"Aa.. apa yang kamu bicarakan nak?" Tanya ibu mertuaku memastikan, namun aku hanya menunduk.
"Rendra! Jelaskan pada ibu apa benar yang Tari katakan?" Bentak ibu dari suamiku itu.
"Benar Bu, aku sudah menikahi Sinta 3 bulan yang lalu,"
Aku dan Sinta hanya menangis dan memejamkan mata , mertuaku itu sangat terkejut , ibu sangat syok atas apa yang dikatakan anaknya. Hingga pandangannya tiba-tiba gelap, dan ibu akhirnya pingsan.
"Ibuuu.."
Kami bertiga berhambur memeluk ibu.
"Ini semua salahmu, Mas."
"Baiknya kita bawa ibu ke dalam dulu, Dek."
"Tidak, Mas jangan sentuh ibu."
"Dek, ibu harus segera di beri pertolongan pertama, biar aku segera memanggil dokter keluarga kita."
Mas Rendra segera menggendong ibunya dan bergegas masuk ke rumah di ikuti Aku di belakangnya. Sinta hanya terdiam melihat kami masuk ke rumah membawa Ibu, baguslah jika dia masih punya rasanya malu untuk tidak ikut masuk.
Tak lama dokter keluargapun tiba, ibu mertuaku segera mendapatkan pertolongan, kondisinya memang sedang kurang sehat, jadi mungkin itu yang menyebabkannya pingsan setelah mendengar berita mengejutkan itu.
Ibu mertuaku perlahan sadar, dan dia mencari Mas Rendra, Mas Rendra segera mendekati ibunya dan memegang tangan kiri ibunya.
"Tenang Bu, Rendra dan Tari ada disini,"
Plaakkk... Pipi Mas Rendra justru di tampar, ibu pun segera menepis tangan Mas Rendra, ada guratan kemarahan di wajahnya ke pada putra semata wayangnya itu.
"Kamu... Kenapa kamu mempunyai sifat memalukan seperti ini? Kenapa kamu menjadi seorang penghianat untuk istrimu dan anak-anakmu sendiri, Hah!"
"Bu, masalah ini nanti saja yah dibahasnya, ibu pulih dulu," ucapku mencoba menenangkan ibu mertuaku.
"Diam nak, kamu diam saja jangan mencoba membela lelaki penghianat ini!" Ibu nampak sangat murka kepada Mas Rendra.
"Maafkan aku Bu, mungkin ini penghianatan bagi ibu, tetapi bagiku ini adalah Cinta," ucap Mas Rendra mencoba membenarkan pernikahannya.
"Ibu tidak merestui hubunganmu dengan Sinta, lupakan Sinta dan kembali bersama Tari dan anak-anakmu!" Tegas Ibu.
"Rendra tidak bisa, Bu. Sinta hanya memiliki aku, dia tidak memiliki siappun," Mas Rendra mencoba mempertahankan pendiriannya.
Aku yang mendengar itu merasa sangat hancur, apa begitu besar cinta suamiku kepada Sinta? Ibu melihatku dengan perasaan yang sulit untuk di gambarkan, dia paham sekali apa yang di rasakan menantunya ini.
"Silahkan kamu keluar dari rumah ini, mulai sekarang kamu bukan anak ibu lagi!"
"Tari mohon, Bu. Jangan seperti ini, jangan usir Mas Rendra,"
"Tapi dia telah tega melukai hatimu, Nak. Ibu tidak pernah mendidik anak lelaki ibu untuk menyakiti hati istrinya seperti ini."
"Bu, ini rumah tangga Tari. Izinkan Tari untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara kami,"
Aku kembali mencoba untuk menenangkan mertuaku, bagaimanapun ini rumah tanggaku dengan ayah dari kedua anak-anakku, Aku hanya tidak ingin di usianya yang sudah tidak muda lagi mertuaku harus berpisah dari anak lelakinya.
"Kamu akan menyesalinya Rendra, wanita sebaik Tari tidak sebanding dengan seorang Sinta!"
Mertuaku langsung memelukku dan mengelus rambutku, hangat sekali, kasih sayang seorang ibu yang tulus. Aku tersenyum kepada ibu, dan segera bangkit mengahanpiri suamiku yang sejak tadi hanya bisa terdiam menerima semua murka dari ibunya.
"Mas kita bisa berbicara di luar?"
Aku memberikan senyum kepada Ibu bahwa Aku bisa mengatasi ini semua dengan baik. Aku bergegas melangkah keluar dan di ikuti Mas Rendra di belakang.
Kami sampai di kamar tempat kami berbagi semua rasa, Aku membalikkan badan dan menatap suamiku dengan tajam, Aku mengepalkan kedua tanganku dan berusaha untuk menguatkan hati untuk apa yang akan Aku katakan.
"Mas, Aku siap menerima Sinta menjadi maduku!"
Ucapanku membuat Ayah dari anak-anakku itu kebingungan, mungkin dia berfikir Aku akan mengamuk atau menyerangnya seperti kebanyakan wanita yang mengetahui pernikahannya telah di khianati, namun kamu salah, Mas. Aku bukan wanita rendahan yang akan memukulimu dengan membabi buta, ada anak-anak yang tetap harus di pikirkan masa depannya.
"Kamu serius ,Dek? Mas akan menuruti perintah ibu untuk pergi dari rumah ini."
"Aku serius, Mas."
"Kamu yakin, Dek? Untuk mengizinkan Mas berpoligami?"
"Iya"
"Baiklah, Mas akan mengajak Sinta masuk ke rumah,"
"Tetapi aku ada syarat untuk ini."
"Baiklah, apa yang harus Mas lakukan?"
"Biarlah Sinta tetap tinggal di apartemennya, aku tak sudi dia memasuki rumah kita, dan jangan sampai anak-anak kita tahu bahwa Sinta adalah istrimu yang lain,"
"Dan satu lagi, jika Sinta memang mencintaimu, aku tak akan membiarkan dia mengambil harta ataupun aset yang telah kita dapatkan bersama, hanya uang gajimu yang berhak kamu berikan kepada Sinta." Lanjutku untuk persyaratannya.
"Mana bisa begitu, Dek. Sinta juga istrinya, Mas. Dia punya hak yang sama sepertimu,"
Geram sekali aku kepada suamiku itu, kenapa sekarang suamiku itu sungguh tidak tahu di untung masih ingin tawar menawar dengan persyaratan yang aku ajukan? Dengan berat hati aku terpaksa untuk mau menerima Sinta menjadi Maduku , tetapi Mas Rendra masih banyak tingkah, sungguh diluar nalar jalan pikiran suamiku saat ini.
"Kalau begitu, Aku akan melaporkan Sinta dan kamu kepada polisi, karena telah menikah diam-diam tanpa persetujuan Istri pertama, biar kalian dapat hukuman atas perbuatan kalian!" Ancamku.
"Jangan begitu, Dek. Jika Mas sampai dipenjara nanti bagaimana dengan perusahaan kita? Lebih baik Mas pergi saja dari rumah sesuai permintaan ibu"
" Itu terserah , Mas, tapi jangan berharap Mas akan bisa bertemu anak-anak lagi!"
Melihat keteguhan hatiku dan ancaman-ancamanku Mas Rendra terdiam sejenak, kesalahannya kepadaku memang sangat mentakitkan, tapi bagaimanapun anak-ansknya tetap membutuhkan sosok Ayah dalam tumbuh kembang mereka, Membayangkan harus berbagi suami dan cintanya saja sudah membuatnya frustasi.
"Baiklah.. hubungan Mas dan Sinta tidak akan ada seorangpun yang tahu,"
"Iya."
Mas Rendra meninggalkan kamar, dan berjalan menuju taman, Mas Rendra menghampiri istri keduanya itu.
Benar saja, Sinta masih berdiri di tempatnya, tanpa berpindah sedikitpun, dan segera menghampiri Mas Rendra."Sinta, ayo kita pulang ke apartemen," ajak Rendra sembari memegang tangan Sinta.
"Aku khawatir dengan keadaan ibu, Mas. Aku ingin menjenguknya," Sinta menepis tangan Mas Rendra dan melangkah ke rumah ingin melihat ibu mertuanya.
"Jangan sekarang, Sin. Ibu sedang istirahat, baiknya kita pulang ke apartemen dulu."
"Tapi Mas,"
Rendra menutup mulut Sinta dengan telunjuknya, pertanda Sinta harus diam dan mengikutinya untuk pulang ke apartemen mereka. Dari lantai dua, Aku yang melihat Mas Rendra dan Sinta dengan air mata mengalir, melihat suamiku kini menggandeng wanita lain tak hanya dirinya.
Walau Aku berucap ingin menerima Sinta sebagai maduku, tetapi tetap saja hati ini merasakan sakit yang teramat, tidak ada yang ingin berbagi suami kepada wanita manapun. Tetapi kini Aku terpaksa harus belajar terbiasa dengan rasa sakit itu.
"Nak.. boleh ibu bicara?"
Ucapan ibu segera menyadarkan ku dari kesedihan ini aku menghapus air mataku, tidak ingin membuatnya khawatir.
"Jangan dihapus nak, biarkan keluar airmatamu, agar hatimu merasa tenang."
"Aku tidak akan menangis Bu, tak ada yang perlu ditangisi."
Ibu mertuaku memegang kedua tanganku dan menatap wajah menantu ini dengan penuh kasih sayang.
"Jika kamu tidak ingin di poligami , ibu pasti akan membantumu, nak. Ibu tidak rela kamu menangis terus seumur hidup!"
"Bu, aku tahu bahwa keputusanku ini akan memiliki resiko, tetapi aku tidak punya hak untuk memisahkan anak-anak dari Ayahnya."
"Anak-anak akan mengerti suatu saat nanti, mereka hanya kehilangan Ayah, mereka memiliki ibu, nenek dan Tante yang akan menyayangi mereka."
"Bu, tetap beda kasih sayang seorang Ayah dengan kasih sayang seorang ibu. Ibu tidak melihat, dari mata Mas Rendra terlihat dia begitu mencintai Sinta, hingga rela jika disuruh keluar dari rumah," Jelasku.
"Ibu sudah memperingati kamu tentang Sinta, bahwa tidak baik jika membiarkannya terlalu dekat dengan keluargamu, apalagi suamimu."
Perkataan ibu memang benar, dulu aku tidak pernah memikirkan akan terjadi hal seperti ini, Aku hanya memikirkan bagaimana cara membantu Sinta. Tetapi Sinta malah merebut suamiku.
"Maafkan aku bu, aku tidak mendengarkan nasehat ibu, dan tetep bersikeras membantu Sinta dan membawa Sinta untuk tinggal disini waktu itu, aku tidak tahu bahwa dia akan merebut suamiku seperti ini. Hiks."
Aku menangisi kebodohanku , Aku menyesali semua yang telah Aku lakukan untuk menolong Sinta.
"Kamu tidak salah nak, yang salah adalah Sinta yang tidak tahu malu, sudah di tolong tetapi berani menghujamkan pisau ke hati penolongnya."
Aku hanya bisa menangis di dalam pelukannya, Ibu memelukku erat di dalam pelukannya, membelaiku, terimakasih Bu, telah menyayangiku layaknya seorang Ibu kepada Anak kandungnya.
Beberapa bulan yang lalu, Sinta menghubungiku tengah malah, jam menunjukkan pukul 12 malam lebih 30 menit, Aku yang sedang tertidur bersama suamiku terbangun mendengar suara dering gawai yang berbunyi terus menerus.Beberapa kali berbunyi akhirnya Aku meraih gawaiku itu, ku lihat Sinta yang menelpon , 'sepertinya Sinta dengan dalam masalah, tengah malam begini meneleponku' ucapku dalam hati."Halo, Sinta, ada apa?""Halo, Tar. Tolong aku, aku butuh bantuanmu, hiks," ucap Sinta sembari menangis."Kamu kenapa Sinta? Ferdi kemana?" "Mas Ferdi pergi entah kemana, setelah dia menganiaya aku, Tar," Terdengar suaranya meringis kesakitan, aku panik, entah apa yang terjadi kepadanya."Astaghfirullah, apa yang kamu katakan, Sinta? Kamu di pukuli oleh Ferdi?" "Iya, Tar, dan sekarang aku sedang merasakan sakit perut yang luar biasa, tolong aku Tar, tolong selamatkan aku dan bayiku," jawab Sinta, lalu telepon terputus."Halo.. halo.. Sinta.. Sinta.." "Ada apa Dek? Kenapa dengan Sinta?" Tanya
Setelah selesei makan, Aku segera mandi dan menidurkan Rangga kembali. Setelah Rangga tidur Aku langsung menelepon suamiku untuk menanyakan kabar Sinta."Assalamualaikum, Mas. Gimana Sinta, sudah sadar belum ,Mas?""Waalaikumsalam, belum Dek. Ini tadi dokter sudah kunjungan, katanya masih pengaruh obat bius, jadi belum sadar." "Aku kesana lagi ya Mas, pasti Mas belum makan, soalnya Mas Rendra tidak pernah selera untuk makan masakan luar.""Mas sudah makan tadi beli di kantin, kamu nanti sore saja Dek kesininya, kamu istirahat dulu saja di rumah, jangan kecapekan nanti kamu malah yang sakit.""Oh ya sudah, Mas, kalau begitu. Aku tutup dulu telponnya.""Oke sayang," panggilanpun berakhir.Ibu yang sedari tadi mendengarkan percakapanku dan Mas Rendra, kemudian menghampiriku."Nak, Sinta itu teman kecilmu yang pernah kamu ceritakan itu?" Tanya Ibu mengingat tentang Sinta yang pernah Aku ceritakan dahulu."Iya Bu, loh ibu masih inget? Aku kan ceritanya sudah lama sekali.""Ibu masih inget
Setelah Sinta membaik dan sudah bisa keluar rumah sakit, Aku dan Mas Rendra membawa Sinta kerumah Kami, Ibu Retno yang masih kurang setuju atas kehadiran Sinta di rumah tangga anak dan menantunya, tetap harus menerima walau berat di hati.Aku dan Mas Rendra bergegas membuat laporan kepada polisi, untuk semua hasil visum dan bukti dari rumah sakit dengan kasus KDRT kepada Sinta. Tak butuh waktu lama ,polisi berhasil menangkap Ferdi, dengan semua barang bukti Ferdi akhirnya bisa di jebloskan ke dalam penjara.Sinta yang mulai membaik, berusaha untuk berbaur dengan keluargaku dan Mas Rendra, mulai membantu memasak, menjaga anak-anak bahkan sampai membantu untuk bersih-bersih rumah."Sin.. kamu tidak usah repot untuk mengelap meja begitu, nanti si mbok yang akan membersihkannya," ucapku pada Sinta yang tengah membersihkan meja makan."Ini hanya pekerjaan kecil saja kok, Tar. Biar aku bisa gerak juga." Aku tak bisa menolaknya, sudah 1 Minggu Sinta di rumah ini, dia tidak bisa diam, ada s
Aku sangat bersyukur memiliki istri yang cantik , penuh perhatian , dan sangat baik. Kepeduliannya sangat besar, kepadaku, anak-anak dan ke Ibu mertuanya.Hatinya begitu lembut dan luas, Tari Setia Pertiwi wanita dengan spesifikasi Bidadari itu adalah istriku. Aku beruntung memilikinya.Suatu malam Tari menerima telepon dari sahabat lamanya, Sinta. Sinta mengabarkan bahwa dirinya sedang tidak berdaya karena mengalami KDRT dari suaminya, Tari yang memiliki hati lembut itu segera memintaku untuk mengantarkannya ke rumah Sinta. Benar saja, begitu kami tiba rumah mewah bergaya italy itu Sinta sudah terkapar lemah dengan luka cukup serius di sekujur tubuhnya. "Sinta.. Sinta.. apa yang terjadi kepadamu, hiks."Gurat sedih dan khawatir jelas terlihat dari wajah manis istriku.Aku dan Tari segera membawa Sinta ke rumah sakit. Aku segera mengurus lain-lain, dan bergegas menuju istriku yang sedari tadi mondar-mandir di depan pintu ICU. Ku lihat kelelahan di wajahnya. Aku menyuruhnya pulang ber
Sinta bergegas meninggalkan kafe dan segera masuk ke taksi. Dalam benaknya ingin segera membereskan semua barang miliknya dan meninggalkan rumah Tari, memang seharusnya Sinta pergi meninggalkan rumah sahabatnya itu sejak lama, tetapi karena merasakan hangatnya sebuah keluarga Sinta menjadi merasakan kenyamanan dan belum ingin pergi walau kondisi tubuhnya sudah pulih dan mantan suaminya Ferdi pun telah di penjara.Tapi kini Sinta harus segera meninggalkan rasa nyaman bersama keluarga Tari , demi untuk menghindari Rendra yang Sinta lihat tingkahnya makin aneh dan menggila. Sinta tidak habis fikir kenapa bisa seorang Rendra yang tadinya begitu setia dan mencintai istrinya kini malah terang-terangan mengatakan cinta kepadanya."Aku harus segera mencari tempat tinggal, untuk menjauhi Rendra." Gumamnya sembari melihat ke benda pipih yang dia pegang.Sinta mulai mencari-cari apartemen yang masih terjangkau untuk dia sewa. Walau selama ini Sinta tidak bekerja tetapi Sinta mempunyai tabungan y
POV Sinta Sudah 1 bulan sejak Mas Rendra mengantarkan Aku ke apartemen ini, dirinya seolah menghilang dariku. Sewaktu Tari dan Ibu Retno berkunjung kesini, Mas Rendra tidak turut serta."Maaf ya Sinta, Mas Rendra tidak bisa ikut kesini karena pekerjaannya banyak, dia sibuk bolak balik ke luar kota." Aku hanya mengangguk saat Tari memberitaku bahwa kamu sedang sibuk. Harusnya aku malah senang karena dengan begitu kamu tidak akan bersikap aneh lagi kepadaku.Mengenai Apartemen ini yang kau beli untukku, aku tidak memberitahukan kepada Tari. Aku tidak ingin menyakiti hatinya, aku katakan jika aku sedang mencicil untuk membeli apartemen ini.Tetapi entah kenapa hati ini malah merasakan kerinduan saat kita sama sekali tidak bertemu.Aku kini telah bekerja di salah satu hotel bintang 5 terbaik di kota ini sebagai seorang chef, baru 1 Minggu yang lalu tepatnya aku bekerja.Aku pun heran, kenapa hotel terbaik itu langsung menerimaku padahal pengalamanku boleh di bilang kurang, karena waktu
Aku dan ibu segera bergegas ke rumah sakit begitu mendapat telepon dari Sinta. Sinta berusaha menjelaskan semuanya agar kami merasa tenang dan tidak perlu khawatir. Nada dan Rangga mencari Ayah mereka, namun aku tidak tega jika harus berkata yang sebenarnya kepada anak-anak yang masih sangat kecil itu.Jadi kami titipkan mereka dirumah bersama mba Susi.Walau bagaimanapun, sebagai istri aku sangat mengkhawatirkan kondisi suamiku yang telah tertembak. Mobil kami segera tiba di rumah sakit. Aku dan ibu langsung menuju resepsionis dan menanyakan dimana suamiku di rawat. Setelah mendapat petunjuk dari resepsionis kami menuju kamar Mas Rendra di rawat, ku buka pintu kamar tersebut, suamiku sedang terbaring lemah dengan Sinta berada di sampingnya yang sedang sibuk mengupas buah.Mengetahui kami datang, Sinta langsung beranjak menjauh dari ranjang Mas Rendra dan meninggalkan buah yang sedang dia kupas di atas nakas. "Mas, apa kamu sudah baikan? Aku begitu mengkhawatirkan dirimu, handphonemu
Dada ini terasa sangat sakit saat lagi-lagi aku menerima penolakan dari Sinta. Sinta memintaku untuk menyadari bahwa perasaan ini adalah salah? Cinta tidak pernah salah akan bermuara dimana, jika kini aku mencintainya apa itu termasuk bentuk dosa? Kenapa kamu begitu berkeras hati Sinta?Aku sengaja menjauhinya untuk melihat apakah benar dia memang tidak memiliki rasa untukku? Jika memang benar begitu aku berusaha untuk mundur dan melupakannya.Walau aku menjauhinya aku tetap memantau dirinya setiap hari lewat orang kepercayaanku yang selalu membuntuti dirinya kemanapun. Bahkan saat Sinta melamar di hotel milik temanku, tanpa persyaratan apapun Sinta di terima di hotel bintang 5 tempat dia bekerja saat ini.Hingga suatu hari aku tahu jika Sinta akan pergi ke Bank untuk membuka blokiran ATMnya, aku tahu dari orang kepercayaanku yang telah menaruh alat penyadap di tasnya. Entah pikiran darimana aku berniat merencanakan sesuatu untuk mendapatkan jawaban atas perasaannya kepadaku. Aku