“Kenapa kamu selalu memandangi aku seperti itu, Gilang?” Maya tiba-tiba bertanya, sambil menata berkas-berkas di meja kerja Gilang. Suasana di ruang kantor penerbitan itu begitu hening, meskipun jarum jam terus berdetak. Gilang tersenyum kecil, menatap Maya dengan pandangan lembut. “Aku memandangi kamu karena aku suka melihat kamu. Apakah itu salah?” Maya merasa pipinya memanas. Ia menundukkan kepala, mengalihkan pandangannya dari Gilang. “Aku... tidak tahu. Kamu membuatku canggung.” “Aku tidak berniat membuatmu canggung, Maya. Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku,” jawab Gilang dengan nada tenang. Namun, kesungguhan terpancar jelas di setiap kata yang ia ucapkan. Maya terdiam, bibirnya sedikit bergetar. Sejak bekerja bersama Gilang, hubungan mereka menjadi semakin akrab. Bukan hanya sekadar antara atasan dan bawahan, tetapi ada perasaan yang tumbuh tanpa mereka sadari. Namun, Maya masih takut membuka hati, terutama karena bayangan masa lalunya dengan Aris masih menghantuinya.
Maya masih memegang ponselnya, menatap pesan ancaman yang baru saja diterimanya. Pesan itu terus berulang di kepalanya, membuatnya semakin bimbang. Siapa orang ini? Kenapa dia begitu marah dengan kedekatannya bersama Gilang?Saat pikirannya terus berputar, suara ketukan pintu terdengar dari ruang tamu. Maya terkejut, seolah terbangun dari lamunannya. Ia melangkah perlahan menuju pintu, dan ketika ia membukanya, Gilang sudah berdiri di sana dengan senyuman hangat di wajahnya.“Maya, aku kebetulan lewat di dekat sini. Aku pikir, mungkin aku bisa mampir sebentar,” kata Gilang sambil tersenyum. Namun, senyuman itu segera memudar ketika melihat raut wajah Maya yang cemas.“Ada apa? Kamu terlihat tidak baik-baik saja,” tanya Gilang dengan nada khawatir, melangkah lebih dekat ke Maya.Maya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Aku... Aku baru saja menerima pesan aneh.”Gilang mengerutkan kening. “Pesan aneh? Dari siapa?”Maya menyerahkan ponselnya kepada Gilang, menunjukkan
Aris pulang lebih awal dari biasanya. Pekerjaan di kantor selesai lebih cepat, tetapi perasaannya justru semakin gelisah. Sudah beberapa hari ini dia merasa ada yang tidak beres dengan Wulan. Semua bermula dari panggilan telepon yang sering diterima istrinya. Wulan tampak gugup setiap kali telepon berbunyi, terutama ketika Aris sedang di dekatnya. Semakin hari, kecurigaan Aris semakin kuat.Setibanya di rumah, Aris membuka pintu dengan perlahan. Sepi. Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. “Wulan?” panggilnya. Tidak ada jawaban.Aris melangkah ke ruang tengah, namun Wulan tak tampak di sana. Dia mendengar suara samar dari kamar. Penasaran, Aris berjalan mendekat, dan mendapati pintu kamar setengah tertutup. Dari balik pintu, terdengar suara Wulan yang berbicara dengan seseorang di telepon.“Pandu, kamu tidak perlu khawatir. Aku bisa mengendalikan Aris,” suara Wulan terdengar pelan namun jelas.Aris tertegun di tempatnya. Nama Pandu yang disebut-sebut Wulan langsung menusuk hatinya. P
“Jadi, kamu wanita yang telah merebut Gilang dariku?”Suara lantang itu menggema di ruang kantor penerbitan yang ramai, membuat banyak karyawan menoleh. Maya, yang sedang sibuk mengetik laporan di mejanya, mengangkat kepala dengan bingung. Seorang wanita berdiri di depannya dengan mata berkilat penuh amarah. Maya tidak mengenalnya, tetapi aura permusuhan terpancar jelas.Maya mencoba tetap tenang, meski tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Maaf, siapa kamu?”Wanita itu mendengus, wajahnya memerah karena marah. “Jangan berpura-pura bodoh! Aku Nia, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan Gilang. Kamu tahu persis siapa aku!”Maya tertegun, mendengar nama itu. Baru saja Putri, adik Gilang, menyebut tentang perjodohan Gilang dengan seorang wanita bernama Nia, tetapi Maya tak pernah menyangka akan bertemu dengannya secepat ini, apalagi dengan cara yang begitu kasar.“Aku tidak punya urusan dengan perjodohanmu, Nia. Kalau kamu ingin bicara soal itu, bicaralah dengan Gilang,” jawab Ma
“Maya, istirahatlah di ruangan Gilang sebentar. Aku akan memastikan tidak ada lagi gangguan,” ujar Nissa dengan suara lembut, tetapi tegas. Pandangan matanya melembut, meskipun masih ada rasa ragu yang tersirat.Maya mengangguk pelan, meski hatinya berdebar. “Terima kasih, Bu Nissa. Saya akan istirahat sebentar.”Gilang menatap ibunya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi Nissa menganggukkan kepala, memberi isyarat agar mereka bicara nanti. Sambil tetap memegang bahu Maya dengan lembut, Gilang mengarahkan Maya ke ruangannya. Kantor yang biasanya terasa nyaman kini terasa begitu canggung bagi Maya, apalagi setelah insiden yang baru saja terjadi dengan Nia.Setelah sampai di ruangan Gilang, Maya duduk di sofa yang berada di sudut ruangan. Pikirannya melayang, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia tidak menyangka akan terlibat dalam drama sebesar ini hanya karena hubungan yang baru saja mulai dengan Gilang.Gilang berdiri di dekat meja kerjanya, matanya tak lepas memandangi Maya.
Pelukan antara Maya dan Gilang semakin erat, dan dalam keheningan itu, Gilang tak lagi menahan diri. Dia perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Maya, menatap lembut ke dalam matanya. Maya bisa merasakan detak jantung Gilang yang seirama dengan miliknya, semakin cepat seiring jarak mereka yang semakin menipis. Tanpa banyak bicara, bibir mereka akhirnya bersentuhan, lembut pada awalnya, namun semakin lama ciuman itu penuh dengan gelora. Maya bisa merasakan betapa tulus dan dalamnya perasaan Gilang. Ada sentuhan cinta yang terasa, tapi juga sebuah hasrat yang mulai muncul di antara mereka. Maya merasakan tangannya di tengkuk Gilang, meremas lembut saat ciuman mereka semakin dalam. Gilang pun membelai lembut pipi Maya, memastikan wanita itu merasakan semua cinta yang ia miliki. Namun, seiring waktu berlalu, Gilang tiba-tiba tersadar dan dengan perlahan menarik dirinya. Napasnya berat, sementara ia mencoba menenangkan diri, menahan gejolak yang hampir tak terkendali. "Maya..." Gilang ber
Suasana di ruang tamu rumah Nissa terasa tegang sejak kedatangan Tari, ibu Nia. Dia datang dengan wajah penuh amarah, matanya menatap Nissa dengan tajam. Nissa sudah bisa menebak tujuan kedatangan Tari, terutama setelah insiden memalukan yang terjadi di kantor penerbitan kemarin. “Kenapa, Nissa? Kenapa kamu membela perempuan itu?!” suara Tari menggema, nyaris tidak bisa dikendalikan. “Aku tidak percaya kamu malah mendukung perempuan yang membuat anakku terluka!” Nissa duduk dengan tenang di sofa, mencoba menenangkan diri meski amarah di dalam hatinya juga bergejolak. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, namun ia harus menghadapi situasi dengan kepala dingin. “Tari, tenang dulu,” Nissa mulai dengan suara yang lembut namun tegas. “Aku paham kamu marah, tapi yang terjadi kemarin tidak sepenuhnya salah Maya. Justru, Nia yang kelewatan. Dia menampar Maya di depan banyak orang, dan itu tidak bisa dibenarkan.” Tari menggelengkan kepala dengan penuh kekesalan. “Tapi Nia cuma memp
Aris duduk di ruang tamu dengan wajah tegang. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja ia ketahui. Ponsel Wulan yang selalu berdering di tengah malam, telepon dari Pandu yang disembunyikan, dan semua tanda-tanda yang ia abaikan selama ini. Semua mulai masuk akal sekarang.Wulan duduk di sofa seberang, wajahnya pucat pasi. Dia tahu saat ini adalah akhir dari kebohongannya, tapi dia tetap mencoba bertahan.“Aku tidak bisa lagi menutup mata, Wulan,” kata Aris dingin, nadanya penuh kepahitan. “Sudah cukup. Aku sudah tahu semuanya.”Wulan memandang Aris dengan mata berair, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Semua kebohongan dan sandiwara yang dia jalani selama ini runtuh dengan cepat. Dia mencoba mencari cara untuk membela diri, tetapi tak ada lagi yang bisa disangkal.“Pandu adalah ayah dari anak yang kamu kandung, kan?” Aris akhirnya menembak dengan pertanyaan langsung. Suaranya begitu tajam, membuat Wulan menunduk tanpa bisa berkata-kata.“K