"Selamat siang. Mbak siapa dan ada perlu apa, ya?" tanya Hanif terheran-heran. "Perkenalkan saya Nabila. Saya ada perlu dengan Anda. Bisa kita bicara sebentar?" Perempuan yang mengaku bernama Nabila itu tersenyum. "Maaf, tapi saya nggak bisa lama-lama soalnya saya lagi banyak kerjaan." "Oke, nggak masalah." "Kalau mau bicara sebaiknya di sini saja. Gimana kalau kita duduk di sana?" Hanif menunjuk kursi panjang dari semen yang ada di bawah pohon. Di ujung halaman. "Oh nggak. Tempat itu kayaknya banyak dilalui orang. Saya nggak mau orang liat kita saling kenal dan pernah berinteraksi," tolak Nabila membuat Hanif makin heran. "Lho, memangnya kenapa? Bukannya kita memang ada interaksi? Dan sebenarnya apa yang mau Mbak bicarakan ke saya?" Hanif mencium aroma tidak beres dari gelagat gadis bernama Nabila itu. Pasalnya dia pun tak mengenal gadis itu dan tiba-tiba saja mengajaknya bicara. "Karena yang ingin saya bicarakan ini penting dan bersifat rahasia. Saya nggak mau ada yang dengar.
"Jadi kamu adalah selingkuhannya Pak Reza? Suaminya Nazwa?" Hanif memastikan fakta yang barusan dia dengar dari mulut perempuan bernama Nabila itu. Sampai sejauh ini beberapa informasi yang dia dapat adalah Nabila mengaku sebagai selingkuhannya Reza karena sebagai mantan, dia masih mencintai pria itu. Nabila juga mengaku, diam-diam dia mencari tahu tentang Hanif, termasuk tempat tinggal dan di mana Hanif bekerja. Dan akhirnya mereka berdua jadi bicara di kantin sekolah yang sudah tutup. Nabila pikir di sini tidak akan ada yang melihat mereka. "Kenapa? Nggak percaya? Mau liat bukti?" Nabila memperlihatkan foto di ponselnya pada Hanif. Foto mesranya dengan Reza. Hanif membelalak melihatnya. "Lalu buat apa Mbak mencari tahu soal saya? Kenapa Mbak menceritakan semua ini ke saya?" Hanif masih tak mengerti. Nabila kembali meletakkan ponselnya di atas meja. "Well, saya udah cari tahu tentang kamu. Dan saya udah beberapa kali melihat interaksi kamu sama Nazwa, termasuk yang tadi. Kamu ud
Nazwa dan Reza akhirnya tiba di rumah. Mobil Reza sudah terparkir di garasi rumahnya. Tapi Reza tak langsung turun setelah mematikan mesin mobil. Dia menoleh memandangi Nazwa yang sejak tadi duduk di sampingnya. "Kenapa, Mas?" Nazwa tersenyum. "Aku lega sekarang. Aku tenang." Reza juga tersenyum. "Lega kenapa memangnya?" "Aku udah nggak khawatir lagi karena udah bisa memastikan kalau aku bisa jagain kamu." "Aku selalu terjaga untukmu kok, Mas." Reza membelai kepalanya istrinya. "Sekarang aku udah yakin. Maafin aku ya Nazwa kemarin udah kasar dan nggak percayaan sama kamu." "Asal nggak diulangi lagi." "Aku akan berusaha." Lalu Reza mencondongkan tubuhnya ke istrinya, berbisik. "Kamu sendiri gimana? Udah percaya kan sama aku? Nggak curiga-curigaan lagi?" Nazwa sempat terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Jujur, sebenarnya pun dia masih ragu. Tapi dia berharap semoga suaminya benar-benar berubah. Hanya waktu yang bisa menjelaskan semuanya. "Percaya nggak?" tanya Reza lagi. "Per
Nabila masuk ke kamar dan menghempaskan tas-nya dengan emosi yang meluap-luap. Dia kesal. Rencananya mengajak Hanif bekerja sama untuk menghancurkan rumah tangga Nazwa gagal total. Hanif sama sekali tidak tertarik. Percakapannya dengan Hanif pun seketika membayangi. "Apa-apaan?" "Ya, saya mengajak Anda bekerja sama." "Bekerja sama dalam menghancurkan rumah tangga orang?" Hanif menggeleng tidak terima. "Maaf, saya nggak berminat." Nabila terkejut mendengar penolakan itu. "Lho kenapa? Bukannya ini tawaran yang menarik? Anda berkesempatan memiliki Nazwa. Dan saya sudah membantu memudahkan jalannya." "Maaf sekali lagi. Sebelumnya kita nggak saling kenal. Lalu tiba-tiba Mbak datang mengaku sebagai pelakor, mengajak saya bekerja sama untuk menghancurkan rumah tangga orang?" Hanif menatap Nabila tak percaya. "Apa Mbak nggak tahu, jadi pelakor itu dosanya besar? Siksaannya pedih di akhirat. Lagi pula kenapa Mbak nggak cari laki-laki lain saja yang belum beristri? Kenapa harus suami orang
Tanpa terasa satu bulan sudah terlewati. Keadaan Reza makin membaik. Pun keadaan rumah tangganya. Diam-diam Reza masih sering menghubungi Nabila. Entah itu lewat chat atau bertemu langsung, tapi kali ini Reza pintar menyembunyikan perselingkuhannya. Hingga pernikahan mereka terlihat tentram saja. Tidak ada masalah yang berarti selain pertengkaran-pertengkaran kecil yang mewarnai biduk rumah tangga mereka. Hari ini hari pertama Reza mulai bekerja kembali setelah sembuh dari operasi. Pagi itu Reza memasuki rumah sakit yang agak sepi dari biasanya, hanya ada beberapa pekerja Cleaning Service yang tengah mengepel lantai menyapanya. "Pagi, Pak Reza." Reza hanya tersenyum dan mengangguk. Kaki panjangnya terus melangkah. Dia tak melihat temannya yang biasa dia lihat jika datang di pagi hari. Semuanya tampak sepi. Sesampainya di depan ruang kerjanya, Reza membuka pintu bersamaan dengan suara ledakan dan letupan balon mengagetkan. Reza seketika terperanjat mendengar suara itu. "Selamat da
Nabila tersenyum senang. "Kalau gitu kapan kamu ceraikan Nazwa?" Pertanyaan itu spontan membuat Reza tersedak-sedak. Wajah pria itu bahkan terlihat memerah. Nabila melotot. "Ya ampun, Za! Minum dulu." Nabila memberi Reza minum. "Kenapa, sih?" Nabila menatap Reza khawatir. Setelah sedaknya berhenti barulah pria itu bicara. "Kamu ngawur." Reza terbatuk-batuk kecil, kerongkongannya terasa pedas. Dia menenggak air lagi. Nabila mengernyit. "Ngawur apa sih?" "Aku nggak mungkin menceraikan Nazwa," ucapnya sambil kembali meletakkan gelas di meja. "Oh itu doang bisa bikin kamu tersedak, Za? Ya ampun. Lagian kenapa nggak mungkin? Za kan kamu udah tahu gimana kelakuan Nazwa sebenarnya. Aku juga bisa kok jadi istri yang jauh lebih baik buat kamu dibanding dia. Aku bisa kasih kamu keturunan. Kamu cinta kan sama aku? Aku lebih bisa bahagiakan dan ngertiin kamu. Kamu sadar itu kan?" "Bukan itu masalahnya, Bil." Mereka bertatapan. "Lalu apa? Za kamu tahu nggak sih orang tua aku nanyain terus k
Reza kembali melanjutkan tugasnya, yaitu mengecek keadaan pasien rawat inap. Dokter mengenakan snelli putih itu memasuki ruang Anggrek 1. "Selamat siang," sapanya sambil tersenyum ramah menatap para pasien yang sebagian besar adalah bapak-bapak. Saat itu pukul satu siang, sebagian besar pasien baru menyelesaikan jatah makan siangnya. "Siang, Dok," jawab beberapa pasien. Reza mendatangi pasien di tempat tidur pertama yang terletak di dekat pintu. Dia adalah seorang bapak-bapak yang dilihat dari perawakannya berusia sekitar 50an tahun. Bapak itu lalu meletakkan piringnya yang sudah kosong, hanya menyisakan sedikit sisa nasi, di atas nakas kala melihat kedatangan dokter Reza. Dokter Reza tersenyum. "Dengan Pak Widodo?" Reza melihat nama yang terdapat pada gelang identitas pasien. Pak Widodo mengangguk dan menyandar di sandaran tempat tidurnya. "Sakit apa, Pak?" tanya Reza. "Serangan jantung ringan, Dok," jawab pria berkulit gelap dan tambun itu. "Sudah diperiksa sama dokter spes
"Sebenarnya aku mau ajak kamu jalan-jalan sih kemana gitu sebelum pulang." Akhirnya Reza memutuskan mengantar Nabila pulang ke rumahnya. Nabila senang bukan main. Namun, sesampainya dalam mobil, gadis itu meminta lebih. "Jangan aneh-aneh ya, Bil. Aku mau ngantar kamu pulang aja udah syukur harusnya." Reza fokus menyetir. "Kamu kok jadi gitu, sih? Perhitungan sama aku." Nabila berdecak, wajahnya cemberut. "Bukannya perhitungan cuman kan untuk saat ini aku nggak bisa keluar lama-lama, keadaannya belum memungkinkan. Nanti Nazwa bisa curiga. Kamu ngerti nggak, sih?" Nabila agak terkejut mendengarnya. Dari ucapannya kelihatannya Reza serius dengan ucapannya. Dia jadi makin kesal. "Iya, aku ngerti. Oke deh aku nggak akan macam-macam. Cuman kan aku tuh kangen gitu sama kita yang dulu, kangen kamu yang selalu ada buat aku." "Kamu harus sabar ...." Nabila terdiam, melempar pandang ke luar jendela, melihat gedung-gedung pencakar langit. Dia kesal mendengar jawaban Reza yang itu-itu saja.