Melihat Lily diam saja pemuda berambut merah kian curiga. Tangannya bergerak pelan ke atas lemari sambil tetap melihat ke arah Lily.
“Bos!”
Salah seorang anggota dari anak buah Ronggo tiba-tiba menghampiri.
“Ada apa?” tanya pemuda berambut merah.
“Kami sudah menemukanya. Sosok dibalik selendang biru sekarang sedang diarak ke tengah lapangan.”
Mendengar penuturan itu, pemuda berambut merah bergegas keluar dari kamar Lily. “Cabut!” teriaknya mengkomando anak buahnya meninggalkan rumah Atmarini.
Lily berdiri dan segera menghampiri ibu dan adik-adiknya. Melihat Agatha dan Natasha memeluk erat sang ibu, rasa iba perlahan merambat dalam dirinya. Terlebih setelah Natasha tiba-tiba menubruknya dan memeluknya erat. Gadis kecil itu sesenggukan.
“Semuanya akan baik-baik saja.” Lily mengelus punggung Natasha. Mata birunya lalu beralih memandang jauh ke luar pintu.
‘Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa mereka bilang sudah menangkap sosok berselendang biru?’ batin Lily.
***
Tanpa sepengetahuan ibunya, Lily mengikuti beberapa anak buah Ronggo yang menuju ke lapangan. Bergerak tanpa suara sudah menjadi keahlian Lily. Bahkan dengan jarak yang hanya beberapa meter tak satupun dari anak buah Ronggo menyadari kalau Lily membuntuti.
Lily merendahkan tubuh dan bersembunyi di semak-semak sementara gerombolan anak buah Ronggo yang diikutinya bergabung dengan yang lain. Mata birunya menyaksikan seorang pemuda berdiri dengan lututnya sedang dipukuli secara bergiliran.
“Apa-apaan ini?” gumam Lily tak percaya melihat pemandangan memilukan di depan mata.
Tampak dari kejauhan Lily melihat itu adalah pemuda yang ditemuinya di dekat sungai. Pemuda yang mengejar gadis yang diselamatkannya malam itu. Di tangan pemuda itu, digenggamnya erat sebuah selendang berwarna biru.
Setelah tahu apa yang terjadi, Lily meninggalkan lokasi. Sampai di rumah, ia masuk lewat jendela kamarnya. Setelah masuk, pintu kamar dibuka dan ia menemukan ibu serta adik-adiknya tak mencurigainya yang baru saja dari luar.
Tampak ibu dan adik-adiknya sedang berkumpul di meja makan. Natasha bergegas menghampiri dan menarik tangan Lily.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Atma.
Lily duduk di sebelah Natasha. “Aku baik-baik saja, Bu.”
“Aku lihat kakak didorong cukup keras oleh pemuda itu,” ucap Agafia khawatir.
Lily tersenyum dan menyentuh rambut adiknya yang pirang. “Aku baik-baik saja, Aga.”
“Setidaknya semuanya sudah selesai. Gerombolan anak buah Ronggo takkan kembali ke rumah ini lagi. Terlebih, sosok misterius dengan selendang biru itu sudah ketemu.”
***
Duduk di Gazebo depan rumah dikelilingi anak buahnya yang berkumpul di halaman. Lelaki bertampang sangar melinting tembakau dengan daun Kawung. Tak ada yang bersuara sedikitpun saat lelaki tersebut hanyut dalam kenikmatan meracik rokok.
Lintingan rokok selesai dan berpindah ke mulut. Salah seorang dengan sigap maju dan menyalakan korek. Satu hisapan dan asap mengepul menciptakan wewangian yang khas.
“Bagaimana? Sudah kalian beri pelajaran si pemilik selendang biru itu?” tanya Ronggo pada pemuda berambut merah.
“Sudah, Tuan,” jawab pemuda berambut merah seraya tetap menunduk.
“Kalian tidak bikin mati orang ini kan?”
“Tidak, Tuan. Kami hanya memberinya pelajaran. Berkali-kali lipat yang dirasakan nona Rinja.”
“Bagus. Aku masih tak habis pikir, bagaimana pengecutnya laki-laki bernama Adi itu. Beraninya menghajar perempuan,” kata Ronggo.
Pintu depan terkuak mendadak. Salah seorang wanita paruh baya yang mengenakan kebaya berlari dengan buru-buru.
“Tuan!” serunya panik.
Sontak anak buah Ronggo menoleh dan gerombolan pun terbelah.
“Ada apa?” tanya Ronggo begitu melihat bawahannya itu bersimpuh dan menunduk.
“Nona Rinja sudah siuman.”
Mata Ronggo yang sudah melotot dari asal mula penciptaan, semakin lebar mendengar berita itu. Dengan segera Ronggo bangkit dan masuk ke dalam rumah.
“Rinja?” panggil Ronggo dengan suaranya yang berat. Seketika memeluk putrinya.
“Bapak,” ucap Rinja dengan suaranya yang masih lemah.
“Kamu sudah mendingan?”
Rinja mengedipkan matanya pelan.
“Syukurlah.” Ronggo kembali memeluk putrinya.
“Kenapa ramai-ramai begini?” tanya Rinja yang heran melihat anak buah bapaknya berkumpul di depan pintu kamarnya.
“Kami baru saja memberi pelajaran pada pemuda yang melukaimu,” jawab Ronggo seraya mengendurkan pelukannya.
Rinja bingung, “Pemuda?”
“Iya. Pemuda yang membuatmu terluka seperti ini.”
Rinja hendak menyampaikan sesuatu namun mendadak mulutnya kaku karena terkejut mendengar penuturan bapaknya. Hal demikian membuat Ronggo khawatir.
“Kenapa, Nak?”
“Bapak salah orang,” seru Rinja dengan susah payah.
Sontak kalimat Rinja membuat seluruh orang yang hadir terkejut.
“Apa maksud kamu? Mereka bilang yang menghajarmu sosok misterius mengenakan selendang biru?” kata Ronggo. Telunjuknya terarah pada Wati dan Wita yang mendadak ketakutan.
“Jangan salahkan mereka, Pak. Mereka juga pasti tak tahu siapa orangnya, demikian juga denganku. Tapi aku sangat yakin, yang menyerangku itu seorang perempuan,” tutur Rinja.
Mereka yang hadir semakin bertanya-tanya siapa kiranya sosok perempuan misterius ini.
“Lalu siapa orang yang bapak beri pelajaran ini?” tanya Rinja yang mendadak penasaran.
“Namanya Adi,” jawab Ronggo.
“Apa?” Rinja terkejut bukan main.
“Iya. Anak buah bapak bilang dia adalah pemuda yang sedang dekat dengan gadis bernama Mawar.”
Diremasnya kuat-kuat seprai di kasurnya sampai kusut. Rinja geram luar biasa. Bagaimana bisa pemuda yang ditaksirnya justru dihajar anak buah bapaknya sendiri.
“Siapa yang pertama kali menangkap Adi?” tanya Rinja.
Ronggo menoleh pada anak buahnya. Semua mata tertuju pada satu pemuda yang menunduk takut. Seperti memperoleh kekuatan dari langit, Rinja berdiri dari tempat tidurnya dan menghmapiri pemuda tersebut.
“Maaf, Non. Saya tidak---“
Bugh!
Satu pukulan mendarat di muka pemuda tersebut dan langsung membuatnya roboh.
“Bodoh!” hardik Rinja. Tenaganya yang dikerahkan seluruhnya untuk menumpahkan amarah itu, seketika membuatnya tumbang lagi.
Ronggo panik dan menghampiri anak perempuannya dan kembali membawanya ke tempat tidur.
***
Mata birunya mengerjap pelan. Kedua tangannya digunakan sebagai sandaran kepala. Di atas sana, langit penuh bintang menjamu matanya. Suara binatang malam memanjakan telingannya.
Satu tarikan napas dan Lily mengangkat tubuhnya duduk. “Apa yang salah denganku? Kenapa tiba-tiba aku kepikiran nasib pemuda itu?” gumamnya lirih.
“Belum tidur?”
Lily menoleh. Wanita berparas ayu menghampirinya. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai.
“Belum, Bu.” Atma menyodorkan mug berisi minuman. "Terima kasih.” Lily menerima gelas berisi minuman hangat yang dibawakan ibunya.
Atma duduk di bangku panjang dari bambu di halaman belakang rumah. Menemani Lily menikmati malam.
“Ada yang kamu pikirkan?” tanya Atma.
Lily mensesap minuman di gelas mugnya. “Ibu tahu siapa pemuda yang dipukuli di lapangan kemarin?”
“Maksudmu Adi?”
“Jadi itu namanya.”
“Kenapa kamu menanyakannya, Nak?” tanya Atma penasaran.
“Tidak ada apa-apa, Bu.”
Atma meletakkan mugnya di bangku panjang dan menyentuh pipi Lily. “Kamu masih saja belum percaya sama ibu untuk berbagi isi kepalamu ya?”
Lily memejamkan mata merasakan kehangatan tangan sang ibu. “Jika memang ada yang penting, aku akan bercerita pada ibu.”
Lily kembali membuka matanya. “Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi pemuda bernama Adi itu?”
Atma mengambil mugnya dan mengurangi isinya sebelum menjawab. “Ibu dengar dia terluka parah. Namun Adi selamat.”
Lily mengangguk. Obrolan beberapa menit berikutnya dilanjutkan dengan perbincangan basa-basi seputar kehidupan Lily di Moskow. Yang tentunya hanya sekilas saja yang Lily singkap.
“Ya sudah ibu masuk dulu ya. Kamu jangan berdiam terlalu lama, udara semakin dingin.”
“Tak sedingin udara di Moskow, Bu.”
Atma tersenyum. “Pokoknya setelah minuman itu habis, kamu segera tidur.”
Lily membalas senyum lalu mengangguk. Atma masuk ke dalam rumah sementara wanita berambut pirang itu mendapat satu keputusan bulat dalam dirinya.
“Aku harus membereskan masalah ini.”
Tunggu bab berikutnya ya. Yuk subscribe biar saya makin semangat updatenya. Jangan lupa juga tinggalkan review di kolom komentar ya.
Seluruh mukanya tampak lebam dan bengkak. Bibirnya sobek dan berdarah."Siapa yang melakukan ini pada Adi?" tanya lelaki dengan postur kekar berwajah tampan. Yang berdiri memandangi adiknya yang tak sadarkan diri di pembaringan. Amarahnya membuncah.Salah satu dari lima pemuda yang berdiri di belakangnya mendekat. “Anak buah Ronggo yang melakukannya, Bang.”Lelaki tersebut menoleh dan terkejut, “Apa? Memangnya adikku salah apa?”“Menurut berita yang saya dengar, Ronggo mencurigai ada yang memukuli Rinja. Dan pelakunya adalah seseorang yang memiliki selendang biru.”Lelaki tersebut kembali melihat ke sang adik. Tak jauh dari pembaringan, ia melihat sebuah selendang biru yang penuh dengan noda darah.“Tidak masuk akal. Adikku tak pernah jahat pada siapapun. Tega-teganya mereka berbuat demikian pada Adi.” Tangan lelaki tersebut mengepal kuat. Ia balik badan dan melihat lima pemuda di belakangnya.
Mata biru Lily menyaksikan keterkejutan di mata orang-orang ketika mukanya terlihat. Termasuk Din sang kakak korban yang tak menyangka bahwa sosok misterius yang mengenakan selendang biru ternyata adalah seorang perempuan.Lily kembali ke posisi tegap setelah melakukan gerakan bantingan pada lawannya. Lelaki yang dibantingnya menggeliat kesakitan memegangi punggungnya. Beberapa saat menunggu, salah seorang rekan Din mendekat dan berbisik di telinga lelaki tampan berbadan kekar itu.“Bang, bagaimana selanjutnya?” tanya salah seorang rekan Din yang melihat lelaki tampan berbadan kekar itu mematung.Lily melepaskan sikap kuda-kudanya karena tampaknya Din tak berniat melakukan serangan susulan. Lelaki tersebut mendekatinya.“Siapa kamu sebenarnya? Aku baru pertama kali melihatmu?” tanya Din.“Lily.”“Anak Bu Atma, Bang,” imbuh seseorang di belakang Din memberi penjelasan.“Begitu
Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.“Halo.”“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar, Liam punya tugas baru untukmu.”Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.“Lily!?” suara di seberang semakin panik.“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku
Dua orang itu sama-sama membuka mata di kedalaman air sungai. Lily menatap lelaki di depannya, mengamati struktur mukanya. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh. Ia tak merasakan apapun.Tak lama, gelembung air menyembur dari mulut lelaki bernama Din itu. Lalu mendorong tubuhnya naik ke permukaan. Lily menyeringai kecil dan menyusul naik. Lily muncul dan dihadiahi tatapan heran dari lelaki tampan di depannya.“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Din yang masih mencoba mengumpulkan oksigen ke paru-parunya.“Melakukan apa?” tanya Lily bingung.“Haah ... menahan napas selama itu. Kita nyaris 2 menit di bawah air. Aku yakin kamu masih bisa melakukannya lebih lama lagi. Lihat saja dirimu. Kamu bahkan tidak kelihatan kehabisa napas. Hah ... “ tutur Din masih dengan napas yang terengah-engah.‘Aku tentu takkan memberitahu lelaki ini kalau kemampuanku berasal dari latihan yang kulakukan selama berada d
Keduanya saling diam di dapur yang merangkap tempat makan itu. Lily mencuri pandang pada wanita berambut hitam panjang di depannya yang tampak memainkan gelasnya yang sudah kosong.“Aku mau minta maaf sama ibu atas sikapku sebelumnya.”Kalimat itu akhirnya terucap dari bibir Lily. Membuat Atmarini mendongak melihat putrinya kemudian tersenyum. Menjulurkan tangannya meraih tangan Lily erat.“Ibu juga minta maaf, Anna. Ibu tahu ... kamu hanya ingin melindungi adik-adikmu. Hanya saja ... ““Aku mengerti, Bu,” kata Lily menyambar kalimat Atmarini. “Aku yakin kita hanya ingin melindungi Aga dan Nata dengan cara kita masing-masing.”Lily merasakan tangannya digenggam makin erat. Senyum Atmarini juga semakin hangat. Wanita yang nyaris mengainjak usia empat puluh tahun itu menarik tangannya lagi dan kembali melamun.“Ada yang ibu pikirkan lagi?” tanya Lily yang menduga ada yang dipikirkan s
“Kok melamun?”Lily kembali ke realita dan melihat ke sumber suara. Tampak Din tersenyum dengan gelas berisi cendol disodorkan padanya.“Terima kasih,” ucap Lily. Ia menerima gelas yang disodorkan dan meminumnya.“Jadi gimana tadi di dalam?” tanya Din seraya duduk di sebelah Lily.“Sedikit lebih ribet dari perkiraanku. Tapi ga masalah.” Lily mengangkat bungkusan berisi uang dan mengguncangnya. “Aku dapat uangnya.”Din terbelalak melihat bungkusan berwarna coklat itu tampak berat."Kenapa ngelihatnya begitu?" tanya gadis berambut pirang itu.“Dengan uang sebanyak itu, harusnya kamu dikawal petugas.”“Iya mereka menwarkan itu tadi. Tapi aku menolaknya. Ribet.”Din hanya tertawa mendengar komentar Lily. Gadis di sampingnya benar-benar cuek bahkan dengan hal sepenting menjaga keamanan dirinya.“Jadi sekarang kita kemana lagi?&rdq
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad