***Tatapan mata Andin menunjukan kilat kemarahan. Aku tahu dia benci sekali padaku. “Aku tak butuh rasa kasihan darimu, Mbak! Jangan lagi ikut campur urusanku!” ujarnya.“Andai kau tidak mengusik Naura dan menyakiti perasaannya, Mbak tidak akan peduli pada kehidupanmu di luar sana, Andin, tapi kamu menyakiti hati Naura berkali-kali. Bahkan tanpa sepengetahuanku,”Aku menggelengkan kepala. Menatapnya dengan tatapan tidak terima. Namun, Andin mendengus. Seolah menyakiti hati Naura bukan apa-apa baginya.“Pokoknya mbak Zahra nggak usah ikut campur!” ujar wanita yang penuh tipu muslihat itu.“Ikut campur dari hubungan gelapmu begitu?”“Terserah aku! Semua yang aku lakukan tidak ada hubungannya denganmu, Mbak Zahra.”Andin yang keras kepala. Ingin aku menurutinya, tapi maaf saja, Andin harus menerima balasan atas hinaan beserta fitnah yang dia tebarkan.“Andin boleh mbak bertanya?”“Apa kamu benar-benar mencintai mas Rafa? Jika benar, maka lupakan selingkuhanmu itu. Hiduplah dengan baik b
***Satu minggu sudah sejak Andin masuk rumah sakit. Aku mendengar kabar bahwa dia sudah dibawa pulang beberapa hari yang lalu. Saat ini tengah menjalani perawatan di rumah. Hanya saja, aku belum sempat menjenguknya. Masih mempertimbangkan haruskah ke sana atau tidak, sebab Andin pasti tidak suka melihatku.Mungkin sebaiknya aku menelponnya saja.Baru saja berniat melakukannya, suara ketukan pintu mengejutkanku. Kulirik jam yang menggantung di dinding, jarum pendek sudah menunjukkan pukul Delapan malam. Siapa kira-kira yang bertamu?Aku melangkah menuju pintu utama rumah ini, lalu membukanya.“Kejutan!”Betapa aku terkejut saat mendengar teriakan itu. “Sabrina?” Mulutku menyebut namanya, nama sahabat karibku yang malam ini datang sambil membawa sebuah kue ulang tahun. “Astaghfirullah, aku sampai lupa kalau hari ini umurku tepat Tiga Puluh tahun! Aku sudah tua ternyata,” ucapku sambil terkekeh.Sabrina berdecak sebal. Wanita itu masuk tanpa meminta izin dariku terlebih dahulu. Aku hany
***Belum Lima menit pintu tertutup rapat, tapi tiba-tiba kembali terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku yang baru saja akan menegur Sabrina karena ulah konyolnya terpaksa menghentikan pergerakan mulutku.Dahiku berkerut dalam karena heran. “Siapa? Mas Arlan balik lagi?” tanyaku pada sahabatku itu.Namun, Sabrina mengedikkan bahunya. “Coba saja dibuka!” ujarnya memberi solusi. Memang hanya itu solusi tersisa. Tak mungkin aku membiarkan pint uterus diketuk, sedangkan aku ada di dalam rumah ini.Tak ingin mendengar ketukan semakin keras, kulangkahkan kaki menuju pintu sekali lagi.“Astaghfirullahal’azim!” Wajar bila aku terkejut saat pintu terbuka. Bayangkan saja, sekarang aku mendapati mas Rafa berada tepat di depan mataku.Pria itu bahkan sedang menatap tajam. “Kenapa? Terkejut? Ketahuan selingkuh kamu, Zahra?” tuduhnya bertubi-tubi.Aku tersentak. Mas Rafa datang dalam keadaan marah. Dia bahkan tak memberiku waktu untuk menenangkan diri.“Pantas saja kau tak menjawab teleponku,
***“Kamu nggak apa-apa, Ra?” tanya Sabrina saat kami sudah kembali masuk ke dalam.Bohong jika aku berkata tidak. Rasa sakit akibat tamparan yang diberikan mas Rafa saja masih terasa, ditambah tuduhan bertubi-tubinya itu. Semua masih jelas terasa di hatiku. Membuatku harus mengucap istighfar berkali-kali.“Sakit, Sab. Apa yang harus aku lakukan ya?”“Kamu mau cerai, Ra?”Sejujurnya iya, karena aku sudah tak tahan lagi. Tidak ada kecocokan lagi antara aku dan mas Rafa. Lelaki itu benar-benar telah tertutup akal sehatnya. Bisanya hanya menyalahkanku saja.“Entahlah, Sab. Aku bingung dengan semua ini. Kenapa mas Rafa jadi seperti ini ya? Dia seperti orang lain,”Sabrina menghela napas dengan berat. “Sabar Ra, mungkin kamu dan suamimu itu memang tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya,” ucapnya.“Hem, tapi ada yang sempat membuatku tertegun untuk beberapa saat tadi,” ucapku.“Apa itu?” tanya Sabrina.“Mas Rafa bilang dia ingin meminta maaf,”“Alah! Nyatanya dia datang ke sini hanya unt
***“Ibu mau ke mana?” tanya Naura saat aku bersiap untuk pergi menemui Andin. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, Naura tidak sekolah.Aku tahu percuma bertemu dengan maduku itu, tapi aku hanya ingin tahu apa yang akan dia lakukan. Pelajaran seperti apa yang wanita itu maksud.“Ibu akan bertemu dengan tante Andin sebentar. Nau tunggu di toko nggak apa-apa?”Naura menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, Bu. Ada mbak juga di sana, kan?” tanyanya.Mbak yang Naura maksud adalah karyawanku yang mulai dekat dengannya. “Iya Sayang. Ibu antar ke toko ya. Nanti Ibu usahaka pulang cepat!” ujarku.“Iya Bu,” balas Naura.Kami keluar dari rumah setelah itu. Aku menggandeng tangan Naura. Mambukakan pintu mobil untuknya. “Jangan lupa kenakan sabuk pengaman, Nak!” pintaku yang segera Naura laksanakan.Baru saja aku hendak ikut masuk ke dalam mobil, tapi tiba-tiba tetanggaku menghampiri. “Eh Mbak, kamu tetangga baru itu kan?” tanyanya dengan ekspresi wajah yang sedikit mengesalkan kalau aku boleh
***Sesampainya di toko langsung saja aku titipkan Naura pada Sinta dan satu karyawanku yang lain. Untungnya Naura benar-benar menjelma menjadi anak yang manis. Dia tak keberatan meskipun kutinggal pergi.“Nau, jangan nakal ya. Ibu hanya pergi sebentar,” pesanku pada Naura.“Iya Bu,” balas putri semata wayangku itu.Lantas aku pun berpamitan pada yang lain. Lalu pergi dengan mengendarai mobilku sendiri. Saat sedang fokus berkendara, sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Nama Andin tertera di layarnya.Kubuka pesan tersebut sambil sesekali fokus pada jalan raya.“Kafe teratai?” Andin mengajakku bertemu di kafe teratai. Namun, aku tak tahu di mana tempat itu. Beruntung Andin cepat mengirimiku pesan lagi, berupa alamat kafe tersebut. Segera aku mengarahkan mobilku ke sana.“Loh, ini bukannya dekat dengan kantor Andin sendiri?” tanyaku setelah berkendara sekitar Lima Belas menit. Kantor Andin artinya kantor mas Arlan juga. Tak menutup kemungkinan aku akan bertemu dengan pria itu di sekita
***“Ndin,” geramku memberinya peringatan. Namun, wanita itu tersenyum senang dibalik mata yang terus saja meneteskan airnya. Apa sekarang aku salah jika ingin menyiksa Andin dengan foto-foto yang Sabrina berikan? Dia jahat sekali karena memfitnahku di depan orang banyak seperti ini.“Kenapa, Mbak? Apa nggak ada lelaki lain selain suamiku? Rumah tangga kami hancur gara-gara kehadiranmu. Tolong jangan ganggu suamiku, Mbak,” Wanita itu semakin gila saja.“Wahhh! Percuma si mbaknya pakai jilbab gitu kalau jadi simpanan suami orang. Sadar mbak, jangan jadi perusak!” komentar wanita yang mejanya tepat berada di sebelah kami. Kafe memang cukup ramai sebab orang-orang kantor sedang sarapan di sini.Aku menggigit bibirku. Bagaimana ini? Rasanya percuma saja meksipun aku membela diri. Semua orang telah teracuni oleh mulut kotor Andin.“Iya, Mbak. Kasihan bini orang. Mana lagi hamil gitu!” ujar yang lainnya. Aku terpojok. Rupanya pelajaran seperti ini yang ingin Andin berikan. Kupandangi sekali
***“Mas Arlan nggak apa-apa kan kalau kami pindah?” tanyaku melanjutkan obrolan.“Kalau niatmu sudah bulat aku bisa apa? Tapi tolong kabari aku kapan kalian ingin pindah. Aku akan membantu,”“Tolong jangan menolak bantuanku, Ra!” ujar lelaki itu cepat, seolah tahu aku akan menolaknya.“Baiklah Mas, terima kasih kalau begitu,” ucapku setuju.“Sama-sama. Oya, madumu itu orang kantorku, kan?” tanya Mas Arlan tiba-tiba. Ahh, aku memang belum menceritakan secara keseluruhan seperti apa kehidupan seorang Andin. Aku pun mengangguk sebagai jawaban. “Dia yang Sabrina buntuti selama ini, Mas,” ucapku. Sabrina memang sempat izin keluar masuk ke kantor mas Arlan selama ini untuk menyelidiki Andin dan selingkuhannya itu.Mas Arlan mengizinkan dengan syarat jangan sampai mengganggu pekerjaan karyawannya.“Mas nggak kenal kan sama dia?” tanyaku.“Nggak Ra,”Itu wajar sebab mas Arlan dan Andin tidak bekerja di lantai yang sama. Bahkan menurut Sabrina lelaki ini jarang menampakan wajahnya di kantor s