Kilatan cahaya menyebar dari moncong pistol yang baru saja diletuskan di ruangan gelap sebuah rumah. Lily dengan tenang berlindung di balik tembok.
“Empat,” ucap Lily lirih. “Tiga kali lagi.”
Dor! Dor! Dor!
Selesai tembakan ke tujuh Lily menyeringai dan mendekati mangsanya dengan tenang. Sosok yang terpojok itu panik saat melepas magazin yang kosong dan mencoba menggantinya dengan yang baru.
“Hya!”
Tendangan kaki kanan Lily membuat pistol yang dipegang terlempar. Lily menarik kerah kemeja putih itu dan menghujani kepala pemiliknya dengan pukulan.
Bugh! Bugh! Bugh!
“Jangaaannn!” teriakan histeris dari bocah perempuan memekakan telinga.
“Hentikan ... tolong hentikan!” pinta wanita yang memeluk bocah perempuan yang baru saja histeris.
Lily menoleh ke sumber suara dengan napas terengah. Tampak seorang wanita dan gadis kecil meringkuk ketakutan. Kembali Lily melihat sosok lelaki yang sudah babak belur itu. Tinjunya meragu dan tak lama dilepaskannya kerah kemeja lelaki tersebut.
Seperti biasanya, muka Lily yang kaku tanpa ekspresi, melihat korbannya. Namun kali ini berbeda karena korbannya masih bernyawa. Wanita dan bocah perempuan itu mendekati pria tersebut saat Liy akhirnya menjauh.
“Keluarga kita akan baik-baik saja. Selama kita bersama semuanya akan baik-baik saja,” ucap pria malang itu lemah. Sorot matanya masih mengarah pada Lily. Sang istri mengangguk-angguk dan membersihkan darah dari muka suaminya.
Mendengar kalimat tersebut, Lily tak dapat bergerak. Lagi-lagi, pembahasan soal keluarga.
Lily meninggalkan targetnya melewati rumah dan perabotan yang hancur berantakan karena bekas pertarungan. Earpiece ditelinganya kembali dipasang.
“Zack,” panggil Lily.
“Yes, Lily. Zack di sini?”
“Kirim tim pembersih untuk melanjutkan. Tak perlu sakiti anak dan istrinya.”
“Apa maksudmu? Targetmu belum mati?”
Lily tak menjawab. Ia keluar dari rumah lalu melompati pagar tembok yang tinggi. Turun ke sisi lain tembok tanpa bersusah payah. “Jangan banyak tanya. Lakukan saja!”
“Copy that!” jawab Zack.
Lily mengambil kembali earpiece dan memasukkannya ke saku. Ia berlari menuju ke arah hutan tempat mobilnya diparkir.
***
Asap cerutu mengepul dari bibirnya yang terlalu merah untuk ukuran seseorang dengan bulu halus di pipi. Sosok pria tampan yang duduk di kursi memandangi Lily dengan heran.
“Ada apa denganmu? Kamu tak pernah sekalipun meminta tim pembersih untuk membereskan pekerjaanmu. Kamu yang bilang sendiri kalau itu seperti merendahkan harga dirimu kan?”
Lily bungkam.
Pria di kursi mewah memajukan badannya. “Ada masalah apa, Lil?”
“Tak ada masalah apa-apa. Aku hanya merasa tak enak hati malam ini. Dan lagi, bukannya hal itu menjadi suatu kehormatan untuk tim pembersih bisa menuntaskan sisa mangsa dariku?” sanggah wanita berambut pirang itu.
“Iya tentu saja. Dan hal itu boleh saja dilakukan,” jawab pria tampan di kursi mewah. “Tapi ini kamu, Lily ... bunga kesayanganku. Yang tak semudah itu melepaskan mangsa,” ujar lelaki tampan tersebut heran.
“Aku harus pergi.” Lily bangkit dari kursi dan bergerak menjauh. Namun langkahnya terhenti karena teringat sesuatu.
“Ada apa?” tanya sosok lelaki di kursi merah marun.
“Kamu tahu sesuatu tentang target yang kubunuh di dermaga itu?”
“Kenapa dengan itu?”
Lily diam lalu tersenyum hambar. “Lupakan saja.”
“Jika ada yang bisa kulakukan, bilang saja. Kami di sini juga sebagai keluargamu. Aku bukan hanya sebagai bosmu, aku juga keluargamu. Kami semua keluargamu.”
Lily yang hendak beranjak pergi, berbalik lagi mendekati meja. “Apa benar, nomor satu dari agensi kita masih bersitegang dengan petinggi dari Black Lotus?”
Mata abu-abu pria tersebut melebar. Terkejut mendengar penuturan salah satu wanita pembunuhnya. “Aku bahkan tak tahu soal itu.”
“Kamu salah satu orang kepercayaannya, Liam. Kamu sungguh tak tahu apa-apa?” tanya Lily kesal.
“Masih ada belasan orang diatasku, Lil. Meskipun aku menjadi yang tertinggi diantara kalian, masih butuh belasan orang yang harus kulewati untuk bisa membuat nomor satu mengalihkan terpongnya padaku.” Lelaki dengan berewoknya yang dicukur rapi itu memandangi Lily lekat-lekat. “Ada apa sebenarnya?”
“Lupakan. Mungkin hanya perasaanku saja,” jawab Lily. “Aku harus pergi.”
Lily beregerak menjauh. Keluar dari pintu ruangan itu dan melewati belasan anggota White Lotus lainnya yang sedang duduk santai di lobi. Satu dua orang mencoba menyapa Lily meskipun mereka sadar gadis cantik itu takkan menyapa balik.
***
Segelas Wiski menemaninya malam itu. Di sebuah kursi paling pojok di diskotik paling ramai di pinggiran kota Moskow. Menyendiri dan menyatu bersama kegelapan.
Seperti sudah ada dalam nadinya, jika ada seseorang mendekat, matanya akan segera tahu kemana harus melihat. Sosok itu datang dan duduk di depannya. Sebuah bungkusan kertas coklat disorongkan ke mejanya.
“Informasinya akurat?” tanya Lily. Diambilnya amplop coklat di meja.
“Seratus persen. Kamu sudah memakai jasaku sejak lama dan informasiku belum pernah salah kan?”
Lily melongok isi amplop coklat. Tanpa basa-basi, ia melemparkan segepok uang ke sosok yang memakai masker dan topi. Yang segera berlalu setelah membungkuk hormat pada Lily.
Diambilnya benda di dalam amplop coklat yang berisi beberapa lembar foto. Tampak seorang pria Rusia dengan berewoknya yang putih. Lalu ada foto wanita berusia tiga puluhan, memakai kebaya dan memanggul benda bulat berisi aneka jualannya.
“Ibu,” ucap Lily lirih. Sesuatu dalam dirinya sedikit terpantik.
Lily bergegas bergerak dari tempatnya. Keluar menuju parkiran dan menaiki mobil Audi R8 warna hitam miliknya. Mesin mobil meraung dan segera meninggalkan tempat tersebut.
***
Turun dari sebuah taksi, Lily bergegas menuju administrasi bandara. Menyerahkan pasport dan menunggu pesawatnya take off.
Suasana bandara pagi itu ramai. Lily duduk menunggu jam penerbangannya siap. Sembari tetap waspada dengan lalu lalang orang disekitar.
“Mereka takkan mencurigainya. Lagipula aku selalu mengambil cuti sehabis menjalankan tugas. Kenapa pula mendadak begini lelaki tua itu pergi?” gumam Lily. Badannya menegak karena menyadari seorang gadis kecil bermata biru memandanginya dengan tatapan polos.
“Hi,” sapa Lily sembari berusaha tersenyum. Namun bukannnya senyum manis, yang terbit justru seringai tipis. Gadis kecil tersebut berlari dan menangis. Helaan napas panjang mengantarkan kalimat kutukan keluar dari mulut Lily. “Shit!”
Menunggu selama sejam lebih sampai akhirmya pesawat menerbangkannya meninggalkan kota Moskwa. Membawanya kembali ke tanah air tercinta Indonesia.
Lima belas jam berada di udara, pesawat akhirnya mendara di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Taksi online yang memang sudah dipesan sebelumnya menjemput lily.
***
Turun dari taksi online yang dipesannya, udara dingin namun sejuk khas pegunungan menyambutnya. Rambut pirangnya tertiup angin. Lily menarik ujung rambutnya ke belakang telinga.
“Aku bisa menikmatinya. Tak perlu mengenakan topi Ushanka,” ujar Lily lirih.
Kakinya yang jenjang menapaki jalanan yang dipenuhi batu alam yang ditata. Suasana tampak sepi karena Lily datang cukup larut. Lampu dalam di rumah-rumah sudah banyak yang padam dan hanya mengandalkan lampu depan.
Langkahnya dipercepat begitu sampai di sebuah rumah dengan tanaman Topiary rendah yang membentuk pagar alami yang mengelilingi rumah. Lily bergegas masuk sampai teriakan di belakang menghentikannya.
“Berhenti disana! Jangan bergerak!”
“Jangan bergerak!”Lily mengangkat kedua tangan dengan perlahan. Suara langkah kaki kian mendekat. Insting Lily langsung bekerja ketika tangan seseorang menyentuh pundaknya. Dengan sigap diputarnya tangan dan dibantingnya sosok tersebut.“Berhenti!” Tinju Lily tertahan tepat di depan hidung lelaki yang baru saja dijatuhkan. Suara seseorang dari dalam rumah mengalihkan fokusnya. Mata birunya melebar dan tubuhnya kembali tegak berdiri saat melihat perempuan berparas ayu memakai kebaya.Lily tak dapat bergerak saat mendapati wanita tersebut mendekat lalu menyentuh pipinya yang putih.“Anna?”Lily hendak tersenyum lalu teringat kejadian di bandara saat gadis kecil kabur setelah melihatnya tersenyum. Ia mengurungkannya.“Ibu,” ucapnya lirih dengan muka tanpa ekspresi.Direngkuhnya tubuh Lily ke dalam pelukan wanita berkebaya yang tak lain adalah ibunya. Tangis wanita itu berurai.Tak b
Sorot mata Lily tajam meladeni tatapan wanita yang baru saja menghajar Parmin. Tangannya sudah mengepal keras.“Anna,” panggil sang ibu. Lily menoleh dan melihat ibunya menggeleng pelan.Seperti melawan nalurinya yang menyukai pertarungan, Lily tak begitu saja menurut. Namun sorot mata ibunya ternyata mampu meredam keinginannya sendiri. Dilepasnya genggaman tangan di lengan wanita tersebut.Namun diluar dugaan, sebuah pukulan dilayangkan ke tulang pipinya.Bugh!Teriakan dari ibu dan adik-adiknya terdengar beberapa saat kemudian. Diperlakukan demikian, darah Lily kembali mendidih. Napasnya memburu menahan amarah.“Ayo. Aku ingin lihat kamu akan melakukan apa,” tantang wanita tersebut. Tampak kedua temannya juga bersiaga di belakangnya."Anna," panggil Atmarini.Lily melihat ibunya. Sekuat tenaga ia menahan gejolak amarah.Deru napasnya perlahan melambat dan Lily bisa kembali tenang. Melewati wanit
Lelaki berkulit legam dengan banyak bekas luka di tangan, terkejut melihat sosok itu menggeliat di pembaringan. Kesakitan memegangi punggungnya. Di sisi kiri dan kanannya, wanita paruh baya berkebaya memegangi tubuhnya dengan resah.Kehadiran lelaki dengan postur tegap dikelilingi beberapa anak buahnya membuat semua orang di ruangan membungkuk hormat.“Siapa yang melakukan ini?” suaranya yang berat mampu menyusutkan nyali.Wati menyenggol Wita, Wita menunduk lalu menyenggol Wati. Keduanya sama-sama takut menatap lelaki tersebut.“Kalian kenapa diam? Mau kupukuli, huh?“Maaf, Pak Ronggo. Kami tak tahu siapa yang melakukan ini pada Rinja,” jawab Wati takut-takut.“Bagaimana bisa kalian tak tahu siapa pelakunya? Kalian bersama putriku setiap saat.”“Orang ini memakai penutup muka, Pak Ronggo,” ucap Wita yang giliran bicara.“Penutup muka?”“Betul,
Melihat Lily diam saja pemuda berambut merah kian curiga. Tangannya bergerak pelan ke atas lemari sambil tetap melihat ke arah Lily.“Bos!”Salah seorang anggota dari anak buah Ronggo tiba-tiba menghampiri.“Ada apa?” tanya pemuda berambut merah.“Kami sudah menemukanya. Sosok dibalik selendang biru sekarang sedang diarak ke tengah lapangan.”Mendengar penuturan itu, pemuda berambut merah bergegas keluar dari kamar Lily. “Cabut!” teriaknya mengkomando anak buahnya meninggalkan rumah Atmarini.Lily berdiri dan segera menghampiri ibu dan adik-adiknya. Melihat Agatha dan Natasha memeluk erat sang ibu, rasa iba perlahan merambat dalam dirinya. Terlebih setelah Natasha tiba-tiba menubruknya dan memeluknya erat. Gadis kecil itu sesenggukan.“Semuanya akan baik-baik saja.” Lily mengelus punggung Natasha. Mata birunya lalu beralih memandang jauh ke luar pintu.‘Apa yang
Seluruh mukanya tampak lebam dan bengkak. Bibirnya sobek dan berdarah."Siapa yang melakukan ini pada Adi?" tanya lelaki dengan postur kekar berwajah tampan. Yang berdiri memandangi adiknya yang tak sadarkan diri di pembaringan. Amarahnya membuncah.Salah satu dari lima pemuda yang berdiri di belakangnya mendekat. “Anak buah Ronggo yang melakukannya, Bang.”Lelaki tersebut menoleh dan terkejut, “Apa? Memangnya adikku salah apa?”“Menurut berita yang saya dengar, Ronggo mencurigai ada yang memukuli Rinja. Dan pelakunya adalah seseorang yang memiliki selendang biru.”Lelaki tersebut kembali melihat ke sang adik. Tak jauh dari pembaringan, ia melihat sebuah selendang biru yang penuh dengan noda darah.“Tidak masuk akal. Adikku tak pernah jahat pada siapapun. Tega-teganya mereka berbuat demikian pada Adi.” Tangan lelaki tersebut mengepal kuat. Ia balik badan dan melihat lima pemuda di belakangnya.
Mata biru Lily menyaksikan keterkejutan di mata orang-orang ketika mukanya terlihat. Termasuk Din sang kakak korban yang tak menyangka bahwa sosok misterius yang mengenakan selendang biru ternyata adalah seorang perempuan.Lily kembali ke posisi tegap setelah melakukan gerakan bantingan pada lawannya. Lelaki yang dibantingnya menggeliat kesakitan memegangi punggungnya. Beberapa saat menunggu, salah seorang rekan Din mendekat dan berbisik di telinga lelaki tampan berbadan kekar itu.“Bang, bagaimana selanjutnya?” tanya salah seorang rekan Din yang melihat lelaki tampan berbadan kekar itu mematung.Lily melepaskan sikap kuda-kudanya karena tampaknya Din tak berniat melakukan serangan susulan. Lelaki tersebut mendekatinya.“Siapa kamu sebenarnya? Aku baru pertama kali melihatmu?” tanya Din.“Lily.”“Anak Bu Atma, Bang,” imbuh seseorang di belakang Din memberi penjelasan.“Begitu
Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.“Halo.”“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar, Liam punya tugas baru untukmu.”Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.“Lily!?” suara di seberang semakin panik.“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku
Dua orang itu sama-sama membuka mata di kedalaman air sungai. Lily menatap lelaki di depannya, mengamati struktur mukanya. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh. Ia tak merasakan apapun.Tak lama, gelembung air menyembur dari mulut lelaki bernama Din itu. Lalu mendorong tubuhnya naik ke permukaan. Lily menyeringai kecil dan menyusul naik. Lily muncul dan dihadiahi tatapan heran dari lelaki tampan di depannya.“Bagaimana kamu melakukannya?” tanya Din yang masih mencoba mengumpulkan oksigen ke paru-parunya.“Melakukan apa?” tanya Lily bingung.“Haah ... menahan napas selama itu. Kita nyaris 2 menit di bawah air. Aku yakin kamu masih bisa melakukannya lebih lama lagi. Lihat saja dirimu. Kamu bahkan tidak kelihatan kehabisa napas. Hah ... “ tutur Din masih dengan napas yang terengah-engah.‘Aku tentu takkan memberitahu lelaki ini kalau kemampuanku berasal dari latihan yang kulakukan selama berada d
Kedua tangannya mengepal kuat. Lily reflek menoleh karena merasakan Cahya yang merapat padanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya pemuda yang seumuran dengannya itu tampak ketakutan. Lily membaca situasi. Delapan orang yang mengepung dengan membawa parang cukup membuatnya khawatir. ‘Jika sendiri, dengan sedikit keberuntungan mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Tapi ada orang lain yang bersamaku. Apa iya aku harus mengorbankannya,’ batin Lily. Anak buah Galuh semakin mendekat dengan parang mengancam. Lily semakin siaga. Sementara Cahya terlihat semakin khawatir. “Aku ingin berduel satu lawan satu dengan Galuh,” teriak gadis cantik berambut pirang itu tiba-tiba. Gerombolan pemuda yang mengepung saling pandang. Salah seorang dari mereka tampak menoleh ke belakang. “Dan siapa kamu berani menantangku duel?” terdengar suara seorang wanita menjawab dari arah dalam. Segerombolan pemuda itu terbelah dan sosok
“Lepaskan Din ... dan sebagai gantinya aku yang akan jadi anak buahmu.” Saketi mengamati wajah Lily yang serius. Sejenak kemudian, ia tertawa terbahak diikuti anak buahnya. Lily yang merasa diremehkan, balik badan dan menendang sebelah kaki anak buah Saketi hilang keseimbangan. Belum puas, gadis berambut pirang itu menghujamkan pukulan ke dada dan membuatnya jatuh. Tawa riuh seketika senyap melihat anak buah Sakti kesakitan memegangi dada. Lily digeruduk. “Hentikan!” perintah Saketi. Lily masih dengan kuda-kuda siaga menyaksikan belasan anak buah Saketi mundur setelah menerima titah dari majikannya. “Sepertinya aku meremehkanmu.” Saketi bangkit dari duduknya dan mendekati Lily. Mengamatinya dari ujung kepala ke ke kaki. “Baik. Aku akan melepaskan Din. Tapi aku harus melihat buktinya kalau kamu benar-benar bisa berguna.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily. Saketi tak menjawab dan hanya menyeringai lebar. ***
“Ah ini dia. Yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Saketi yang berdiri dengan tangan bersedekap. “Ibu!” “Stop!” Lily berhenti bergerak karena melihat Saketi menarik kerah baju ibunya. “Tunggu! Mereka tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan mereka,” pinta Lily memohon. “Kamu mencari orang yang membakar motormu kan? aku pelakunya,” kata Lily dengan suara bergetar. Baru kali ini ia takut kehilangan seseorang dalam hidupnya. “Aku sudah tahu mengenai hal itu,” ujar Saketi. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Atmarini dengan kasar. “Sak, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ujar Din. Saketi mendengus. “Kalian ini rupanya dekat ya.” Lelaki bertubuh kekar dengan kulit agak legam itu berjalan mendekati Lily dan Din. Memperhatikan keduanya. “Jelaskan padaku, apa alasanmu membakar motor Din?” Lily terhenyak. “Aku tak melakukannya." Saketi memiringkan kepala karena heran. “Ada yang aneh di sini. Jika me
Semilir angin dari jendela berjeruji besi masuk dan membelai muka. Memaksa mata birunya terbuka lalu mengerjap pelan mengumpulkan kesadaran. Sementara dari arah ruang tengah Lily mendengar suara ibu dan adik-adiknya. Lily bangkit dan menguak pintu, mengalihkan fokus ibu dan adik-adiknya. “Anna?” seru sang ibu yang masih memangku Natasha. “Baru bangun kak?” tanya gadis kecil bermata biru itu sambil tersenyum. Lily ikut tersenyum dan mendekat ke meja. Mengambil air putih dan meneguknya. Tampak di dapur, Agafia sedang sibuk meracik bumbu. Lily baru sadar waktu makan siang sebentar lagi setelah matanya berputar ke jam dinding yang menunjuk angka 11. ‘Sepertinya semalam tidurku nyenyak sekali,’ batin Lily. “Kamu darimana semalam?” tanya Atmarini membuyarkan lamunannya. Lily menyandarkan punggungnya ke kursi. “Keliling di sekitar kampung saja, Bu.” “Kalau begitu kamu tahu kejadian menghebohkan semalam kan?” Li
“Lily,” panggil Adi yang berlari mendekat dengan panik. “Apa yang terjadi?” tanya Lily. “Entahlah. Kami bangun dan tiba-tiba motor sudah dalam kondisi seperti itu.” Lily kembali melihat ke arah motor yang masih membara. Tampak Din dan warga berusaha memadamkan kobaran api. Karena banyak warga yang membantu, si jago merah dengan cepat dikuasai. Sayangnya Honda CBR 250 CC itu tak dapat diselamatkan. Lily mendekati Din yang masih memandangi motor yang gosong. Meremas pundaknya pelan. Din menoleh dan terkejut. “Lily. Maafkan aku. Motormu... “ “Kan sudah berkali-kali aku bilang kalau itu motormu,” potong Lily. Din tersenyum datar. “Aku enggak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja api sudah membesar.” “Tak masalah, Din. Yang penting kamu dan keluarga baik-baik saja.” Mata lelaki tampan itu kembali berputar mengamati motor yang sudah menghitam. Lily pun melakukan hal yang sama. Ada sesuatu yang mendadak mengganjal piki
“Sekarang kamu harus membayar kesombonganmu itu,” kata Jacob. Lily tahu lelaki itu berdiri di belakangnya karena mampu merasakan hembusan napasnya di tengkuk. “Benarkah? Bagaimana aku harus membayarnya?” tanya Lily dengan pandangan tetap ke depan. Tiba-tiba saja, tangan lelaki berjas hitam itu hendak meraba bukit indahnya. Namun dengan sigap Lily menangkap tangan si lelaki tak tahu diri. “Benar sekali. Kamu memang mesum.” Lily memutar tangan Jacob. Krek! “Aaaaaa!!!” Dua sekuriti berlari setelah mendengar teriakan majikannya. Lily menghadiahi Jacob dengan siku tangannya. Bugh! Jacob tumbang di lantai. “Bos,” teriak salah seorang satpam dengan begitu sampai di ambang pintu. “Tunggu apa lagi, hajar dia!” teriak Jacob kesakitan memegangi tangannya yang terkilir. Sekuriti berbadan besar meraih lengan Lily. Dengan sigap gadis berambut pirang itu memutar lengan dan membuat cengkeraman di
“Benar. Seperti yang dia bilang ... kami hanya teman,” sahut Din yang mendadak merasa tenggorokannya kering. “Baiklah kalau begitu. Agak disayangkan gadis secantik ini tak ada yang memiliki,” kata Jacob yang berjalan mendekati Lily. Mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya. Hal itu sama sekali tak mengganggu Lily karena di Moskwa, lelaki mencium tangan seorang wanita dianggapnya sebagai sapaan hangat. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan di perusahaan ini?” tanya Lily pada lelaki di depannya. “Kamu lulusan kampus mana?” tanya lelaki tampan berjas hitam. Berkelebat di kepala Lily tentang pendidikannya selama di agensi. Bagaimana yang dipelajarinya hanya tentang cara efektif dalam membunuh. “Aku tak tahu butuh dokumen semacam itu untuk bisa diterima bekerja,” sahut Lily. Jacob tertawa kecil mendengar kalimat Lily. Gadis muda berambut pirang itu justru heran. “Bukankah selama kita bisa bekerja dengan baik semuanya beres?” tan
“Bukannya itu motor yang kita pesan?” tanya Lily pada Din. Lelaki tampan berbadan kekar itu mengamati motor yang diangkut diatas Kolbak. Tampak warga berkerumun mengelilingi motor dan mengaguminya. Saketi tiba-tiba merangsek membelah kerumunan. Mendekati orang dari dealer yang tampak bingung karena banyak warga yang datang. “Hei!” teriak Saketi. “Kenapa motornya warna hitam? Kan saya pesan warna merah?” tanya lelaki dengan kulit agak gelap itu sambil berjalan mendekat. Dua lelaki berseragam putih merah yang mengantar motor saling pandang. Bingung. “Maaf, kami ga mengerti maksud masnya,” tutur orang dealer yang berkacamata. “Wah engga bisa kerja rupanya kalian ini,” ledek Saketi. “Masa bedain warna saja kalian enggak becus?” Sontak kalimat Saketi itu memancing tawa dari beberapa warga yang sebagian besar adalah anak buahnya. “Mas ini siapa namanya?” tanya lelaki berkacamata. “Saketi,” jawab Saketi seraya bersedek
Sepanjang perjalan pulang dibonceng motor butut milik Din, Lily menyadari lelaki itu hanya diam dan fokus berkendara.“Kenapa diam saja?” tanya Lily.“Eh enggak.“ Din tergagap. “Aku cuman masih kepikiran dengan kejadian di dealer tadi”“Kenapa dengan itu?”“Kamu melakukan kehebohan semacam itu untuk memberi pelajaran satu orang. Yang menurutku itu tidak perlu.”“Oh... ,”Din sedikit menoleh, “Oh?”“Menurutku itu perlu,” sahut Lily.“Aku lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada melakukan apa yang kamu lakukan tadi,” sanggah Din.“Beberapa orang harus diberi pelajaran, Din. Dan gadis tak tahu diri itu salah satunya. Kamu dengar sendiri kan tadi, dia bilang sudah sering melakukannya. Berarti sudah banyak orang yang direndahkan seperti kita sebelumnya.”Din tak menjawab. Lily sendiri pun mendad