantung majikannya apakah akan memberi izin untuk dia atau tidak. Baik-baik di rumah, aku berangkat kerja dulu." Selepas kepergian Barnes berangkat kerja, suasana rumah menjadi sepi dan hening. Hanya terdengar bunyi suara detak jam dinding. Ara menghela napas panjang. Dia benar-benar tidak menyangka akan tinggal di rumah Barnes. Jika boleh berkata jujur. Ara sebenarnya tidak ingin merepotkan Barnes, tapi dia sendiri sedang kebingungan. Pagi berganti siang dan Ara disibukkan dengan membersihkan rumah Barnes. Rumah yang hanya ditinggali oleh seorang pemuda, sedangkan adiknya yang sudah bekerja diharuskan untuk tinggal di rumah majikannya. Walaupun Barnes seorang laki-laki tapi semua terlihat sangat rapi. Ya, Barnes adalah typikal laki-laki yang memperhatikan kerapian dan kebersihan. Ara menyapu lantai, mengepel dan mencuci piring bekas dia makan. Saat Ara tengah membersihkan debu-debu yang ada di lemari kayu, Ara kembali menatap foto itu. "Siapa dia? Kenapa aku merasa sangat mengenalnya," pikir Ara. "Ah, sudahlah. Hal itu tidak penting juga." Ara kembali melakukan aktivitasnya. Menjelang sore, Ara berniat untuk memasak makan malam. Dia membuka kulkas dan melihat isi kulkas yang sangat komplit. Ada buah-buahan, sayuran, daging ayam, dan daging sapi. Ara bingung melihatnya. "Aku bingung harus memasak apa untuk makan malam nanti? Isi kulkas ini benar-benar lengkap." Tangan Ara terulur ke dalam kulkas untuk mengambil beberapa sayuran dan juga daging ayam. "Mungkin akan lebih enak jika aku memasak tumis sayur, karena itu sangat praktis dan cepat. Jadi makan malam sudah matang sebelum Barnes sampai di rumah." Ara dengan cekatan dan terampil mengolah sayuran tersebut. Dia begitu lincah memotong sayur-mayur. Tak lupa dia merebus seperempat daging ayam yang tadi dia ambil dari dalam kulkas. Kemudian dia mengecek sisa nasi, apakah cukup untuk makan malam mereka berdua. Setelah semua matang, Ara menatanya di sebuah meja kecil yang terletak di ruang tengah. Rumah Barnes memang tidak terlalu besar, tapi rumah itu cukup luas. Mungkin karena yang menempati adalah seorang laki-laki dan biasanya laki-laki itu simple. Tidak terlalu butuh banyak barang.Namun saat sedang menunggu Barnes, Ara dikejutkan dengan suara ketukan pintu.
"Apa mungkin ada tamu?" Ara bangkit dan melangkah. Namun, belum sempat Ara meraih kenop pintu.
Pintu itu mendadak terbuka dan muncul lah Barnes dan seorang gadis di sampingnya.
"Kenapa kau kunci pintunya?" ucap Barnes. Ara menepuk jidatnya sendiri, gadis itu benar-benar lupa jika pintunya dia kunci. "Ma-af, aku menguncinya karena tadi aku pergi mandi dan aku lupa membuka kuncinya," tutur Ara.Wajahnya menjadi merah seperti tomat, tapi selang beberapa menit Ara mengubah mimik wajahnya saat melihat gadis yang ada di belakang Bernas. "Oiya ... Ara, perkenalkan ini adikku." Bernas menarik tangan gadis itu hingga berdiri berjajar dengannya. "Halo ...," sapa gadis itu dengan ramah. Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Ara. Justru Ara terlihat masih sedikit canggung. Namun, akhirnya Ara membalas uluran tangan dari gadis itu. "Namaku Jean," lanjutnya tersenyum. "Aku———Ara," balas Ara sambil tersenyum.Dibalik senyuman itu, Ara mengira jika Jean adalah sosok gadis yang jutek.*** "Kau sedang mencari pekerjaan?" tanya Jean disela-sela makan malamnya bersama dengan Barnes dan juga Ara. "Eh, serius makanan ini enak sekali," lanjut Jean memuji masakan
"Kenapa kau malah bengong di situ? Kau bisa masak atau tidak? Jika kau tidak bisa masak maka kau akan gugur!" Albertina menatap tajam pada Ara. "Kau tahu kan lowongan kerja apa yang sedang kami cari?" "Anda sedang mencari Chef," jawab Ara tegas kala tersadar. "Lalu kenapa kau masih bengong di situ? Kau bisa memasak?" "Eh--anu--itu---" "Ganti!" sela Albertina. "Tunggu! Maafkan Aku." "Masih banyak yang antri dan kau tidak masuk dalam kriteria." "Bagaimana bisa anda bilang jika aku tidak termasuk dalam kriteria, sedangkan anda sama sekali belum mempekerjakan ku." "Semua keputusan ada di tanganku." "Hmm ... jika kau mencari yang sempurna, maka semua yang antri di sini tidak ada yang masuk dalam kriteria," celetuk Ara membela dirinya sendiri juga yang lainnya. Pelayan di samping Albertina berbisik disusul senyum manis di bibir Albertina. "Baiklah. Kau diterima bekerja di sini.".... "A-apa? Aku diterima?" Ara terlihat tidak percaya. "Tidak diterima salah, diterima
"Hah? Apa?" sahut Ara melongo. "Ah, sudahlah. Aku terlalu capek saat mengobrol dengan mu untuk saat ini. Aku seperti sedang bicara dengan patung." Jean memangku dagunya sendiri. Jean terlihat merajuk pada Ara. Ara pun berusaha untuk menghiburnya. Celotehan Ara berhasil membuat Jean tertawa. Bagaimana pun juga kedatangan Ara di rumah keluarga Chase memberi warna yang berbeda. Kadang sikap polos Ara membuat para maid yang bekerja di rumah itu menjadi heran, terkadang Ara juga bisa tegas. "Ara, apakah kau punya kepribadian ganda?" tanya seorang maid yang baru saja masuk ke dapur. "Hah? Enak saja kau bilang aku punya kepribadian ganda," protes Ara. Dapur kembali ramai karena celotehan Ara dan maid-maid lainnya, tapi setelah itu dapur yang ukurannya sangat besar seperti dapur di restoran ternama mendadak menjadi hening. Albertina masuk ke dalam dapur bersama dengan Georgina. Mereka berdua adalah maid senior di rumah itu. Mereka lah yang paling awet bekerja di sana. Kedua maid
Mendengar teriakan sang nyonya tua, Albertina dan Georgina berlari menghadap Nyonya Marry. Wanita tua itu terlihat sangat kesal. Mandy sempat melarang ibunya itu, akan tetapi Mandy adalah anak yang selalu disetir oleh ibunya. Mandy tidak bisa melarang kehendak sang ibu. Namun, malam itu Mandy berani memprotes ibunya. "Ibu, sudahlah. Tidak perlu diperbesar. Tamu ku dari Korea, wajar saja jika aku meminta para chef untuk memasak masakan Korea," tutur Mandy. Mendengar penuturan Mandy, Marry memilih diam. Terlebih lagi saat para tamu mengomentari tentang menu makan malam pada saat itu. "Siapa yang memasak sup kuah ini? Rasanya sama persis seperti yang ada di negara Korea," puji salah satu tamu. Mandy langsung menyuruh Albertina dan Georgina untuk kembali ke tempatnya. Marry pun membalikkan badannya dan tersenyum pada tamu itu, begitu juga dengan Mandy. "Benarkah?" ujar Marry memastikan. Tamu itu menganggukkan kepalanya. "Kami memang punya chef yang sangat berpengalaman. Itupun kami da
Ara melirik Jean yang sudah tertidur pulas. Kedua mata Ara belum bisa diajak kerjasama. Badan Ara sudah sangat lelah, akan tetapi kedua mata Ara semakin lebar. Pastinya di dalam kepala Ara berkeliaran berbagai macam hal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu malam. "Fyuh, kenapa kecelakaan itu justru membuatku dilema? Dia sudah tidak ada hubungan apa-apa denganku, tapi kenapa aku masih belum ikhlas?" Bukan Ara tidak ikhlas akan hubungan Ryan dan Ellen, tapi Ara tidak ikhlas tentang hal lain. Ya, betul sekali. Ara tidak mengikhlaskan soal tempat tinggalnya. Susah payah Ara mengumpulkan uang dan bisa membeli sebuah rumah untuk melepas lelah, tapi rumah itu sekarang telah menjadi milik orang lain bahkan mungkin akan menjadi hak dari rentenir yang mengejar-ngejar Ara. Bahkan Ara juga belum menunjukkan rumah itu pada sang ibu. Hati dan pikiran Ara saat itu benar-benar berantakan. Rasanya dia ingin meluapkan semua emosinya, tapi kepada siapakah Ara akan meluapkan emosinya? Jawaba
Malam itu Ara kembali tidak bisa tidur. Ara terus dibayangi oleh bayang-bayang si pemilik sorot mata tajam yang mengerikan. Ara dibuat dilema antara khawatir dan takut jika pertemuan hari itu akan membuat bencana serta boomerang bagi diri Ara. Pagi harinya semua bekerja seperti biasanya, akan tetapi ada yang berbeda dari Ara. Ara tampak lesu dan kurang semangat. Ara tidak seceria seperti biasanya bahkan sering membuat kesalahan. Saat Ara memasak, masakannya cenderung berasa asin. Sampai Ara kena tegur maid lainnya. Beruntung tidak ada maid senior di dapur pada saat itu. Jika ada salah satu maid senior atau asisten nyonya besar pasti Ara akan kena marah. Bisa jadi Ara akan dipecat. "Ara, untuk hari ini lebih baik kau jangan memasak. Aku takut jika nanti masakannya tidak enak," saran dari Jean dan Ara pun menerima saran dari Jean. Ara memilih untuk bergeser. Ara mengakui jika dirinya tidak cukup fokus pada hari itu. "Ara, tolong ambilkan talenan." "Ini ...." Ara menyodorkan
Terpilihnya Ara menjadi pengasuh Albert membuat Jean senang, tapi tidak untuk Ara. Ara justru merasa jika posisinya menjadi seorang pengasuh di rumah itu adalah kutukan. Bagaimana tidak? Posisi itu mengharuskan Ara harus pindah dan masuk ke dalam rumah serta menempati kamar khusus. Bagi Jean menjadi pengasuh Albert adalah penghargaan besar karena pasti upah kerja akan lebih besar dari hanya seorang maid yang berkecimpung di dapur saja. Jean terus memberi semangat agar mental Ara kuat dan bahagia jika sudah pindah ke dalam. Banyak maid yang merasa iri pada Ara dan mereka menggosipkan Ara ke sana dan kemari. Banyak yang ingin naik jabatan tapi hal itu jarang terjadi. Beruntungnya Ara terpilih dan yang memilihnya langsung adalah Tuan Besar Jacob. Ara memutuskan untuk mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas. "Aku bingung dengan sikapmu itu, Jean. Apa kau senang jika aku tidak satu kamar denganmu lagi. Apa kau terganggu dengan rekan sekamar mu ini yang selalu berisik,"
Kehadiran wanita paruh baya itu membuat Ara langsung berdiri tegap serta memberi hormat dengan membungkukkan badannya. Begitu juga dengan Albert yang langsung bangun dan menundukkan kepalanya. Situasi terlihat aneh dan membuat Ara tidak berani berkata apa-apa saat wanita paruh baya itu mendekatinya. Wanita paruh baya itu berdiri di depan ranjang Albert. Melirik Ara, lalu beralih melirik Albert. Ara semakin menundukkan kepalanya. "Albert, cepat mandi!" "Iya, nek." Albert segera berlari masuk ke dalam kamar mandi dan dia ditemani oleh maid yang lain. Wanita paruh baya itu duduk di ranjang Albert sambil melipat kedua tangannya di dada. Sorot mata tajamnya menatap Ara yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk. "Hari ini aku akan memberitahumu cara merawat Albert. Apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukannya serta hal penting apa yang harus kau lakukan," ucapnya tegas. "Baik, nyonya," sahut Ara dengan posisi masih menundukkan kepalanya. "Panggil aku nyonya besar. Kau
Ara sempat terkejut dengan sikap Albert yang menepis loyang tersebut. Ara bisa memahami isi hati Albert, kenapa bocah itu sampai menolak dan menepisnya. Mata Ara berkaca-kaca melihat Albert dan juga obat yang berceceran di lantai. Ara segera memungutnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan amarah atau teguran pada Ara. Lebih untungnya lagi Ara memunggungi CCTV. "Kenapa kau tidak mau minum obat?" "Aku tidak suka. Aku sehat dan aku tidak sakit. Lalu kenapa aku harus minum obat setiap hari. Obat itu sangat tidak enak, rasanya pahit. Aku sudah muak meminumnya," rengek Albert dengan mimik muka cemberut. Ara menghela napas panjang sambil menggerakkan kepalanya. Ara harus memutar otak untuk mencari cara agar Albert mau minum obat. Jika hal itu tidak dia lakukan, maka dia-lah yang akan kena marah. "Tuan muda, ingin makan sesuatu atau tidak?" rayu Ara. "Aku ingin makan permen," sahutnya sambil menatap A
Kehadiran wanita paruh baya itu membuat Ara langsung berdiri tegap serta memberi hormat dengan membungkukkan badannya. Begitu juga dengan Albert yang langsung bangun dan menundukkan kepalanya. Situasi terlihat aneh dan membuat Ara tidak berani berkata apa-apa saat wanita paruh baya itu mendekatinya. Wanita paruh baya itu berdiri di depan ranjang Albert. Melirik Ara, lalu beralih melirik Albert. Ara semakin menundukkan kepalanya. "Albert, cepat mandi!" "Iya, nek." Albert segera berlari masuk ke dalam kamar mandi dan dia ditemani oleh maid yang lain. Wanita paruh baya itu duduk di ranjang Albert sambil melipat kedua tangannya di dada. Sorot mata tajamnya menatap Ara yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk. "Hari ini aku akan memberitahumu cara merawat Albert. Apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukannya serta hal penting apa yang harus kau lakukan," ucapnya tegas. "Baik, nyonya," sahut Ara dengan posisi masih menundukkan kepalanya. "Panggil aku nyonya besar. Kau
Terpilihnya Ara menjadi pengasuh Albert membuat Jean senang, tapi tidak untuk Ara. Ara justru merasa jika posisinya menjadi seorang pengasuh di rumah itu adalah kutukan. Bagaimana tidak? Posisi itu mengharuskan Ara harus pindah dan masuk ke dalam rumah serta menempati kamar khusus. Bagi Jean menjadi pengasuh Albert adalah penghargaan besar karena pasti upah kerja akan lebih besar dari hanya seorang maid yang berkecimpung di dapur saja. Jean terus memberi semangat agar mental Ara kuat dan bahagia jika sudah pindah ke dalam. Banyak maid yang merasa iri pada Ara dan mereka menggosipkan Ara ke sana dan kemari. Banyak yang ingin naik jabatan tapi hal itu jarang terjadi. Beruntungnya Ara terpilih dan yang memilihnya langsung adalah Tuan Besar Jacob. Ara memutuskan untuk mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas. "Aku bingung dengan sikapmu itu, Jean. Apa kau senang jika aku tidak satu kamar denganmu lagi. Apa kau terganggu dengan rekan sekamar mu ini yang selalu berisik,"
Malam itu Ara kembali tidak bisa tidur. Ara terus dibayangi oleh bayang-bayang si pemilik sorot mata tajam yang mengerikan. Ara dibuat dilema antara khawatir dan takut jika pertemuan hari itu akan membuat bencana serta boomerang bagi diri Ara. Pagi harinya semua bekerja seperti biasanya, akan tetapi ada yang berbeda dari Ara. Ara tampak lesu dan kurang semangat. Ara tidak seceria seperti biasanya bahkan sering membuat kesalahan. Saat Ara memasak, masakannya cenderung berasa asin. Sampai Ara kena tegur maid lainnya. Beruntung tidak ada maid senior di dapur pada saat itu. Jika ada salah satu maid senior atau asisten nyonya besar pasti Ara akan kena marah. Bisa jadi Ara akan dipecat. "Ara, untuk hari ini lebih baik kau jangan memasak. Aku takut jika nanti masakannya tidak enak," saran dari Jean dan Ara pun menerima saran dari Jean. Ara memilih untuk bergeser. Ara mengakui jika dirinya tidak cukup fokus pada hari itu. "Ara, tolong ambilkan talenan." "Ini ...." Ara menyodorkan
Ara melirik Jean yang sudah tertidur pulas. Kedua mata Ara belum bisa diajak kerjasama. Badan Ara sudah sangat lelah, akan tetapi kedua mata Ara semakin lebar. Pastinya di dalam kepala Ara berkeliaran berbagai macam hal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu malam. "Fyuh, kenapa kecelakaan itu justru membuatku dilema? Dia sudah tidak ada hubungan apa-apa denganku, tapi kenapa aku masih belum ikhlas?" Bukan Ara tidak ikhlas akan hubungan Ryan dan Ellen, tapi Ara tidak ikhlas tentang hal lain. Ya, betul sekali. Ara tidak mengikhlaskan soal tempat tinggalnya. Susah payah Ara mengumpulkan uang dan bisa membeli sebuah rumah untuk melepas lelah, tapi rumah itu sekarang telah menjadi milik orang lain bahkan mungkin akan menjadi hak dari rentenir yang mengejar-ngejar Ara. Bahkan Ara juga belum menunjukkan rumah itu pada sang ibu. Hati dan pikiran Ara saat itu benar-benar berantakan. Rasanya dia ingin meluapkan semua emosinya, tapi kepada siapakah Ara akan meluapkan emosinya? Jawaba
Mendengar teriakan sang nyonya tua, Albertina dan Georgina berlari menghadap Nyonya Marry. Wanita tua itu terlihat sangat kesal. Mandy sempat melarang ibunya itu, akan tetapi Mandy adalah anak yang selalu disetir oleh ibunya. Mandy tidak bisa melarang kehendak sang ibu. Namun, malam itu Mandy berani memprotes ibunya. "Ibu, sudahlah. Tidak perlu diperbesar. Tamu ku dari Korea, wajar saja jika aku meminta para chef untuk memasak masakan Korea," tutur Mandy. Mendengar penuturan Mandy, Marry memilih diam. Terlebih lagi saat para tamu mengomentari tentang menu makan malam pada saat itu. "Siapa yang memasak sup kuah ini? Rasanya sama persis seperti yang ada di negara Korea," puji salah satu tamu. Mandy langsung menyuruh Albertina dan Georgina untuk kembali ke tempatnya. Marry pun membalikkan badannya dan tersenyum pada tamu itu, begitu juga dengan Mandy. "Benarkah?" ujar Marry memastikan. Tamu itu menganggukkan kepalanya. "Kami memang punya chef yang sangat berpengalaman. Itupun kami da
"Hah? Apa?" sahut Ara melongo. "Ah, sudahlah. Aku terlalu capek saat mengobrol dengan mu untuk saat ini. Aku seperti sedang bicara dengan patung." Jean memangku dagunya sendiri. Jean terlihat merajuk pada Ara. Ara pun berusaha untuk menghiburnya. Celotehan Ara berhasil membuat Jean tertawa. Bagaimana pun juga kedatangan Ara di rumah keluarga Chase memberi warna yang berbeda. Kadang sikap polos Ara membuat para maid yang bekerja di rumah itu menjadi heran, terkadang Ara juga bisa tegas. "Ara, apakah kau punya kepribadian ganda?" tanya seorang maid yang baru saja masuk ke dapur. "Hah? Enak saja kau bilang aku punya kepribadian ganda," protes Ara. Dapur kembali ramai karena celotehan Ara dan maid-maid lainnya, tapi setelah itu dapur yang ukurannya sangat besar seperti dapur di restoran ternama mendadak menjadi hening. Albertina masuk ke dalam dapur bersama dengan Georgina. Mereka berdua adalah maid senior di rumah itu. Mereka lah yang paling awet bekerja di sana. Kedua maid
"Kenapa kau malah bengong di situ? Kau bisa masak atau tidak? Jika kau tidak bisa masak maka kau akan gugur!" Albertina menatap tajam pada Ara. "Kau tahu kan lowongan kerja apa yang sedang kami cari?" "Anda sedang mencari Chef," jawab Ara tegas kala tersadar. "Lalu kenapa kau masih bengong di situ? Kau bisa memasak?" "Eh--anu--itu---" "Ganti!" sela Albertina. "Tunggu! Maafkan Aku." "Masih banyak yang antri dan kau tidak masuk dalam kriteria." "Bagaimana bisa anda bilang jika aku tidak termasuk dalam kriteria, sedangkan anda sama sekali belum mempekerjakan ku." "Semua keputusan ada di tanganku." "Hmm ... jika kau mencari yang sempurna, maka semua yang antri di sini tidak ada yang masuk dalam kriteria," celetuk Ara membela dirinya sendiri juga yang lainnya. Pelayan di samping Albertina berbisik disusul senyum manis di bibir Albertina. "Baiklah. Kau diterima bekerja di sini.".... "A-apa? Aku diterima?" Ara terlihat tidak percaya. "Tidak diterima salah, diterima
"Kenapa kau kunci pintunya?" ucap Barnes. Ara menepuk jidatnya sendiri, gadis itu benar-benar lupa jika pintunya dia kunci. "Ma-af, aku menguncinya karena tadi aku pergi mandi dan aku lupa membuka kuncinya," tutur Ara.Wajahnya menjadi merah seperti tomat, tapi selang beberapa menit Ara mengubah mimik wajahnya saat melihat gadis yang ada di belakang Bernas. "Oiya ... Ara, perkenalkan ini adikku." Bernas menarik tangan gadis itu hingga berdiri berjajar dengannya. "Halo ...," sapa gadis itu dengan ramah. Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Ara. Justru Ara terlihat masih sedikit canggung. Namun, akhirnya Ara membalas uluran tangan dari gadis itu. "Namaku Jean," lanjutnya tersenyum. "Aku———Ara," balas Ara sambil tersenyum.Dibalik senyuman itu, Ara mengira jika Jean adalah sosok gadis yang jutek.*** "Kau sedang mencari pekerjaan?" tanya Jean disela-sela makan malamnya bersama dengan Barnes dan juga Ara. "Eh, serius makanan ini enak sekali," lanjut Jean memuji masakan