Jam di dinding semakin bergeser ke kiri, tetapi Bu Marissa belum juga sampai, sedangkan di rumah Leon, tiga bersaudara sudah berkumpul. Dua adik perempan Leon, satu keponakannya yang masih menyusui, dan juga Hanun. Hanun tidak berani keluar dari dapur. Ia memutuskan tetap di dapur saja karena tidak mau menganggu acara keluarga Leon. Bisa saja ada hal penting yang mau disampaikan, sehingga ia tidak mau dianggap lancang. Harap-harap cemas pun sangta terlihat jelas di wajah tiga bersaudara itu. Leon bergerak gelisah; bolak-balik melihat ke jendela menanti kedatangan mamanya. “An, coba telepon mama. Udah malam kenapa belum sampai juga?” pinta Leon pada adik bungsunya yang tengah duduk di bawah bermain bersama balita sepuluh bulannya. “gak bakalan diangkat, Mas. Mama’kan lagi nyetir,” kata Angel. Leon mendesah sebal. Ia merasa lebih deg-degan kali ini. Bukan hanya dirinya, tetapi dua adiknya juga merasakan keanehan yang sama.
“Halo, salam kenal, Mas Biru.” Biru tercengang mendengar nama panggilan aslinya dipanggil oleh anak dari istri mudanya. “Panggilannya Xabir, Nak, bukan Biru,” kata Bu Marissa mengingatkan Leon. Wanita itu tersenyum amat manis pada Xabir, sembari mengusap paha pria itu. “Oh, maaf, saya kirain panggilannya Biru. Jadi, kami ini manggilnya apa, Ma? Om atau apa?” tanya Leon mencoba mengatur sesak di dada karena menahan emosi. “Panggil Xabir aja gak papa. Di kesatuan juga pada panggil Xabir atau panggil ‘Mas’ juga boleh,” kata Biru memperlihatkan senyum bijaknya. Leon merasakan mual pada perutnya dan ingin sekali segera ia muntahkan. Pantaslah pria seperti Biru dibuang ke jurang, dari pada membuat celaka para wanita lugu, termasuk mamanya. Tunggu saja nanti pembalasanku, Biru. Batin Leon dengan rahang mengeras. Kesatuan katanya? Rokok aja masih minta Hanun! Sementara itu, Hanun hanya bisa mengintip semua dari ba
Leon melambai pada Adis yang lebih dahulu pulang, sedangkan Angel memutuskan menginap di rumah kakaknya karena suaminya sedang tidak pulang malam ini. Putri kecilnya juga sudah tidur, sehingga Leon meminta Angel untuk tidur di rumahnya.Pria itu memutar anak kunci dua kali sebelum ia mematikan lampu ruang tamu. "Mas," panggil Angel dari depan kamarnya. "Ya, kenapa, Dek?""Pinjem charger, aku kelupaan bawa. Kirain gak nginep," kata Angel dengan mimik muka memohon. "HP kamu bukannya kayak buku, tutup buka?" tanya Leon sembari melangkah ke kamarnya. Angel mengikuti Leon dari belakang."Yang itu dipakai Mas Moko. Aku dibelikan yang kayak Mas Leon." Leon tersenyum tipis."Moko baik-baik aja kan? Gak nakal?" tanya Leon sambil menyeringai. Angel ikut melebarkan senyuman juga."Kalau dia berani macam-macam, sudah pasti aku kembalikan dia menjadi kaum duafa." Leon tertawa sambil menggelengkan kepala. Jika dipikir-pikir, ia, Angel, dan mamanya saat ini, selalu terpikat lawan jenis dari kalan
"Leon, apa-apaan kamu?! Kamu gak boleh gitu sama Xabir. Xabir ini suami Mama dan kamu serta adik-adik kamu harusnya hormat!" Bu Marissa pun murka. Matanya mendelik, berkilat tajam menandakan kemarahan yang amat besar. Leon hanya tertawa saja, tanpa memedulikan kemarahan mamanya."Bukannya dia polisi. Pasti ada yang bisa dia lakukan di sini. Bukankah mereka masih satu kesatuan? Mungkin dengan menunjukkan kartu anggota." Wajah Biru kini memucat. "Sayang, sudah! Ucapan Leon benar. Biar kamu dulu yang pulang ya. Istirahat saja. Saya menyusul ya. Kamu lama-lama di sini nanti malah bisa sakit. Aku gak papa." Biru mengusap pipi Bu Marissa dengan begitu pelan dan hati-hati. "Aku gak mau, Mas. Aku mau kamu juga pulang sama aku." Bu Marissa merengek. Pemandangan yang bikin anak-anaknya jengah. Biru menggenggam tangan sang Istri, lalu mengecupnya pelan."Sebagai abdi negara yang sudah bikin khilaf, sudah pasti aku harus tanggung jawab. Aku kan yang memulai semuanya. Kamu pulang ya, besok juga
Esok hari, seperti biasa Hanun bangun pagi-pagi sekali untuk memasak sarapan. Ia juga membuatkan bubur bayi untuk usia sepuluh bulan. Ada kaldu daging, rebusan brokoli, dan juga juga wortel. Hanun melakukannya dengan penuh suka cita karena memang ia ingin sekali punya anak.Jika Hanun sibuk di dapur, maka bibik sedang mencuci di ruang cuci."Hanun kamu bikin apa?" tanya Angel yang tiba-tiba sudah muncul dari dapur."Oh, Mbak Angel udah bangun. Ini, saya masak ayam goreng dan capcay sayur untuk sarapan. Buat si Kecil saya buatkan bubur nasi. Saya harap rasanya cocok buat si Kecil, Mbak." Angel tersenyum senang melihat makanan yang sudah disiapkan Hanun untuk putrinya."Padahal saya bawa bubur instan, tapi pasti lebih sehat ini. Saya suapi ini saja.""Biar saya yang suapi, Mbak. Mbak dan Pak Leon sarapan saja. Sini, biar saya gendong si Cantik Hana. Ya ampun, gemes banget." Hanun gemas sendiri dengan bayi gemoy montok yang kini sudah berpindah dalam gendongan Hanun."Makasih, Hanun. Bia
"Kamu yakin gak kenal Leon?" tanya Bu Wati pada putranya. Mereka bertiga masuk ke kamar setelah Leon dan adiknya masuk ke kamar Bu Marissa. Ketiganya berkumpul di kamar Bu Wati yang sangat mewah menurut mereka bertiga. "Nggak, Bu. Atasan Hanun perempuan, jadi gak mungkin. Eh, t-tapi waktu itu_" Biru mencoba mengingat-ingat lagi peristiwa saat Hanun pernah hampir dibawa ke kantor polisi, tetapi tidak jadi. Lelaki itu tidak benar-benar mengingatnya karena peristiwa itu sudah lama dan ia pun tidak tahu nama bos Hanun."Mungkin hanya kebetulan saja Mas. Tapi kalau pun benar, kebohongan kita semua pasti akan terungkap. Kita bisa masuk penjara gak,sih?" sela Sasa hingga membuat ibu dan anak itu saling pandang. "Gak akan, aku akan buat Bu Marissa cinta mati dan memaafkan semua kesalahan kita. Aku akan buat wanita itu menyerahkan semua hartanya, termasuk rumahnya. Aku sepertinya tahu satu hal." Biru merogoh saku celana dan untuk memastikan isi dompet. "Aku keluar dulu, Bu." Biru bergegas k
Xabir sudah hampir sampai di rumahnya, tetapi karena melihat mobil Leon masih ada, pria itu urung untuk pulang. Ia malas bertemu dengan anak-anak istrinya. Xabir nongkrong di sebuah kafe yang letaknya tidak begitu jauh dari perumahan. Kehidupannya benar-benar naik tiga ratus enam puluh derajat setelah mengenal Marissa.Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. BaronBiru, utang lu bayar! Ini udah dua bulan jatuh tempo.Minta nomor rekening, biar gue transfer. Utang dua ratus ribu aja, lu ribut banget.SendBaronOke, 7356xxxxxBiru langsung mentransfer uang dua ratus lima puluh ribu. Ia sengaja melebihkan lima puluh ribu untuk Baron dengan maksud jumawa.Udah ya, gue lebihin gocap buat lu beliin bedak bini lu!SendSenyumnya terbit saat melihat saldo yang tersisa ada lima puluh juta dan ia mengecek dompet baru miliknya yang terisi dengan jejeran uang merah tidak terhitung. Aroma orang kaya baru begitu pekat ia rasakan pada hidungnya setelah ia membuka dompet, serta ponsel butut ya
Leon memutar setir mobil, bukan lagi ke arah supermarket, melainkan ke arah taman permainan. Entah dari mana idenya tiba-tiba muncul. Otaknya penat dan ia yakin sekali, Hanun pun sama. Ia membawa Hanun pergi ke taman permainan yang sangat dikenal se-Asia tenggara. Tentu saja Hanun terheran-heran karena ia yang sempat pulas di dalam mobil, terbangun dan pemandangan di luar sana sudah laut. "Kita di mana, Om? Beli perabotannya jadi?" tanya Hanun sambil menggosok matanya. Ia memastikan tidak salah lihat, tetapi ia merasa pandangannya juga tidak salah."Om, kenapa tiba-tiba ada di depan laut? Ini kita ke mana?" tanya Hanun lagi. "Kita mau main, Nun, gak jadi belanja. Ayo, turun! Kita main air pantai dulu sebelum ke Dufan." Hanun tercengang begitu mendengar kata Dufan."Om, berarti ini Ancol? Ini kita di Ancol dan mau main ke Dufan? Beneran, Om?!" Hanun memekik dengan begitu tidak percaya. Wanita itu bahkan lebih dulu keluar dari mobil karena terlalu senang, sekaligus untuk memastikan.