"I-Ini rumah Om?" tanya Qinan. Ia menatap takjub pada bangunan rumah lantai 3 beserta beberapa mobil berbaris rapi di garasi. Halamannya juga luas dan terdapat air mancur sebagai pusatnya.
"Tutup mulutmu atau nanti semua lalat akan masuk," Satya berucap tanpa ekspresi."Kekagumanmu akan bertambah-tambah nanti saat masuk. Jadi jangan perlihatkan semuanya di sini!" sambungnya lagi.'Ck, sombong juga kalau sudah masuk kandangnya,' batin Qinan.Benar kata Satya, begitu manapakan kaki dalam hunian itu, decak kagum tak bisa Qinan sembunyikan dari wajahnya. Mimpi apa Qinan semalam, sampai ia begitu beruntung hari ini, bertubi-tubi keberuntungannya. Sudah beres soal ayahnya saja Qinan lebih dari bersyukur. Lebih-lebih kini ia dalam waktu singkat sudah menjadi istri seorang rupawan dan hartawan macam Satya. Istri sah pula. Bukankah ini lebih dari ekspetasinya.Dan, jika ini mimpi Qinan berharap agar tidak bangun saja. Terlalu sayang untuk dilewatkan. Ataukah mungkin ini adalah penawar dari getir dan pahit hidupnya akhir-akhir ini. Apapun itu, yang pasti Qinan bersyukur. Berjuta-juta syukur ia panjatkan pada Tuhan.Qinan lirik sekilas wajah Satya yang kini berjalan beriringan dengannya menaiki tangga. Qinan ulas senyum kecil, sangat tipis. Dilihat dari sisi mana umur 35 tahunnya, Qinan tak tau. Kalau boleh jujur, tak ada sama sekali, orangnya jelas masih tampan begitu kok."Udah senyum-senyumnya?" tanya Satya menginterupsi lamunan Qinan.Ah, memalukan sekali memang ketahuan sedang curi-curi pandang lalu senyum-senyum sendiri. Memangnya sejak kapan Qinan jadi norak seperti ini? Lagipula tak ingatkah jika Qinan sendiri sudah punya pacar yang sedang uring-urungan karena tak kunjung diberi kabar. Lalu Qinan? Justru sibuk terlena dengan kehidupan barunya yang berbalik 180 derajat."E-Eh,""Jangan berpikir terlalu jauh. Pernikahan ini tak seperti yang kamu bayangkan," jelas Satya sambil membuka pintu kamar. Kamar yang tentu saja besar, lebih besar dari rumah Qinan yang hanya muat menampung 30 orang."Siapkan air hangat. Aku sangat gerah dan ingin segera mandi.""Ya?" Qinan kerutkan keningnya. Ia bahkan baru satu langkah menginjakkan kaki di kamar itu, dan satu perintah langsung melayang dari bibir Satya, yang benar saja?"Kamu pikir saya memberimu 700 juta untuk berleha-leha?" tanyanya skeptis.Iya, iya Qinan tau jawabannya, tapi tak langsung begini juga kan? Begitu pikir Qinan."Heii ... Bangun baby, tidurmu terlalu miring!" kata Satya lagi diakhiri senyum mengejek."Lihat ini. Aku sangat tidak suka berantakan, biarpun aku sendiri yang melakukannya."Bagaimana sih maksudnya? Satu perintah saja belum dilaksanakan sudah diimbuhi lagi. Dan apa-apaan itu? Seenak jidatnya saja Satya membuka satu persatu bajunya, melempar sembarang ke segala sisi.Apa laki-laki itu sungguh tak malu? Sepertinya tidak, terbukti kini Satya justru berjalan ke arah Qinan dengan busana yang hampir tanggal semua. Tidak, tidak! Kalau begini Qinan saja yang malu. Dengan secepat kilat Qinan tutup wajahnya dengan satu tangan, sedang tangan satunya lagi memunguti semua pakaian yang berceceran tadi, memasukannya ke keranjang. Lalu lanjut ke kamar mandi menyiapkan air hangat."Jangan lupa beri aroma terapi, saya cukup penat hari ini.""Iya." Teriak Qinan dari dalam kamar mandi. Tiga menit Qinan sudah keluar lagi. "Sudah Om.""Hm. Bagus. Kamu boleh istirahat sekarang, itu kamarmu, tidurlah kalau bisa." Mata Qinan berbinar terang mendengarnya. "Trimakasih Om,"Namun sia-sia, baru saja hendak merebah sebuah teriakan terpaksa memaksanya harus bangun dengan segera. "Cepat ambilkan handuk, atau aku akan keluar tanpa memakai apa-apa!""Sekalian juga ambilkan baju ganti yang warna hitam. Jangan sampai salah warna! Ingat yang hitam!"'Iya iya, apa begini tugasku ke depannya. Melayani yang dia maksud adalah seperti ini? Lagipula apa maksudnya jangan sampai salah warna, lihat ini ... Bajunya saja hanya ada satu warna. Huh,' gerutu Qinan sendiri dalam hati.°°°Setelah selesai semua keperluan yang berkaitan dengan Satya. Kini Qinan merebahkan diri di kamar, yang kata Satya adalah-kamarnya. Baru 3 jam saja rasanya sudah tak karuan raga Qinan, melayani versi Satya memang tak dapat diragukan lagi. Plus-plus jatuhnya. Dalam artian segala macam dikerjakan termasuk hal kecil menggaruk badan yang gatal, juga mengambilkan minum padahal di sampingnya."Siapa yang menyuruhmu tidur di sini?" Pertanyaan itu melayang saat Qinan baru saja menyentuh kasur. Qinan lihat Satya memicingkan matanya karena tak suka. Laki-laki itu baru saja kembali dari ruang kerjanya."Bukannya ini kamarku kan? Apa aku tak boleh tidur di sini?""Tentu boleh baby. Tapi tidak sekarang, okke. Malam ini jatahku tidur, dan kamu temani Sean di kamarnya. Sepuluh menit lagi dia akan bangun. Turuti semua keinginannya, asal jangan biarkan dia keluar kamar. Jangan ganggu saya kecuali ada yang benar-benar urgent!"Satya membuka connecting door yang menghubungkan kamarnya dengan kamar Sean lalu segera menutupnya lagi setelah Qinan masuk. Kedatangan Qinan mengusik ketenangan tidur bocah lelaki berumur 6 tahun yang bernama Sean itu. Ia segera bangun dan langsung menangkap sosok Qinan yang masih mematung."Kau sudah bangun Sayang?" tanya Qinan selembut mungkin."Berapa Papa menggajimu?!"Qinan menautkan alisnya. Sebuah pertanyaan menohok langsung keluar dari mulut bocah 6 tahun yang baru bangun tidur. "Apa yang kamu bicarakan Sean?""Katakan saja! Sepuluh juta? Tiga puluh atau bahkan lima puluh juta?" tanyanya lagi dengan tatapan yang menikam. Kelakuannya sama persis seperti ayahnya."700 juta," Jawab Qinan dengan tegas. Perihal Sean yang badung sudah Satya singgung selama di mobil. Jadi Qinan memang harus siap mental menghadapi kelakuan Sean, dan poin yang harus di ingat adalah dia tak boleh kabur atau dia beserta keluarganya akan mendekam di penjara karena dianggap tidak bisa melunasi hutangnya pada Satya."Hahaha ... Papa semakin gila saja. Memangnya dengan uang sebanyak itu bisa membuat orang lain akan betah bersamaku. Huh, tidak akan! Aku akan membuat orang itu pergi dengan segera!" gumam Sean sambil berjalan gontai ke kamar mandi."Tan.. tanteeee tolong Seaan! Cepaat!" teriak Sean dari kamar mandi. Qinan pun gegas menyusulnya karena khawatir terjadi apa-apa dengan Sean."Iya Sean. Tung-"Jeddet"Auh ... Akh!" Qinan meringis kesakitan dalam posisi terlentang karena terpeleset lantai kamar mandi yang begitu licin. Sementara Sean keluar dengan terbahak-bahak menertawai nasib buruk Qinan yang sesuai rencananya. Belum selesai sampai di situ saat Qinan bangun dengan tertatih, ia kembali dikejutkan Sean yang melempar seekor katak tepat mengenai pundaknya."Aaaaaa ... Seaaaan tolong buang ini Sean, Tante mohon. Kamu boleh kasih binatang lain, tapi jangan binatang ini Sean ... Hih, Tante geli sekali." Qinan bergidik geli, dan terus melompat kegelian karena katak itu tak juga lompat dari pundaknya, sementara Sean justru puas menertawai Qinan sampai memegangi perutnya.Semakin lama kelakuan Sean semakin menjadi, membuat Qinan sampai jengah sendiri dan ingin menyerah. Dari mulai memungut sampah yang dibuang sembarangan, dikerjai dengan diberi jus semangka yang diberi cabe, sampai dilempar segala mainan yang mengenai perut hingga kepala. Baret dan benjol di beberapa bagian. Belum lagi semua mainan yang Sean berantakkan membuatnya ingin berteriak sekencang-kencangnya.Bodo amatlah sekarang, Qinan harus tetap menjaga kewarasannya karena sudah dipastikan ini tak berlangsung hanya sehari dua hari, melainkan berhari-hari. Qinan putuskan untuk tidur saja meski Sean masih terus melemparinya mainan.Drrt drrtPonsel Qinan bergetar, menunjukan notifikasi pesan dari sang adik, Rian. Samar-samar ia buka pesan itu, karena matanya terpejam sejak tadi.[Operasi Ayah sudah selesai tadi malam jam 11 Kak, Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Sekarang Ayah sedang dirawat di ruang pemulihan. Kemungkinan beberapa jam lagi baru sadar.][Send a picture.]Seulas senyum terbit dari bibir Qinan yang kini berwarna hitam. Ia lega, setidaknya tanggungjawab terhadap ayah sudah Qinan penuhi. 'Sekarang waktunya aku memenuhi tanggungjawabku terhadap Satya'. Ia lantas bangkit dengan semangat baru."Sean, kamu pandai melukis ternyata." Qinan melihat pantulan dirinya di cermin yang sudah tak berupa. Selama tidur tadi wajahnya dijadikan kanvas untuk melukis oleh Sean. Dibuat layaknya badut wajahnya. Qinan tersenyum lebar hingga menampilan barisan giginya."Bagaimana Sean, apa sudah mirip? Ehm, sebentar-sebentar ... Bagaimana kalau bagian sini diberi tompel hitam yang besar dan merah di bagian sini. Sepertinya akan lebih bagus Sean." Qinan menunjuk bagian pipi juga matanya untuk di gambari lagi oleh Sean. Qinan mendekat, merendahkan badannya agar sejajar dengan Sean dan menunjukan ekspresi siap di perongi lagi wajahnya, biar puas sampai terpingkal-pingkal sekalian anak nakal itu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Sean melangkah mundur dengan wajah yang masam."Tante nggak asik. Tante nggak suka marah-marah. Sean maunya Tante marah-marah terus pergi dari kamar Sean secepatnya!" gerutu Sean sambil berlalu dan meringkuk di bawah selimut. Tak sampai lama terdengar dengkuran halus dari bocah usil itu, Qinan sendiri hanya geleng-geleng kepala tapi juga merasa lega karena dengan Sean tidur artinya tugasnya selesai.Qinan langkahkan kakinya ke kamar, saat ia sedang memposisikan diri untuk tidur tangannya ditarik hingga ia terjerembap ke atas tubuh Satya."Aku mencintaimu ... Aku dan Sean membutuhkanmu ... Kembalilah Sof ....""Tidak! Aku sudah menunggumu sejak lama, mereka biar menjadi urusanku. Kamu tetaplah di situ, jangan kemana-mana! Aku akan menjemputmu sekarang!"Dengan tergesa-gesa Satya memakai jaketnya, semetara telponnya masih ia apit di telinganya. Terus meyakinkan lawan bicaranya kalau dia akan menemuinya. Qinan memperhatikan hal itu dibalik pintu kamar Sean. Ada wajah tak biasa yang tak pernah Qinan lihat saat bersamanya.Binar bahagia itu terpancar dari sorot matanya juga bibirnya yang sejak sambungan telpon itu terhubung terus saja melengkungkan senyum. "Lima belas menit. Ah tidak, tidak. Sepuluh menit lagi aku sampai, tunggu aku, mengerti!"Satya berlari kecil menuruni anak tangga dengan sesekali bersiul ria. Sementara Qinan, entah mengapa jadi tinggi rasa ingin taunya. Melihat Sean juga sedang tertidur membuatnya berinisiatif membuntuti Satya diam-diam."Pak Devan, saya pakai motornya. Jangan bilang siapa-siapa kalau saya pergi." Qinan gegas merebut kontak motor Pak Devan yang baru saja p
"Ck, belum apa-apa sudah sombong. Buktikan saja kalau memang bisa!" tantang Sean. Bocah itu memicingkan matanya, lalu melenggang menuju kursi tunggu. Lagaknya sudah seperti pria dewasa saja bocah itu."Yak?! Kamu menantangku bocah kecil?!" Qinan jadi ikut tersulut emosinya dikatai begitu oleh Sean. Tapi tak dalam arti sebenarnya, Qinan tau Sean hanya sedang menyalakan semangatnya saja. "Tidak. Aku tau kamu tidak akan bisa. Kamu itu payah dalam segala hal." Sean menaruh ranselnya di lalu duduk menyender sambil bersedekap. "Tapi ya, coba saja. Aku hanya ingin melihatnya.""Itu sama aja, dasar anaknya Satya," gerutu Qinan."Ya. Aku memang anaknya suamimu," balas Sean. Padahal jika Qinan lihat, mata anak itu memejam. Tapi masih sempat-sempatnya membalas ucapan Qinan tadi."Ck, bicara dan bertingkahlah seperti bocah 6 tahun, Sean. Kamu ini lebih mirip kakek-kakek kalau terus seperti itu,""Kamu akan melihat Sean yang sesungguhnya kalau bisa membuktikan ucapanmu y
"Tapi nggak di sini juga kan Om? Bisa kan Om bilangnya di rumah, nanti. Ini Rumah Sakit, Om."Jujur saja, Qinan memang sempat salah terka. Tapi sebisa mungkin ia tutupi dengan seolah-olah tak baper akan perhatian kecil Satya. Qinan itu kenapa juga lemah begini jika dihadapkan dengan Satya. Perhatian sekecil itu saja sudah membuat Qinan merasa spesial."Aku tau! Tak usah mengajariku!"Satya tarik nafasnya dalam-dalam, selaan dari Qinan membuatnya lupa akan banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Sean.Sekali lagi Satya ingin tegaskan, ini bukan karena ia merasa khawatir atau menaruh perhatian lebih pada Qinan. Ini semua murni karena Satya ingin mendidik Sean menjadi lelaki yang sesungguhnya, bertanggung jawab dan gentle. Tidak seperti Sean yang di hadapannya saat ini. Bocah pembuat ulah, tempramen dan semaunya. Padahal jika Satya ingat-ingat, Sean dulunya tak begitu.Satya turunkan badannya menjadi setengah berdiri, hingga tingginya selaras dengan Sean kini. Satya tatap dalam diam kedu
"Sean! Apa lagi yang kamu lakukan?!"Satya yang sedang telpon segera mengakhiri sambungan telponnya. Buru-buru ia masuk dan mendapati Qinan berada di lantai sedang memegangi lututnya sambil meringis kesakitan. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Sean yang sedang berdiri di samping Qinan."Bukan Om. Ini bukan salah Sean, aku cuma mau ke kamar mandi tapi ternyata kakiku sakit banget. Sshh," segera Qinan mencari alasan. Padahal ia sendiri kesal bukan main karena tendangan Sean benar-benar membuat lututnya terasa bengkok. "Jangan bohong. Aku denger sendiri kamu teriakan nama Sean tadi," ucap Satya. Ia melihat ke arah Qinan dan Sean secara bergantian."Oh, itu. Ehm, aku jatuh dan yang ada Sean. Jadi aku reflek panggil nama Sean. Mau minta tolong, tapi ya Sean mana kuat menopang tubuhku yang besar ini, Sean kan hanya bocah 6 tahun," kilah Qinan sambil berdiri dibantu oleh Satya."Benar begitu, Sean?""Apa perlu Sean jawab, padahal Tante itu sudah menjelaskannya sendiri?" Sean memutar bo
"Sean sudah mau pulang Om?" tanya Qinan kini sambil memakan jatah makan malamnya. Tentu makan sendiri, Satya mana mau menyuapi. Mau menemani Qinan di Rumah Sakit saja sudah untung. Walau sebenarnya Qinan bertanya-tanya, kok mau orang itu menyelakan waktunya untuk menunggui Qinan?"Sudah," jawab Satya acuh. Dia kemudian duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan punggungnya. Persis seperti yang dilakukan Sean siang tadi, mata Satya juga memejam setelahnya."Jangan lupa makan Om. Om beli aja keluar, aku nggak apa-apa kok ditinggal.""Iya. Buruan dimakan obatnya, habis itu tidur. Jangan berisik, kupingku capek dengerin kamu ngomong dari tadi," jawab Satya jujur. Pasalnya memang betul, Qinan hari ini banyak sekali bicara."Oh, jadi Om dengerin aku ngomong dari tadi? Kirain enggak, abisnya Om diem aja,"Satya hanya melirik Qinan sekilas, lalu kembali memejamkan matanya. Sementara itu Qinan menuruti titah Satya dengan segera meminum obatnya, tapi karena letaknya agak jauh Qinan jadi susah me
Qinan menghela nafasnya panjang. Ia hanya bisa menatap kepergian Satya tanpa menahannya dengan sepatah katapun. Sepertinya bicarapun untuk apa, Qinan siapa bagi Satya saat ini?Ya, walaupun sebenarnya ingin ia berteriak meminta Satya agar tak perlu mengejar Sofiana. Lalu membeberkan kelakuan wanita pujaan Satya yang sesungguhnya. Tapi mana bisa?Lagi-lagi Qinan itu siapa bagi Satya? Punya posisi apa ia di hati Satya? Dan yang jelas, punya bukti apa?Baiklah, untuk saat ini biar Qinan tahan dan perpanjang stok kesabarannya dulu. "Perjalananmu baru akan dimulai, Qinandra Larasati. Bermainlah dengan cantik kalau perlu lebih cantik dari permainan Sofiana itu," lirih Qinan. Ia tersenyum smirk kemudian. "Cih, airmata buaya." Rasanya Qinan ingin tertawa saat melihat akting Sofiana tadi, menangis? Wow.Ya, mungkin Qinan juga nantinya harus belajar demikian.°°°Sementara Qinan melewati malamnya sendirian di Rumah Sakit. Satya dan Sofiana kini tengah berdua di apartemen milik Satya, yang saat i
"Kamu nggak perlu khawatir Sayang, aku hanya perlu dukunganmu. Aku akan tetap meluangkan waktu untukmu, juga Sean. Datang ke sini setiap kamu merindukanku, aku akan selalu siap menemanimu." Sofiana kalungkan lengannya di leher Satya, sementara tangan satunya menari di rahang tegas Satya. Jambang tipis milik lelaki matang itu masih menjadi favoritnya. Berhenti dibenda kenyal kemerahan milik Satya, Sofiana usap lembut kemudian mendaratkan bibirnya di sana, singkat."Asal itu bukan di jam kerja. Datanglah kapanpun kamu mau," sambungnya lagi. Tangan Sofiana mulai bergerak turun dan berhenti pada dada bidang Satya."Keputusanmu membuatku kecewa Sof,""Iya aku tau. Aku siap mendapat hukuman darimu."Sofiana bergerak mundur dengan tangannya tetap berada di posisi semula. Sofiana menjatuhkan diri ke ranjang yang artinya juga Satya ikut terbawa bersamanya. Tatapan mereka saling mengunci. Hingga setelahnya mereka tak bisa lagi terkendali. Di saat rindu itu sendiri belum terbayar tuntas, emosi,
"Satya juga sudah memberikannya Ma. Sean itu cucu Mama!" Satya langsung terpancing emosi saat Iriana membahas cucu. Ya, dari dulu Iriana memang tak pernah menganggap Sean sebagai cucunya."Mama nggak yakin dia itu anakmu." Iriana mengucapkan itu dengan renyah, lalu dengan santainya duduk menyilangkan kaki."Ma!" Suara Satya meninggi. Wajah Satya memerah karena dikuasai marah. Sepatah kalimat yang diucapkan mamanya dengan santai itu begitu menyayat hati Satya. Gemuruh di dadanya meletup setiap kali membahas Sean dengan mamanya. "Sampai kapanpun Mama nggak akan anggap dia cucu Mama Sat!" Iriana tekankan lagi kalimatnya. Yang artinya sama saja mengobar bara api yang sudah menyala di dada Satya, Satya bergerak maju karena tak terima akan ucapan mamanya."Apa aku juga bukan anak Papa?!" Kata yang sejak lama ingin Satya lontarkan akhirnya terucap juga. Dengan sungguh-sungguh Satya tanyakan itu. "Jaga ucapanmu Sat! Jelas kamu ini anak Mama dan Papa!" Iriana yang tak t
Krumpyaaangg!Suara sumbang dari kamar sebelah membuat Qinan berjingkat mundur dan segera melepaskan diri dari Satya. Ia canggung dan kikuk sendiri, untuk menatap Satya ia tak berani. Ia sendiri tak tau sejak kapan ia jadi seberani ini. Memulai lebih dulu? Ah, Qinan mendekati gila rupanya.Satya sendiri tercekat. Ia merasa telah melakukan hal yang salah. Tak seharusnya ia melakukan hal itu dengan Qinan. Dia dan seluruh hatinya adalah milik Sofiana. Melakukan hal itu membuatnya merasa telah mengkhianati belahan jiwanya itu."Urus Sean!" titah Satya segera karena yakin suara itu berasal dari kamar Sean. Setelahnya ia berlalu keluar kamar tanpa sepatah katapun lagi. Barang hanya menengok wajah Qinan yang sudah seperti orang cengo pun tidak.'Kamu benar-benar sudah memulai langkahmu Qinan? Nggak papa, itu nggak salah Qinan. Satya itu suamimu!'Qinan katakan itu pada dirinya sendiri sebab tak karuan sekali menahan gejolak di dalam sana. Berdebar, gemetar, dan ... juju
"Apa rencana kamu sebenarnya?" tanya Satya usai menutup pintu kamarnya."Nggak ada, aku cuma ngelakuin perintah kamu aja," jawab Qinan sambil berjalan menuju lemari. Menyiapkan baju kerja untuk suaminya. Jalannya sudah tak tertatih, Qinan itu strong. Kemarin juga tak terlalu sakit sebenarnya. Hanya saja ia mengabulkan permintaan Sean. Mengulur waktu agar bocah itu menyiapkan mentalnya untuk bertemu Sofiana."Apa kamu sadar, dengan kamu mengajak Mama tinggal di sini, itu sama aja ngundang masalah baru." Satya mengekori langkah Qinan dan berhenti di dekatnya. Qinan hentikan gerakannya sebentar, lalu meraup udara banyak-banyak."Kamu itu ngomong apa si Mas? Dia itu Mama kamu loh, berarti selama ini kamu anggap Mama sebagai sumber masalah?" tanya Qinan pada Satya."Bisa-bisanya kamu bicara sesantai itu setelah melihat sendiri kelakuan Mama tadi pagi," ucap Satya. Ia mendecih, menatap remeh pada Qinan."Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau aku punya anak kaya k
"Satya juga sudah memberikannya Ma. Sean itu cucu Mama!" Satya langsung terpancing emosi saat Iriana membahas cucu. Ya, dari dulu Iriana memang tak pernah menganggap Sean sebagai cucunya."Mama nggak yakin dia itu anakmu." Iriana mengucapkan itu dengan renyah, lalu dengan santainya duduk menyilangkan kaki."Ma!" Suara Satya meninggi. Wajah Satya memerah karena dikuasai marah. Sepatah kalimat yang diucapkan mamanya dengan santai itu begitu menyayat hati Satya. Gemuruh di dadanya meletup setiap kali membahas Sean dengan mamanya. "Sampai kapanpun Mama nggak akan anggap dia cucu Mama Sat!" Iriana tekankan lagi kalimatnya. Yang artinya sama saja mengobar bara api yang sudah menyala di dada Satya, Satya bergerak maju karena tak terima akan ucapan mamanya."Apa aku juga bukan anak Papa?!" Kata yang sejak lama ingin Satya lontarkan akhirnya terucap juga. Dengan sungguh-sungguh Satya tanyakan itu. "Jaga ucapanmu Sat! Jelas kamu ini anak Mama dan Papa!" Iriana yang tak t
"Kamu nggak perlu khawatir Sayang, aku hanya perlu dukunganmu. Aku akan tetap meluangkan waktu untukmu, juga Sean. Datang ke sini setiap kamu merindukanku, aku akan selalu siap menemanimu." Sofiana kalungkan lengannya di leher Satya, sementara tangan satunya menari di rahang tegas Satya. Jambang tipis milik lelaki matang itu masih menjadi favoritnya. Berhenti dibenda kenyal kemerahan milik Satya, Sofiana usap lembut kemudian mendaratkan bibirnya di sana, singkat."Asal itu bukan di jam kerja. Datanglah kapanpun kamu mau," sambungnya lagi. Tangan Sofiana mulai bergerak turun dan berhenti pada dada bidang Satya."Keputusanmu membuatku kecewa Sof,""Iya aku tau. Aku siap mendapat hukuman darimu."Sofiana bergerak mundur dengan tangannya tetap berada di posisi semula. Sofiana menjatuhkan diri ke ranjang yang artinya juga Satya ikut terbawa bersamanya. Tatapan mereka saling mengunci. Hingga setelahnya mereka tak bisa lagi terkendali. Di saat rindu itu sendiri belum terbayar tuntas, emosi,
Qinan menghela nafasnya panjang. Ia hanya bisa menatap kepergian Satya tanpa menahannya dengan sepatah katapun. Sepertinya bicarapun untuk apa, Qinan siapa bagi Satya saat ini?Ya, walaupun sebenarnya ingin ia berteriak meminta Satya agar tak perlu mengejar Sofiana. Lalu membeberkan kelakuan wanita pujaan Satya yang sesungguhnya. Tapi mana bisa?Lagi-lagi Qinan itu siapa bagi Satya? Punya posisi apa ia di hati Satya? Dan yang jelas, punya bukti apa?Baiklah, untuk saat ini biar Qinan tahan dan perpanjang stok kesabarannya dulu. "Perjalananmu baru akan dimulai, Qinandra Larasati. Bermainlah dengan cantik kalau perlu lebih cantik dari permainan Sofiana itu," lirih Qinan. Ia tersenyum smirk kemudian. "Cih, airmata buaya." Rasanya Qinan ingin tertawa saat melihat akting Sofiana tadi, menangis? Wow.Ya, mungkin Qinan juga nantinya harus belajar demikian.°°°Sementara Qinan melewati malamnya sendirian di Rumah Sakit. Satya dan Sofiana kini tengah berdua di apartemen milik Satya, yang saat i
"Sean sudah mau pulang Om?" tanya Qinan kini sambil memakan jatah makan malamnya. Tentu makan sendiri, Satya mana mau menyuapi. Mau menemani Qinan di Rumah Sakit saja sudah untung. Walau sebenarnya Qinan bertanya-tanya, kok mau orang itu menyelakan waktunya untuk menunggui Qinan?"Sudah," jawab Satya acuh. Dia kemudian duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan punggungnya. Persis seperti yang dilakukan Sean siang tadi, mata Satya juga memejam setelahnya."Jangan lupa makan Om. Om beli aja keluar, aku nggak apa-apa kok ditinggal.""Iya. Buruan dimakan obatnya, habis itu tidur. Jangan berisik, kupingku capek dengerin kamu ngomong dari tadi," jawab Satya jujur. Pasalnya memang betul, Qinan hari ini banyak sekali bicara."Oh, jadi Om dengerin aku ngomong dari tadi? Kirain enggak, abisnya Om diem aja,"Satya hanya melirik Qinan sekilas, lalu kembali memejamkan matanya. Sementara itu Qinan menuruti titah Satya dengan segera meminum obatnya, tapi karena letaknya agak jauh Qinan jadi susah me
"Sean! Apa lagi yang kamu lakukan?!"Satya yang sedang telpon segera mengakhiri sambungan telponnya. Buru-buru ia masuk dan mendapati Qinan berada di lantai sedang memegangi lututnya sambil meringis kesakitan. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Sean yang sedang berdiri di samping Qinan."Bukan Om. Ini bukan salah Sean, aku cuma mau ke kamar mandi tapi ternyata kakiku sakit banget. Sshh," segera Qinan mencari alasan. Padahal ia sendiri kesal bukan main karena tendangan Sean benar-benar membuat lututnya terasa bengkok. "Jangan bohong. Aku denger sendiri kamu teriakan nama Sean tadi," ucap Satya. Ia melihat ke arah Qinan dan Sean secara bergantian."Oh, itu. Ehm, aku jatuh dan yang ada Sean. Jadi aku reflek panggil nama Sean. Mau minta tolong, tapi ya Sean mana kuat menopang tubuhku yang besar ini, Sean kan hanya bocah 6 tahun," kilah Qinan sambil berdiri dibantu oleh Satya."Benar begitu, Sean?""Apa perlu Sean jawab, padahal Tante itu sudah menjelaskannya sendiri?" Sean memutar bo
"Tapi nggak di sini juga kan Om? Bisa kan Om bilangnya di rumah, nanti. Ini Rumah Sakit, Om."Jujur saja, Qinan memang sempat salah terka. Tapi sebisa mungkin ia tutupi dengan seolah-olah tak baper akan perhatian kecil Satya. Qinan itu kenapa juga lemah begini jika dihadapkan dengan Satya. Perhatian sekecil itu saja sudah membuat Qinan merasa spesial."Aku tau! Tak usah mengajariku!"Satya tarik nafasnya dalam-dalam, selaan dari Qinan membuatnya lupa akan banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Sean.Sekali lagi Satya ingin tegaskan, ini bukan karena ia merasa khawatir atau menaruh perhatian lebih pada Qinan. Ini semua murni karena Satya ingin mendidik Sean menjadi lelaki yang sesungguhnya, bertanggung jawab dan gentle. Tidak seperti Sean yang di hadapannya saat ini. Bocah pembuat ulah, tempramen dan semaunya. Padahal jika Satya ingat-ingat, Sean dulunya tak begitu.Satya turunkan badannya menjadi setengah berdiri, hingga tingginya selaras dengan Sean kini. Satya tatap dalam diam kedu
"Ck, belum apa-apa sudah sombong. Buktikan saja kalau memang bisa!" tantang Sean. Bocah itu memicingkan matanya, lalu melenggang menuju kursi tunggu. Lagaknya sudah seperti pria dewasa saja bocah itu."Yak?! Kamu menantangku bocah kecil?!" Qinan jadi ikut tersulut emosinya dikatai begitu oleh Sean. Tapi tak dalam arti sebenarnya, Qinan tau Sean hanya sedang menyalakan semangatnya saja. "Tidak. Aku tau kamu tidak akan bisa. Kamu itu payah dalam segala hal." Sean menaruh ranselnya di lalu duduk menyender sambil bersedekap. "Tapi ya, coba saja. Aku hanya ingin melihatnya.""Itu sama aja, dasar anaknya Satya," gerutu Qinan."Ya. Aku memang anaknya suamimu," balas Sean. Padahal jika Qinan lihat, mata anak itu memejam. Tapi masih sempat-sempatnya membalas ucapan Qinan tadi."Ck, bicara dan bertingkahlah seperti bocah 6 tahun, Sean. Kamu ini lebih mirip kakek-kakek kalau terus seperti itu,""Kamu akan melihat Sean yang sesungguhnya kalau bisa membuktikan ucapanmu y