Aku hanya bisa menyaksikan kebisuan yang terjadi di ruang makan dari balik pilar, secara diam-diam. Om Leon asik dengan makanannya, sedangkan Bu Renata hanya mengaduk-ngaduk nasi di dalam piringnya. Tatapannya tak bersemangat dan sering kali menarik napas kesal. Gara-gara aku, Om Leon dan calon istrinya bertengkar. Aku merasa sangat bersyukur diperlakukan baik dan dibela tanpa malu di depan Bu Renata, tetapi aku sebagai wanita ikut merasakan betapa sedih dan kecewanya wanita itu. Betapa malu dan sakit hatinya Bu Renata."Besok saya balik naik kereta jam empat sore, Mas," kata Bu Renata. Aku masih setia menguping pembicaraan mereka sambil ngemil dodol duren."Oke, saya antar kamu habis Zuhur. Saya besok ke restoran yang di Palmerah. Jam satu saya udah di sini," jawab Om Leon santai."Tidak usah, saya balik naik taksi online saja. Ke sini juga naik taksi online," jawab Bu Renata menolak."Yakin?" Om Leon menatap wanita sekali lagi dan Bu Renata mengangguk pelan."Ya sudah kalau begitu,
Penulis"Hanun gak ada hubungi kamu?" tanya Bu Wati pada putranya. Biru menggelengkan kepala dengan mata yang masih fokus pada gadget-nya. "Gak perlu juga dia telepon saya, Bu. Dia yang mau pergi dari rumah. Ya, itu terserah dia saja," jawab Biru santai."Kalau gitu, kamu bisa mulai seriusin sama Alani. Uang makan kita sudah mau habis karena sewa rumah. Sewa rumah yang lengkap dengan perabotan ini cukup mahal. Memang sih lebih praktis, tetapi tetap saja menguras kantong kamu. Hari ini saja kita jadi harus makan telur lagi. Padahal baru seminggu merasakan makan ayam dan daging." Bu Wati bersungut di ujung kaki Biru. Wanita itu duduk bersandar di dinding dengan wajah lesu. "Saya mau mau kirim pesan duluan, Bu. Namanya dia orang kaya," kata Biru jujur. "Ya, kirim aja, sey helo tanya kabar." Biru menggeleng pelan."Kalau kamu lama bergerak, bisa-bisa kita kudu puasa selama setahun sampai kamu dapat duit! Ya, gak bisa, Ru! Udah, cepat WA Alani itu. Biar dia_"Kring! Kring!Ponsel Biru b
Biru tidak menceritakan tentang pertemuan yang nanti akan ia langsungkan di kamar hotel bersama Alani. Berdasarkan pengalaman yang pernah ia dengar dari temannya, bahwa banyak para wanita entah janda kaya, single tua belum menikah, atau istri pengusaha yang kesepian yang butuh kehangatan pria muda yang perkasa. Sebuah pesan yang membuat Xabiru kini berada di sebuah toko obat herbal. Ia membeli obat kuat sebagai persiapan pertarungan dengan Alani. "Dari mana kamu lama banget?" tanya Bu Wati pada putranya, saat pria itu memasukkan motornya ke dalam rumah."Tukang cukur pada antre, Bu." Biru membuka topinya."Bagus gak, Bu?" tanya Biru pada ibunya dan Bu Wati langsung terpana melihat potongan rambut putranya yang membuat pangling. "Ya ampun, ganteng banget anak gue! Begini kan cakep. Ibu yakin, Alani pasti jatuh cinta sama kamu dan mau melakukan apa saja untuk kamu. Semangat ya!" Bu Wati menepuk pundak Biru dengan begitu bangganya. "Aamiin. Ayo, Bu, kita harus buru-buru tidur biar be
Hanun membukakan pagar ketika mobil Leon mengeluarkan suara klakson. Mobil pun masuk perlahan. Leon menurunkan kaca mobil, lalu tersenyum pada Hanun yang masih berdiri di pagar. Setelah mobil benar-benar masuk pekarangan, barulah wanita itu menutup pintu pagar, lalu menggemboknya. "Buatkan saya kopi susu dingin ya, Hanun," pinta Leon. "Siap, Om." Hanun mengangguk dan berjalan masuk lewat samping. Hanun sedikit terheran karena wajah Leon masam. Tidak seperti biasanya. Pria itu baru balik dari mengantar Renata ke terminal, tetapi balik ke rumah, bukan ke restoran."Hanun, wajah bapak masam ya? Tadi saya papasan. Saya tegur bapak, tapi beliau diam saja," bisik bibik pada Hanun yang sedang merebus air untuk membuat kopi. "Iya, Bik, mungkin lagi banyak urusan. Sama saya pun gitu, senyum dikit aja, langsung masuk setelah minta dibuatkan kopi susu dingin," jawab Hanun. Bibik mengangguk paham."Oh, gitu, mungkin habis bertengkar dengan calon istrinya ya. Calon istri, tetapi rasa ibu tiri.
Seminggu berlalu, hubungan Leon dan Hanun semakin baik. Dalam artian, Hanun sudah mulai bisa menerima permintaan Leon tentang hubungan mereka. Hanya saja, Hanun menunggu sampai tiga bulan ke depan, sampai masa iddah habis. Meski sudah kurang lebih enam bulan ia tidak mendapatkan nafkah lahir dari Biru dan juga empat bulan nafkah batin. Untuk status talak secara jelas, ia belum mendengar langsung. Untuk itu Hanun meminta Leon bersabar sampai tiga bulan lamanya. Selama seminggu pula Leon bisa bekerja sama dengan baik dan sedikit menjaga jarak dengan Hanun, agar bibik dan mamanya tidak tahu keputusannya untuk memelih memtuskan perjodohan dengan Renata, lalu memilih Hanun. Kring! Kring! Leon melihat nama mamanya muncul di layar ponsel. Sudah sembilan hari sejak mamanya pergi ke Singapura, mamanya tidak ada kabar sama sekali. “Halo, Ma.” “Halo, Sayang, kamu apa kabar?” “Sehat, Mama apa kabar? Ma
Jam di dinding semakin bergeser ke kiri, tetapi Bu Marissa belum juga sampai, sedangkan di rumah Leon, tiga bersaudara sudah berkumpul. Dua adik perempan Leon, satu keponakannya yang masih menyusui, dan juga Hanun. Hanun tidak berani keluar dari dapur. Ia memutuskan tetap di dapur saja karena tidak mau menganggu acara keluarga Leon. Bisa saja ada hal penting yang mau disampaikan, sehingga ia tidak mau dianggap lancang. Harap-harap cemas pun sangta terlihat jelas di wajah tiga bersaudara itu. Leon bergerak gelisah; bolak-balik melihat ke jendela menanti kedatangan mamanya. “An, coba telepon mama. Udah malam kenapa belum sampai juga?” pinta Leon pada adik bungsunya yang tengah duduk di bawah bermain bersama balita sepuluh bulannya. “gak bakalan diangkat, Mas. Mama’kan lagi nyetir,” kata Angel. Leon mendesah sebal. Ia merasa lebih deg-degan kali ini. Bukan hanya dirinya, tetapi dua adiknya juga merasakan keanehan yang sama.
“Halo, salam kenal, Mas Biru.” Biru tercengang mendengar nama panggilan aslinya dipanggil oleh anak dari istri mudanya. “Panggilannya Xabir, Nak, bukan Biru,” kata Bu Marissa mengingatkan Leon. Wanita itu tersenyum amat manis pada Xabir, sembari mengusap paha pria itu. “Oh, maaf, saya kirain panggilannya Biru. Jadi, kami ini manggilnya apa, Ma? Om atau apa?” tanya Leon mencoba mengatur sesak di dada karena menahan emosi. “Panggil Xabir aja gak papa. Di kesatuan juga pada panggil Xabir atau panggil ‘Mas’ juga boleh,” kata Biru memperlihatkan senyum bijaknya. Leon merasakan mual pada perutnya dan ingin sekali segera ia muntahkan. Pantaslah pria seperti Biru dibuang ke jurang, dari pada membuat celaka para wanita lugu, termasuk mamanya. Tunggu saja nanti pembalasanku, Biru. Batin Leon dengan rahang mengeras. Kesatuan katanya? Rokok aja masih minta Hanun! Sementara itu, Hanun hanya bisa mengintip semua dari ba
Leon melambai pada Adis yang lebih dahulu pulang, sedangkan Angel memutuskan menginap di rumah kakaknya karena suaminya sedang tidak pulang malam ini. Putri kecilnya juga sudah tidur, sehingga Leon meminta Angel untuk tidur di rumahnya.Pria itu memutar anak kunci dua kali sebelum ia mematikan lampu ruang tamu. "Mas," panggil Angel dari depan kamarnya. "Ya, kenapa, Dek?""Pinjem charger, aku kelupaan bawa. Kirain gak nginep," kata Angel dengan mimik muka memohon. "HP kamu bukannya kayak buku, tutup buka?" tanya Leon sembari melangkah ke kamarnya. Angel mengikuti Leon dari belakang."Yang itu dipakai Mas Moko. Aku dibelikan yang kayak Mas Leon." Leon tersenyum tipis."Moko baik-baik aja kan? Gak nakal?" tanya Leon sambil menyeringai. Angel ikut melebarkan senyuman juga."Kalau dia berani macam-macam, sudah pasti aku kembalikan dia menjadi kaum duafa." Leon tertawa sambil menggelengkan kepala. Jika dipikir-pikir, ia, Angel, dan mamanya saat ini, selalu terpikat lawan jenis dari kalan