***
Masih kutunggu jawaban Mas Rafa atas peemintaan Andin. Namun, lelaki itu belum juga mengambil keputusan.
Aku tak bisa diam saja. Sudah saatnya bergerak maju. Aku yakin Andin diam-diam memiliki masalah yang pelik hingga sampai ingin mendorongku pergi seperti ini.
Dua hari setelah kejadian itu Andin benar-benar uring-uringan. Dia sering muntah dan memiliki perasaan yang berantakan. Akhirnya aku menghubungi Sabrina, meminta sahabatku itu stay kalau-kalau Andin semakin bertingkah aneh.
"Sekarang Andin sedang hamil," ucapku pada Sabrina ketika kami sedang berada di toko kueku. "Setiap hari dia marah-marah," Aku melanjutkan.
"Anak Rafa?"
"Itu juga yang ingin aku ketahui, Sab. Apakah yang dikandungnya adalah anak Mas Rafa atau anak selingkuhannya,"
"Andin juga memaksa Mas Rafa untuk menceraikanku,"
"Apa?" Sabrina membola. Kepalaku mengangguk mengiakan itu.
"Waahhh ada yang men
***Satu hal yang tak bisa aku lupakan dari percakapan tadi sore adalah ucapan terima kasih Mas Rafa karena menurutnya aku telah bersikap pengertian.Sakit sekali hati ini, Tuhan. Bukan aku memberinya pengertian dan mengalah untuk Andin, tapi aku hanya ingin berhenti mempersulit hidupku sendiri dengan terus tinggal di rumah ini.Aku pun merasa khawatir akan keadaan Naura. Takut Andin melampiaskan kekesalannya pada putri semata wayangku itu."Baiklah, jadi kamu sudah siap, Ra?" tanya Sabrina.Hanya untuk informasi, setelah Mas Rafa selesai dengan apa yang ingin dia bicarakan, aku buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Sabrina.Di sini airmataku akhirnya tumpah. "Aku sudah siap, Sab. Tolong bantu aku membalas rasa sakit hatiku pada Andin dan Mas Rafa. Aku sudah cukup memberi mereka waktu untuk meminta maaf dan merenungi kesalahan mereka," ucapku.Masih dalam jaringan telepon kami bersahut kata. Dapa
***"Ibu!" ujar Naura saat aku baru saja memutuskan panggilan telepon dengan Sabrina.Untunglah tak ada lagi sisa airmata di pipi. "Kenapa, Nak?" tanyaku.Naura menghampiri. Tiba-tiba ia berbisik sesuatu. Aku terkejut. Pupil mataku melebar mendengar itu. "Maksudmu tante Andin marah pada seseorang yang ada di telepon?" tanyaku mengulang bisikannya.Sambil memeluk boneka barbie miliknya itu Naura mengangguk."Dan dia bilang Mas ini anakmu?"Sekali lagi Naura mengiakan dengan anggukan kepala. "Apa artinya itu, Bu?" tanyanya. Tentu saja dia tak akan mengerti, tapi aku sudah pasti memahami.Mampus kamu Andin! Aku hanya perlu mencari bukti, setelah itu kamu yang akan aku depak dari rumah ini."Bu, apa artinya? Naura penasaran!" desak Naura membuatku sadar dari lamunan."Bukan apa-apa. Jangan bilang ke Ayah ya!""Tapi kenapa Bu?""Pokoknya jangan bilang k
***Naura masih saja rewel meskipun aku sudah membujuknya."Ibu jahat! Nau mau pulang, Bu!" ujar putriku. Mendengar ia mengataiku jahat membuat hati ini hancur. "Nau, Ibu nggak jahat. Tapi kita belum bisa pulang sekarang. Kita harus menemukan rumah baru kita, Sayang," ucapku."Tapi Nau nggak mau pindah Bu. Nanti kalau Naura kangen Ayah bagaimana?""Apa Naura rela berpisah dari Ibu? Kalai memang Nau rela Ibu akan izinkan Naura tinggal bersama Ayah dan tante Andin," tanyaku pada Naura. Jujur saja aku tak rela dia bersama Mas Rafa dan si madu, tapi jika memang Naura keras kepala tak mau pindah, aku bisa apa selain mengizinkannya tetap tinggal di sana."Naura juga nggak mau berpisah dari Ibu," cicit anak gadisku. Sekarang aku menyadari ketakutannya. Naura bukan pembangkang, tapi ia hanay takut Ayah dan Ibunya benar-benar berpisah.Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Kasihan putriku jika aku dan Mas Rafa benar-benar berpi
***Sepulang dari mencari rumah, aku langsung menemui Mas Rafa. Kebetulan dia juga sudah pulang dari kantornya."Mas, aku dan Naura sudah mendapatkan rumah baru untuk kami. Secepatnya kami akan pindah dari rumah ini, sesuai dengan yang Mas inginkan." Aku berucap pada Mas Rafa sebagai pemberitahuan bahwa aku dan Naura akan segera pindah dari rumah ini. Tahu bagaimana respon Mas Rafa? Suamiku tersebut tersenyum lebar mendengar ucapanku.Aku menggeleng heran melihatnya. Tidakkah dia menyesal membuang kami seperti ini? Dia tak ingat Seperti apa perjuangan kami di masa lalu hingga rumah impian kami yang sederhana ini dapat dibangun? Astaghfirullah."Syukurlah kalau begitu, Mas senang mendengarnya. Andin juga akan sangat senang, dia tak perlu lagi merasa tak nyaman bila ada kamu di sini," ucap Mas Rafa."Sejujurnya hingga saat ini aku masih tak menyangka Mas, aku akan keluar dari rumah ini karena kamu mengusirku,""Mas tak
***Dua minggu sudah aku dan Naura pindah dari rumah yang dulunya sangat hangat kami tinggali.Pertama kali keluar dari rumah itu, mataku memanas ingin menangis. Terlebih saat aku melihat Naura enggan pergi dari sana. Gadis kecilku meraung tak ingin berpisah dari ayahnya, tapi apa daya, Mas Rafa yang memaksa kami untuk pergi dari sana.Masih jelas dalam ingatanku bagaimana lelaki itu mengabaikan tangisan Naura."Cepatlah kau urus Naura, Zahra. Jangan membuatku terlihat seperti Ayah yang jahat di matanya!" ujar lelaki itu. Ingin rasanya aku balas dengan kata-kata yang kasar yang benar-benar menggambarkan bagaimana sikapnya kepada Naura.Kau memang lelaki jahat Mas, tega membiarkan Naura menangis saat tak ingin pergi dari rumah kita. Jika kau tidak sejahat itu, Kau pasti memikirkan perasaan Naura.Namun, yang kau lakukan hanya merangkul Andin yang pura-pura sedih saat kami akan meninggalkan rumah.Pad
*** Aku mengabaikan sikap Mas Rafa yang tampak dingin terhadapku itu. “Mas, Naura ingin bertemu. Dia rindu!” ujarku.“Bukannya Mbak Zahra yang rindu suamiku?” Tiba-tiba Andin yang menyahuti. Benar-benar menguji kesabaranku perempuan ini. Padahal, aku sudah mengabaikan tatapan beserta senyum sinisnya itu.“Maksudmu apa bertanya seperti itu, Ndi? Kalau boleh memilih sebenarnya aku pun enggan menginjakan kaki ke rumah ini lagi, tapi demi Naura apapun akan aku lakukan!”Andin mendengus. “Naura hanya jadi alasan saja supaya Mbak Zahra bisa bertemu Mas Rafa. Aku sudah tahu rencanamu Mbak, kamu ingin mematai hubungan kami kan?” tuduh Andin sembarangan. Kalau mematai hubungannya dengan selingkuhannya memang iya, tapi mematai hubungannya dengan Mas Rafa sungguh tak pernah masuk dalam daftar kegiatanku.Untuk apa aku mematai mereka? Memangnya aku kurang kerjaan. Kenapa Andin setakut itu? Aku menggelengkan kepala. “Jangan sembarangan menuduh! Aku sibuk, kenapa harus mematai kalian berdua?” tan
***Jika kemarin luka yang Mas Rafa dan Ibu berikan cukup membuat hatiku perih, maka hari ini aku pun merasakan hal yang sama. Pedih sekali rasanya karena hari ini adalah ulang tahun Naura. Namun, Ayah yang sangat dia cintai tak datang untuk merayakan ulang tahunnya.“Jangankan merayakan, mengucapkan selamat saja enggak!” Aku berujar di depan Sabrina yang datang berkunjung. Hanya dia tempatku berkeluh kesah saat ini. Dia juga yang kerap kali menghiburku setiap hari.“Jangan terlalu dipikirkan, Ra, ini aku bawa kado untuk Naura. Semoga saja dia suka,” ucap Sabrina sembari mengeluarkan boneka Barbie berukuran besar dari dalam paper bag yang dia bawa.Aku menerimanya lalu mengucapkan terima kasih kepada sahabat baikku itu. “Aku akan bilang ke Naura kalau kamu berkunjung pagi ini,” ucapku. Kebetulan Naura sedang berada di sekolahnya. Belum aku jemput karena memang belum waktunya pulang dari sekolah.Sabrina mengangguk singkat. “Tadinya mau tiup lilin, tapi si Naura nggak ada,” katanya.“N
***“Terima kasih, Mas, sudah membantuku menjemput Naura,” ucapku setelah kami sampai di toko.Mas Arlan terlihat menganggukkan kepalanya. “Sama-sama,” balasnya. Lalu perhatiannya teralihkan kepada Naura. “Hai cantik terima kasih sudah menerima kado dari Om Arlan ya! Selamat ulang tahun,” ucapnya. Semua itu tak lepas dari perhatianku. Mas Arlan terlihat sangat baik. Dia bahkan tak tersinggung akan ucapanku tadi.“Naura yang seharusnya mengucapkan terima kasih, Mas, karena telah dibelikan sebuah kado,” Aku menimpali karena Naura hanya diam setelah menganggukkan kepala dengan senyum lebarnya. “Naura ucapkan terima kasih kepada Om Arlan!” pintaku pada putri semata wayangku itu.Naura tampak malu. Dia melirik mas Arlan dengan tatapan canggung. “Terima kasih ya Om,” ucapnya.“Sama-sama. Sekali lagi selamat ulang ya, Sayang,”“Aku pamit dulu, Ra. Assalamu’alaikum,” ucap lelaki itu kepadaku. Hanya anggukan dan balasan salam yang aku berikan. Tiba-tiba aku merasakan kejanggalan. Mas Arlan san