Mata biru Lily menyaksikan keterkejutan di mata orang-orang ketika mukanya terlihat. Termasuk Din sang kakak korban yang tak menyangka bahwa sosok misterius yang mengenakan selendang biru ternyata adalah seorang perempuan.
Lily kembali ke posisi tegap setelah melakukan gerakan bantingan pada lawannya. Lelaki yang dibantingnya menggeliat kesakitan memegangi punggungnya. Beberapa saat menunggu, salah seorang rekan Din mendekat dan berbisik di telinga lelaki tampan berbadan kekar itu.
“Bang, bagaimana selanjutnya?” tanya salah seorang rekan Din yang melihat lelaki tampan berbadan kekar itu mematung.
Lily melepaskan sikap kuda-kudanya karena tampaknya Din tak berniat melakukan serangan susulan. Lelaki tersebut mendekatinya.
“Siapa kamu sebenarnya? Aku baru pertama kali melihatmu?” tanya Din.
“Lily.”
“Anak Bu Atma, Bang,” imbuh seseorang di belakang Din memberi penjelasan.
“Begitu rupanya. Aku harusnya tahu kalau hanya dari keluarga bu Atma saja yang memiliki mata biru.” Din memperhatikan Lily. Seperti singa yang mendadak jinak, Din tak menunjukkan sedikitpun kebuasan seperti sebelumnya. “Kita pulang,” ajak Din pada teman-temannya.
Salah seorang membantu lelaki yang dibanting Lily berdiri. Namun ketika hendak meninggalkan lokasi, Rombongan orang berbondong dari pintu depan. Lily ikut menoleh.
“Rinja,” panggil lelaki berkulit legam dengan mata lebar yang tak lain adalah Ronggo. Terkejut melihat putrinya terkapar di lantai. Matanya berputar pada Din. “Kurang ajar kamu, Din! Berani-berani melukai putriku!?” sembur Ronggo.
Belasan anak buah Ronggo langsung siaga di belakang majikannya. Din tampak bersiaga. Ia sadar tak mungkin menang.
“Bang, bagaimana ini? Kita tak mungkin menang melawan mereka semua,” ujar salah satu teman Din yang berbsik di telinganya. Menegaskan ketakutannya.
"Hajar mereka," perintah Ronggo pada anak buahnya.
Belum sempat memikirkan solusi terbaik, anak buah Ronggo menyerang. Pertarungan tak terhindarkan.
Lily diam di tempatnya, ia tahu tak mungkin masuk ke dalam pertarungan yang sudah pecah dan menjelaskan semuanya. Ia menoleh dan mendekati Rinja yang masih terkulai lemah di lantai. Dipangkunya kepala wanita itu di paha.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Lily.
Rinja mengerjap pelan tanda mengiyakan. “Aku tak menyangka. Ternyata kamu orangnya,” ucapnya lemah.
“Kamu harus menghentikan mereka. Kalau tidak, akan ada korban lebih banyak lagi,” kata Lily.
Rinja melihat ke pertarungan yang sedang berlangsung. Beberapa anak buah bapaknya tampak berjatuhan. Din dan teman-temannya di luar dugaan masih bertahan namun semakin terpojok.
Rinja mengangguk lemah. Lily melihat ke arah kerumunan dan berteriak lantang. “Hentikan!”
Pertarungan yang tengah pecah mendadak berhenti dan semua mata tertuju pada Lily.
“Kenapa berhenti?!" protes Ronggo. Matanya berputar pada Lily. "Siapa kamu?”
Pemuda berambut merah mendekati majikannya. “Dia anak bu Atma, Tuan.”
Ronggo menoleh pada anak buahnya lalu berjalan mendekati Lily yang memangku anaknya. “Kenapa menghentikan pertarungan? Mereka harus mendapatkan ganjaran atas perbuatan mereka.”
“Anak bapak mau mengatakan sesuatu,” kata Lily.
Ronggo jongkok dan menerima badan anaknya. Menatapnya haru. “Ada apa, Nduk?” tanya lelaki bertampang sangar itu.
“Tolong hentikan pertarungan ini, Pak. Ini bukan salah mereka,” kata Rinja dengan suara lemah.
“Tapi mereka sudah membuat keributan di rumah kita, melukai anak buah bapak. Dan yang lebih penting, melukai kamu. Bapak tak bisa melepaskan mereka begitu saja.”
Rinja menyentuh tangan bapaknya yang penuh bekas luka. Menggenggamnya kuat. “Semuanya ini hanya kesalahpahaman, Pak. Maafkan mereka. Jangan ada korban lagi.”
Ronggo diam cukup lama. Namun melihat kesungguhan di mata putrinya, lelaki berkulit legam dan bertampang sangar itu akhirnya luluh.
“Biarkan mereka pergi,” perintah Ronggo.
Din dan yang lain terkejut. Lelaki tampan itu mendekat. “Maafkan kami pak Ronggo. Kami---“
“Pergi sebelum aku berubah pikiran,” seru Ronggo dengan suaranya yang berat. Memutus kalimat Din.
Din menoleh pada Lily yang mengedikkan kepala memintanya keluar. Din membungkuk sekali lagi pada Ronggo sebelum meninggalkan rumah.
Lily bangkit dan mendekati Ronggo yang sedang bersama putrinya di tempat tidur.
“Pak Ronggo,” panggil Lily.
Lelaki paruh baya berbadan kekar itu menoleh pelan. “Iya?”
“Mungkin bapak heran melihat saya di sini.”
“Kamu teman putriku kan?” tanya Ronggo.
Lily menggeleng. Diambilnya selendang biru dari balik badannya. Ronggo tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Darahnya mendadak naik. “Jadi kamu yang membuat putriku seperti ini?”
Ronggo berdiri dengan tangan mengepal. Lily bersiap dengan segala kemungkinan terburuk. Namun diluar dugaan, Rinja memegangi tangan bapaknya. Lelaki sangar itu menoleh dan melihat putrinya menggeleng.
“Kenapa, Rinja?” tanya Ronggo tak percaya. “Dia yang sudah membuatmu menderita seperti ini.”
“Memang, Pak. Tapi dia sudah menunjukkan niat baiknya dengan mendatangiku. Dan aku yakin, dia berniat meminta maaf.”
Ronggo kembali melihat Lily. “Benar kamu mau meminta maaf pada putriku?”
“Aku ingin bertanggung jawab atas perbuatanku.”
Ronggo mendekati Lily. “Aku ingat mata biru itu. Itu adalah mata lelaki Rusia baik hati itu.”
“Anda kenal ayahku?” tanya Lily.
“Tak ada yang tak mengenalnya di kampung ini. Viktor si dermawan. Awalnya aku tak menyukainya karena sikapnya yang kelewat baik. Dia sering mendermakan uangnya untuk warga. Bahkan sampai keluarga kalian kekurangan.”
Lily tercenung. Mata birunya melebar. Matanya nyaris berkaca-kaca mendengar penuturan itu. “Aku tak tahu ayahku memiliki sifat seperti itu.”
“Sekarang kamu tahu,” kata Ronggo. “Terima kasih sudah mau datang dan bertanggung jawab. Aku menghargainya.” Ronggo menjulurkan tangannya.
Lily melihat tangan Ronggo yang terjulur ke arahnya. Ia jarang melakukan jabat tangan. Terlebih karena ia jarang mentolerir dan berdamai dengan seseorang. Namun hari itu ia melakukannya.
“Terma kasih,” sahut Lily sembari menjabat tangan Ronggo.
“Sekarang kamu boleh pergi. Jangan khawatir, tak ada anak buahku yang akan menghentikanmu.”
Lily mengangguk pada Ronggo. Ia melihat ke arah Rinja yang tersenyum padanya. Tak melihat lagi alasan untuknya tinggal. Lily berjalan pulang.
***
Lily pulang melewati jalan yang sama dimana ia datang sebelumnya. Matanya memandang kejauhan ke arah hamparan sawah di seberang sungai. Tampak beberapa warga beraktifitas di sana.
Drtttt! Drrrttt!
Fokusnya teralihkan karena getaran handphone di saku celananya. Dia merogoh saku dan mengambilnya. Hanya sesaat dan dimasukkannya kembali handphone ke dalam saku. Lily mempercepat langkah dan bergegas pulang.
Lewat halaman belakang rumahnya, ia hendak masuk dari pintu belakang. Tangannya mendadak berhenti saat hendak membuka pintu karena mendengar percakapan di dalam rumah.
“Mereka sudah pulang rupanya,” gumamnya lirih.
Lily berpindah ke jendela kamarnya dan masuk lewat jendela tanpa menimbulkan suara. Menelanjangi diri dan secepatnya berganti pakaian santai. Mengusap rambutnya dengan kasar hingga tampak seperti orang baru bangun tidur sebelum keluar dari kamarnya.
“Ibu sudah pulang?” tanya Lily. Tampak Atma dan kedua adiknya sedang beraktifitas di dapur.
“Eh, Anna. Tadi kamu bilang mau jalan-jalan?” tanya Atma.
Lily mendekat ke meja dan duduk. Agafia menyusul dan naik ke pangkuannya. Dihadiahi ciuman di pipi oleh Lily. “Aku sudah keluar tadi, Bu. Aku pulang dan kalian belum kembali dari berjualan. Jadi aku tidur sebentar.”
Jawaban Lily direspon ‘Oh’ panjang dari sang ibu. Lily sedang bermain dengan adiknya sampai ia teringat sesuatu.
“Aga turun sebentar ya.” Lily menurunkan Agafia dan masuk ke dalam kamarnya. Ia sengaja tak menutup pintu agar tak menimbulkan kecurigaan ibu dan adik-adiknya. Diambilnya handphone di celana yang ia pakai sebelumnya.
“Tidak ada sinyal di sini. Berarti hanya ada sinyal di pinggir sungai itu." Lily berpikir keras. "Aku harus memastikannya lagi,” gumamnya lirih.
“Anna.”
Lily dengan cepat berbalik dan melihat ke sumber suara. Satu tangannya dibalik punggung menyembunyikan handphone. “Iya, Bu?”
“Kamu baik-baik saja?” selidik Atma yang melihat perubahan mendadak di muka Lily. Tampak mencurigai sesuatu di balik punggung putrinya.
“Aku baik-baik saja.”
“Ya sudah. Ayo ke meja, kita makan,” ajak Atma. Ia menjulurkan tangannya.
“Baik, Bu.” Lily menyambut tangan ibunya dengan tangan yang digunakan untuk menyembunyikan handphone. Meyakinkan ibunya bahwa tak ada yang disembunyikannya dibalik punggungnya.
Lily dengan sukses menekan perasaannya atas apapun yang ia temukan di pesan yang dikirimkan seseorang sebelumnya. Pesan yang sukses membuatnya was-was.
Tunggu bab berikutnya ya. Yuk subscribe biar saya makin semangat updatenya. Terima kasih sudah mampir.
Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.“Halo.”“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar, Liam punya tugas baru untukmu.”Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.“Lily!?” suara di seberang semakin panik.“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku
Dua orang itu sama-sama membuka mata di kedalaman air sungai. Lily menatap lelaki di depannya, mengamati struktur mukanya. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh. Ia tak merasakan apapun.Tak lama, gelembung air menyembur dari mulut lelaki bernama Din itu. Lalu mendorong tubuhnya naik ke permukaan. Lily menyeringai kecil dan menyusul naik. Lily muncul dan dihadiahi tatapan heran dari lelaki tampan di depannya.“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Din yang masih mencoba mengumpulkan oksigen ke paru-parunya.“Melakukan apa?” tanya Lily bingung.“Haah ... menahan napas selama itu. Kita nyaris 2 menit di bawah air. Aku yakin kamu masih bisa melakukannya lebih lama lagi. Lihat saja dirimu. Kamu bahkan tidak kelihatan kehabisa napas. Hah ... “ tutur Din masih dengan napas yang terengah-engah.‘Aku tentu takkan memberitahu lelaki ini kalau kemampuanku berasal dari latihan yang kulakukan selama berada d
Keduanya saling diam di dapur yang merangkap tempat makan itu. Lily mencuri pandang pada wanita berambut hitam panjang di depannya yang tampak memainkan gelasnya yang sudah kosong.“Aku mau minta maaf sama ibu atas sikapku sebelumnya.”Kalimat itu akhirnya terucap dari bibir Lily. Membuat Atmarini mendongak melihat putrinya kemudian tersenyum. Menjulurkan tangannya meraih tangan Lily erat.“Ibu juga minta maaf, Anna. Ibu tahu ... kamu hanya ingin melindungi adik-adikmu. Hanya saja ... ““Aku mengerti, Bu,” kata Lily menyambar kalimat Atmarini. “Aku yakin kita hanya ingin melindungi Aga dan Nata dengan cara kita masing-masing.”Lily merasakan tangannya digenggam makin erat. Senyum Atmarini juga semakin hangat. Wanita yang nyaris mengainjak usia empat puluh tahun itu menarik tangannya lagi dan kembali melamun.“Ada yang ibu pikirkan lagi?” tanya Lily yang menduga ada yang dipikirkan s
“Kok melamun?”Lily kembali ke realita dan melihat ke sumber suara. Tampak Din tersenyum dengan gelas berisi cendol disodorkan padanya.“Terima kasih,” ucap Lily. Ia menerima gelas yang disodorkan dan meminumnya.“Jadi gimana tadi di dalam?” tanya Din seraya duduk di sebelah Lily.“Sedikit lebih ribet dari perkiraanku. Tapi ga masalah.” Lily mengangkat bungkusan berisi uang dan mengguncangnya. “Aku dapat uangnya.”Din terbelalak melihat bungkusan berwarna coklat itu tampak berat."Kenapa ngelihatnya begitu?" tanya gadis berambut pirang itu.“Dengan uang sebanyak itu, harusnya kamu dikawal petugas.”“Iya mereka menwarkan itu tadi. Tapi aku menolaknya. Ribet.”Din hanya tertawa mendengar komentar Lily. Gadis di sampingnya benar-benar cuek bahkan dengan hal sepenting menjaga keamanan dirinya.“Jadi sekarang kita kemana lagi?&rdq
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad