"Jadi, kami harus percaya sama siapa?" tanya Leon pada Biru dan Bik Jum. Keduanya tengah diinterogasi pria itu karena mamanya sampai saat ini belum bisa bangun juga."Siapa yang menyiapkan makan dan minum mama?" tanya Leon."Saya, Tuan," jawab Bik Jum sambil meneteskan air mata. "Tapi, apa yang saya suguhkan untuk nyonya sudah seperti biasanya," jawab Bik Jum berusaha membela diri. Ia yang tidak tahu apa-apa tentu saja merasa tidak terima jika difitnah. Apalagi bekerja sudah dua puluhan tahun di rumah majikannya. "Bisa saja kamu melakukannya karena kamu kesal dengan keluarga saya, Bik," sela Biru dengan tatapan nyalang pada Bik Jum."Mana saya berani Tuan! Saya ini pengabdi di keluarga Bu Marissa. Saya gak ada keberanian berbuat jahat karena Bu Marissa sangat baik pada saya dan semua karyawannya.""Alah, pandai sekali kamu bersilat lidah!" Komentar Biru ketus."Kamu yang gak suka kalau ada majikan baru di rumah kamu, sehingga kamu lakukan ini pada istriku! Jujur kamu Bik! Mau aku la
Hanun sedang bersantai nonton TV di kamarnya saat ponselnya berdering. A"Halo, Om.""Halo, Hanun, kamu lagi apa?""Baru aja selesai beberes, Om. Hari ini bibik gak masuk. Jadi rumah dua lantai ini baru rapi.""Kamu jangan terlalu capek.""Iya, Om tenang saja. Ada apa? Kenapa suara Om terdengar tak semangat?""Mama masuk rumah sakit. Dirawat karena tidur gak bangun-bangun. Ada obat tidur dosis tinggi yang diberikan pada mama, tetapi gak tahu siapa? Sialnya, CCTV error!" Leon memijat keningnya dengan kuat. Pria itu tidak tahu, bahwa Biru kembali lagi ke rumah sakit karena jaketnya tertinggal. Lelaki itu mendengar percakapan Leon dan akhirnya bisa bernapas lega. Biru mengirimkan kembali pesan pada ibu dan sepupunya untuk kembali ke rumah karena keadaan sudah aman. Biru tersenyum senang. Mulai hari ini ia akan lebih hati-hati terhadap apa yang akan ia lakukan atau berikan pada istrinya karena ada anak-anak yang sangat pintar menjaga istrinya.Biru pergi ke kantin untuk membeli aneka kue
Leon menceritakan semua pada Hanun tentang kelakuan Biru dan keluarga toxicnya. Wanita itu mendengar dengan seksama, sekaligus dengan kondisi tidak enak hati. Gara-gara mantan suaminya, Leon dan keluarganya jadi susah. Jangan sampai Leon beranggapan bahwa ia adalah bagian dari kelicikan Biru."Saya tidak tahu harus berkata apa, Om." Hanun hanya bisa menghela napas berat. Leon menggenggam tangan Hanun, lalu menepuk punggung tangan itu perlahan. Telapak tangan Hanun bisa ia rasakan sedikit kasar. Tandanya wanita itu sangat pekerja keras sebelum bertemu dengannya."Hanun, aku mau minta tolong. Kamu lulusan SMA'kan?" tanya Leon. Hanun tentu saja mengangguk."Pernah jadi kasir minimarket sejuta umat juga, Om. Ada apa?""Mm ... Kamu bisa kerja di kantor? Maksudnya kamu mengerjakan pekerjaan asisten saya di restoran. Jadi, saya baru buka cabang. Saya biasanya bersama Ibnu, tetapi Ibnu pulang kampung karena menikah dengan orang Solo. Jadi, saya belum dapat asisten lagi. Jika kamu bisa, maka m
"Ada apa, Biru? Pulang-pulang muka kamu kesal. Ada masalah baru lagi sama anak-anak Marissa?" tanya Bu Wati pada putranya. Biru meletakkan topi dan jam tangan mahalnya di atas meja rias sang Istri yang masih terbaring di rumah sakit. "Ibu lihat ini!" Biru memberikan ponsel miliknya pada Bu Wati. Memperlihatkan update foto yang di post Hanun di akun vesbuk miliknya. Dua foto yang menampakkan keadaan terbaru Hanun yang sangat berbeda. Apalagi background foto tersebut adalah toko pakaian dan toko perhiasan. "Loh, loh, ini Hanun? Wah, berubah ini. Lebih segar dan juga kulitnya bersih. Melacur di mana mantan istri kamu ini? Pantas kemarin dia berani jumawa, rupanya udah digilir lelaki. Untunglah kamu gak jodoh lama-lama sama dia. Wanita seperti Hanun yang hanya tamatan SMA dan kerja jadi kasir Alma, pasti gak mungkin bisa belanja di mall ini dan beli emas segala jika bukan karena menjual dirinya," cerocos Bu Wati sambil memperbesar gambar agar bisa melihat detail foto mantan menantunya y
"Bik, lain kali siapkan rekaman percakapan Biru dan keluarganya ya. Tanpa itu, Mama gak akan percaya. Ponsel mama juga dipegang Biru. Saran saya, cepat hapus pesan bibik sebelum dibaca oleh Biru atau mama. Bisa berabe kalau Biru tahu, Bibik mengadu.""Oh, b-baik, Tuan. S-saya langsung hapus sekarang. Maaf sudah merepotkan Tuan.""Gak papa, Bik. Lakukan saja pelan-pelan sambil kumpulkan bukti ya.""Baik, Tuan, terima kasih."Bik Jum gemetaran melihat laporan pesannya pada Bu Marissa. Masih ceklis satu dan Bik Jum dengan cepat menghapus pesan itu. Wanita paruh baya itu berharap pesannya tidak dibaca oleh Biru maupun Bu Marissa. Ia gegabah, seharusnya ia lapor Leon sebelum ia kirimkan pada Bu Marissa. Keesokan paginya, Hanun bangun lebih pagi dan penuh semangat. Tentu saja ia menyiapkan sarapan untuk Leon dan dirinya yang mulai bekerja hari ini. Bibik juga belum datang karena masih jam lima pagi. Pukul setengah enam, setelah bihun goreng buatannya matang, barulah bibik datang."Wah, can
"Ya ampun Xabiru Lesmana anak Ibu ternyata setampan ini kalau banyak uang. Ibu sampai gak bisa ngenalin kamu," puji Bu Wati yang menatap Biru takjub. Kemeja, celana bahan, dan tubuh dibalut jas hitam model pas di badan sangat pantas dikenakan Biru yang memang posturnya tinggi tegap, meski tidak begitu berotot. Perutnya pun terlihat sedikit buncit, tetapi tetap memesona bagi Marissa dan juga ibunya."Biru cakep ya, Bu?" tanya Biru senang. Pria itu berputar di depan cermin, memastikan tampilannya sempurna. "Cakep sekali dan kamu cocok jadi suami orang kaya. Gak cocok jadi suami kasir, apalagi wanita malam. Ah, iya, ingat, Biru, kamu jangan macam-macam dengan Hanun. Jangan sampai kamu bikin ulah yang membuat Marissa marah dan mengambil semua fasilitas ini," pesan Bu Wati mengingatkan, sembari merapikan lipatan kerah kemeja yang dikenakan Biru."Iya, Bu. Biru mau cari aman saja dulu. Jadi suami baik." Biru mencium punggung tangan ibunya untuk berpamitan."Mas Biru, jangan lupa pesen Sasa
"Wah, kamu udah single? Kabar baik ini. Ah, iya, kamu boleh menyiapkan ruangan rapat dahulu ya. Kita nanti bicara lagi," ujar Bu Marissa yang tersenyum amat ramah pada Hanun."Baik, Bu, siap laksanakan. Mari Bapak, bapak, saya permisi." Hanun berlalu dengan begitu anggunnya. Sama sekali ia tidak menoleh lagi pada Biru. Tentu saja selama Hanun ada di dekatnya, Biru sedang menahan napas. Wajahnya pucat seperti ingin pingsan, tetapi begitu Hanun menjauh dan masuk ke dalam sebuah ruangan, pria itu bisa menghela napas lega. Pemandangan yang membuat Leon menahan tawa dan pria itu ingin sekali merekam ekspresi Biru, sayang sekali tidak mungkin."Mungkin kita menunggu Pak Cheng dan Bu Susan dulu ya. Bisa sambil minum kopi di dalam. Mari, Ma, Pak Alex!" Leon mempersilakan Bu Marissa dan relasinya, tetapi Biru, ia abaikan sama sekali. Leon sengaja memperlambat langkah agar sejajar dengan Biru. "Mungkin di film anak-anak ada bus biru Tayo, tetapi kalau kamu polisi gadungan Biru ha ha ha ...."
"Sayang, apa kamu baik-baik saja?" tanya Bu Marissa pada Biru. Pria itu tersenyum canggung sambil mengangguk. Wanita paruh baya itu tidak langsung percaya, melainkan saat itu juga menoleh pada Leon. "Kalian gak papa'kan?" tanya Bu Marissa lagi. "Mungkin Xabir sedang sakit perut, Ma. Jadinya lama di kamar mandi," jawab Leon asal. Biru kembali membisu. Ia kembali duduk dengan jantung yang masih berdetak cepat. "Apa kita perlu pending rapat hari ini karena Pak Xabir sedang tidak enak badan?" tanya Bu Susan. "Saya gak papa, Bu. Silakan dilanjutkan. Semua ini baru untuk saya, jadi tolong dimaklumi jika saya masih menyimak saja dahulu," ujar Xabir sok bijak. Hanun ingin sekali tertawa mendengar cara bicara mantan suaminya, tetapi ia tahan. Wanita itu hanya mampu menundukkan kepala agar tawanya tidak terlepas begitu saja.Acara meeting pun dilanjutkan hingga jam dua siang. Untung saja Hanun sudah memesan makan siang dari restoran tetangga. Restoran milik Leon baru tahap peresmian saja, t
"Bagaimana mama?" tanya Leon pada Angel."Masih mengunci diri di kamar, Mas." Angel menaruh segelas air putih di atas meja untuk Leon. "Untuk apa menangisi bajingan." Leon tertawa pendek. Angel hanya bisa mengangkat bahunya. "Apa kita gak terlalu keras pada mama? Mama bisa sakit loh, Mas.""Kita bis jatuh miskin kalau Xabir dibiarkan lama menjadi benalu." Angel yang tadinya duduk di depan Leon, kini berpindah duduk menjadi di samping kakaknya itu."Lalu bagaimana, Xabir? Bisa-bisa dia mati dipatok ular, Mas," tanya Angel sambil berbisik."Bisa banget. Itu yang Mas harapkan. Biar dia kapok!""Lalu ibu dan sodaranya itu?""Ada di hutan. Entah sudah mati atau belum. Mereka manusia-manusia benalu yang kalau hidup lama itu, bakalan nyusahin orang. Lagian, jika mereka berani muncul, maka polisi sudah siap menangkap mereka.""Mama mungkin akan susah menerima takdir ini, tapi nanti juga mama bisa paham apa yang aku lakukan ini juga demi mama. Lagian mama udah tua, udah harusnya hidup tenang
"Mama, apa yang terjadi pada Mama? Kenapa Mama sendirian di villa? Mana Biru dan keluarganya?" Bu Marissa yang baru saja membuka matanya, langsung merasa kepalanya bertambah sakit setelah Angel mencecarnya."Apa, Xabir? Ini di mana?" tanya Bu Marissa sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya."Mama di rumah sakit. Ini sudah malam. Mama baru sadar setelah Mama tidur sejak pagi. Ada apa, Ma?" Bu Marissa semakin mengerutkan keningnya. "Gak mungkin, Mama ada di villa bersama Xabir dan juga keluarganya.""Ma, Xabir gak ada di villa saat Mas Leon sampai di sana. Keluarganya juga. Ponsel Mama pun tidak ada keduanya. Mama diperdaya lelah bajingan itu!" Bu Marissa terdiam. Matanya tiba-tiba berair."Gak mungkin, Xabir mencintai Mama. Mau apa dia bikin Mama kayak gini. Semua udah Mama kasih sama dia." Bu Marissa menangis. Pintu kamar perawatan VVIP terbuka. Leon masuk dengan wajah murung. "Leon, Angel barusan cerita omong kosong!" Leon tersenyum miring. Ia mengeluarkan amplop coklat dari da
Malam ini Leon bisa tidur dengan nyenyak. Semua bukti sudah ia kumpulkan, setelah lewat Hanun, ia mendapatkan banyak foto dan juga data diri dari Xabiru. Termasuk data dari pabrik, tempat Biru kerja hampir tujuh tahun. Foto Bu Wati pun ada. Semua ia print dan masukkan ke dalam amplop coklat. Semua data sudah lengkap dan tidak perlu ada yang ia ragukan. Biru akan mendekam dalam penjara bersama ibu dan sepupunya.Keesokan harinya, Leon yang baru saja keluar dari kamar mandi, mendengar notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Pria itu setengah berlari untuk mengecek siapa yang mengirimkan pesan.MamaLeon, Mama sedang bersama Xabir, lagi liburan sebentar. Mungkin dua sampai tiga hari. Kamu gak usah cari mama ya, mama baik-baik aja.Syukurlah mama baik-baik aja. Ada yang mau Leon beritahu tentang Xabir. Mama harus pulang secepatnya ya.SendMamaAda apa? Kamu mau fitnah Biru seperti apa lagi? Sudah ya. Jangan sirik dengan kebahagiaan yang saat ini sedang mama nikmatiLeon langsung menekan pan
Leon menghubungi dua adiknya untuk menanyakan keberadaaan bu Marissa, tetapi keduannya tidak ada yang tahu. Keon mencoba menghubungi rekan bisnis mamanya yang lain untuk mengecek janji temu, tetapi ia tidak mendapatkan ada jadwal meeting dengan rekan bisnis untuk tiga hari ke depan. Hal ini ia ketahui dari sang Sekretaris. Disaat Leon sibuk mencari mamanya, disaat itu pula Xabir sedang menikmati waktu berdua dengan istrinya. Ya, mereka sedang berada di sebuah villa yang ada di Bogor, setelah kemarin keduanya pergi ke bank untuk memindahkan sejumlah uang. “Anak-anak mungkin perlu diberitahu agar mereka tidak khawatir,” kata Xabir pada istrinya. Bu Marissa menggelengkan kepala dengan pelan. Ia kehabisan tenaga menghadapi kegagahan Xabir yang sepertinya begitu perkasa lebih dari biasanya. “Nanti saja, Sayang. Nanti aku akan kirim pesan.” Bu Marissa menyentuh punggung suaminya. “Memangnya kenapa tidak diberitahu saja sejak awal?”
"Benar-benar memalukan! Jauh-jauh ke sini hanya untuk dibikin malu sama si Leon itu. Jumawa sekali dia menolak putri keraton!" "Sudahlah, Bu, mungkin belum jodoh." Renata menjawab dengan malas. Tatapannya kini fokus pada jalan di depannya. Hujan cukup deras mengantarnya pagi ini menuju bandara. Keputusan Leon sudah bulat dan lelaki itu menolak bertanggung jawab. "Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan kamu? Masa mau cari lelaki lain?""Saya mengasingkan diri saja sampai bayi ini lahir." "Kamu bicara dengan mudah, Rena. Kamu gak pernah pikirkan dampak perbuatan nekat yang kamu lakukan!" "Bu, sudah, sudah! Nanti biar kita pikirkan jalan keluarnya." Pak Cokro menengahi perdebatan ibu dan anak itu. Rena juga tidak mau ambil pusing karena mau dipaksa seperti apapun tetap saja Leon tidak akan mau bertanggung jawab."Jadi, Leon itu sukanya pembantu?" tanya Pak Cokro yang mendadak kepo. Rena mengangguk."Jika nama yang Rena dengar tadi adalah Hanun, maka gak salah lagi ka
"Sayang, kamu cemburu sama pembantu? Ya ampun, udah jelas lebih unggul kamu dari wanita mana pun," elak Biru dengan cepat. Lelaki itu tidak mau istrinya sampai curiga. "Lalu, kamu tahu dari mana kalau Hanun masih punya suami?""Aku asal nebak, Sayang. Hanun dari kampung'kan? Orang kampung itu rata-rata menikah muda. Umur enam belas tahun sampai sembilan udah dinikahin sama orang tuanya. Jadi mungkin aku ....""Tidak perlu bahas Hanun. Udahlah, aku mau ke dapur dulu." Bu Marissa pergi ke dapur, meninggalkan Biru yang masih dalam keadaan cemas. Ia khawatir Bu Marissa curiga atau malah mencari informasi atas dirinya.Sore hari, Biru melihat sang Istri sudah berdandan dengan begitu rapi, sedangkan ia tidak dapat informasi apapun dari wanita itu."Kamu mau ke mana udah sore, Sayang?" tanya Biru."Mau ke rumah Leon. Ada urusan." Bu Marissa mengoleskan lipstik di bibirnya. "Aku boleh ikut?""Kata Leon ini pribadi. Maaf, Sayang, kali ini aku jalan sendiri ya. Kamu di rumah saja. Aku gak lam
"Jadi menurut kamu, saya cukup tanggung jawab saja?""Betul, kalau pun tidak mau tanggung jawab sebenarnya gak papa. Orang Pak Leon dijebak. Dia dan keluarganya mengakui. Jelas bayinya nasab ke ibunya. Beda kalau dilakukan atas dasar suka sama suka dan Pak Leon dalam keadaan sadar. Ini Bapak beneran gak inget apapun?" Leon mengangguk."Saya ingat betul waktu ke rumahnya, memang gak ada siapa-siapa. Saya disuguhi minum, terus saya juga lupa lagi ngapain. Besok paginya kebangun udah di kamar. Saya pikir malah karena terlalu lelah, makanya ketiduran." Hanun mendengarkan dengan seksama."Ya, jika mereka ingin lapor polisi, saya rasa mereka tidak akan kuat untuk menjebloskan Pak Leon ke penjara atau mungkin menuntut. Malah mereka mungkin akan malu." Sepanjang hari, Leon cukup terganggu dengan kehadiran Renata dan juga kedua orang tuanya. Belum lagi saran dari Hanun yang sangat masuk akal. Pria dewasa itu tidak ingin salah langkah, sehingga ia memutuskan untuk bicara dengan salah satu peng
"Saya tidak merasa melakukan hal bodoh seperti itu pada Rena. Bagaimana kalau itu bukan anak saya?" Leon menatap Renata dengan wajah dingin. Ia tahu saat ini Hanun tengah menguping pembicaraannya dari balik pilar. "Kamu paham maksud Nak Leon, tapi kami sebagai orang tua ingin Nak Leon bertanggung jawab sampai bayi ini bisa untuk tes DNA." Leon menatap mamanya."Jeng Rissa kan pengusaha, pasti tidak enak kalau sampai hal ini terdengar oleh relasi bisnis yang lain. Apalagi anak lelaki satu-satunya." Bu Marissa ingin menjawab, tetapi bibirnya kelu. "Tapi anak saya dijebak. Ini sama artinya yang menginginkan hal ini terjadi adalah Renata. Saya hampir tidak percaya, putri keturunan keraton bisa melakukan hal memalukan seperti ini. Bagaimana jika para leluhur kalian tahu semua ini? Jelas saya membela putra saya." Bu Marissa membuka suara."Karena kami ada foto dan bukti. Kami ingin selesaikan ini secara kekeluargaan saja Jeng Rissa. Kami gak mau berurusan dengan polisi. Leon harus bertang
Tok! Tok!"Pak, ada tamu!" Seru bibik dari depan pintu yang dikunci Leon. Kedua pasangan yang sedang melakukan foreplay itu pun tersentak kaget. Bahkan Hanun tersadar terhadap apa yang sudah ia lakukan. Wanita itu mendorong Leon dan langsung memakai pakaiannya yang berserakan di lantai. Hanun bersembunyi di balik meja kerja majikannya, sedangkan Leon ikut memakai kembali pakaiannya. "Siapa?" tanya Leon datar. Seolah tidak terjadi apa-apa selama dua puluh menit "A-ada tamu, Pak. Bapak lihat sendiri saja, katanya jangan bilang Bapak." Leon mengerutkan keningnya."Suruh Hanun buatkan teh, yang punya saya tawar saja," kata pria itu memerintah. "Oh, Hanun saya gak tahu ke mana, Pak. Soalnya tadi bilang mau bangunin Bapak.""Hanun saya suruh beli nasi uduk. Tiba-tiba saya pengen nasi uduk yang depan komplek.""Oh, gitu, baik, Pak. Gak papa, biar saya aja yang buat. Permisi, Pak." Begitu bibik berjalan ke dapur, Hanun pun langsung keluar dari kamar Leon. "Bilang sedang tidak jualan ya."