Seluruh mukanya tampak lebam dan bengkak. Bibirnya sobek dan berdarah.
"Siapa yang melakukan ini pada Adi?" tanya lelaki dengan postur kekar berwajah tampan. Yang berdiri memandangi adiknya yang tak sadarkan diri di pembaringan. Amarahnya membuncah.
Salah satu dari lima pemuda yang berdiri di belakangnya mendekat. “Anak buah Ronggo yang melakukannya, Bang.”
Lelaki tersebut menoleh dan terkejut, “Apa? Memangnya adikku salah apa?”
“Menurut berita yang saya dengar, Ronggo mencurigai ada yang memukuli Rinja. Dan pelakunya adalah seseorang yang memiliki selendang biru.”
Lelaki tersebut kembali melihat ke sang adik. Tak jauh dari pembaringan, ia melihat sebuah selendang biru yang penuh dengan noda darah.
“Tidak masuk akal. Adikku tak pernah jahat pada siapapun. Tega-teganya mereka berbuat demikian pada Adi.” Tangan lelaki tersebut mengepal kuat. Ia balik badan dan melihat lima pemuda di belakangnya. “Jika aku ingin membuat perhitungan dengan Ronggo, kalian bersedia membantuku.”
Salah satu pemuda langsung pasang badan. “Dengan senang hati. Abang selama ini selalu membela saat kami terlibat masalah. Sudah saatnya kami membalas budi,” ucapnya.
"Kami juga siap membantu, bang," ucapnya pemuda kedua. Diikuti anggukan tanda setuju dari yang lain.
Kakak lelaki dari pemuda bernama Adi itu terenyuh. “Terima kasih. Kita bergerak hari ini juga.”
***
Lily keluar dari kamarnya dan melihat ibunya tengah menyiapkan aneka sayur di atas Tampah. Ada Taoge, Kangkung, dan Bayam. Ada juga wadah dari bahan stainless untuk bumbu kacang. Atma menoleh ke arah putrinya.
“Selamat pagi, Anna.”
“Pagi, Bu,” sahut Lily seraya mendekati ibunya dan melihat aneka sayur di atas wadah bundar dari anyaman bambu itu. “Terakhir aku pergi, ibu masih berjualan ini. Bahkan sampai sekarang pun ternyata masih.”
“Ibu menikmatinya. Dan warga sekitar juga banyak yang kangen kalau ibu enggak jualan. Jadi ga enak sama mereka,” tutur Atma seraya tersenyum.
“Lagi lagi mementingkan perasaan orang lain.”
Atma hanya tersenyum mendengar sindiran Lily. Beres dengan bakal dagangan, wanita paruh baya yang masih cantik itu mengangkat Tampah ke atas kepala.
“Kamu mau ikut ibu jualan, Ann?”
Lily menggeleng, “Mungkin lain kali, Bu. Ada yang ingin aku lakukan hari ini.”
“Kamu mau kemana memangnya?”
“Jalan-jalan sekitar kampung saja,” jawab Lily sekenannya.
Atma tersenyum. “Ya sudah. Ibu ditemani Aga sama Nata saja. Kalau mau makan, ibu sudah siapkan,” kata Atma sembari mengedik ke atas tudung saji.
Lily melihat sekilas ke tudung saji lalu matanya kembali berputar pada sang ibu. “Ibu hati-hati.”
“Iya.”
Lily melihat wanita yang mengenakan kebaya itu berjalan dikawal dua malaikat kecil. Agafia dan Natasha menoleh ke arah Lily yang bersender ke pintu. Keduanya tersenyum dan melambaikan tangan. Hal tersebut kian menghangatkan sesuatu di dalam diri Lily.
Setelah yakin ibu dan kedua adiknya jauh, senyum Lily pudar dan wajah seriusnya kembali. “Waktunya beraksi.”
Wanita berambut panjang berwarna pirang itu bergegas menutup pintu depan dan menguncinya. Ia masuk kembali ke dalam kamar. Membuka tas kecil yang ia sembunyikan di bawah tempat tidur dan mengambil kain hitam yang dilipat membulat di dalamnya.
Diurainya kain tersebut dan puluhan pisau kecil terpampang. Lily bergegas mengambil beberapa sampai tangannya berhenti sendiri.
“Mereka hanya warga biasa. Apa harus sampai seserius ini?” gumamnya ragu. Setelah beberapa saat berpikir, Lily mengembalikan pisau-pisau itu ke tempatnya.
“Jika ada pertarungan, setidaknya tidak harus ada yang mati.”
Menyambar Hoodie di atas tempat tidur, Lily bergegas keluar pintu sampai langkahnya terhenti karena terpikirkan sesuatu. Ia menyambar selendang berwarna biru yang disembunyikannya di atas lemari bersama pistolnya.
***
Lily melewati jalanan kampung. Dari kejauhan, ia melihat sang ibu dikerumuni warga yang membeli dagangannya. Ia mengambil jalan lain. Melewati jalan setapak yang sepi di pinggir kampung.
Di sebelah kanannya adalah pepohonan yang cukup tinggi. Sementara sebelah kirinya adalah ilalang. Menurun ke bawah adalah sungai besar tempat ia bermain bersama kedua adiknya beberapa hari lalu.
Di kejauhan mata birunya menangkap seorang ibu membawa ranting pohon di punggung, berjalan ke arahnya. Lily menghentikannya.
“Ibu. Ibu tahu dimana rumah pak Ronggo?” tanya Lily.
Wanita tua yang sudah bongkok itu terkejut. “Mau apa ke rumah pak Ronggo, Nak?”
“Saya mau ada perlu dengan pak Ronggo,” jawab Lily.
“Kamu tahu siapa pak Ronggo kan? Tidak sembarangan orang bisa bertemu dengannya. Dan sebaiknya kamu menjauhi pak Ronggo kalau tidak mau terkena masalah.”
“Anggap saja, saya bukan sembarang orang itu.”
Wanita tua dengan keriput di wajahnya itu terkejut dan memandangi Lily. Akhirnya ia memutuskan bicara.
“Lurus saja di jalan ini. Nanti sebelum gapura selamat datang, kamu belok ke kanan. Ada rumah paling besar disitu. Nah itu rumah pak Ronggo.” Wanita tua itu menunjukkan arah dengan tangannya.
Lily tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia melanjutkan perjalanan diikuti tatapan penasaran dari sang wanita tua pembawa ranting pohon.
Tak butuh waktu lama, Lily berhasil menemukan lokasi rumah Ronggo. Lily mengawasi dari kejauhan. Tampak di gerbang rumah ada yang berjaga.
“Sepertinya tak mungkin kalau lewat depan.”
Sedang memikirkan bagaimana caranya untuk masuk ke dalam rumah Ronggo, Lily melihat enam orang pemuda melompati pagar samping layaknya ninja. Membuatnya terhenyak setelahnya karena keenam orang itu menghajar orang-orang di rumah tersebut.
"Apa-apaan ini?"
Dengan langkah terburu, Lily menuju gerbang. Penjaga gerbang yang dilihat sebelumnya tampak bergabung dengan yang lain menghadapi enam orang penyusup. Lily membuka gerbang yang ternyata tidak dikunci.
“Tidaakkkk!!!”
Teriakan pilu seorang perempuan terdengar dari dalam rumah. Lily mengambil selendang biru di saku dan mengenakannya. Berlari secepatnya ke sumber suara.
“Hentikan!” teriaknya.
Seorang lelaki berbadan kekar berwajah tampan, tampak tengah mengangkat tubuh Rinja ke udara dengan satu tangan. Terkejut melihat Lily memakai selendang warna biru menutupi muka.
Rinja yang masih lemah, dijatuhkan di lantai. Lily memeriksa sekeliling. Belasan orang terkapar.
‘Rupanya Ronggo tak sekuat itu,’ batin Lily.
“Sosok misterius yang mengenakan selendang biru ... jadi kamu yang sebenarnya mereka cari?” tanya lelaki tersebut yang menoleh pada Rinja. “Bukan Adi!” hardiknya pada wanita muda yang sudah tak berdaya.
“Aku tak tahu soal penangkapan Adi, Bang Din. Aku akui, aku memang salah,” ucap Rinja dengan suara lemah.
Lelaki yang dipanggil Bang Din itu mendengus. “Sudah terlambat untuk menyesal, Rinja.”
“Kalian sudah mendapat balas dendam yang kalian cari. Aku sarankan kalian segera pergi,” kata Lily.
Din dan kelima temannya mendekati Lily. “Tidak sebelum Ronggo bertanggung jawab atas ini semua. Dan kamu ... ” Din mengepalkan tinjunya. "juga akan menerima akibatnya."
Salah seorang teman Din tiba-tiba saja melayangkan pukulan yang tak terduga oleh Lily. Nyaris saja mengenai badannya namun dengan sigap Lily mundur ke belakang. Sontak membuat lelaki yang menyerangnya terkejut.
“Bukan orang sembarangan rupanya,” kata pria tersebut. Yang langsung memasang kuda-kuda. Tak mengambil jeda lama, pukulan pukulan berikutnya dilayangkan bertubi-tubi namun tak satu pun yang mengenai Lily. Membuat lelaki tersebut frustasi.
“Ayo! Lawan aku!” teriaknya. “Hiyaaaaa!!” Pukulan berikutnya dilayangkan.
“Maaf,” kata Lily singkat. Ditangkapnya lengan lelaki tersebut dan dibantingnya tubuh sang lelaki ke lantai.
Rinja yang tergeletak lemah di lantai terkejut dengan gerakan itu. Gerakan itulah yang sampai sekarang masih mebuatnya kesakitan. Bersamaan dengan jatuhnya teman Din, selendang biru itu tersingkap. Rinja terkejut melihat siapa sebenarnya sosok misterius di depannya.
“Kamu ... ?”
Tunggu bab berikutnya ya. Yuk subscribe biar saya makin semangat update babnya.
Mata biru Lily menyaksikan keterkejutan di mata orang-orang ketika mukanya terlihat. Termasuk Din sang kakak korban yang tak menyangka bahwa sosok misterius yang mengenakan selendang biru ternyata adalah seorang perempuan.Lily kembali ke posisi tegap setelah melakukan gerakan bantingan pada lawannya. Lelaki yang dibantingnya menggeliat kesakitan memegangi punggungnya. Beberapa saat menunggu, salah seorang rekan Din mendekat dan berbisik di telinga lelaki tampan berbadan kekar itu.“Bang, bagaimana selanjutnya?” tanya salah seorang rekan Din yang melihat lelaki tampan berbadan kekar itu mematung.Lily melepaskan sikap kuda-kudanya karena tampaknya Din tak berniat melakukan serangan susulan. Lelaki tersebut mendekatinya.“Siapa kamu sebenarnya? Aku baru pertama kali melihatmu?” tanya Din.“Lily.”“Anak Bu Atma, Bang,” imbuh seseorang di belakang Din memberi penjelasan.“Begitu
Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.“Halo.”“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar, Liam punya tugas baru untukmu.”Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.“Lily!?” suara di seberang semakin panik.“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku
Dua orang itu sama-sama membuka mata di kedalaman air sungai. Lily menatap lelaki di depannya, mengamati struktur mukanya. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh. Ia tak merasakan apapun.Tak lama, gelembung air menyembur dari mulut lelaki bernama Din itu. Lalu mendorong tubuhnya naik ke permukaan. Lily menyeringai kecil dan menyusul naik. Lily muncul dan dihadiahi tatapan heran dari lelaki tampan di depannya.“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Din yang masih mencoba mengumpulkan oksigen ke paru-parunya.“Melakukan apa?” tanya Lily bingung.“Haah ... menahan napas selama itu. Kita nyaris 2 menit di bawah air. Aku yakin kamu masih bisa melakukannya lebih lama lagi. Lihat saja dirimu. Kamu bahkan tidak kelihatan kehabisa napas. Hah ... “ tutur Din masih dengan napas yang terengah-engah.‘Aku tentu takkan memberitahu lelaki ini kalau kemampuanku berasal dari latihan yang kulakukan selama berada d
Keduanya saling diam di dapur yang merangkap tempat makan itu. Lily mencuri pandang pada wanita berambut hitam panjang di depannya yang tampak memainkan gelasnya yang sudah kosong.“Aku mau minta maaf sama ibu atas sikapku sebelumnya.”Kalimat itu akhirnya terucap dari bibir Lily. Membuat Atmarini mendongak melihat putrinya kemudian tersenyum. Menjulurkan tangannya meraih tangan Lily erat.“Ibu juga minta maaf, Anna. Ibu tahu ... kamu hanya ingin melindungi adik-adikmu. Hanya saja ... ““Aku mengerti, Bu,” kata Lily menyambar kalimat Atmarini. “Aku yakin kita hanya ingin melindungi Aga dan Nata dengan cara kita masing-masing.”Lily merasakan tangannya digenggam makin erat. Senyum Atmarini juga semakin hangat. Wanita yang nyaris mengainjak usia empat puluh tahun itu menarik tangannya lagi dan kembali melamun.“Ada yang ibu pikirkan lagi?” tanya Lily yang menduga ada yang dipikirkan s
“Kok melamun?”Lily kembali ke realita dan melihat ke sumber suara. Tampak Din tersenyum dengan gelas berisi cendol disodorkan padanya.“Terima kasih,” ucap Lily. Ia menerima gelas yang disodorkan dan meminumnya.“Jadi gimana tadi di dalam?” tanya Din seraya duduk di sebelah Lily.“Sedikit lebih ribet dari perkiraanku. Tapi ga masalah.” Lily mengangkat bungkusan berisi uang dan mengguncangnya. “Aku dapat uangnya.”Din terbelalak melihat bungkusan berwarna coklat itu tampak berat."Kenapa ngelihatnya begitu?" tanya gadis berambut pirang itu.“Dengan uang sebanyak itu, harusnya kamu dikawal petugas.”“Iya mereka menwarkan itu tadi. Tapi aku menolaknya. Ribet.”Din hanya tertawa mendengar komentar Lily. Gadis di sampingnya benar-benar cuek bahkan dengan hal sepenting menjaga keamanan dirinya.“Jadi sekarang kita kemana lagi?&rdq
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad