***“Kamu nggak apa-apa, Ra?” tanya Sabrina saat kami sudah kembali masuk ke dalam.Bohong jika aku berkata tidak. Rasa sakit akibat tamparan yang diberikan mas Rafa saja masih terasa, ditambah tuduhan bertubi-tubinya itu. Semua masih jelas terasa di hatiku. Membuatku harus mengucap istighfar berkali-kali.“Sakit, Sab. Apa yang harus aku lakukan ya?”“Kamu mau cerai, Ra?”Sejujurnya iya, karena aku sudah tak tahan lagi. Tidak ada kecocokan lagi antara aku dan mas Rafa. Lelaki itu benar-benar telah tertutup akal sehatnya. Bisanya hanya menyalahkanku saja.“Entahlah, Sab. Aku bingung dengan semua ini. Kenapa mas Rafa jadi seperti ini ya? Dia seperti orang lain,”Sabrina menghela napas dengan berat. “Sabar Ra, mungkin kamu dan suamimu itu memang tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya,” ucapnya.“Hem, tapi ada yang sempat membuatku tertegun untuk beberapa saat tadi,” ucapku.“Apa itu?” tanya Sabrina.“Mas Rafa bilang dia ingin meminta maaf,”“Alah! Nyatanya dia datang ke sini hanya unt
***“Ibu mau ke mana?” tanya Naura saat aku bersiap untuk pergi menemui Andin. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, Naura tidak sekolah.Aku tahu percuma bertemu dengan maduku itu, tapi aku hanya ingin tahu apa yang akan dia lakukan. Pelajaran seperti apa yang wanita itu maksud.“Ibu akan bertemu dengan tante Andin sebentar. Nau tunggu di toko nggak apa-apa?”Naura menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, Bu. Ada mbak juga di sana, kan?” tanyanya.Mbak yang Naura maksud adalah karyawanku yang mulai dekat dengannya. “Iya Sayang. Ibu antar ke toko ya. Nanti Ibu usahaka pulang cepat!” ujarku.“Iya Bu,” balas Naura.Kami keluar dari rumah setelah itu. Aku menggandeng tangan Naura. Mambukakan pintu mobil untuknya. “Jangan lupa kenakan sabuk pengaman, Nak!” pintaku yang segera Naura laksanakan.Baru saja aku hendak ikut masuk ke dalam mobil, tapi tiba-tiba tetanggaku menghampiri. “Eh Mbak, kamu tetangga baru itu kan?” tanyanya dengan ekspresi wajah yang sedikit mengesalkan kalau aku boleh
***Sesampainya di toko langsung saja aku titipkan Naura pada Sinta dan satu karyawanku yang lain. Untungnya Naura benar-benar menjelma menjadi anak yang manis. Dia tak keberatan meskipun kutinggal pergi.“Nau, jangan nakal ya. Ibu hanya pergi sebentar,” pesanku pada Naura.“Iya Bu,” balas putri semata wayangku itu.Lantas aku pun berpamitan pada yang lain. Lalu pergi dengan mengendarai mobilku sendiri. Saat sedang fokus berkendara, sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Nama Andin tertera di layarnya.Kubuka pesan tersebut sambil sesekali fokus pada jalan raya.“Kafe teratai?” Andin mengajakku bertemu di kafe teratai. Namun, aku tak tahu di mana tempat itu. Beruntung Andin cepat mengirimiku pesan lagi, berupa alamat kafe tersebut. Segera aku mengarahkan mobilku ke sana.“Loh, ini bukannya dekat dengan kantor Andin sendiri?” tanyaku setelah berkendara sekitar Lima Belas menit. Kantor Andin artinya kantor mas Arlan juga. Tak menutup kemungkinan aku akan bertemu dengan pria itu di sekita
***“Ndin,” geramku memberinya peringatan. Namun, wanita itu tersenyum senang dibalik mata yang terus saja meneteskan airnya. Apa sekarang aku salah jika ingin menyiksa Andin dengan foto-foto yang Sabrina berikan? Dia jahat sekali karena memfitnahku di depan orang banyak seperti ini.“Kenapa, Mbak? Apa nggak ada lelaki lain selain suamiku? Rumah tangga kami hancur gara-gara kehadiranmu. Tolong jangan ganggu suamiku, Mbak,” Wanita itu semakin gila saja.“Wahhh! Percuma si mbaknya pakai jilbab gitu kalau jadi simpanan suami orang. Sadar mbak, jangan jadi perusak!” komentar wanita yang mejanya tepat berada di sebelah kami. Kafe memang cukup ramai sebab orang-orang kantor sedang sarapan di sini.Aku menggigit bibirku. Bagaimana ini? Rasanya percuma saja meksipun aku membela diri. Semua orang telah teracuni oleh mulut kotor Andin.“Iya, Mbak. Kasihan bini orang. Mana lagi hamil gitu!” ujar yang lainnya. Aku terpojok. Rupanya pelajaran seperti ini yang ingin Andin berikan. Kupandangi sekali
***“Mas Arlan nggak apa-apa kan kalau kami pindah?” tanyaku melanjutkan obrolan.“Kalau niatmu sudah bulat aku bisa apa? Tapi tolong kabari aku kapan kalian ingin pindah. Aku akan membantu,”“Tolong jangan menolak bantuanku, Ra!” ujar lelaki itu cepat, seolah tahu aku akan menolaknya.“Baiklah Mas, terima kasih kalau begitu,” ucapku setuju.“Sama-sama. Oya, madumu itu orang kantorku, kan?” tanya Mas Arlan tiba-tiba. Ahh, aku memang belum menceritakan secara keseluruhan seperti apa kehidupan seorang Andin. Aku pun mengangguk sebagai jawaban. “Dia yang Sabrina buntuti selama ini, Mas,” ucapku. Sabrina memang sempat izin keluar masuk ke kantor mas Arlan selama ini untuk menyelidiki Andin dan selingkuhannya itu.Mas Arlan mengizinkan dengan syarat jangan sampai mengganggu pekerjaan karyawannya.“Mas nggak kenal kan sama dia?” tanyaku.“Nggak Ra,”Itu wajar sebab mas Arlan dan Andin tidak bekerja di lantai yang sama. Bahkan menurut Sabrina lelaki ini jarang menampakan wajahnya di kantor s
***“Jadi benar apa yang Andin katakan? Kamu sedang bersama lelaki yang bukan mahram,” ucap mas Rafa sambil menudingku dengan jari telunjuknya. Entah datang dari mana lelaki itu, akan tetapi tiba-tiba saja dia kini tepat berada di depanku dan mas Arlan.Aku berdiri dari dudukku masih dalam keadaan terkejut. Seketika itu pula pandanganku dan mas Arlan terputus.“Maaf mas jangan asal tuduh. Aku nggak sengaja ketemu mas Arlan.” Aku membela diri.“Zahra benar, kami nggak sengaja bertemu,” Mas Arlan ikut menjelaskan.Namun, mas Rafa tak pernah mau mendengarkan. Lelaki itu menarik pergelangan tanganku, menyeretku dari tempat itu. “Mas!”“Diam kamu Zahra! Ikut aku pulang.”Tidak! Aku tidak mau. Cukup sudah diriku dipermalukan di depan umum hari ini.“Berhenti, Mas! Aku nggak mau. Aku mau ke toko. Naura di sana menungguku!”“Berani membantah?” bentak lelaki itu. Aku terus menggeleng. Mas Rafa benar-benar kasar.Lalu tanpa kuduga mas Arlan berdiri dari duduknya. Sebuah tinju melayang ke wajah
***Andin terlihat marah saat aku dan Naura memasuki rumah. Sengaja kulewati dirinya tanpa menyapa. Wajar bila aku mengabaikannya. Kelakuannya pagi tadi masih membuatku sakit hati. Namun, yang membuat diri ini terheran-heran adalah sikap mas Rafa. Lelaki itu tak menyapa Andin dengan mesra seperti biasa. Dia pun hanya melewati Andin tanpa memeluk apalagi menciumnya.“Mbak Zahra!” ujar Andin memanggil namaku saat kaki ini baru saja akan melewati pintu.“Nau, kamu ke kamar duluan ya,” Tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku pun meminta Naura untuk masuk ke kamarnya terlebih dahulu. Meskipun terlihat jelas harapan Naura ingin masuk bersamaku, tapi akhirnya dia mengikuti perintah.Gadis kecilku meninggalkan ibunya dengan hati yang was-was. Aku yakinkan dia bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mbak nggak dengar peringatanku ya? Aku bilang menjauh, Mbak! Jangan ganggu rumah tanggaku!” ujar wanita sialan itu.Aku mengembuskan napas dengan berat. Terkadang aku bingung dengan perasaan yang
***“Akhirnya selesai juga, Mbak!” ujar Rani kepadaku saat ayam goreng tepung kesukaan Naura siap untuk dihidangkan. Aku mengangguk singkat sebagai jawaban. “Terima kasih ya Ran atas bantuannya,” ucapku.“Justru aku yang harusnya ngucapin makasih sama mbak Zahra. Jarang-jarang loh majikan mau bantuin pembantunya,” kekeh gadis itu.“Nggak perlu sungkan, Ran, kan mbak udah bilang kalau nyonya di rumah ini hanya Andin seorang,”“Ahh, mbak Zahra bisa aja, tapi serius loh mbak! Aku benaran kaget saat mbak memperkenalkan diri sebagai istri pertamanya si Bapak. Aku pikir mbak Zahra bercanda,”Kali ini aku yang terkekeh karena ucapannya. “Ya begitulah,” komentarku seadanya.Rani seakan ingin mengatakan sesuatu yang lain, tapi mulutnya mendadak terkatup rapat dengan mata yang melirik tepat ke belakangku.Ketika aku menoleh, kudapati Andin ada di sana sambil mengelus perut buncitnya.“Kamu kok lama amat masak gulai ikan nilanya, Ran?” tanya Andin dengan eskpresi wajah yang tak enak untuk dipand