Pukul empat sore aku baru tiba di rumah karena malas jika bertemu Vidia sepanjang hari. Huh, berat sekali beban hidup yang bertengger di pundak.
"Dari mana?"
"Bukan urusanmu!" jawabku ketus.
"Tadi itu Arnila, kan?" Tatapan Vidia terlihat menyelidik. Aku menggeleng cepat sambil mengibaskan tangan berusaha menghindari pertanyaan yang bisa menjebak sampai ketahuan.
"Arnila apanya?"
"Aku tidak bisa kamu bohongi, Din. Telinga ini sudah sangat hafal suara saudari kembarmu itu."
Untuk sesaat aku memutar bola mata malas, kemudian berlalu masuk kamar. Hati sedang tidak mood untuk diajak membahas hal sepele seperti itu. Biarlah dia menerka sendiri agar tahu bagaimana rasanya penasaran.
Dalam kamar aku bersandar pada headboard sambil terus menatap ponsel yang tidak ada kabar dari Ferdila bahkan pesan suara yang aku kirim hanya dibaca. Mungkin dia ingin menjelaskan secara langsung.
Ada notifikasi Whats*pp dan itu bukan dari suamiku, tetapi
Baru pukul empat sore, deru mobil sudah terdengar memasuki halaman rumah. Gegas kaki melangkah ke luar untuk memastikan siapa yang datang dan benar saja itu suamiku. Dia melangkah mendekat dan langsung mengulurkan tangannya ketika mata kami saling bertemu."Capek!" keluhnya menjatuhkan bobot di sofa. Aku ikut menemani sementara Vidia sekilas terlihat masuk dapur.Ada rasa iba melihat suami pulang dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh. Jadi, untuk membahas sekarang rasanya tidak perlu. Nanti berujung pertengkaran."Tumben pulang cepat?""Karena mulai besok harus lembur selama sebulan.""Lembur sampai jam berapa?""Jam sembilan malam."Aku hanya mengangguk apalagi tidak terlalu faham dunia pekerjaan. Tidak lama, Vidia keluar dengan baki yang berisi kopi hangat. Senyuman lelaki itu seketika mengambang sempurna.Vidia duduk di sampingku, dia berkata dengan suara sangat lembut, "Mau aku siapin air untuk mandi?""Boleh, Sa
POV ARNILASetelah mengirim pesan balasan pada Ardina, aku langsung mematikan ponsel karena nendengar suara pintu kamar yang terbuka. Benar sekali, seseorang yang keluar adalah adik iparku si Ferdila.Dia menoleh dengan raut wajah bingung. Beruntung aku sudah di depan kamar jadi tidak terlalu pusing mengambil alasan."Kenapa ke luar?""Tadi aku haus, jadi mau ke dapur buat minum. Kamu sendiri?" Aku berusaha bersikap santai."Mau minum juga," jawab Ferdila santai. "Kenapa bawa ponsel?"Aku menatap ponsel, kemudian tertawa renyah. "Ah, iya kenapa bawa ponsel padahal ponselnya mati."Lelaki itu geleng-geleng kepala kemudian melangkah ke dapur. Mau tidak mau aku harus mengikuti dari belakang karena kalau langsung masuk kamar bisa ketahuan. Lagi pula siapa tahu ada kesempatan mencuri informasi.Lampu dapur sudah menyala, aku gegas mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Setengah saja karena tidak benar-benar haus. Ber
"Good morning, Vidia! How are you to day?" sapaku setelah melihatnya sibuk di dapur sepagi ini."Morning too, i am fine," sahutnya, kemudian tangan yang sedang menumis ikan itu berhenti dan menoleh padaku. "Arnila?"Aku mengibas tangan di depan wajah sambil tersenyum. "Kenapa, Vid? Kangen sama saudariku?"Dia memicingkan mata tanda curiga. Cepat-cepat aku bertingkah seperti Ardina yang lugu. Sementara perempuan itu kembali melakukan aktivitasnya. "Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu mengira kamu Arnila.""Lucu sekali," ejekku."Di mana dia sekarang? Pasti sibuk mengerjai Shella dan juga Falen, kan?"Aku meletakkan gelas di meja, duduk di kursi sambil menatap punggung perempuan berambut pirang itu. Jengkel sekali melihatnya bahkan ada rasa ingin mendorong wajah menyebalkan itu ke wajan agar semakin terlihat menawan."Entahlah, aku juga tidak tahu Arnila sedang apa sekarang. Kami tidak pernah mengobrol walau sekadar menanyakan
Setelah kepergian Ferdila ke kantor, aku kembali masuk ke dalam rumah dengan niat mengerjai Vidia. Sudah cukup dia melukai hati adik kembarku. Kini, dia harus merasakan luka paling pahit."Mau ke mana, Vid?""Ngagetin tau gak?!" jerit Vidia sambil memutar badan menghadapku. Pasalnya dia baru saja menutup pintu kamar."Biasa aja kali. Lagian mau ke mana sepagi ini juga, suami baru berangkat kerja, malah gak minta izinnya dulu. Kalau kayak gini caranya, bisa ada kecurigaan dalam rumah tangga. Gimana kalau ...." Aku sengaja menggantung kalimat agar perempuan berambut pirang di depanku ini berpikir.Bukannya menjawab, dia malah tersenyum seraya mengibas tangan. Aku mengikuti dari belakang, beruntung sudah mandi. Langkah Vidia terhenti tepat di depan pintu, tanpa menoleh dia berucap, "Kamu di sini aja jaga rumah, aku mau shopping dulu! Oke?""Dengan David atau–""Shut up!" Vidia menempelkan jari telunjuknya di bibirku. Spontan aku gigit den
Pukul empat sore aku baru sampai di rumah, Vidia belum juga datang. Jenuh menghampiri akhirnya aku menonton televisi sambil rebahan hingga terbuai di alam mimpi."Ardina!" Suara lembut menyapa hingga aku terjaga dari tidur. Saat melirik jam rupanya sudah hampir pukul enam sore dan pemilik suara itu adalah Ferdila. Gegas aku bangkit dari tidur."Udah pulang?""Tentu saja. Vidia mana?""Aku gak tahu, sejak pagi tadi dia keluar." Aku mengucek mata. "Aku sendirian di rumah, rada bete jadi nonton tv malah ketiduran."Ferdila mengangguk, dia mengusap pucuk kepalaku. Ingin sekali menepis kasar, tetapi dia bisa curiga. Huh, andai dia tahu aku bukan Ardina, entah bagaimana tanggapannya.Lelaki itu kini ikut menatap layar televisi yang masih menyala. Senyum mulai terkuro di wajahnya yang sudah segar kembali setelah mandi, kemudian di menit berikutnya dia meminta maaf karena merasa tidak mampu berlaku adil.Aku hanya bisa mengangguk. Adik
POV ARNILAPukul lima pagi aku sudah berdiri di depan rumah Ardina sebelum mereka semua terjaga agar tidak ketahuan kalau sedang bertukar peran. Angin berembus syahdu menyibak rambut menggelitik telinga. Aku hanya bisa memeluk diri sendiri yang hanya mengenakan piyama tidur.Suara pintu terbuka, Ardina menyembul keluar dengan memakai jaket. Kami hanya saling memberi kode dengan mata, setelah itu aku langsung masuk rumah sementara dia melangkah ke mobil di mana Naren berada.Naren, lelaki yang berperan penting membantuku dan Ardina menyelesaikan misi. Aku beruntung memiliki sahabat sepertinya. Jika saja lelaki itu sudah menikah, maka tetap tidak ada yang bisa menghalangi kami untuk bertemu.Lupakan masalah aku karena misi ini tentang Ardina, suami dan adik madunya. Tidak sabar sekali melihat mereka merasakan luka karena telah salah dalam melangkah. Vidia erlalu meremehkan Ardina dan itu membuatku tersinggung."Dari luar?" Ferdila ternyata berdiri di
115. UngkapanSuasana semakin tegang ketika air mata Vidia mengalir tiada henti. Ferdila diam dengan rahang mengeras sementara matahari semakin menyilaukan mata. Mungkin adik iparku tidak akan pergi bekerja karena masalah rumah tangga.Ya, dia memang harus tahu semuanya sekarang agar tidak ada lagi drama rumah tangga atau kisah tentang pelakor. Aku muak dengan kehidupan mereka yang terlalu bertele-tele padahal sebenarnya banyak kesempatan agar bisa menyatukan kembali adikku dengan suaminya."Apa kamu tahu kalau Ardina memiliki saudari kembar?" Suara Vidia memekakkan telinga dan cukup membuatku sedikit tegang, tetapi tidak takut sama sekali. Lagi pula tidak ada bukti yang bisa dia tunjukkan."Saudari kembar?" tanya Ferdila sambil menatapku. "Aku tidak tahu."Vidia berdecih, lalu melangkahkam kaki mendekatiku. "Ya, Ardina punya saudari kembar. Mereka mirip sekali hanya beda sikap. Perempuan itu bernama Arnila, kasar dan tomboi. Aku jadi curiga, perem
WARNING!!! 18+ 116. Sisi Lain Vidia "Diam kamu, Vid. Jangan rusak otak tetangga kita, cukup otakmu yang rusak," balasku tidak kalah ketus. "Siapa nama kamu?" tanya Vidia pada ibu tadi tanpa mengindahkan kalimatku. "Hana. Kenapa?" "Eh, Bu Hama, kalau ngomong yang bener! Ngatain aku pelakor? Asal Ibu tahu aja kalau Ferdila yang jatuh cinta mati padaku!" ketus Vidia lagi sambil menunjuk sekilas. Bu Hana tersenyum ketus. Dia menggulung lengan dasternya sampai sikut, kemudian rambut sebahu itu dijepit. Tidak lama kemudian berdiri sambil melotot tajam. "Bu Hama? Kamu pikir aku ini hama apa? Kalau budeg jangan jadi pelakor, malu di pengadilan nanti kalau salah jawab! Percuma cantik kalau hati busuk ngerebut suami orang kayak gak laku aja, mau tak promo di marketplace?" Karena suara Bu Hana yang menggelengar, para tetangga lain berdatangan dengan penampilan sama. Ada pula yang sambil membawa spatula. Sungguh, waktu seperti ini