Lelaki berkulit legam dengan banyak bekas luka di tangan, terkejut melihat sosok itu menggeliat di pembaringan. Kesakitan memegangi punggungnya. Di sisi kiri dan kanannya, wanita paruh baya berkebaya memegangi tubuhnya dengan resah.
Kehadiran lelaki dengan postur tegap dikelilingi beberapa anak buahnya membuat semua orang di ruangan membungkuk hormat.
“Siapa yang melakukan ini?” suaranya yang berat mampu menyusutkan nyali.
Wati menyenggol Wita, Wita menunduk lalu menyenggol Wati. Keduanya sama-sama takut menatap lelaki tersebut.
“Kalian kenapa diam? Mau kupukuli, huh?
“Maaf, Pak Ronggo. Kami tak tahu siapa yang melakukan ini pada Rinja,” jawab Wati takut-takut.
“Bagaimana bisa kalian tak tahu siapa pelakunya? Kalian bersama putriku setiap saat.”
“Orang ini memakai penutup muka, Pak Ronggo,” ucap Wita yang giliran bicara.
“Penutup muka?”
“Betul, Pak Ronggo. Semacam selendang. Warnanya biru.”
Ronggo mengangkat tangannya. Pemuda berambut cepak berwarna merah mendekat dan menunduk siap menerima titah.
“Interogasi siapapun di desa ini yang punya selendang biru di rumahnya,” perintah Ronggo.
“Baik, Tuan.”
Beberapa pemuda segera bergerak untuk mencari siapa pemilik selendang biru yang dicurigai menjadi dalang dibalik pemukulan Rinja.
***
Matanya terpejam dengan pisau siaga di tangan. Semilir angin mengibarkan rambutnya yang panjang dan pirang. Agafia dan Natasha memperhatikan dari kejauhan dengan dada berdebar-debar.
Wuzz!
Tangan kanannya yang memegang pisau melayang cepat dan menghujam ke bawah air. kecipak air menyusul beberapa saat kemudian. Kedua adiknya itu kompak kaget.
Pisau diangkat dan ikan berukuran satu kepalan tangan meronta-ronta tertancap pisau. Lily membuka mata dan melihat kedua adiknya bersorak di pinggir sungai.
Lily menghampiri kedua adiknya dan mulai menyalakan api. Membersihkan ikan dan menusuknya dengan batang kayu. Menaikkannya ke atas api.
“Bagaimana kakak melakukannya?” tanya Natasha. Mata birunya mengerjap kagum.
“Latihan rutin,” jawab Lily sembari menambahkan ranting kayu ke dalam api.
“Ajari aku, Kak. Ajari aku,” ujar Agafia penuh semangat.
“Aku juga, Kak. Aku juga.” Natasha tak mau kalah. Ia bahkan menggoyang-goyangkan lengan kakaknya.
Lily tersenyum. Melihat kedua adiknya tidak kabur, ia menyadari sudah mampu tersenyum layaknya manusia pada umumnya.
“Nanti kalau kalian sudah cukup dewasa, kakak akan ajari kalian.” Lily menyentuh kepala Natasha dan Agafia.
Sedang bercengkrama dengan kedua adiknya, mata Lily berputar pada seorang gadis yang tengah dikejar oleh seorang pemuda. Meskipun jarak mereka cukup jauh, Lily yang sudah terlatih mampu mendengar pembicaraan keduanya.
“Tolong dengarkan aku dulu, Mawar. Aku tak mencintai Rinjani. Aku mencintai kamu,” kata si pemuda.
“Jangan Adi. Kamu ga tahu apa yang sudah Rinja lakukan padaku? Aku beruntung semalam ada yang datang menolong. Kalau tidak, aku pasti sudah babak belur dihajar.”
Agafia dan Natasha tampak tak menyadari ada orang lain di sekitar mereka. Posisi Lily dan adik-adiknya yang terhalang semak, membuat mereka tak terlihat dari jalanan kampung.
Sembari tetap fokus membakar ikan, Lily menyadari jika gadis itu berjalan menjauhi si pemuda.
“Aku akan buktikan kalau aku tulus mencintai kamu, Mawar,” teriak si pemuda. Sukses membuat Agafia dan Natasha kompak menoleh ke sumber suara.
“Siapa itu?” tanya Natasha dengan polosnya.
Agafia menggeleng dan kembali melihat ikan yang sudah mulai matang. Air liurnya seperti mau menetes. Lily tersenyum tipis melihat kelucuan adiknya.
***
Berjalan kaki pulang menggandeng kedua adiknya, sorot mata Lily melihat keributan di rumah salah seorang warga. Tampak beberapa pemuda mengobrak-abrik seisi rumah. Teriakan memilukan terdengar.
Agafia melambatkan langkah namun Lily bergegas menarik tangan adiknya menjauh dari lokasi. Gadis remaja berambut pirang itu terkejut.
“Kak, kita harus menolong mereka,” kata Agafia.
Lily bungkam dan mempercepat langkah. Suara teriakan memilukan itu semakin jauh.
Sampai di rumahnya, sang ibu bergegas membuka pintu dan menyuruh ketiganya masuk. Atmarini jongkok dan memegangi kedua putri kecilnya.
“Masuk kamar dan kunci pintu. Cepat!” pinta wanita berparas ayu itu.
Lily menyadari kepanikan dalam diri ibunya. Setelah memastikan kedua putrinya masuk ke dalam kamar, Atmarini menarik jendela kayu dan menutup horden. Rumah mendadak gelap padahal matahari masih cukup terik.
“Ini ada hubungannya dengan para pemuda yang mendatangi rumah orang-orang?” tanya Lily.
Atma mendekati Lily. “Darimana kamu tahu, Anna?”
“Di jalan tadi aku melihat mereka merusak rumah salah seorang warga.”
“Dengan begitu ibu tak perlu menjelaskan betapa seriusnya situasi ini,” ujar Atma. Mukanya pucat pasi. “Ibu dengar dari tetangga, seseorang melukai Rinja. Ronggo murka dan mencari sosok misterius yang menutupi mukanya dengan selendang biru.”
Lily menekan keterkejutannya. Bayangan dirinya melumpuhkan Rinja semalam berkelebat cepat di kepalanya.
“Kamu tahu sesuatu tentang itu?” tanya Atma curiga.
Lily menggeleng, “Tidak. Tapi aku bisa menghadapi mereka semua.”
“Jangan, Anna!” pekik Atma tertahan. “Kamu mungkin sudah terlatih dengan baik. Namun anak buah Ronggo banyak. Dan bagaimana dengan adik-adikmu. Mereka juga bisa terluka.”
Lily bungkam. Baru kali ini ia ragu bertindak karena memikirkan seseorang selain dirinya sendiri.
“Anna!” badannya diguncangkan sang ibu. Lily yang sempat melamun kembali ke realita. Lily mengangguk dan Atma tampak lega.
***
Berita tentang kesewenang-wenangan anak buah Ronggo semakin meresahkan. Banyak warga yang menjadi korban kebrutalan. Seorang tetangga menceritakan kisah pilu tersebut di dapur rumah Atmarini. Lily yang hendak ke kamar mandi menghentikan langkah dan mencuri dengar.
“Kemarin giliran rumah ibu Barkah yang diacak-acak gara-gara putrinya kedapatan punya selendang biru. Ga cuman mereka. Sudah belasan orang jadi korban kebengisan.”
“Bagaimana RT Ruslan menanggapi hal ini, Bu?” tanya Atma.
“Mana berani Ruslan melawan. Bu Atma lupa bagaimana saat Ruslan lapor ke polisi beberapa waktu lalu?”
“Benar juga, Bu. Pak Ruslan diteor habis-habisan sama anak buah Ronggo saat itu.”
“Sebenarnya, sekejam-kejamnya Ronggo, ia takkan semena-mena pada warga. Kecuali mungkin Rinjani berkata yang tidak-tidak.” Helaan napas panjang terdengar. “Siapa sebenarnya sosok dengan selendang biru ini? Bikin susah saja.”
Lily kembali ke kamarnya dan mengunci pintu.
“Sialan!” pekik Lily tertahan. “Kenapa malah jadi ruwet begini?” Gadis dengan mata birunya itu berjalan mondar-mandir. “Berpikir Lily, ayo berpikir.”
Brakk!
Suara dari arah depan seketika membuyarkan fokusnya. Bergegas dibukanya pintu kamar dan tampak diambang pintu beberapa pemuda berkumpul. Dua orang gadis muda membersamai mereka.
Lily baru sadar melihat ibunya dan salah seorang tetangganya sudah bersimpuh di lantai.
“Ibu!” panggill Lily.
“Anna, masuk ke kamar!” perintah Atma.
“Hmmm ... siapa wanita cantik ini?” Salah seorang pemuda berbadan kekar berambut cepak dicat merah mendekat. Lily diam di tempat.
“Dia anak bu Atma,” kata Wati.
“Benarkah? Aku baru tahu kalau bu Atma punya anak gadis secantik ini.”
Lily tak bergerak saat pemuda berambut merah itu memperhatikan tubuhnya dengan tatapan mesum.
“Tolong jangan sakiti putriku. Dia tak tahu apa-apa. Dan salah satu dari kami bukan orang yang menyerang Rinjani. Kalian lihat sendiri, tak ada anak lelaki di keluargaku,” seru Atma.
“Meski demikian bukan berarti salah satu dari kalian tidak terlibat,” kata Wita.
“Apa maksud kamu, Wit?” tanya Atma.
“Bu Atma lupa apa yang dilakukan putri ibu di pasar tempo hari. Ia berusaha melawan Rinja,” ujar Wita seraya menyeringai.
Atma melihat pada pemuda berambut merah. “Tolong. Kami benar-benar tak bersalah.”
“Tenang saja bu Atma. Jika setelah kami periksa rumah ibu dan tak kami temukan selendang biru itu, kami akan pergi dengan damai,” kata pemuda berambut merah. “Kalian periksa kamar lain!”
Beberapa pemuda segera bergerak. Lily semakin resah ketika kamar adiknya dibuka paksa. Kedua gadis kecil itu berlari ke ruang tengah dan memeluk ibunya.
Napas Lily kian memburu. Mata sang ibu menghujam ke arahnya. Gelengan pelan itu kembali menahannya bertindak sesuai nalurinya sebagai pembunuh bayaran terlatih.
“Tak ada apapun,” kata salah seorang kepada pemuda berambut merah.
“Berarti tinggal satu tempat yang belum diperiksa.” Sorot mata pemuda itu menghujam ke mata biru Lily. “Bisa minggir sebentar?”
Lily tak bergerak. “Jangan pernah berpikir untuk masuk ke dalam sana.”
“Benarkah?” seringai pemuda berambut merah terbit. Didekatkan mukanya ke muka Lily. “Kamu mau melakukan apa kalau aku memaksa masuk ke dalam kamarmu?”
“Aku---“
Belum menyelesaikan kalimatnya, Lily didorong jatuh. Pemuda berambut merah tertawa kecil karena berhasil masuk ke dalam kamar Lily. Seisi kamar diobrak-abrik tanpa ampun.
Lily kian panik saat pemuda berambut merah mulai memeriksa sekitar lemari. Mata Lily berulang kali melihat ke atas lemari dan Pemuda berambut merah menyadari hal itu.
“Ada apa di atas lemari?” tanya pemuda berambut merah.
Tunggu bab berikutnya ya. Jangan lupa subscribe dan tinggalkan review di kolom komentar. Terima kasih sudah mampir.
Melihat Lily diam saja pemuda berambut merah kian curiga. Tangannya bergerak pelan ke atas lemari sambil tetap melihat ke arah Lily.“Bos!”Salah seorang anggota dari anak buah Ronggo tiba-tiba menghampiri.“Ada apa?” tanya pemuda berambut merah.“Kami sudah menemukanya. Sosok dibalik selendang biru sekarang sedang diarak ke tengah lapangan.”Mendengar penuturan itu, pemuda berambut merah bergegas keluar dari kamar Lily. “Cabut!” teriaknya mengkomando anak buahnya meninggalkan rumah Atmarini.Lily berdiri dan segera menghampiri ibu dan adik-adiknya. Melihat Agatha dan Natasha memeluk erat sang ibu, rasa iba perlahan merambat dalam dirinya. Terlebih setelah Natasha tiba-tiba menubruknya dan memeluknya erat. Gadis kecil itu sesenggukan.“Semuanya akan baik-baik saja.” Lily mengelus punggung Natasha. Mata birunya lalu beralih memandang jauh ke luar pintu.‘Apa yang
Seluruh mukanya tampak lebam dan bengkak. Bibirnya sobek dan berdarah."Siapa yang melakukan ini pada Adi?" tanya lelaki dengan postur kekar berwajah tampan. Yang berdiri memandangi adiknya yang tak sadarkan diri di pembaringan. Amarahnya membuncah.Salah satu dari lima pemuda yang berdiri di belakangnya mendekat. “Anak buah Ronggo yang melakukannya, Bang.”Lelaki tersebut menoleh dan terkejut, “Apa? Memangnya adikku salah apa?”“Menurut berita yang saya dengar, Ronggo mencurigai ada yang memukuli Rinja. Dan pelakunya adalah seseorang yang memiliki selendang biru.”Lelaki tersebut kembali melihat ke sang adik. Tak jauh dari pembaringan, ia melihat sebuah selendang biru yang penuh dengan noda darah.“Tidak masuk akal. Adikku tak pernah jahat pada siapapun. Tega-teganya mereka berbuat demikian pada Adi.” Tangan lelaki tersebut mengepal kuat. Ia balik badan dan melihat lima pemuda di belakangnya.
Mata biru Lily menyaksikan keterkejutan di mata orang-orang ketika mukanya terlihat. Termasuk Din sang kakak korban yang tak menyangka bahwa sosok misterius yang mengenakan selendang biru ternyata adalah seorang perempuan.Lily kembali ke posisi tegap setelah melakukan gerakan bantingan pada lawannya. Lelaki yang dibantingnya menggeliat kesakitan memegangi punggungnya. Beberapa saat menunggu, salah seorang rekan Din mendekat dan berbisik di telinga lelaki tampan berbadan kekar itu.“Bang, bagaimana selanjutnya?” tanya salah seorang rekan Din yang melihat lelaki tampan berbadan kekar itu mematung.Lily melepaskan sikap kuda-kudanya karena tampaknya Din tak berniat melakukan serangan susulan. Lelaki tersebut mendekatinya.“Siapa kamu sebenarnya? Aku baru pertama kali melihatmu?” tanya Din.“Lily.”“Anak Bu Atma, Bang,” imbuh seseorang di belakang Din memberi penjelasan.“Begitu
Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.“Halo.”“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar, Liam punya tugas baru untukmu.”Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.“Lily!?” suara di seberang semakin panik.“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku
Dua orang itu sama-sama membuka mata di kedalaman air sungai. Lily menatap lelaki di depannya, mengamati struktur mukanya. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh. Ia tak merasakan apapun.Tak lama, gelembung air menyembur dari mulut lelaki bernama Din itu. Lalu mendorong tubuhnya naik ke permukaan. Lily menyeringai kecil dan menyusul naik. Lily muncul dan dihadiahi tatapan heran dari lelaki tampan di depannya.“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Din yang masih mencoba mengumpulkan oksigen ke paru-parunya.“Melakukan apa?” tanya Lily bingung.“Haah ... menahan napas selama itu. Kita nyaris 2 menit di bawah air. Aku yakin kamu masih bisa melakukannya lebih lama lagi. Lihat saja dirimu. Kamu bahkan tidak kelihatan kehabisa napas. Hah ... “ tutur Din masih dengan napas yang terengah-engah.‘Aku tentu takkan memberitahu lelaki ini kalau kemampuanku berasal dari latihan yang kulakukan selama berada d
Keduanya saling diam di dapur yang merangkap tempat makan itu. Lily mencuri pandang pada wanita berambut hitam panjang di depannya yang tampak memainkan gelasnya yang sudah kosong.“Aku mau minta maaf sama ibu atas sikapku sebelumnya.”Kalimat itu akhirnya terucap dari bibir Lily. Membuat Atmarini mendongak melihat putrinya kemudian tersenyum. Menjulurkan tangannya meraih tangan Lily erat.“Ibu juga minta maaf, Anna. Ibu tahu ... kamu hanya ingin melindungi adik-adikmu. Hanya saja ... ““Aku mengerti, Bu,” kata Lily menyambar kalimat Atmarini. “Aku yakin kita hanya ingin melindungi Aga dan Nata dengan cara kita masing-masing.”Lily merasakan tangannya digenggam makin erat. Senyum Atmarini juga semakin hangat. Wanita yang nyaris mengainjak usia empat puluh tahun itu menarik tangannya lagi dan kembali melamun.“Ada yang ibu pikirkan lagi?” tanya Lily yang menduga ada yang dipikirkan s
“Kok melamun?”Lily kembali ke realita dan melihat ke sumber suara. Tampak Din tersenyum dengan gelas berisi cendol disodorkan padanya.“Terima kasih,” ucap Lily. Ia menerima gelas yang disodorkan dan meminumnya.“Jadi gimana tadi di dalam?” tanya Din seraya duduk di sebelah Lily.“Sedikit lebih ribet dari perkiraanku. Tapi ga masalah.” Lily mengangkat bungkusan berisi uang dan mengguncangnya. “Aku dapat uangnya.”Din terbelalak melihat bungkusan berwarna coklat itu tampak berat."Kenapa ngelihatnya begitu?" tanya gadis berambut pirang itu.“Dengan uang sebanyak itu, harusnya kamu dikawal petugas.”“Iya mereka menwarkan itu tadi. Tapi aku menolaknya. Ribet.”Din hanya tertawa mendengar komentar Lily. Gadis di sampingnya benar-benar cuek bahkan dengan hal sepenting menjaga keamanan dirinya.“Jadi sekarang kita kemana lagi?&rdq
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad