Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.
Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.
“Halo.”
“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.
Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.
“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.
“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar, Liam punya tugas baru untukmu.”
Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.
“Lily!?” suara di seberang semakin panik.
“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.
“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”
“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku belasan tahun. Aku sudah membunuh ratusan target tanpa protes sekalipun. Sekarang sudah saatnya aku berhenti dan mencari kebahagiaanku sendiri.”
“Kamu tahu kan tak semudah itu meninggalkan agensi. Kamu punya kontrak mengikat. Dengan memutuskan secara sepihak, sama artinya kamu menyatakan perang terbuka dengan Liam dan para petinggi White Lotus yang lain.”
Lily diam tak menjawab. Pandangannya masih tetap menatap kejauhan.
“Lil—“
Bip!
Panggilan diakhiri. Handphone flip itu dibongkarnya. Diambil kartu simnya dan dipatahkan.
“Selamat tinggal agensi.”
Lily memasukkan tangannya ke saku hoodie dan berjalan pulang. Kembali menyusuri jalanan kampung. Udaranya yang segar menerbitkan senyum Lily. Sesekali keramahan warga menyambutnya.
“Aku bisa tinggal selamanya di sini,” gumamnya.
Langkah kaki membawanya ke pasar tradisional. Lily melambatkan langkah dan menyaksikan transaksi jual beli antar sesama warga. Medadak ia siaga karena menyadari seseorang mendekat dari belakang.
“Lagi jalan-jalan?”
Kewaspadaannya mengendur. Ia mengenali suara itu.
“Iya.” Lily balik badan dan di sana berdiri lelaki tampan dengan tubuh atletis. Peluh membasahi tubuhnya yang bertelanjang dada.
“Kita belum sempat berkenalan sebelumnya.” Lelaki itu menyodorkan tangan. “Din,” kata lelaki tampan berhidung mancung.
Lily menyambut jabat tangan lelaki di depannya. “Lily. Tapi ibuku memanggilku Anna.”
“Senang bertemu denganmu, Lily,” ujar Din. “Mau kutemani jalan-jalan?”
Lily menatap waspada dengan mata birunya yang indah.
“Ada yang salah?” tanya Din heran.
“Aku selalu curiga pada orang yang terlalu baik.”
“Tunggu tunggu. Aku benar hanya ingin menemanimu berkeliling. Tidak ada maksud lain,” tutur Din mencoba menjelaskan.
“Aku bisa melakukannya sendiri. Terima kasih.” Lily balik badan dan berjalan menjauh.
“Tunggu!” panggil Din.
Lily berhenti dan menoleh. “Iya?”
“Aku mau berterima kasih karena kamu menolongku di rumah Ronggo kemarin.”
“Aku tak menolongmu. Anak pak Ronggo yang melakukannya. Seharusnya terima kasih itu dialamatkan untuknya.”
“Tetap saja. Kalau bukan karena ada kamu di sana, aku yakin Rinja tak akan berbesar hati membiarkanku pergi.”
Lily melihat ketulusan di mata Din. Ia membalasanya dengan senyum tipis lalu memutar badannya dan berjalan pulang. Tak menyadari kalau lelaki bernama Din itu diam-diam jatuh hati padanya.
***
Matanya terpejam dengan mata pisau siap dilemparkan. Tangannya berayun dan pisau dilemparkan pada sebuah batang pohon di belakang rumah.
Tak!
Lily tahu targetnya tepat sasaran saat mendengar tepuk tangan dari Agafia dan Natasha. Gadis itu membuka mata dan kedua adiknya itu menghampiri dengan terkagum-kagum.
Lily tersenyum dan menyentuh kepala kedua adiknya. Ia mengambil pisau lain dari belakang punggungnya.
“Kalian mau coba?”
Dengan telaten, Lily mengajari Aga dan Nata teknik melempar pisau. Bagaimana posisi tangan dan kaki. Agafia mampu melempar cukup jauh meskipun tak mengenai sasaran. Sementara Natasha hanya mampu melempar dekat sambil menjerit.
“Kenapa takut, Nata?” tanya Lily yang tertawa melihat tingkah lucu adiknya.
“Nanti ada yang kena pisaunya gimana, Kak?”
“Ga akan ada yang kena. Kecuali kamu benar-benar menargetkan pisau itu untuk lawanmu.”
Natasha tak benar-benar mengerti apa yang kakaknya itu ucapkan. Ia hanya memandangi dengan mata birunya yang polos.
Tak!
Lily dan Natasha kompak menoleh saat melihat Agafia melompat kegirangan karena tepat sasaran.
“Kamu hebat, Aga,” puji Lily seraya bertepuk tangan.
“Anna! Apa yang kamu lakukan?” Tampak Atmarini keluar dari pintu belakang dan terkejut melihat apa yang dilakuan Lily bersama kedua adiknya.
“Aku tak mengerti maksud ibu?” tanya Lily.
“Aga, Nata, masuk ke dalam rumah,” ujar Atmarini memberi perintah. Kedua malaikat kecil itu langsung menurut dan masuk. Wanita berkebaya itu memutar lehernya setelah memastikan kedua putrinya tak mampu mendengar apa yang hendak dibicarakan.
“Kamu ga seharusnya mengajari adik-adikmu apa yang kamu pelajari selama pelatihan,” protes Atmarini.
Lily menaikkan satu alisnya, “Apa yang salah dengan itu, Bu?”
“Kamu mau mereka jadi ---“
“Pembunuh,” ujar Lily memotong kalimat ibunya. Atmarini terhenyak. “Tak apa-apa, Bu. Ibu bisa mengucapkannya.”
Atmarini menghela napasnya berat. “Ibu hanya mau yang terbaik untuk anak-anak ibu.”
“Dan aku hanya mengajari kedua adikku apa yang menurutku perlu.”
“Membunuh orang itu perlu?”
“Jika dibutuhkan, iya.”
“Memangnya siapa yang mau melukai mereka di sini?” suara Atmarini semakin meninggi.
“Ibu sudah lupa kejadian tempo hari saat anak buah Ronggo menyerbu rumah?!”
“Anna ... mereka hanya melakukan apa yang perlu dilakukan. Seumur-umur tindak kekerasan yang dilakukan Ronggo dan anak buahnya tak sampai melibatkan korban jiwa.”
Lily meninggalkan ibunya dan masuk ke dalam rumah. Menuju kamarnya dan menyambar kemeja untuk menutupi baju dalamnya yang cukup seksi lalu menuju pintu depan.
“Hi.”
Lily tersentak kaget dan menoleh ke sumber suara.
“Maaf. Aku ga bermaksud ngagetin.”
“Kamu lagi. Kamu membuntutiku. Din?”
“Apa? Tidak. Aku membawakan belanjaan ibumu.”
Lily memutar matanya dan melihat sekarung beras dan aneka kebutuhan rumah. “Jadi apa sebenarnya profesimu?”
“Aku kuli panggul di pasar?”
Lily memiringkan kepalanya karena tak paham.
“Aku membantu mengangkut belanjaan orang dan mereka memberiku upah.”
Lily mengangguk karena akhirnnya mengerti. Menyadari ibunya mendekat dari dalam, Lily meninggalkan Din. Masih didengarnya dengan jelas ibunya mengucapkan terima kasih pada lelaki dengan tubuh atletisnya itu.
“Hei tunggu!”
Lily tak menggubris dan berjalan menjauh. “Mau pergi ke suatu tempat ya?” tanya Din mencoba basa-basi.
Lily menoleh sambil tetap mempercepat langkah, “Kamu suka mencampuri urusan orang ya?”
Din tertawa kecil.
“Ada yang lucu?”
“Kamu yang lucu.”
“Kenapa gitu?”
“Di tempat ini, hal demikian disebut ramah.”
“Di tempatku tinggal, itu disebut mencampuri urusan orang.” Lily semakin mempercepat langkah. Tampak Din tak mengejarnya lagi. Membuat gadis berambut panjang berwarna pirang itu heran dan akhirnya menoleh. Tampak Din berbalik arah.
“Hei!” panggil Lily.
Din menoleh. “Iya?”
“Kenapa berbalik?”
“Kamu tak mau aku temani kan?” tanya Din.
Lily diam. Sebenarnya dia justru butuh teman untuk berbagi isi kepalanya. “Kamu bisa berenang kan?”
Din tersenyum panjang.
Tunggu bab berikutnya ya. Yuk subscribe biar aku makin semangat update bab barunya.
Dua orang itu sama-sama membuka mata di kedalaman air sungai. Lily menatap lelaki di depannya, mengamati struktur mukanya. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh. Ia tak merasakan apapun.Tak lama, gelembung air menyembur dari mulut lelaki bernama Din itu. Lalu mendorong tubuhnya naik ke permukaan. Lily menyeringai kecil dan menyusul naik. Lily muncul dan dihadiahi tatapan heran dari lelaki tampan di depannya.“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Din yang masih mencoba mengumpulkan oksigen ke paru-parunya.“Melakukan apa?” tanya Lily bingung.“Haah ... menahan napas selama itu. Kita nyaris 2 menit di bawah air. Aku yakin kamu masih bisa melakukannya lebih lama lagi. Lihat saja dirimu. Kamu bahkan tidak kelihatan kehabisa napas. Hah ... “ tutur Din masih dengan napas yang terengah-engah.‘Aku tentu takkan memberitahu lelaki ini kalau kemampuanku berasal dari latihan yang kulakukan selama berada d
Keduanya saling diam di dapur yang merangkap tempat makan itu. Lily mencuri pandang pada wanita berambut hitam panjang di depannya yang tampak memainkan gelasnya yang sudah kosong.“Aku mau minta maaf sama ibu atas sikapku sebelumnya.”Kalimat itu akhirnya terucap dari bibir Lily. Membuat Atmarini mendongak melihat putrinya kemudian tersenyum. Menjulurkan tangannya meraih tangan Lily erat.“Ibu juga minta maaf, Anna. Ibu tahu ... kamu hanya ingin melindungi adik-adikmu. Hanya saja ... ““Aku mengerti, Bu,” kata Lily menyambar kalimat Atmarini. “Aku yakin kita hanya ingin melindungi Aga dan Nata dengan cara kita masing-masing.”Lily merasakan tangannya digenggam makin erat. Senyum Atmarini juga semakin hangat. Wanita yang nyaris mengainjak usia empat puluh tahun itu menarik tangannya lagi dan kembali melamun.“Ada yang ibu pikirkan lagi?” tanya Lily yang menduga ada yang dipikirkan s
“Kok melamun?”Lily kembali ke realita dan melihat ke sumber suara. Tampak Din tersenyum dengan gelas berisi cendol disodorkan padanya.“Terima kasih,” ucap Lily. Ia menerima gelas yang disodorkan dan meminumnya.“Jadi gimana tadi di dalam?” tanya Din seraya duduk di sebelah Lily.“Sedikit lebih ribet dari perkiraanku. Tapi ga masalah.” Lily mengangkat bungkusan berisi uang dan mengguncangnya. “Aku dapat uangnya.”Din terbelalak melihat bungkusan berwarna coklat itu tampak berat."Kenapa ngelihatnya begitu?" tanya gadis berambut pirang itu.“Dengan uang sebanyak itu, harusnya kamu dikawal petugas.”“Iya mereka menwarkan itu tadi. Tapi aku menolaknya. Ribet.”Din hanya tertawa mendengar komentar Lily. Gadis di sampingnya benar-benar cuek bahkan dengan hal sepenting menjaga keamanan dirinya.“Jadi sekarang kita kemana lagi?&rdq
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad