***
Dua minggu sudah aku dan Naura pindah dari rumah yang dulunya sangat hangat kami tinggali.
Pertama kali keluar dari rumah itu, mataku memanas ingin menangis. Terlebih saat aku melihat Naura enggan pergi dari sana. Gadis kecilku meraung tak ingin berpisah dari ayahnya, tapi apa daya, Mas Rafa yang memaksa kami untuk pergi dari sana.
Masih jelas dalam ingatanku bagaimana lelaki itu mengabaikan tangisan Naura.
"Cepatlah kau urus Naura, Zahra. Jangan membuatku terlihat seperti Ayah yang jahat di matanya!" ujar lelaki itu. Ingin rasanya aku balas dengan kata-kata yang kasar yang benar-benar menggambarkan bagaimana sikapnya kepada Naura.
Kau memang lelaki jahat Mas, tega membiarkan Naura menangis saat tak ingin pergi dari rumah kita. Jika kau tidak sejahat itu, Kau pasti memikirkan perasaan Naura.
Namun, yang kau lakukan hanya merangkul Andin yang pura-pura sedih saat kami akan meninggalkan rumah.
Pad
*** Aku mengabaikan sikap Mas Rafa yang tampak dingin terhadapku itu. “Mas, Naura ingin bertemu. Dia rindu!” ujarku.“Bukannya Mbak Zahra yang rindu suamiku?” Tiba-tiba Andin yang menyahuti. Benar-benar menguji kesabaranku perempuan ini. Padahal, aku sudah mengabaikan tatapan beserta senyum sinisnya itu.“Maksudmu apa bertanya seperti itu, Ndi? Kalau boleh memilih sebenarnya aku pun enggan menginjakan kaki ke rumah ini lagi, tapi demi Naura apapun akan aku lakukan!”Andin mendengus. “Naura hanya jadi alasan saja supaya Mbak Zahra bisa bertemu Mas Rafa. Aku sudah tahu rencanamu Mbak, kamu ingin mematai hubungan kami kan?” tuduh Andin sembarangan. Kalau mematai hubungannya dengan selingkuhannya memang iya, tapi mematai hubungannya dengan Mas Rafa sungguh tak pernah masuk dalam daftar kegiatanku.Untuk apa aku mematai mereka? Memangnya aku kurang kerjaan. Kenapa Andin setakut itu? Aku menggelengkan kepala. “Jangan sembarangan menuduh! Aku sibuk, kenapa harus mematai kalian berdua?” tan
***Jika kemarin luka yang Mas Rafa dan Ibu berikan cukup membuat hatiku perih, maka hari ini aku pun merasakan hal yang sama. Pedih sekali rasanya karena hari ini adalah ulang tahun Naura. Namun, Ayah yang sangat dia cintai tak datang untuk merayakan ulang tahunnya.“Jangankan merayakan, mengucapkan selamat saja enggak!” Aku berujar di depan Sabrina yang datang berkunjung. Hanya dia tempatku berkeluh kesah saat ini. Dia juga yang kerap kali menghiburku setiap hari.“Jangan terlalu dipikirkan, Ra, ini aku bawa kado untuk Naura. Semoga saja dia suka,” ucap Sabrina sembari mengeluarkan boneka Barbie berukuran besar dari dalam paper bag yang dia bawa.Aku menerimanya lalu mengucapkan terima kasih kepada sahabat baikku itu. “Aku akan bilang ke Naura kalau kamu berkunjung pagi ini,” ucapku. Kebetulan Naura sedang berada di sekolahnya. Belum aku jemput karena memang belum waktunya pulang dari sekolah.Sabrina mengangguk singkat. “Tadinya mau tiup lilin, tapi si Naura nggak ada,” katanya.“N
***“Terima kasih, Mas, sudah membantuku menjemput Naura,” ucapku setelah kami sampai di toko.Mas Arlan terlihat menganggukkan kepalanya. “Sama-sama,” balasnya. Lalu perhatiannya teralihkan kepada Naura. “Hai cantik terima kasih sudah menerima kado dari Om Arlan ya! Selamat ulang tahun,” ucapnya. Semua itu tak lepas dari perhatianku. Mas Arlan terlihat sangat baik. Dia bahkan tak tersinggung akan ucapanku tadi.“Naura yang seharusnya mengucapkan terima kasih, Mas, karena telah dibelikan sebuah kado,” Aku menimpali karena Naura hanya diam setelah menganggukkan kepala dengan senyum lebarnya. “Naura ucapkan terima kasih kepada Om Arlan!” pintaku pada putri semata wayangku itu.Naura tampak malu. Dia melirik mas Arlan dengan tatapan canggung. “Terima kasih ya Om,” ucapnya.“Sama-sama. Sekali lagi selamat ulang ya, Sayang,”“Aku pamit dulu, Ra. Assalamu’alaikum,” ucap lelaki itu kepadaku. Hanya anggukan dan balasan salam yang aku berikan. Tiba-tiba aku merasakan kejanggalan. Mas Arlan san
***“Ibu!” teriak Naura satu jam setelah aku menangisi perbuatan ayahnya. Anakku itu sudah bangun rupanya. Untung saja mataku tak lagi menyisakan tangisan.“Iya?” Aku mencoba tersenyum meskipun saat ini jantungku berdegup kencang karena khawatir Naura menanyakan soal ayahnya.Gadis kecilku itu mendekat sambil tersenyum manis. “Bagaimana dengan ayah? Apakah dia akan datang?” Sudah kuduga dia akan bertanya.“Begini Nau, Ayah sangat sibuk tapi kamu jangan khawatir dia sudah menyiapkan kado spesial untuku lewat ibu!”Naura tampak tak tertarik akan kado yang aku ucapkan itu. Wajahnya yang tadi ceria kini terlihat murung. Ahh, dia kehilangan senyumnya lagi. Dan, aku hanya bisa menyesal untuk yang kesekian kalinya melihat itu.“Maafkan ibu tapi ayah tidak bisa datang hari ini,”“Bagaimana dengan nanti malam?” tanya Naura.Aku menggeleng. “Tapi kita akan tetap makan malam. Berdua,” ucapku berharap dapat menghiburnya.“Berdua saja?”Aku mengangguk.Naura terdiam. Lalu tiba-tiba dia berbalik me
***Tck!Mas Rafa berdecak sebal di depan wajahku. Matanya menatap tajam sejak datang. “Ternyata Andin benar, kamu berselingkuh dengan Arlan,” ucapnya sambil melirikku dan mas Arlan.“Bukan begitu, Mas, kami hanya makan malam saja.”Dapat aku lihat wajah mas Rafa semakin kesal. “Hebat kamu Zahra! Kuberi kamu uang untuk makan malam bersama Naura, tapi kau pakai uang itu bersama selingkuhanmu,” tuduh mas Rafa sembarangan. Dia tidak tahu saja yang mentraktir kami makan malam kali ini adalah mas Arlan.Aku ingin sekali mengatakan itu sekarang juga, tapi rupanya mas Rafa belum selesai bicara. “Apa kau tidak mengenal kata malu lagi, Zahra? Dan kau Arlan! Beraninya kamu mendekati Zahra!” ujarnya.“Mas!” Aku akhirnya bertindak. Tak tahan rasanya mendengar mas Rafa yang bicara semena-mena. Bahkan dia menyeret mas Arlan yang rela menuruti kemauan Naura.“Apa? Mau bela Arlan? Berani kamu Zahra?”Astaghfirullah. Kapan mas Rafa tak mendahulukan emosinya? Kenapa dia tak bisa bertanya padaku secara
***Kulihat mas Arlan menatapku seolah sedang menyimpan sebuah tanya. “Ada apa, Mas?” Akhirnya aku utarakan rasa penasaran akan sikapnya itu.“Kenapa kamu sangat yakin kalau madu memiliki selingkuhan?”Tenang saja, pertanyaan itu tak didengar oleh Naura. Kebetulan kami sudah pulang ke rumah, tapi mas Arlan izin mampir di teras. Mana mungkin aku melarang. Ini rumah kan miliknya.Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaannya itu. “Aku tahu karena pernah memergokinya sekali, Mas. Dan, kalau boleh jujur saat ini Sabrina sedang menyelidikinya. Mencari bukti untuk membantuku membalas perbuatan maduku,” ucapku.“Sabrina?”“Iya. Dia belum cerita kalau Andin dan selingkuhannya bekerja di kantormu?” tanyaku.“Sudah. Hanya Andin. Sabrina memang pernah meminta izin untuk ke kantorku kapan pun dia mau. Apakah karena dia sedang menyelidiki perselingkuhan madumu?”Aku mengangguk kecil.“Astaghfirullahalazim,” ucap mas Arlan kemudian. “Apa Rafa tidak percaya padamu saat kamu mengatakan itu padanya?” ta
***Tatapan mata Andin menunjukan kilat kemarahan. Aku tahu dia benci sekali padaku. “Aku tak butuh rasa kasihan darimu, Mbak! Jangan lagi ikut campur urusanku!” ujarnya.“Andai kau tidak mengusik Naura dan menyakiti perasaannya, Mbak tidak akan peduli pada kehidupanmu di luar sana, Andin, tapi kamu menyakiti hati Naura berkali-kali. Bahkan tanpa sepengetahuanku,”Aku menggelengkan kepala. Menatapnya dengan tatapan tidak terima. Namun, Andin mendengus. Seolah menyakiti hati Naura bukan apa-apa baginya.“Pokoknya mbak Zahra nggak usah ikut campur!” ujar wanita yang penuh tipu muslihat itu.“Ikut campur dari hubungan gelapmu begitu?”“Terserah aku! Semua yang aku lakukan tidak ada hubungannya denganmu, Mbak Zahra.”Andin yang keras kepala. Ingin aku menurutinya, tapi maaf saja, Andin harus menerima balasan atas hinaan beserta fitnah yang dia tebarkan.“Andin boleh mbak bertanya?”“Apa kamu benar-benar mencintai mas Rafa? Jika benar, maka lupakan selingkuhanmu itu. Hiduplah dengan baik b
***Satu minggu sudah sejak Andin masuk rumah sakit. Aku mendengar kabar bahwa dia sudah dibawa pulang beberapa hari yang lalu. Saat ini tengah menjalani perawatan di rumah. Hanya saja, aku belum sempat menjenguknya. Masih mempertimbangkan haruskah ke sana atau tidak, sebab Andin pasti tidak suka melihatku.Mungkin sebaiknya aku menelponnya saja.Baru saja berniat melakukannya, suara ketukan pintu mengejutkanku. Kulirik jam yang menggantung di dinding, jarum pendek sudah menunjukkan pukul Delapan malam. Siapa kira-kira yang bertamu?Aku melangkah menuju pintu utama rumah ini, lalu membukanya.“Kejutan!”Betapa aku terkejut saat mendengar teriakan itu. “Sabrina?” Mulutku menyebut namanya, nama sahabat karibku yang malam ini datang sambil membawa sebuah kue ulang tahun. “Astaghfirullah, aku sampai lupa kalau hari ini umurku tepat Tiga Puluh tahun! Aku sudah tua ternyata,” ucapku sambil terkekeh.Sabrina berdecak sebal. Wanita itu masuk tanpa meminta izin dariku terlebih dahulu. Aku hany