"Bu, rupanya Hanun bekerja di restoran milik Leon. Sudah lama dan Hanun kenal dengan Bu Marissa. Jantung saya mau copot saat Bu Marissa bilang dia mengetahui keributan yang saya buat waktu di restoran. Ibu ingat, waktu saya mengambil tas Hanun dan menjual ponsel Hanun?" Bu Wati mengangguk kaku. "Jadi, apa pupus sudah harapan kita untuk menjadi orang kaya?" tanya Bu Wati lemah. Kali ini, giliran Biru yang mengangguk."Leon bilang, dia kasih kita waktu satu Minggu untuk meninggalkan rumahnya. Jika kita tidak mau, maka semua akan ia bongkar pada mamanya. Menurut Ibu bagaimana? Duh, baru mau jadi orang kaya dengan cepat, malah dapat halangan." Biru terduduk lemas di pinggir ranjang ibunya. Sasa pun ikut terdiam mendengarkan percakapan ibu dan anak itu. Jika Biru saja tidak ada harapan, apalagi dirinya?"Biru gak tahu harus melakukan apa, Bu? Biru bingung. Apa kita jujur saja?" "Jangan!" Bu Wati dan Sasa menolak serentak. "Jangan dulu, Ru. Kalau bisa, buat Bu Marissa benar-benar tidak b
Pagi-pagi sekali, Hanun sudah rapi. Baju kemeja dan celana panjang ia kenakan pas di tubuhnya. Hanun bercermin di kamar. Ia tidak pernah bermimpi sampai pada situasi seperti ini. Antara menegangkan dan juga seru. Bertemu dengan Leon, berpisah dengan Biru, dan kini menjadi wanita yang paling ingin dibahagiakan oleh pria dewasa bernama Leon.Xabiru dan keluarganya akan mengemis perhatian dan pengampunan ya suatu hari nanti dan bila saat itu tiba, ia lebih memilih tidak memaafkan mereka, karena akan ada orang yang lebih memiliki kekuatan untuk menghukum mereka bertiga. Batin Hanun.Tok! Tok!"Nun, kamu gak papa?" Hanun menoleh terkejut. Ia melamun terlalu lama, sampai-sampai Leon mengetuk pintu kamarnya. "I-iya, Om, saya sedang berganti pakaian. Maaf semalam ketiduran." Hanun segera mengambil handuk yang masih ada di atas ranjang, lalu menggantungnya. Wanita itu membuka pintu. Leon pun sudah rapi dengan kemeja biru tua dan juga celana jeans. Parfum yang digunakan pria itu selalu memberi
Setelah Bu Marissa bersama mobilnya dari halaman rumah, barulah Bu Wati bernapas lega. "Nenek tua itu kenapa bicaranya seperti menyindir? Bude benar-benar gak suka. Kamu kan ponakan Bude, jadi emangnya kenapa kalau seleranya Bude?""Ucapan Bu Marissa benar, Bude. Biar belanja sama Bu Marissa aja,biar pakai uang dia. Emangnya Bude punya uang untuk belikan saya baju? Nah, tapi nanti Bude bisa ikut saya sama Bu Marissa, biar Bude dibelikan baju juga. Gimana?" Bu Wati tersenyum, lalu mengangkat jari jempolnya tanda setuju."Ya sudah, saya mau masuk dulu Bude." Sasa pun berjalan ke kamar, sedangkan Bu Wati pergi ke kamar Biru. Kamar sepi, hanya kasir saja yang terlihat amat berantakan. Pakaian menantunya juga sangat berantakan dan juga berserakan di mana-mana.Pintu kamar mandi terbuka. Biru baru saja keluar dari sana dengan tubuh segar."Mau ke mana? Tumben mandi pagi-pagi?" tanya Bu Wati. "Mau pergi ke dukun yang kemarin Ibu bilang. Ayo, Ibu juga siap-siap. Sasa gak perlu tahu. Ibu cu
"Om, ada apa? Kenapa diam saja? Ini susunya?" Hanun melambaikan tangan di depan wajah Leon. Sebelah tangan lagi memegang gelas susu milik pria dewasa Leon. Leon melamun sangat asik dengan mata yang terpejam dan sesekali menggigit bibirnya.Puk!"Om, ngapain sih?!" Hanun menepuk pundak Leon hingga pria itu terlonjak kaget. "Loh, apa ini? Saya di mana?" Hanun tertawa melihat kelakuan majikannya. "Om di rumah dan sedang menunggu saya membuat susu. Lalu setelah susu selesai saya buatkan, Om masih saja bengong sambil merem, sambil gigit bibir. Emangnya lagi mikirin mesum sama siapa?" Leon buru-buru mengambil gelas susunya. Wajahnya merah menahan malu. Sudah sangat gembira ia bisa menyusu langsung dari wadahnya, malah ternyata hanya halusinasi saja."Om, sakit?!" Seru Hanun lagi, tetapi Leon sudah telanjur masuk ke kamarnya. Hanun mengangkat bahu tidak paham. Wanita itu pun membuat susu untuknya, lalu ia bawa ke kamar.Kamarnya sangat nyaman dengan AC sebagai penyejuk. Ada juga televisi l
"Sepupu dan bude kamu ke mana? Ini sudah larut malam, kenapa belum pulang?" tanya Bu Marissa yang mengunjungi Sasa di kamarnya. Wanita paruh baya itu cemas karena suaminya belum juga kembali padahal sudah jam sepuluh malam. "Katanya ajak bude kontrol sama pengobatan alternatif, Tante. Memang pengobatan alternatifnya jauh.""Pengobatan alternatif, Xabir gak pernah cerita ibunya pengobatan alternatif," balas Bu Marissa sembari mengingat-ingat apakah suaminya pernah cerita atau tidak perihal tersebut. Ia hanya tahu ibu mertuanya berobat ke dokter."Pasti pernah, tapi Tante lupa karena banyak yang Tante harus pikirkan dan kerjakan. Jangan khawatir, nanti juga bude dan Mas Xabir pulang." Sasa tersenyum sangat manis. Bu Marissa akhirnya beranjak dari depan kamar. Suara derit pagar yang terbuka membuat Bu Marissa menoleh ke arah jendela. Ia bergegas membuka gorden untuk melihat siapa tamunya. Suaminya pulang bersama ibunya. Bu Marissa bergegas membukakan pintu. "Ya ampun, ini sudah malam
Tok! Tok!"Pak, ada tamu!" Seru bibik dari depan pintu yang dikunci Leon. Kedua pasangan yang sedang melakukan foreplay itu pun tersentak kaget. Bahkan Hanun tersadar terhadap apa yang sudah ia lakukan. Wanita itu mendorong Leon dan langsung memakai pakaiannya yang berserakan di lantai. Hanun bersembunyi di balik meja kerja majikannya, sedangkan Leon ikut memakai kembali pakaiannya. "Siapa?" tanya Leon datar. Seolah tidak terjadi apa-apa selama dua puluh menit "A-ada tamu, Pak. Bapak lihat sendiri saja, katanya jangan bilang Bapak." Leon mengerutkan keningnya."Suruh Hanun buatkan teh, yang punya saya tawar saja," kata pria itu memerintah. "Oh, Hanun saya gak tahu ke mana, Pak. Soalnya tadi bilang mau bangunin Bapak.""Hanun saya suruh beli nasi uduk. Tiba-tiba saya pengen nasi uduk yang depan komplek.""Oh, gitu, baik, Pak. Gak papa, biar saya aja yang buat. Permisi, Pak." Begitu bibik berjalan ke dapur, Hanun pun langsung keluar dari kamar Leon. "Bilang sedang tidak jualan ya."
"Saya tidak merasa melakukan hal bodoh seperti itu pada Rena. Bagaimana kalau itu bukan anak saya?" Leon menatap Renata dengan wajah dingin. Ia tahu saat ini Hanun tengah menguping pembicaraannya dari balik pilar. "Kamu paham maksud Nak Leon, tapi kami sebagai orang tua ingin Nak Leon bertanggung jawab sampai bayi ini bisa untuk tes DNA." Leon menatap mamanya."Jeng Rissa kan pengusaha, pasti tidak enak kalau sampai hal ini terdengar oleh relasi bisnis yang lain. Apalagi anak lelaki satu-satunya." Bu Marissa ingin menjawab, tetapi bibirnya kelu. "Tapi anak saya dijebak. Ini sama artinya yang menginginkan hal ini terjadi adalah Renata. Saya hampir tidak percaya, putri keturunan keraton bisa melakukan hal memalukan seperti ini. Bagaimana jika para leluhur kalian tahu semua ini? Jelas saya membela putra saya." Bu Marissa membuka suara."Karena kami ada foto dan bukti. Kami ingin selesaikan ini secara kekeluargaan saja Jeng Rissa. Kami gak mau berurusan dengan polisi. Leon harus bertang
"Jadi menurut kamu, saya cukup tanggung jawab saja?""Betul, kalau pun tidak mau tanggung jawab sebenarnya gak papa. Orang Pak Leon dijebak. Dia dan keluarganya mengakui. Jelas bayinya nasab ke ibunya. Beda kalau dilakukan atas dasar suka sama suka dan Pak Leon dalam keadaan sadar. Ini Bapak beneran gak inget apapun?" Leon mengangguk."Saya ingat betul waktu ke rumahnya, memang gak ada siapa-siapa. Saya disuguhi minum, terus saya juga lupa lagi ngapain. Besok paginya kebangun udah di kamar. Saya pikir malah karena terlalu lelah, makanya ketiduran." Hanun mendengarkan dengan seksama."Ya, jika mereka ingin lapor polisi, saya rasa mereka tidak akan kuat untuk menjebloskan Pak Leon ke penjara atau mungkin menuntut. Malah mereka mungkin akan malu." Sepanjang hari, Leon cukup terganggu dengan kehadiran Renata dan juga kedua orang tuanya. Belum lagi saran dari Hanun yang sangat masuk akal. Pria dewasa itu tidak ingin salah langkah, sehingga ia memutuskan untuk bicara dengan salah satu peng