Home / Romansa / Maduku Sahabatku / BAB 4 - FLASHBACK

Share

BAB 4 - FLASHBACK

Beberapa bulan yang lalu, Sinta menghubungiku tengah malah, jam menunjukkan pukul 12 malam lebih 30 menit, Aku yang sedang tertidur bersama suamiku terbangun mendengar suara dering gawai yang berbunyi terus menerus.

Beberapa kali berbunyi akhirnya Aku meraih gawaiku itu,  ku lihat Sinta yang menelpon , 'sepertinya Sinta dengan dalam masalah, tengah malam begini meneleponku' ucapku dalam hati.

"Halo, Sinta, ada apa?"

"Halo, Tar. Tolong aku, aku butuh bantuanmu, hiks," ucap Sinta sembari menangis.

"Kamu kenapa Sinta? Ferdi kemana?" 

"Mas Ferdi pergi entah kemana, setelah dia menganiaya aku, Tar," 

Terdengar suaranya meringis kesakitan, aku panik, entah apa yang terjadi kepadanya.

"Astaghfirullah, apa yang kamu katakan, Sinta? Kamu di pukuli oleh Ferdi?" 

"Iya, Tar, dan sekarang aku sedang merasakan sakit perut yang luar biasa, tolong aku Tar, tolong selamatkan aku dan bayiku," jawab Sinta, lalu telepon terputus.

"Halo.. halo.. Sinta.. Sinta.." 

"Ada apa Dek? Kenapa dengan Sinta?" Tanya Mas Rendra yang sedari tadi berada di sampingku itu.

"Kita harus segera kerumah Sinta sekarang Mas!" 

"Baiklah, aku akan segera menyiapkan mobil," 

Kamu segera menuju ke rumah Sinta, 45 menit untuk sampai di rumah Sinta, waktu sudah tengah malam jalanan tidak terlalu ramai, namun Aku masih saja panik, dan terus berdoa untuk keselamatan Sinta, Mas Rendra yang melihatku khawatir mencoba untuk menenangkanku dengan menggenggam hangat tanganku.

"Tenanglah.. sahabatmu pasti akan baik-baik saja," 

"Ini semua salahku, Mas. Harusnya aku lebih tegas saat melarang Sinta menikahi Ferdi. Dari awal Ferdi sudah terlihat bukan orang baik," 

"Semua sudah terjadi, Dek. Ini pilihan Sinta sendiri, kamu sudah berusaha keras untuk menghentikan pernikahan itu, tetapi Sinta malah melarangmu dan memintamu untuk diam." Ujar Mas Rendra.

"Sinta masih begitu polos,Mas. Dia tidak memiliki orangtua, dan berfikir Ferdi akan menjadi pelindungnya, tetapi malah menjadi monster dalam hidupnya." 

Aku masih terus menyalahkan diriku yang kurang keras dalam melarang Sinta untuk menikahi Ferdi, Aku menyesalinya, kini sahabatku itu tengah di ambang hidup dan mati.

"Semua memang sudah terjadi,Mas , kita akan tolong Sinta untuk keluar dari kehidupannya yang menyeramkan itu," 

"Baiklah Sayang. Kita bantu sahabatmu itu," Mas Rendra menyetujui permintaan istrinya ini dan mengelus lembut rambutku.

Sesampainya kami di rumah Sinta, segera Kami turun dari mobil, melihat pagar rumah tidak terkunci kami bergegas masuk ke dalam rumah, masuk di ruang tamu keadaan sudah sangat kacau balau,  sudah berantakan dan banyak barang yang pecah.

"Sinta.." gumamku khawatir mencari Sinta.

Kami melihat Sinta sudah penuh darah dan badannya penuh memar di atas sofa. 

Aku begitu sedih hingga menangis melihat Sinta terluka parah seperti itu "Sinta.. Sinta.. apa yang terjadi kepadamu, hiks."

"Dek, baiknya kita segera ke rumah sakit, agar Sinta mendapat penanganan segera." 

"Ayo Mas, kita pergi sekarang,"

Aku dan Sinta masuk ke bagian belakang mobil, Mas Rendra segera masuk ke dalam mobil dan tancap gas ke rumah sakit.

Selama purjalanan Aku menangis terus, mencoba untuk menyadarkan Sinta, namun sia-sia, Sinta sama sekali tidak merespon merespon panggilanku.

Darah segar terus keluar dari bagian bawah Sinta. Aku yang melihat itu panik luar biasa, Aku takut jika Sinta keguguran, sedangkan kehamilannya ini sangat di harapkan oleh Sinta.

Setelah menempuh perjalanan 30 menit mereka sampai di rumah sakit, perawat yang melihat kondisi Sinta pun segera membawa tempat tidur pasien dan mendorongnya menuju ICU. 

Sinta langsung masuk ruangan ICU untuk mendapatkan penanganan serius, Mas Rendra mengisi administrasi dan lain-lain, sedangkan Aku masih terus mondar - mandir di depan pintu ICU. 

Selang beberapa waktu, dokter keluar dan menanyakan wali Sinta, karena harus mendapat izin untuk di lakukan tindak operasi.

"Maaf, apa ibu adalah wali dari pasien?" tanya dokter kepadaku.

"Iya dok, saya walinya," jawabku cepat.

"Begini, pasien mengalami penganiayaan yang cukup serius, apalagi di bagian perut bawahnya, sepertinya dia mendapat hantaman di bagian perut dengan keras, hingga membuat pasien terancam keguguran," jelas dokter.

"Tolong selamatkan pasien dan calon anaknya , dok." 

"Untuk pasien bisa diselamatkan dengan menandatangani surat persetujuan untuk kuretase, karena saat ini kehamilannya seperti racun yang akan membahayakan nyawa pasien."

"Sinta akan hancur jika kehilangan bayinya, dok."

"Selamatkan nyawa pasien dan merelakan kehamilannya atau dua-duanya meninggal?"

Tak ada pilihan lagi, Aku menatap Mas Rendra, suamiku ⅞menguatkan bahwa keputusanku adalah yang terbaik untuk Sinta.

Setelah menandatangani berkas persetujuan, dokter akhirnya melakukan tindakan kuretase, yang awalnya nyawa Sinta terancam kini telah terselamatkan.

Setelah operasi selesei, Sinta dipindahkan ke ruang rawat biasa, dirinya belum sadarkan diri. aku dengan setia mendampinginya terus tanpa pergi kemanapun.

"Dek, istirahatlah, jika kamu memaksakan begini, kamu yang akan sakit." ucap Rendra menyuruh Tari istirahat.

"Aku tidak bisa tenang , Mas. Nanti Sinta akan mencariku saat dia sadar."

"Anak-anak kita di rumah juga mencarimu, Dek. Pulanglah dulu, setelah kamu istirahat dan mengurus anak-anak barulah kemari lagi. Mas sudah menyuruh Gilang untuk mengantarkanmu pulang."

"Baiklah Mas, kabari jika Sinta sudah sadar."

"Pasti, Mas akan kabari kamu."

Aku menuruti perintah suamiku, mengingat kedua anaknya yang pasti mencarinya, apalagi si kecil yang masih ASI, walau ASI perah ada si kecil Rangga tetep suka menyusu langsung.

Jam menunjukkan pukul 7 pagi saat Aku tiba di rumah, Nada putri pertamanya telah bersiap untuk berangkat sekolah, melihat mamanya Nada pun langsung berlari memeluk mamanya yang semalam tidak dirumah.

"Mama.. mama habis pergi kemana? Kok jam segini baru pulang dan masih pakai piyama lagi?" Tanya Nada dengan polos.

"Mama baru nganterin sahabat Mama ke rumah sakit, sayang, Nada semangat yah sekolahnya," jawabku sembari mengecup pipi gembulnya itu.

"Mama  juga punya sahabat? Jadi seperti Nada dan Nadia dong , Ma," ucap Nada dengan polosnya memamerkan sahabatnya juga si Nadia.

"Iya, sahabat dekat seperti Nada dan Nadia,"

"Yeay... Kapan-kapan Nada pengen ketemu sahabat Mama itu, namanya siapa, ma?"

"Namanya Tante Sinta, sayang,"

"Sudah, Nada berangkat sekolah dulu, nanti kesiangan loh."

"Oke, Ma. Nada berangkat dulu, Assalamualaikum," Nada dengan cepat mencium punggung tanganku dan segera masuk mobil untuk segera berangkat sekolah.

"Anak ini sungguh membuat hati bahagia, Nadaku  sayang."

Aku segera masuk ke rumah, ibu mertuaku sedang menyuapi Rangga, Rangga jika bersama ibu sangat anteng dan menurut, mungkin karena ibu mertuaku begitu melimpahi kasih sayang kepada kedua cucunya.

"Eh.. itu lihat , mama sudah pulang," ucap ibumu pada Rangga saat melihatku datang.

"Assalamualaikum Bu," Aku segera mencium punggung tangan ibu mertuaku.

"Waalaikumsalam, kamu terlihat capek sekali nak? Ayo makan dulu, ini ibu buatkan masakan kesukaanmu, semur ayam dan sambal goreng ati."

"Hmm.. ibu bener-bener memahami Tari, Tari sudah kelaparan sejak tadi, tapi aku mau mandi dulu biar seger." 

"Kamu ini, seperti anak kecil saja, ayo segera makan, mandi nanti saja."

"Gimana aku gak kaya anak kecil, sebab punya mertua yang selalu memanjakan menantunya seperti anak sendiri," ucapku sembari memeluk pinggang ibu mertuaku itu.

"Gak malu itu di lihatin sama Rangga, kalau mamanya juga masih manja sama seperti Rangga," ucap Bu Retno menunjuk Rangga yang tertawa melihat tingkah mamanya.

"Hehehehe, oke aku mau segera makan masakan lezat ibuku, yummy."

Aku bersemangat sekali memakan masakan yang sudah di buatkan oleh ibu mertuaku. Aku beruntung memiliki mertua yang sangat menyayangiku layaknya seorang anak kandung. Tak pernah sekalipun Ibu Retno menggosipkan diriku ataupun memarahiku.

Sosoknya seperti menggantikan sosok ibu kandungku yang telah tiada waktu aku berusia 12 tahun. Sebelum menikah dengan Mas Rendra, Aku takut akan memiliki mertua yang galak dan suka menggosip seperti yang di sinetron. Haha

Suami yang mencintai, Ibu mertuaku yang menyayangiku dan Adik Ipar yang baik, Anak-anak yang lucu dan menggemaskan, Sungguh Tuhan begitu baik kepadaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status