"Itu surat perjanjian bahwa kamu tidak akan pernah mengambil Nada dari Sinta dan tidak akan menemui Nada tanpa seizin dari Sinta."Deg"Apa!" Pekikku tak percaya dengan apa yang baru ku dengar."Mas, aku ibu kandungnya, kenapa kamu bisa setega ini kepadaku, Mas? Memisahkan aku dengan putriku sendiri!" "Tadi Aku sudah menjelaskan , bahwa kamu bisa menemui Nada dengan seizin Sinta. Ayo segera tanda tangani itu." Titahnya kepadaku.Mataku membelalak melihat isi amplop itu bahkan tidak hanya surat perjanjian bahkan dokumen adopsi juga ada disana, hatiku sangat mendidih rasanya."Adopsi? Kapan aku pernah bilang mengizinkan untuk mengadopsi Nada?" "Agar lebih aman saja jika Nada sudah di adopsi oleh Sinta kamu tidak akan pernah berani seenaknya." "Aku seenaknya? Kamu Mas yang selalu seenaknya kepadaku, kamu yang selalu mendzolimiku bahkan sampai aku rela untuk di poligami, tapi kini kamupun akan mengambil anakku, benar-benar diluar nalar jalan pikiranmu, Mas." "Sudah, aku tidak mau berd
"Jangan harap Sinta, ambil Mas Redra tapi jangan ambil anakku , kamu bisa melakukan bayi tabung atau menyewa ibu pengganti agar memiliki anak, kenapa harus anakku yang kamu pinta? Hah!" "Karena kamu selalu mendapatkan kebahagiaan Tari dan aku sangat membenci itu!"Sepertinya kupingku salah mendengar atau memang seperti itu yang aku dengar? "Kamu memang wanita aneh! Belajarlah untuk bersyukur, agar kamu bisa merasa bahagia." "Apa yang harus ku syukuri? Dulu memiliki suami seperti monster, kedua orangtuaku telah tiada, bahkan untuk memiliki anak pun sulit , aku tidak memiliki apapun." Sinta mengeluhkan semua hidupnya."Mungkin kamu harus introspeksi diri, Sin. Tuhan tidak akan salah menuliskan Takdirnya!" "Tuhan memang tidak salah menuliskan Takdir tapi aku ingin merubah Takdirku dengan memiliki suami yang sebaik Mas Redra."Sinta berusaha membuatku cemburu, aku tersenyum kecut kepadanya, sebenarnya aku kasihan kepadanya karena dia merasa tidak percaya diri seperti itu, mungkin saja
Aku melihat perjuangan Tari begitu keras untuk mendapatkan hatiku kembali, tapi walau bagaimanapun aku tidak bisa melepaskan Sinta.Tari menggodaku dengan memakai dress hijau Sage yang sexy, sebagai lelaki aku bergairah melihatnya, saat ini aku sedang bersama Tari tapi kenapa wajah Tari berubah menjadi Sinta?Setelah kejadian malam itu, Tari hamil lagi, antara senang dan bimbang karena saat melakukan itu aku membayangkan Sinta. Walau hatiku saat ini hanya milik Sinta namun tidak ku pikirkan untuk menceraikan Tari.Setelah acara 4 bulanan selesei, aku membawa Nada kepada Sinta, Sinta begitu menyayangi Nada. Aku bahagia dia bisa menyayangi anakku dengan Tari. Sinta memohon kepadaku untuk membawa Nada tinggal bersama kami, sesaat aku memikirkan bagaimana perasaan Tari, tapi Sinta terus merengek seperti anak kecil hingga aku luluh di buatnya.Ketika kami bertiga sedang bercanda bersama, tiba-tiba ibu datang ke apartemen dengan wajah sangat marah. Aku tahu bahwa yang aku lakukan salah kare
Proses persidangan ceraiku telah selesei, hak asuh anak-anakku jatuh kepadaku semua, tidak ingin berkeras hati aku mengizinkan Mas Redra ataupun Sinta untuk tetap bertemu dengan ketiga anakku.Walau Aku menginginkan perceraian ini, tidak di pungkiri perpisahan ini tetap saja menyisakan sakit di hati. 11 tahun lamanya merajut kehidupan pernikahan bersama memiliki 3 orang anak harus kandas dengan berbagai drama menyakitkan di dalamnya."Ma, adik Haris nangis." Seru putri kecilku yang membuyarkan lamunanku."Oh iya sayang, sebentar mama kesana." Aku segera menyeruput kopi yang sudah dingin hingga tandas lantas berlalu ke kamar Haris. Haris merasa tidak nyaman karena dia pup. Aku segera mengganti popoknya."Ma.. Nada kangen sama Ayah dan Bunda Sinta." Ucap Nada kepadaku yang sedang sibuk mengganti popok Haris.Putri kecilku itu merasa kangen kepada Ayahnya dan Sinta, Nada memang belum tahu bahwa Aku dan Mas Rendra telah berpisah, anak sekecil itu belum pantas tahu kejadian yang sebenarn
"Sudah ku duga, kamu pasti lupa dan tidak mengingat karena kejadian itu mungkin tidak berarti bagimu." "Maksudmu kejadian yang mana?" "Saat itu Aku sudah kuliah semester enam, Aku kehilangan gairah untuk melanjutkan kuliah karena ibu kandungku meninggal dunia. Seolah tujuan hidupku hilang bersamaan dengan meninggalnya ibuku."Ternyata ibu kandung dokter Mozhaf telah meninggal, pantas saja wanita yang ku kira ibu kandungnya tadi hanya bersikap datar dan acuh."Lalu apa hubungannya denganku?" Tanyaku masih kebingungan."Aku begitu frustasi dan terluka karena kepergian ibuku, aku merasa duniaku hilang saat itu juga, Aku begitu menyayangi ibuku bahkan aku masuk kuliah kedokteran karena permintaannya." Dokter Mozhaf menarik nafas dalam mungkin dia masih belum ikhlas sepenuhnya akan kehilangan ibunya."Hari itu aku pergi ke pantai sendirian, aku berniat ingin mengakhiri hidupku dengan melompat dari atas tebing dan terjatuh ke dalam laut. Namun saat itu kamu mencegahku dengan manarik tanga
"Ma.. Om dokter kok engga kesini lagi, Ma?" Tanya Rangga yang sedang sibuk memainkan truk mainannya."Mungkin Om Dokter sedang sibuk sayang, jadi belum sempat datang kesini." Jawabku untuk menenangkannya."Om Dokter tinggal disini aja ya Ma, biar bisa deket sama Rangga terus." Ujar Rangga polos.Aku hanya menanggapi dengan senyuman semua celotehnya, anak-anakku masih terlalu kecil untuk memahami masalah orang dewasa. Mereka hanya merasakan ada yang mengisi ruang kosong di hati mereka dengan kehadiran Dokter Mozhaf. Sudah satu bulan Dokter Mozhaf tidak berkunjung ke rumah karena memang ada acara di luar kota.Benda pipihku bergetar ada pesan singkat dari Dokter Mozhaf.[Dik Tari, Mas hari ini sudah menyelesaikan urusan di Bali dan sudah bisa kembali ke Jakarta, Mas bawakan banyak mainan dan oleh-oleh untuk anak-anak, Mas Merindukan mereka.Seulas senyum merekah di bibirku, aku begitu senang membaca pesan singkat itu, begitu perhatiannya Mas Mozhaf kepada ketiga anakku, ketiga anakku pu
Setelah selesei memadu kasih, kami bergegas membersihkan diri dan melaksanakan solat subuh bersama."Dik.. Mas sangat bahagia karena telah memilikimu seutuhnya." Ucap Mas Mozhaf sambil mencium keningku."Terima kasih telah datang dan memberikan obat untuk hatiku dan ketiga anakku, semoga kamu laki-laki terakhir sampai akhir hayatku, Mas." Lalu kami berdua pun berpelukan, netraku membasah karena rasa bahagia."Mas suka nasi goreng seafood?" "Apapun aku suka asal kamu yang memasak." Jawab Mas Mozhaf sambil melingkarkan tangannya pada pinggangku."Kita sarapan dulu, biar berenergi Mas." Aku segera melepaskan pelukannya."Baiklah, aku tidak akan menggodamu, sini aku bisa membantu kamu memasak, gini-gini aku bisa mengupas bawang loh." "Tidak usah, Mas tunggu saja sambil nonton televisi atau mengerjakan pekerjaan, biar aku saja yang masak nanti aku buatkan kopi.""Tidak mau, aku ingin membantumu memasak. Sini aku bantu racikin bumbunya.""Tapi Mas.." Ah ya sudahlah, Mas Mozhaf sama seka
"Sinta!" Wanita yang sudah hampir dua tahun menghilang itu kini berada di hadapanku. "Tari, apa kabar? suatu keberuntungan kamu ada di Bali." "Kamu...disini? Kamu pergi ke Bali?""Iya Tari, setelah proses pengadilan itu Aku dan Mas Rendra merasa terpuruk. Terlebih aku sedih harus kehilangan Nada.""Semua sudah menjadi masa lalu, sekarang kita sudah memiliki hidup masing-masing." "Hmmm, Aku tahu kamu sudah menikah lagi dengan seorang dokter hebat dan terkenal. Selamat Tari.""Iya, baru lima belas hari kami menikah, Terima kasih." "Tari... Aku mau meminta maaf kepadamu, karena Aku dengan sengaja menyakitimu." "Semua itu sudah berlalu, berusahalah untuk melupakannya!" Sinta mengelus-elus perutnya, memang nampak buncit tapi tidak terlalu besar. Apakah dia sedang hamil?"Aku sedang hamil sudah berusia delapan bulan, Aku menantikan kehamilan ini sudah begitu lama." Ucapnya dengan mata berbinar dan wajah bahagia."Selamat kalau begitu, semoga sehat sampai nanti persalinan." Tiba-tiba