“Jangan bergerak!”
Lily mengangkat kedua tangan dengan perlahan. Suara langkah kaki kian mendekat. Insting Lily langsung bekerja ketika tangan seseorang menyentuh pundaknya. Dengan sigap diputarnya tangan dan dibantingnya sosok tersebut.
“Berhenti!” Tinju Lily tertahan tepat di depan hidung lelaki yang baru saja dijatuhkan. Suara seseorang dari dalam rumah mengalihkan fokusnya. Mata birunya melebar dan tubuhnya kembali tegak berdiri saat melihat perempuan berparas ayu memakai kebaya.
Lily tak dapat bergerak saat mendapati wanita tersebut mendekat lalu menyentuh pipinya yang putih.
“Anna?”
Lily hendak tersenyum lalu teringat kejadian di bandara saat gadis kecil kabur setelah melihatnya tersenyum. Ia mengurungkannya.
“Ibu,” ucapnya lirih dengan muka tanpa ekspresi.
Direngkuhnya tubuh Lily ke dalam pelukan wanita berkebaya yang tak lain adalah ibunya. Tangis wanita itu berurai.
Tak berselang lama, dua gadis remaja keluar dari dalam rumah. Tak ada kata-kata yang terucap dan wanita berkebaya. Ia menarik kedua gadis kecil itu ikut memeluk Lily.
“Kakak kalian telah pulang.”
***
Berkumpul di meja makan, empat orang itu menikmati makan malam yang kelewat malam. Lily melihat jam dinding sudah diangka 23:05. Matanya lalu berputar ke pemuda yang tadi sempat dijatuhkannya. Sedang meringkuk menahan sakit di atas sofa ruang tamu.
“Anna, ayo dimakan. Nanti keburu dingin,” pinta wanita berkebaya berparas ayu.
“Iya, Bu.” Lily mulai menyendok sup yang disajikan sang ibu. Sendok kedua langsung bergerak setelah menyadari supnya enak.
“Bagaimana perjalanmu dari Moskow?” tanya wanita berkebaya itu sembari menikmati sup di mangkuknya.
“Lancar lancar.”
Lily menyadari kedua gadis remaja yang tak lain adalah adiknya itu mencuri-curi pandang ke arahnya. Namun giliran Lily yang melihat, mereka malu-malu dan memalingkan pandangan.
Mereka adalah Agafia dan si bungsu Natasha. Saat Lily pergi sepuluh tahun silam, keduanya bahkan masih belum bisa menyebutkan nama kakaknya itu dengan benar. Kini saat Lily kembali keduanya telah beranjak remaja dan sangat cantik.
Agafia berambut panjang dan pirang sepertinya. Mata coklatnya mewarisi sang ibu. Sedangkan si bungsu Natasha berambut pendek hitam dengan mata berwarna biru mewarisi ayahnya Viktor Grigori.
“Aku ingin melihat makam Ayah,” kata Lily.
Wanita berkebaya itu tersenyum, “Tentu saja kamu tahu soal itu. Aku tebak kamu pulang juga karena alasan itu kan?”
Lily mengangguk.
“Sudah malam. Kamu istirahat dulu. Besok pagi-pagi, Agafia dan Natasha akan mengantarmu.”
Acara makan malam itu selesai. Lily diantar sang ibu ke sebuah kamar yang sangat sederhana. Hampir tak ada barang mewah di kamar tersebut.
“Maaf jika tak sesuai harapanmu ya, tempat ini memang tak banyak berubah. Atas permintaan ayah kamu tentu saja. Viktor pikir, kalau terlalu mencolok disini bisa jadi perbincangan. Dan mereka akan tahu lokasi ini.”
Lily mengangguk. “Tak masalah, Bu. Aku hanya mengenang sesuatu.”
“Tentang kamar ini?”
“Iya. Masih sama seperti saat aku pergi sepuluh tahun lalu.”
Wanita berkebaya berparas ayu itu tersenyum. Dibelainya pipi Lily yang putih sampai ke belakang kepala. Gadis berdarah Rusia-Indonesia itu merasakan kenyamanan yang telah lama hilang. Tanpa sadar matanya terpejam.
“Ibu senang kamu pulang. Sudah lama ibu mencari cara untuk menghubungi kamu namun belum pernah berhasil. Diluar dugaan, malah kamu yang pulang. Ibu senang sekali, Lilianna.”
“Aku juga, Bu,” jawab Lily.
“Yasudah kamu istrahat ya. Biar ibu yang bongkar kopermu dan memasukkan pakaiannya kedalam lemari.”
“Tak perlu, Bu. Aku bisa lakukan sendiri.”
“Ibu mau melakukannya,” ujar ibunda Lily seraya tersenyum.
Lily menyerah dan membiarkan ibunya membongkar kopernya. Lily mengambil handuk yang baru saja dikeluarkan ibunya dari dalam tas.
“Kamar mandi masih di tempat yang sama, Bu?” tanya Lily.
“Masih. Kamu mau ibu hangatkan air?”
“Kalau tidak merepotkan.”
“Tentu tidak sayang.”
Wanita berkebaya itu berdiri lalu menghilang ke arah dapur. Lily bergegas memeriksa koper dan mengambil pistol yang ia sembunyikan di celah rahasia di koper tersebut. Menaruhnya di atas lemari.
***
Matahari pagi menyambutnya ketika mereka sampai di perbukitan di pinggir desa. Lily menghentikan langkah menikmati hangatnya sang surya di negara yang berbeda.
“Disini lebih hangat,” gumamnya.
“Ayo, Kak,” panggil Agafia yang sudah berjalan agak jauh di depan.
“Aku datang,” sahut Lily.
Perbuktian dengan rumput hijau membentang menyapa mata Lily. Setelah berjalan beberapa menit, tampaklah ratusan batu nisan berbagai ukuran. Makam terbalut sempurna dengan rumput. Beberapa yang masih baru hanya berupa gundukan tanah coklat.
“Makam ayah disebelah sana,” kata Agatha sembari menunjuk ke sebuah gundukan tanah yang masih basah. Lihat menyentuh pipi Agatha dan mendekati makam sang ayah.
“Hi, Dad, aku datang.” Lily berjongkok dan disentuhnya nisan sang ayah. Tertulis Viktor Grigori di nisan batu tersebut.
“Apa yang terjadi?” tanya Lily.
Agafia ikut jongkok, “Usia tua,” jawabnya.
“Begitu rupanya.” Lily melihat Natasha yang tampak menjaga jarak. “Kenapa dengan adikmu?”
Agafia menoleh ke arah mata Lily melihat. “Oh. Dia memang pemalu. Jangankan pada orang baru, tetangga yang sudah lama mengenalnya saja kadang dia masih takut.”
“Bagaimana denganmu?”
“Denganku?” tanya Agafia yang memiringkan kepala. Mata coklatnya mengamati sang kakak.
“Lupakan,” sahut Lily seraya menyentuh kepala sang adik. Diluar dugaan Agatha memeluk Lily erat. Membuat gadis dengan pembawaannya yang dingin itu terhenyak.
“Aku senang kakak pulang,” ucap gadis kecil berambut pirang itu lirih.
Lily tak mengucapkan kalimat apapun sebagai balasan. Ia hanya menunjukkannya dengan belaian lembut di punggung Agafia. Tampak dari kejauhan, Natasha berjalan malu-malu namun semakin dekat.
“Kemarilah,” kata Lily dengan tangan memanggil.
Natasha akhirnya mempercepat langkah dan berlari ikut memeluk kakaknya. Mereka tak menyadari, dari kejauhan ibu mereka menitikan air mata bahagia.
***
Keempat orang itu berjalan bergandengan. Si bungsu yang sebelumnya malu-malu, menjadi yang paling lengket dan memeluk lengan Lily paling erat.
“Ada yang udah ga malu-malu lagi nih kayaknya?” goda Agafia.
“Iiiihhhhhhh.” Natasha merajuk.
“Ssshhh, Aga,” seru sang ibu. Adik Lily itu cekikikan karena berhasil menggoda si bungsu.
Sedang berjalan pulang, tak jauh dari mereka tampak keributan di pasar tradisional. Tampak seorang pemuda dipukuli tiga orang wanita.
“Parmin,” panggil ibu Lily seraya berlari mendekat ke sosok pemuda yang tengah meringkuk di tanah dengan kaki salah seorang wanita menginjak perutnya.
“Tolong lepaskan,” pinta ibu Lily.
“Tidak bisa, Bu Atma. Parmin harus membayar hutangnya.”
“Biar saya yang bayar.”
“Jangan, Bude!” seru Parmin dengan suara lemah. Yang langsung dihadiahi tendangan di perut lagi.
“Ini,” diserahkannnya beberapa lembar uang ratusan ribu ke wanita yang menginjak perut Parmin. Diterimanya dan dilihat sebentar. “Ini kurang.”
Atmarini mengambil seluruh isi dompetnya dan diserahkan sambil menunduk. Seringai puas terbit dari wanita yang menginjak perut Parmin. “Nah, segini baru pas.”
Parmin dilepaskan dan segera mendapat pelukan dari Atmarini. Wanita yang menerima uang dari ibu Lily hendak memasukkan uanganya ke saku. Diluar dugaan Lily memegang lengannya. Menerbitkan amarah di mata wanita tersebut.
“Apa-apaan ini?”
Terima kasih sudah membaca. Tunggu bab berikutnya ya. Dan jangan lupa subscribe.
Sorot mata Lily tajam meladeni tatapan wanita yang baru saja menghajar Parmin. Tangannya sudah mengepal keras.“Anna,” panggil sang ibu. Lily menoleh dan melihat ibunya menggeleng pelan.Seperti melawan nalurinya yang menyukai pertarungan, Lily tak begitu saja menurut. Namun sorot mata ibunya ternyata mampu meredam keinginannya sendiri. Dilepasnya genggaman tangan di lengan wanita tersebut.Namun diluar dugaan, sebuah pukulan dilayangkan ke tulang pipinya.Bugh!Teriakan dari ibu dan adik-adiknya terdengar beberapa saat kemudian. Diperlakukan demikian, darah Lily kembali mendidih. Napasnya memburu menahan amarah.“Ayo. Aku ingin lihat kamu akan melakukan apa,” tantang wanita tersebut. Tampak kedua temannya juga bersiaga di belakangnya."Anna," panggil Atmarini.Lily melihat ibunya. Sekuat tenaga ia menahan gejolak amarah.Deru napasnya perlahan melambat dan Lily bisa kembali tenang. Melewati wanit
Lelaki berkulit legam dengan banyak bekas luka di tangan, terkejut melihat sosok itu menggeliat di pembaringan. Kesakitan memegangi punggungnya. Di sisi kiri dan kanannya, wanita paruh baya berkebaya memegangi tubuhnya dengan resah.Kehadiran lelaki dengan postur tegap dikelilingi beberapa anak buahnya membuat semua orang di ruangan membungkuk hormat.“Siapa yang melakukan ini?” suaranya yang berat mampu menyusutkan nyali.Wati menyenggol Wita, Wita menunduk lalu menyenggol Wati. Keduanya sama-sama takut menatap lelaki tersebut.“Kalian kenapa diam? Mau kupukuli, huh?“Maaf, Pak Ronggo. Kami tak tahu siapa yang melakukan ini pada Rinja,” jawab Wati takut-takut.“Bagaimana bisa kalian tak tahu siapa pelakunya? Kalian bersama putriku setiap saat.”“Orang ini memakai penutup muka, Pak Ronggo,” ucap Wita yang giliran bicara.“Penutup muka?”“Betul,
Melihat Lily diam saja pemuda berambut merah kian curiga. Tangannya bergerak pelan ke atas lemari sambil tetap melihat ke arah Lily.“Bos!”Salah seorang anggota dari anak buah Ronggo tiba-tiba menghampiri.“Ada apa?” tanya pemuda berambut merah.“Kami sudah menemukanya. Sosok dibalik selendang biru sekarang sedang diarak ke tengah lapangan.”Mendengar penuturan itu, pemuda berambut merah bergegas keluar dari kamar Lily. “Cabut!” teriaknya mengkomando anak buahnya meninggalkan rumah Atmarini.Lily berdiri dan segera menghampiri ibu dan adik-adiknya. Melihat Agatha dan Natasha memeluk erat sang ibu, rasa iba perlahan merambat dalam dirinya. Terlebih setelah Natasha tiba-tiba menubruknya dan memeluknya erat. Gadis kecil itu sesenggukan.“Semuanya akan baik-baik saja.” Lily mengelus punggung Natasha. Mata birunya lalu beralih memandang jauh ke luar pintu.‘Apa yang
Seluruh mukanya tampak lebam dan bengkak. Bibirnya sobek dan berdarah."Siapa yang melakukan ini pada Adi?" tanya lelaki dengan postur kekar berwajah tampan. Yang berdiri memandangi adiknya yang tak sadarkan diri di pembaringan. Amarahnya membuncah.Salah satu dari lima pemuda yang berdiri di belakangnya mendekat. “Anak buah Ronggo yang melakukannya, Bang.”Lelaki tersebut menoleh dan terkejut, “Apa? Memangnya adikku salah apa?”“Menurut berita yang saya dengar, Ronggo mencurigai ada yang memukuli Rinja. Dan pelakunya adalah seseorang yang memiliki selendang biru.”Lelaki tersebut kembali melihat ke sang adik. Tak jauh dari pembaringan, ia melihat sebuah selendang biru yang penuh dengan noda darah.“Tidak masuk akal. Adikku tak pernah jahat pada siapapun. Tega-teganya mereka berbuat demikian pada Adi.” Tangan lelaki tersebut mengepal kuat. Ia balik badan dan melihat lima pemuda di belakangnya.
Mata biru Lily menyaksikan keterkejutan di mata orang-orang ketika mukanya terlihat. Termasuk Din sang kakak korban yang tak menyangka bahwa sosok misterius yang mengenakan selendang biru ternyata adalah seorang perempuan.Lily kembali ke posisi tegap setelah melakukan gerakan bantingan pada lawannya. Lelaki yang dibantingnya menggeliat kesakitan memegangi punggungnya. Beberapa saat menunggu, salah seorang rekan Din mendekat dan berbisik di telinga lelaki tampan berbadan kekar itu.“Bang, bagaimana selanjutnya?” tanya salah seorang rekan Din yang melihat lelaki tampan berbadan kekar itu mematung.Lily melepaskan sikap kuda-kudanya karena tampaknya Din tak berniat melakukan serangan susulan. Lelaki tersebut mendekatinya.“Siapa kamu sebenarnya? Aku baru pertama kali melihatmu?” tanya Din.“Lily.”“Anak Bu Atma, Bang,” imbuh seseorang di belakang Din memberi penjelasan.“Begitu
Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.“Halo.”“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar, Liam punya tugas baru untukmu.”Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.“Lily!?” suara di seberang semakin panik.“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku
Dua orang itu sama-sama membuka mata di kedalaman air sungai. Lily menatap lelaki di depannya, mengamati struktur mukanya. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh. Ia tak merasakan apapun.Tak lama, gelembung air menyembur dari mulut lelaki bernama Din itu. Lalu mendorong tubuhnya naik ke permukaan. Lily menyeringai kecil dan menyusul naik. Lily muncul dan dihadiahi tatapan heran dari lelaki tampan di depannya.“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Din yang masih mencoba mengumpulkan oksigen ke paru-parunya.“Melakukan apa?” tanya Lily bingung.“Haah ... menahan napas selama itu. Kita nyaris 2 menit di bawah air. Aku yakin kamu masih bisa melakukannya lebih lama lagi. Lihat saja dirimu. Kamu bahkan tidak kelihatan kehabisa napas. Hah ... “ tutur Din masih dengan napas yang terengah-engah.‘Aku tentu takkan memberitahu lelaki ini kalau kemampuanku berasal dari latihan yang kulakukan selama berada d
Keduanya saling diam di dapur yang merangkap tempat makan itu. Lily mencuri pandang pada wanita berambut hitam panjang di depannya yang tampak memainkan gelasnya yang sudah kosong.“Aku mau minta maaf sama ibu atas sikapku sebelumnya.”Kalimat itu akhirnya terucap dari bibir Lily. Membuat Atmarini mendongak melihat putrinya kemudian tersenyum. Menjulurkan tangannya meraih tangan Lily erat.“Ibu juga minta maaf, Anna. Ibu tahu ... kamu hanya ingin melindungi adik-adikmu. Hanya saja ... ““Aku mengerti, Bu,” kata Lily menyambar kalimat Atmarini. “Aku yakin kita hanya ingin melindungi Aga dan Nata dengan cara kita masing-masing.”Lily merasakan tangannya digenggam makin erat. Senyum Atmarini juga semakin hangat. Wanita yang nyaris mengainjak usia empat puluh tahun itu menarik tangannya lagi dan kembali melamun.“Ada yang ibu pikirkan lagi?” tanya Lily yang menduga ada yang dipikirkan s
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad