Home / Urban / Mafia Girl / Masalah Bernama Rinja

Share

Masalah Bernama Rinja

Author: Idnefe Diraf
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sorot mata Lily tajam meladeni tatapan wanita yang baru saja menghajar Parmin. Tangannya sudah mengepal keras.

“Anna,” panggil sang ibu. Lily menoleh dan melihat ibunya menggeleng pelan.

Seperti melawan nalurinya yang menyukai pertarungan, Lily tak begitu saja menurut. Namun sorot mata ibunya ternyata mampu meredam keinginannya sendiri. Dilepasnya genggaman tangan di lengan wanita tersebut.

Namun diluar dugaan, sebuah pukulan dilayangkan ke tulang pipinya.

Bugh!

Teriakan dari ibu dan adik-adiknya terdengar beberapa saat kemudian. Diperlakukan demikian, darah Lily kembali mendidih. Napasnya memburu menahan amarah.

“Ayo. Aku ingin lihat kamu akan melakukan apa,” tantang wanita tersebut. Tampak kedua temannya juga bersiaga di belakangnya.

"Anna," panggil Atmarini.

Lily melihat ibunya. Sekuat tenaga ia menahan gejolak amarah.

Deru napasnya perlahan melambat dan Lily bisa kembali tenang. Melewati wanita yang menghajar Parmin begitu saja.

"Iya benar. Pergi dari sana dan jangan coba cari masalah denganku," ejek wanita yang menghajar Parmin.

Lily tak menggubris omongan itu dan menghampiri ibunya. “Kita pulang, Bu.”

Atmarini membantu Parmin berdiri dan memapahnya pergi. Lily menoleh ke belakang dan menunggu adik-adiknya mengejar lalu menyusul ibunya. Dari kejauhan, Lily masih sempat melihat kesewenang-wenangan tiga gadis itu ke beberapa orang di pasar tradisional.

***

Parmin duduk di sofa ruang tamu dan Atmarini membersihkan mukanya yang lebam. Lily duduk tak jauh dari keduanya. Parmin beberapa kali mendesis ketika lukanya disentuh.

“Sakit ya?” tanya Atma.

“Ga sesakit harga diriku yang diinjak-injak Rinja dan teman-temannya, Bude. Mereka wanita dan aku tak sanggup melawan,” seru Parmin kesal.

Agafia datang beberapa saat kemudian dengan membawakan teh hangat dan menaruhnya di atas meja.

“Siapa mereka ini?” tanya Lily pada sang ibu.

“Yang berhadapan dengan kamu tadi adalah Rinjani. Biasa dipanggil Rinja. Lalu ada Wati dan Wita, kakak beradik yang sudah seperti pengawal pribadinya. Mereka memang suka berbuat onar di desa karena merasa pernah belajar ilmu bela diri ketika bersekolah di kota,” tutur Atma.

“Mereka wanita, dimana para pria di desa ini, kenapa tak ada yang melawan?” tanya Lily.

Atma mencelupkan kain putih ke air dalam baskom lalu memerasnya. “Sebenarnya beberapa kali sudah ada perlawanan. Namun semuanya berhenti ketika salah seorang pemuda dihajar habis-habisan oleh anak buah Ronggo, ayahnya Rinjani.”

“Jadi dia dari keluarga yang ditakuti,” gumam Lily.

“Kaya, sekaligus ditakuti,” imbuh Atma. “Aga,” panggil Atma yang mengedik ke baskom air. Agafia segera paham mengambil baskom lalu membawanya ke belakang.

“Maafkan saya, Bude. Saya janji akan mengganti uang bude secepatnya,” kata pemuda dua puluhan itu pada Atma.

“Sudah jangan dipikirkan. Yang penting sekarang mereka takkan mengganggu kamu lagi,” sahut Atma.

***

Lily terbangun karena mendengar tawa renyah Agafia di ruang tamu. Lily duduk di tepi tempat tidur. Senyumnya terbit.

“Akhirnya aku bisa tidur nyenyak.”

Keluar dari kamarnya, pusat perhatian mereka yang berada di meja makan berpindah padanya. Lily ragu mendekat karena ada dua orang asing di meja.

Natasha turun dari kursi dan menghampirinya. Menarik tangannya menuju meja makan.

Atmarini tersenyum pada putrinya, “Anna kenalkan, ini pak Ruslan ketua RT di desa ini. Dan ini putranya Raga.”

“Salam kenal, Anna.” Raga cepat-cepat berdiri dan menjulurkan tangannya dan memasang senyum paling manis.

“Halo.” Lily duduk di samping adiknya tanpa membalas jabatan tangan pemuda di depannya. “Ada apa ini, Bu?” tanya Lily pada Atma.

“Mungkin kamu sudah lupa kalau di negara ini, jika ada tamu yang bermalam harus melapor ke ketua RT,” tutur Atma.

“Ibu benar, aku sudah lupa,” jawab Lily sekenanya. Ia menyentuh pipi Natasha yang baru saja mengambilkannya sepiring nasi.

“Tak masalah, Nak Anna. Saya kenal baik dengan ibumu jadi aku yakin, ibumu takkan sembarangan memasukkan orang ke rumahnya.” Mata lelaki paruh baya itu berputar pada Atma.

“Terima kasih, Pak Ruslan.” Atma mengangguk sopan.

“Dek Atma ini, kan sudah berkali-kali aku bilang. Panggil mas saja biar lebih akrab.” Lelaki paruh baya itu tertawa diujung kalimatnya.

Kesan pertama Lily pada lelaki bernama Ruslan itu langsung menerbitkan ketidaksukaan. Ruslan dengan jelas mencoba menggoda ibunya yang memang masih sangat cantik di usianya yang beranjak 40 tahun.

Acara makan malam selesai dan lelaki ganjen bernama Ruslan itu masih mencoba menggoda ibunya saat hendak pamit. Lily mengamati dari kejauhan ibunya yang berusaha tetap meladeni dengan sabar.

Helaan napas panjang yang lega diperlihatkan ibunya saat pintu rumah itu ditutup. Atma balik badan dan tersenyum janggal pada Lily.

“Kenapa, Anna?” tanya wanita dengan rambutnya yang diikat membulat itu.

“Ibu tak berubah. Masih saja menjadi wanita yang menekan perasaannya sendiri.”

“Apa maksud kamu, sayang?” tanya Atma sembari membereskan piring kotor di meja makan.

“Aku tahu ibu tak nyaman dengan perlakuan pria bernama Ruslan tadi.”

Atma menoleh cepat lalu tersenyum dan kembali fokus menumpuk piring kotor. “Ibu berusaha menghormati posisinya sebagai orang yang dihormati di desa.”

“Tidak semua orang pantas dihormati, Bu.” Lily beranjak dari tempatnya dan kembali duduk di kursi.

“Ibu memperlakukan siapapun sama, Anna.”

Anna tak mendebat ibunya. Ia bangkit dari kursi dan berjalan ke halaman belakang rumah. Diambilnya handphone dari dalam saku.

“Tidak ada sinyal. Baguslah. Lebih baik mereka tak mengetahui posisiku,” gumamnya. Tiba-tiba saja Lily ingin berjalan-jalan di sekitar kampung. Ia masuk ke kamarnya dan kembali lagi sudah mengenakan hoodie. Berjalan cepat dan melompati tanaman Topiary yang memagari rumahnya.

Tangannya masuk ke dalam saku. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar tempat tinggal ibunya. Desa itu cukup besar. Meskipun demikian, saat malam suasananya sepi.

Lily memeriksa jam tangannya. “Padahal baru jam 8 malam.”

Langkah kakinya terhenti karena tiba-tiba menyaksikan seorang gadis muda tersungkur di tanah. Tak berselang lama, sosok yang baru saja dikenalinya siang tadi mendekati gadis tersebut.

“Ampuni aku, Rinja. Aku sama sekali tak berniat mendekati Adi."

Wanita yang dipanggil Rinja tak menggubris dan menendang perut gadis tersebut. Disusul tawa bengis dua gadis di belakangnya yang setahu Lily namanya Wati dan Wita.

“To—“

Gadis muda itu mencoba berteriak namun buru-buru dihadiahi tendangan di muka. Lily mendadak geram karena melihat pertarungan yang tak seimbang.

Matanya berputar dan tangannya dengan sigap menyambar kain yang tergantung di tali jemuran warga. Digunakannya sebagai cadar untuk menyembunyikan identitasnya.

“Tak ada yang akan menolongmu. Ini jalanan paling gelap dan sepi di kampung. Jika pun ada yang lewat, takkan ada yang berani melawanku,” kata Rinja sesumbar.

Gadis malang itu merangkat dan berusaha menjauh sampai sepasang kaki menghentikannya. gadis itu mendongak. Lily hanya memandangi dengan sorot mata birunya.

“Siapa kamu?” tanya Rinja.

Lily tak menjawab dan membantu gadis malang di depannya berdiri. Kepalanya mengedik ke samping memintanya menjauh.

“Ada yang mau jadi jagoan di desa ini rupanya,” ujar Rinja. Sembari melemaskan otot tangannya. Lily diam siaga.

Satu pukulan cepat dilayangkan Rinja ke arah Lily. Tanpa susah payah, Lily meraih tangan Rinja dan membanting tubuhnya ke tanah. Wati dan Wita kompak kaget karena Rinja dijatuhkan dengan mudah.

Rinja berusaha bicara namun tak satu pun kata keluar dari mulutnya karena kesakitan yang baru saja diterimanya. Wati dan Wita mendadak gentar. Mereka akhirnya memilih memapah tubuh Rinja dan menjauh.

“Terima kasih sudah menolongku,” kata gadis muda di belakang Lily.

Lily balik badan mata birunya sempat terkena cahaya. Membuat gadis muda itu terkesiap.

“Siapa kamu sebenarnya?”

Tunggu bab berikutnya ya. Jangan lupa subscribe dan tinggalkan review di kolom komentar ya. Kasih tau pendapat kalian tentangg novelku.

Related chapters

  • Mafia Girl   Sosok Dibalik Selendang Biru

    Lelaki berkulit legam dengan banyak bekas luka di tangan, terkejut melihat sosok itu menggeliat di pembaringan. Kesakitan memegangi punggungnya. Di sisi kiri dan kanannya, wanita paruh baya berkebaya memegangi tubuhnya dengan resah.Kehadiran lelaki dengan postur tegap dikelilingi beberapa anak buahnya membuat semua orang di ruangan membungkuk hormat.“Siapa yang melakukan ini?” suaranya yang berat mampu menyusutkan nyali.Wati menyenggol Wita, Wita menunduk lalu menyenggol Wati. Keduanya sama-sama takut menatap lelaki tersebut.“Kalian kenapa diam? Mau kupukuli, huh?“Maaf, Pak Ronggo. Kami tak tahu siapa yang melakukan ini pada Rinja,” jawab Wati takut-takut.“Bagaimana bisa kalian tak tahu siapa pelakunya? Kalian bersama putriku setiap saat.”“Orang ini memakai penutup muka, Pak Ronggo,” ucap Wita yang giliran bicara.“Penutup muka?”“Betul,

  • Mafia Girl   Salah Sasaran

    Melihat Lily diam saja pemuda berambut merah kian curiga. Tangannya bergerak pelan ke atas lemari sambil tetap melihat ke arah Lily.“Bos!”Salah seorang anggota dari anak buah Ronggo tiba-tiba menghampiri.“Ada apa?” tanya pemuda berambut merah.“Kami sudah menemukanya. Sosok dibalik selendang biru sekarang sedang diarak ke tengah lapangan.”Mendengar penuturan itu, pemuda berambut merah bergegas keluar dari kamar Lily. “Cabut!” teriaknya mengkomando anak buahnya meninggalkan rumah Atmarini.Lily berdiri dan segera menghampiri ibu dan adik-adiknya. Melihat Agatha dan Natasha memeluk erat sang ibu, rasa iba perlahan merambat dalam dirinya. Terlebih setelah Natasha tiba-tiba menubruknya dan memeluknya erat. Gadis kecil itu sesenggukan.“Semuanya akan baik-baik saja.” Lily mengelus punggung Natasha. Mata birunya lalu beralih memandang jauh ke luar pintu.‘Apa yang

  • Mafia Girl   Tanggung Jawab Lily

    Seluruh mukanya tampak lebam dan bengkak. Bibirnya sobek dan berdarah."Siapa yang melakukan ini pada Adi?" tanya lelaki dengan postur kekar berwajah tampan. Yang berdiri memandangi adiknya yang tak sadarkan diri di pembaringan. Amarahnya membuncah.Salah satu dari lima pemuda yang berdiri di belakangnya mendekat. “Anak buah Ronggo yang melakukannya, Bang.”Lelaki tersebut menoleh dan terkejut, “Apa? Memangnya adikku salah apa?”“Menurut berita yang saya dengar, Ronggo mencurigai ada yang memukuli Rinja. Dan pelakunya adalah seseorang yang memiliki selendang biru.”Lelaki tersebut kembali melihat ke sang adik. Tak jauh dari pembaringan, ia melihat sebuah selendang biru yang penuh dengan noda darah.“Tidak masuk akal. Adikku tak pernah jahat pada siapapun. Tega-teganya mereka berbuat demikian pada Adi.” Tangan lelaki tersebut mengepal kuat. Ia balik badan dan melihat lima pemuda di belakangnya.

  • Mafia Girl   Pesan Misterius

    Mata biru Lily menyaksikan keterkejutan di mata orang-orang ketika mukanya terlihat. Termasuk Din sang kakak korban yang tak menyangka bahwa sosok misterius yang mengenakan selendang biru ternyata adalah seorang perempuan.Lily kembali ke posisi tegap setelah melakukan gerakan bantingan pada lawannya. Lelaki yang dibantingnya menggeliat kesakitan memegangi punggungnya. Beberapa saat menunggu, salah seorang rekan Din mendekat dan berbisik di telinga lelaki tampan berbadan kekar itu.“Bang, bagaimana selanjutnya?” tanya salah seorang rekan Din yang melihat lelaki tampan berbadan kekar itu mematung.Lily melepaskan sikap kuda-kudanya karena tampaknya Din tak berniat melakukan serangan susulan. Lelaki tersebut mendekatinya.“Siapa kamu sebenarnya? Aku baru pertama kali melihatmu?” tanya Din.“Lily.”“Anak Bu Atma, Bang,” imbuh seseorang di belakang Din memberi penjelasan.“Begitu

  • Mafia Girl   Selamat Tinggal Agensi

    Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.“Halo.”“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar, Liam punya tugas baru untukmu.”Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.“Lily!?” suara di seberang semakin panik.“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku

  • Mafia Girl   Kasih Sayang Ibu

    Dua orang itu sama-sama membuka mata di kedalaman air sungai. Lily menatap lelaki di depannya, mengamati struktur mukanya. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh. Ia tak merasakan apapun.Tak lama, gelembung air menyembur dari mulut lelaki bernama Din itu. Lalu mendorong tubuhnya naik ke permukaan. Lily menyeringai kecil dan menyusul naik. Lily muncul dan dihadiahi tatapan heran dari lelaki tampan di depannya.“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Din yang masih mencoba mengumpulkan oksigen ke paru-parunya.“Melakukan apa?” tanya Lily bingung.“Haah ... menahan napas selama itu. Kita nyaris 2 menit di bawah air. Aku yakin kamu masih bisa melakukannya lebih lama lagi. Lihat saja dirimu. Kamu bahkan tidak kelihatan kehabisa napas. Hah ... “ tutur Din masih dengan napas yang terengah-engah.‘Aku tentu takkan memberitahu lelaki ini kalau kemampuanku berasal dari latihan yang kulakukan selama berada d

  • Mafia Girl   Aset yang Dibekukan

    Keduanya saling diam di dapur yang merangkap tempat makan itu. Lily mencuri pandang pada wanita berambut hitam panjang di depannya yang tampak memainkan gelasnya yang sudah kosong.“Aku mau minta maaf sama ibu atas sikapku sebelumnya.”Kalimat itu akhirnya terucap dari bibir Lily. Membuat Atmarini mendongak melihat putrinya kemudian tersenyum. Menjulurkan tangannya meraih tangan Lily erat.“Ibu juga minta maaf, Anna. Ibu tahu ... kamu hanya ingin melindungi adik-adikmu. Hanya saja ... ““Aku mengerti, Bu,” kata Lily menyambar kalimat Atmarini. “Aku yakin kita hanya ingin melindungi Aga dan Nata dengan cara kita masing-masing.”Lily merasakan tangannya digenggam makin erat. Senyum Atmarini juga semakin hangat. Wanita yang nyaris mengainjak usia empat puluh tahun itu menarik tangannya lagi dan kembali melamun.“Ada yang ibu pikirkan lagi?” tanya Lily yang menduga ada yang dipikirkan s

  • Mafia Girl   Bukan Tampang Orang Kaya

    “Kok melamun?”Lily kembali ke realita dan melihat ke sumber suara. Tampak Din tersenyum dengan gelas berisi cendol disodorkan padanya.“Terima kasih,” ucap Lily. Ia menerima gelas yang disodorkan dan meminumnya.“Jadi gimana tadi di dalam?” tanya Din seraya duduk di sebelah Lily.“Sedikit lebih ribet dari perkiraanku. Tapi ga masalah.” Lily mengangkat bungkusan berisi uang dan mengguncangnya. “Aku dapat uangnya.”Din terbelalak melihat bungkusan berwarna coklat itu tampak berat."Kenapa ngelihatnya begitu?" tanya gadis berambut pirang itu.“Dengan uang sebanyak itu, harusnya kamu dikawal petugas.”“Iya mereka menwarkan itu tadi. Tapi aku menolaknya. Ribet.”Din hanya tertawa mendengar komentar Lily. Gadis di sampingnya benar-benar cuek bahkan dengan hal sepenting menjaga keamanan dirinya.“Jadi sekarang kita kemana lagi?&rdq

Latest chapter

  • Mafia Girl   Kunci Spesial

    Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok

  • Mafia Girl   Misi Dari Saketi

    “Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***

  • Mafia Girl   Keputusan Berani

    “Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me

  • Mafia Girl   Konsekuensi Pembakaran Motor

    Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li

  • Mafia Girl   Balas Dendam

    “Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki

  • Mafia Girl   Rasa Bernama Cinta

    “Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di

  • Mafia Girl   Dasar Mesum

    “Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan

  • Mafia Girl   Kami Hanya Teman

    “Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek

  • Mafia Girl   Kenapa Motornya Warna Hitam?

    Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad

DMCA.com Protection Status