***
"Ibu!" ujar Naura saat aku baru saja memutuskan panggilan telepon dengan Sabrina.
Untunglah tak ada lagi sisa airmata di pipi. "Kenapa, Nak?" tanyaku.
Naura menghampiri. Tiba-tiba ia berbisik sesuatu. Aku terkejut. Pupil mataku melebar mendengar itu. "Maksudmu tante Andin marah pada seseorang yang ada di telepon?" tanyaku mengulang bisikannya.
Sambil memeluk boneka barbie miliknya itu Naura mengangguk.
"Dan dia bilang Mas ini anakmu?"
Sekali lagi Naura mengiakan dengan anggukan kepala. "Apa artinya itu, Bu?" tanyanya. Tentu saja dia tak akan mengerti, tapi aku sudah pasti memahami.
Mampus kamu Andin! Aku hanya perlu mencari bukti, setelah itu kamu yang akan aku depak dari rumah ini.
"Bu, apa artinya? Naura penasaran!" desak Naura membuatku sadar dari lamunan.
"Bukan apa-apa. Jangan bilang ke Ayah ya!"
"Tapi kenapa Bu?"
"Pokoknya jangan bilang k
***Naura masih saja rewel meskipun aku sudah membujuknya."Ibu jahat! Nau mau pulang, Bu!" ujar putriku. Mendengar ia mengataiku jahat membuat hati ini hancur. "Nau, Ibu nggak jahat. Tapi kita belum bisa pulang sekarang. Kita harus menemukan rumah baru kita, Sayang," ucapku."Tapi Nau nggak mau pindah Bu. Nanti kalau Naura kangen Ayah bagaimana?""Apa Naura rela berpisah dari Ibu? Kalai memang Nau rela Ibu akan izinkan Naura tinggal bersama Ayah dan tante Andin," tanyaku pada Naura. Jujur saja aku tak rela dia bersama Mas Rafa dan si madu, tapi jika memang Naura keras kepala tak mau pindah, aku bisa apa selain mengizinkannya tetap tinggal di sana."Naura juga nggak mau berpisah dari Ibu," cicit anak gadisku. Sekarang aku menyadari ketakutannya. Naura bukan pembangkang, tapi ia hanay takut Ayah dan Ibunya benar-benar berpisah.Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Kasihan putriku jika aku dan Mas Rafa benar-benar berpi
***Sepulang dari mencari rumah, aku langsung menemui Mas Rafa. Kebetulan dia juga sudah pulang dari kantornya."Mas, aku dan Naura sudah mendapatkan rumah baru untuk kami. Secepatnya kami akan pindah dari rumah ini, sesuai dengan yang Mas inginkan." Aku berucap pada Mas Rafa sebagai pemberitahuan bahwa aku dan Naura akan segera pindah dari rumah ini. Tahu bagaimana respon Mas Rafa? Suamiku tersebut tersenyum lebar mendengar ucapanku.Aku menggeleng heran melihatnya. Tidakkah dia menyesal membuang kami seperti ini? Dia tak ingat Seperti apa perjuangan kami di masa lalu hingga rumah impian kami yang sederhana ini dapat dibangun? Astaghfirullah."Syukurlah kalau begitu, Mas senang mendengarnya. Andin juga akan sangat senang, dia tak perlu lagi merasa tak nyaman bila ada kamu di sini," ucap Mas Rafa."Sejujurnya hingga saat ini aku masih tak menyangka Mas, aku akan keluar dari rumah ini karena kamu mengusirku,""Mas tak
***Dua minggu sudah aku dan Naura pindah dari rumah yang dulunya sangat hangat kami tinggali.Pertama kali keluar dari rumah itu, mataku memanas ingin menangis. Terlebih saat aku melihat Naura enggan pergi dari sana. Gadis kecilku meraung tak ingin berpisah dari ayahnya, tapi apa daya, Mas Rafa yang memaksa kami untuk pergi dari sana.Masih jelas dalam ingatanku bagaimana lelaki itu mengabaikan tangisan Naura."Cepatlah kau urus Naura, Zahra. Jangan membuatku terlihat seperti Ayah yang jahat di matanya!" ujar lelaki itu. Ingin rasanya aku balas dengan kata-kata yang kasar yang benar-benar menggambarkan bagaimana sikapnya kepada Naura.Kau memang lelaki jahat Mas, tega membiarkan Naura menangis saat tak ingin pergi dari rumah kita. Jika kau tidak sejahat itu, Kau pasti memikirkan perasaan Naura.Namun, yang kau lakukan hanya merangkul Andin yang pura-pura sedih saat kami akan meninggalkan rumah.Pad
*** Aku mengabaikan sikap Mas Rafa yang tampak dingin terhadapku itu. “Mas, Naura ingin bertemu. Dia rindu!” ujarku.“Bukannya Mbak Zahra yang rindu suamiku?” Tiba-tiba Andin yang menyahuti. Benar-benar menguji kesabaranku perempuan ini. Padahal, aku sudah mengabaikan tatapan beserta senyum sinisnya itu.“Maksudmu apa bertanya seperti itu, Ndi? Kalau boleh memilih sebenarnya aku pun enggan menginjakan kaki ke rumah ini lagi, tapi demi Naura apapun akan aku lakukan!”Andin mendengus. “Naura hanya jadi alasan saja supaya Mbak Zahra bisa bertemu Mas Rafa. Aku sudah tahu rencanamu Mbak, kamu ingin mematai hubungan kami kan?” tuduh Andin sembarangan. Kalau mematai hubungannya dengan selingkuhannya memang iya, tapi mematai hubungannya dengan Mas Rafa sungguh tak pernah masuk dalam daftar kegiatanku.Untuk apa aku mematai mereka? Memangnya aku kurang kerjaan. Kenapa Andin setakut itu? Aku menggelengkan kepala. “Jangan sembarangan menuduh! Aku sibuk, kenapa harus mematai kalian berdua?” tan
***Jika kemarin luka yang Mas Rafa dan Ibu berikan cukup membuat hatiku perih, maka hari ini aku pun merasakan hal yang sama. Pedih sekali rasanya karena hari ini adalah ulang tahun Naura. Namun, Ayah yang sangat dia cintai tak datang untuk merayakan ulang tahunnya.“Jangankan merayakan, mengucapkan selamat saja enggak!” Aku berujar di depan Sabrina yang datang berkunjung. Hanya dia tempatku berkeluh kesah saat ini. Dia juga yang kerap kali menghiburku setiap hari.“Jangan terlalu dipikirkan, Ra, ini aku bawa kado untuk Naura. Semoga saja dia suka,” ucap Sabrina sembari mengeluarkan boneka Barbie berukuran besar dari dalam paper bag yang dia bawa.Aku menerimanya lalu mengucapkan terima kasih kepada sahabat baikku itu. “Aku akan bilang ke Naura kalau kamu berkunjung pagi ini,” ucapku. Kebetulan Naura sedang berada di sekolahnya. Belum aku jemput karena memang belum waktunya pulang dari sekolah.Sabrina mengangguk singkat. “Tadinya mau tiup lilin, tapi si Naura nggak ada,” katanya.“N
***“Terima kasih, Mas, sudah membantuku menjemput Naura,” ucapku setelah kami sampai di toko.Mas Arlan terlihat menganggukkan kepalanya. “Sama-sama,” balasnya. Lalu perhatiannya teralihkan kepada Naura. “Hai cantik terima kasih sudah menerima kado dari Om Arlan ya! Selamat ulang tahun,” ucapnya. Semua itu tak lepas dari perhatianku. Mas Arlan terlihat sangat baik. Dia bahkan tak tersinggung akan ucapanku tadi.“Naura yang seharusnya mengucapkan terima kasih, Mas, karena telah dibelikan sebuah kado,” Aku menimpali karena Naura hanya diam setelah menganggukkan kepala dengan senyum lebarnya. “Naura ucapkan terima kasih kepada Om Arlan!” pintaku pada putri semata wayangku itu.Naura tampak malu. Dia melirik mas Arlan dengan tatapan canggung. “Terima kasih ya Om,” ucapnya.“Sama-sama. Sekali lagi selamat ulang ya, Sayang,”“Aku pamit dulu, Ra. Assalamu’alaikum,” ucap lelaki itu kepadaku. Hanya anggukan dan balasan salam yang aku berikan. Tiba-tiba aku merasakan kejanggalan. Mas Arlan san
***“Ibu!” teriak Naura satu jam setelah aku menangisi perbuatan ayahnya. Anakku itu sudah bangun rupanya. Untung saja mataku tak lagi menyisakan tangisan.“Iya?” Aku mencoba tersenyum meskipun saat ini jantungku berdegup kencang karena khawatir Naura menanyakan soal ayahnya.Gadis kecilku itu mendekat sambil tersenyum manis. “Bagaimana dengan ayah? Apakah dia akan datang?” Sudah kuduga dia akan bertanya.“Begini Nau, Ayah sangat sibuk tapi kamu jangan khawatir dia sudah menyiapkan kado spesial untuku lewat ibu!”Naura tampak tak tertarik akan kado yang aku ucapkan itu. Wajahnya yang tadi ceria kini terlihat murung. Ahh, dia kehilangan senyumnya lagi. Dan, aku hanya bisa menyesal untuk yang kesekian kalinya melihat itu.“Maafkan ibu tapi ayah tidak bisa datang hari ini,”“Bagaimana dengan nanti malam?” tanya Naura.Aku menggeleng. “Tapi kita akan tetap makan malam. Berdua,” ucapku berharap dapat menghiburnya.“Berdua saja?”Aku mengangguk.Naura terdiam. Lalu tiba-tiba dia berbalik me
***Tck!Mas Rafa berdecak sebal di depan wajahku. Matanya menatap tajam sejak datang. “Ternyata Andin benar, kamu berselingkuh dengan Arlan,” ucapnya sambil melirikku dan mas Arlan.“Bukan begitu, Mas, kami hanya makan malam saja.”Dapat aku lihat wajah mas Rafa semakin kesal. “Hebat kamu Zahra! Kuberi kamu uang untuk makan malam bersama Naura, tapi kau pakai uang itu bersama selingkuhanmu,” tuduh mas Rafa sembarangan. Dia tidak tahu saja yang mentraktir kami makan malam kali ini adalah mas Arlan.Aku ingin sekali mengatakan itu sekarang juga, tapi rupanya mas Rafa belum selesai bicara. “Apa kau tidak mengenal kata malu lagi, Zahra? Dan kau Arlan! Beraninya kamu mendekati Zahra!” ujarnya.“Mas!” Aku akhirnya bertindak. Tak tahan rasanya mendengar mas Rafa yang bicara semena-mena. Bahkan dia menyeret mas Arlan yang rela menuruti kemauan Naura.“Apa? Mau bela Arlan? Berani kamu Zahra?”Astaghfirullah. Kapan mas Rafa tak mendahulukan emosinya? Kenapa dia tak bisa bertanya padaku secara