"Kamu yakin gak kenal Leon?" tanya Bu Wati pada putranya. Mereka bertiga masuk ke kamar setelah Leon dan adiknya masuk ke kamar Bu Marissa. Ketiganya berkumpul di kamar Bu Wati yang sangat mewah menurut mereka bertiga. "Nggak, Bu. Atasan Hanun perempuan, jadi gak mungkin. Eh, t-tapi waktu itu_" Biru mencoba mengingat-ingat lagi peristiwa saat Hanun pernah hampir dibawa ke kantor polisi, tetapi tidak jadi. Lelaki itu tidak benar-benar mengingatnya karena peristiwa itu sudah lama dan ia pun tidak tahu nama bos Hanun."Mungkin hanya kebetulan saja Mas. Tapi kalau pun benar, kebohongan kita semua pasti akan terungkap. Kita bisa masuk penjara gak,sih?" sela Sasa hingga membuat ibu dan anak itu saling pandang. "Gak akan, aku akan buat Bu Marissa cinta mati dan memaafkan semua kesalahan kita. Aku akan buat wanita itu menyerahkan semua hartanya, termasuk rumahnya. Aku sepertinya tahu satu hal." Biru merogoh saku celana dan untuk memastikan isi dompet. "Aku keluar dulu, Bu." Biru bergegas k
Xabir sudah hampir sampai di rumahnya, tetapi karena melihat mobil Leon masih ada, pria itu urung untuk pulang. Ia malas bertemu dengan anak-anak istrinya. Xabir nongkrong di sebuah kafe yang letaknya tidak begitu jauh dari perumahan. Kehidupannya benar-benar naik tiga ratus enam puluh derajat setelah mengenal Marissa.Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. BaronBiru, utang lu bayar! Ini udah dua bulan jatuh tempo.Minta nomor rekening, biar gue transfer. Utang dua ratus ribu aja, lu ribut banget.SendBaronOke, 7356xxxxxBiru langsung mentransfer uang dua ratus lima puluh ribu. Ia sengaja melebihkan lima puluh ribu untuk Baron dengan maksud jumawa.Udah ya, gue lebihin gocap buat lu beliin bedak bini lu!SendSenyumnya terbit saat melihat saldo yang tersisa ada lima puluh juta dan ia mengecek dompet baru miliknya yang terisi dengan jejeran uang merah tidak terhitung. Aroma orang kaya baru begitu pekat ia rasakan pada hidungnya setelah ia membuka dompet, serta ponsel butut ya
Leon memutar setir mobil, bukan lagi ke arah supermarket, melainkan ke arah taman permainan. Entah dari mana idenya tiba-tiba muncul. Otaknya penat dan ia yakin sekali, Hanun pun sama. Ia membawa Hanun pergi ke taman permainan yang sangat dikenal se-Asia tenggara. Tentu saja Hanun terheran-heran karena ia yang sempat pulas di dalam mobil, terbangun dan pemandangan di luar sana sudah laut. "Kita di mana, Om? Beli perabotannya jadi?" tanya Hanun sambil menggosok matanya. Ia memastikan tidak salah lihat, tetapi ia merasa pandangannya juga tidak salah."Om, kenapa tiba-tiba ada di depan laut? Ini kita ke mana?" tanya Hanun lagi. "Kita mau main, Nun, gak jadi belanja. Ayo, turun! Kita main air pantai dulu sebelum ke Dufan." Hanun tercengang begitu mendengar kata Dufan."Om, berarti ini Ancol? Ini kita di Ancol dan mau main ke Dufan? Beneran, Om?!" Hanun memekik dengan begitu tidak percaya. Wanita itu bahkan lebih dulu keluar dari mobil karena terlalu senang, sekaligus untuk memastikan.
"Kalian mau ke mana? Ibu boleh ikut gak? Ibu bosen di rumah terus. Rumah sakit, rumah, rumah sakit lagi, terus aja begitu sampe Ibu rasanya capek banget," ujar Bu Wati dengan wajah sedihnya. Biru dan Bu Marissa yang baru saja mau keluar rumah, terpaksa menahan kaki mereka, lalu berbalik untuk melihat ke arah Bu Wati."Kami mau pergi sebentar aja, Bu. Refreshing karena beberapa hari lagi, saya ada kerjaan urus restoran Marissa. Ibu di rumah saja," jawab Biru dengan suara lemah-lembut. Bu Wati kembali bermain peran. Kali ini air mata ikut ambil andil di dalamnya."Waktu di Papua, Ibu selalu ikut ke mana kamu pergi. Sekarang, setelah kamu menikah, Ibu malah gak pernah_""Bu, kalau Ibu mau ikut, gak papa. Ikut saja," sela Bu Marissa yang tidak tega melihat ibu mertuanya menangis. "Sasa, tolong ibu bantu ganti baju ya. Jangan terlalu lama biar gak kesiangan." "Baik, Teh." Sasa bersorak hore dalam hati. Akhirnya ia bisa jalan-jalan dengan orang kaya dengan naik mobil bagus plus mahal pula
"Hanun, apa yang kamu lakukan di sini?" Biru jelas terkejut dan tidak suka dengan kehadiran Hanun yang tiba-tiba. Hampir dua bulan Hanun pergi tidak ada kabar, tetapi kini muncul secara mengejutkan di tempat dan waktu yang tidak tepat menurut Biru dan Bu Wati. "Lepas, saya mau dibawa ke mana?!" Hanun mendadak punya kekuatan untuk melepas cengkeraman tangan Biru pada lengannya. Matanya menatap tajam Biru, lalu beralih pada Sasa dan Bu Wati. "Oh, iya, katanya kamu sekarang sudah menikah dengan orang kaya. Wanita kaya yang tertipu dengan semua kebohongan kamu. Siapa namanya? Ah, iya Marissa. Apa orangnya di sini?" Biru semakin takut jika Bu Marissa tiba-tiba datang dan bertemu Hanun. Tentu saja semua rencananya bisa gagal."Pergi, Hanun, kita bicara nanti!" Bu Wati mengusir Hanun dengan ketus."Saya gak mau. Saya masih istri Mas Biru'kan? Mas Biru belum cerai udah nikah lagi? Saya aja jadi istri nafkahi laki-laki ini dan keluarganya. Jelas saya miskin, sekarang dapat yang kaya, pasti l
Biru tidak ingin menambah sakit kepalanya dengan bertemu dengan Leon. Ia tahu anak sulung lelaki istrinya itu tidak suka dengannya. Jika bisa menghindar, kenapa tidak? Lelaki itu membuat mereka kehilangan mobil Leon. "Yah, di mana tadi?" gumam Bu Marissa. "Maaf, Sayang, kita kehilangan jejak Leon," kata Biru dengan suara parau, sembari menyentuh pipi istrinya. Sontak mata Bu Marissa fokus pada tangan kanan suaminya yang sedang memegang stir."Tangan kamu kenapa?" tanya Bu Marissa panik. Ia menarik tangan kanan suaminya saat mereka sedang antre di pintu keluar Ancol."Kamu digigit siapa? Ini seperti bekas gigitan?" tanya Bu Marissa dengan bola mata melebar. "B-bukan, ini bukan digigit. Ini gak papa, Sayang. Tadi aku juga ke toilet dan terpeselet. Tanganku gak sengaja memegang mainan anak-anak di sana. Entah gimana, bisa merah begini.""Kita ke dokter aja! Aku gak mau nanti kamu malah kenapa-napa dengan luka dalam itu!" "Aku gak papa, Sayang. Sebaiknya kita pulang saja! Apa kamu ma
"Bagaimana jalan-jalan hari ini? Apa pertemuan dengan Biru dan keluarganya masih menganggu kamu?" tanya Leon pada Hanun saat mereka sedang berhenti di lampu merah. Keduanya baru saja selesai berbelanja banyak, termasuk aneka pakaian untuk Hanun dan juga bahan kebutuhan dapur lainnya. "Sedikit, Om, tapi saya senang Om ajak jalan-jalan. Ini pertama kalinya saya berbelanja banyak di mall. Bajunya mahal semua. Biasanya saya beli di pusat grosir itu. Ada yang seratus ribu dapat tiga baju he he he ..." Leon pun ikut tersenyum. Hanun benar-benar sederhana dan tidak banyak menuntut. Asli wanita baik, hanya saja disia-siakan suami. Sebuah keuntungan tersendiri untuknya bukan? Batin Leon."Saya senang kalau kamu senang. Masih mau makan? Ini sudah malam, mungkin kamu mau makan pecel lele di pinggir jalan?" tawar Leon. Hanun menggelengkan kepala dengan pelan."Pulang saja, Om. Saya capek dan ngantuk juga, Om.""Baiklah, kita pulang saja!" Leon mengalah, laju mobil diarahkan menuju rumah yang ja
"Kamu datang bulan dan kamu suruh orang cuci celana kamu? Keterlaluan! Di rumah ini majikannya mama saya, kenapa kamu jadi nyolot ikutan jadi majikan? Kamu tamu, ngerti itu! Ibu pun tamu di rumah ini. Xabir pun tamu. Kalian bukan apa-apa! Awas jika aku dengar kalian menyembunyikan sesuatu, maka kalian bertiga akan ada di penjara! Ingat itu!" Suara Leon yang menggelegar membuat Sasa dan Bu Wati gemetaran. Sasa bahkan tidak bisa menahan pipisnya karena ia begitu takut dan malu. Baru mau dijodohkan, ia sudah membuat kesalahan fatal. Leon mendelik sebelum akhirnya pria itu meninggalkan dapur. "Bude, pipis!" Bu Wati mendelik kaget dan langsung menarik Sasa masuk ke dalam kamar mandi belakang. Tentu saja air pipis tadi berceceran dan itu membuat kerjaan baru bagi Bik Jum. Suara gaduh di luar, membuat Biru keluar dari kamarnya. "Eh, L-leon, ada kamu datang? M-mau apa?" tanya Biru gugup. Baru buka pintu kamar, ia sudah bertabrakan dengan tubuh tinggi besar anak tirinya. "Ini rumah ibu sa