Setelah Bu Marissa bersama mobilnya dari halaman rumah, barulah Bu Wati bernapas lega. "Nenek tua itu kenapa bicaranya seperti menyindir? Bude benar-benar gak suka. Kamu kan ponakan Bude, jadi emangnya kenapa kalau seleranya Bude?""Ucapan Bu Marissa benar, Bude. Biar belanja sama Bu Marissa aja,biar pakai uang dia. Emangnya Bude punya uang untuk belikan saya baju? Nah, tapi nanti Bude bisa ikut saya sama Bu Marissa, biar Bude dibelikan baju juga. Gimana?" Bu Wati tersenyum, lalu mengangkat jari jempolnya tanda setuju."Ya sudah, saya mau masuk dulu Bude." Sasa pun berjalan ke kamar, sedangkan Bu Wati pergi ke kamar Biru. Kamar sepi, hanya kasir saja yang terlihat amat berantakan. Pakaian menantunya juga sangat berantakan dan juga berserakan di mana-mana.Pintu kamar mandi terbuka. Biru baru saja keluar dari sana dengan tubuh segar."Mau ke mana? Tumben mandi pagi-pagi?" tanya Bu Wati. "Mau pergi ke dukun yang kemarin Ibu bilang. Ayo, Ibu juga siap-siap. Sasa gak perlu tahu. Ibu cu
"Om, ada apa? Kenapa diam saja? Ini susunya?" Hanun melambaikan tangan di depan wajah Leon. Sebelah tangan lagi memegang gelas susu milik pria dewasa Leon. Leon melamun sangat asik dengan mata yang terpejam dan sesekali menggigit bibirnya.Puk!"Om, ngapain sih?!" Hanun menepuk pundak Leon hingga pria itu terlonjak kaget. "Loh, apa ini? Saya di mana?" Hanun tertawa melihat kelakuan majikannya. "Om di rumah dan sedang menunggu saya membuat susu. Lalu setelah susu selesai saya buatkan, Om masih saja bengong sambil merem, sambil gigit bibir. Emangnya lagi mikirin mesum sama siapa?" Leon buru-buru mengambil gelas susunya. Wajahnya merah menahan malu. Sudah sangat gembira ia bisa menyusu langsung dari wadahnya, malah ternyata hanya halusinasi saja."Om, sakit?!" Seru Hanun lagi, tetapi Leon sudah telanjur masuk ke kamarnya. Hanun mengangkat bahu tidak paham. Wanita itu pun membuat susu untuknya, lalu ia bawa ke kamar.Kamarnya sangat nyaman dengan AC sebagai penyejuk. Ada juga televisi l
"Sepupu dan bude kamu ke mana? Ini sudah larut malam, kenapa belum pulang?" tanya Bu Marissa yang mengunjungi Sasa di kamarnya. Wanita paruh baya itu cemas karena suaminya belum juga kembali padahal sudah jam sepuluh malam. "Katanya ajak bude kontrol sama pengobatan alternatif, Tante. Memang pengobatan alternatifnya jauh.""Pengobatan alternatif, Xabir gak pernah cerita ibunya pengobatan alternatif," balas Bu Marissa sembari mengingat-ingat apakah suaminya pernah cerita atau tidak perihal tersebut. Ia hanya tahu ibu mertuanya berobat ke dokter."Pasti pernah, tapi Tante lupa karena banyak yang Tante harus pikirkan dan kerjakan. Jangan khawatir, nanti juga bude dan Mas Xabir pulang." Sasa tersenyum sangat manis. Bu Marissa akhirnya beranjak dari depan kamar. Suara derit pagar yang terbuka membuat Bu Marissa menoleh ke arah jendela. Ia bergegas membuka gorden untuk melihat siapa tamunya. Suaminya pulang bersama ibunya. Bu Marissa bergegas membukakan pintu. "Ya ampun, ini sudah malam
Tok! Tok!"Pak, ada tamu!" Seru bibik dari depan pintu yang dikunci Leon. Kedua pasangan yang sedang melakukan foreplay itu pun tersentak kaget. Bahkan Hanun tersadar terhadap apa yang sudah ia lakukan. Wanita itu mendorong Leon dan langsung memakai pakaiannya yang berserakan di lantai. Hanun bersembunyi di balik meja kerja majikannya, sedangkan Leon ikut memakai kembali pakaiannya. "Siapa?" tanya Leon datar. Seolah tidak terjadi apa-apa selama dua puluh menit "A-ada tamu, Pak. Bapak lihat sendiri saja, katanya jangan bilang Bapak." Leon mengerutkan keningnya."Suruh Hanun buatkan teh, yang punya saya tawar saja," kata pria itu memerintah. "Oh, Hanun saya gak tahu ke mana, Pak. Soalnya tadi bilang mau bangunin Bapak.""Hanun saya suruh beli nasi uduk. Tiba-tiba saya pengen nasi uduk yang depan komplek.""Oh, gitu, baik, Pak. Gak papa, biar saya aja yang buat. Permisi, Pak." Begitu bibik berjalan ke dapur, Hanun pun langsung keluar dari kamar Leon. "Bilang sedang tidak jualan ya."
"Saya tidak merasa melakukan hal bodoh seperti itu pada Rena. Bagaimana kalau itu bukan anak saya?" Leon menatap Renata dengan wajah dingin. Ia tahu saat ini Hanun tengah menguping pembicaraannya dari balik pilar. "Kamu paham maksud Nak Leon, tapi kami sebagai orang tua ingin Nak Leon bertanggung jawab sampai bayi ini bisa untuk tes DNA." Leon menatap mamanya."Jeng Rissa kan pengusaha, pasti tidak enak kalau sampai hal ini terdengar oleh relasi bisnis yang lain. Apalagi anak lelaki satu-satunya." Bu Marissa ingin menjawab, tetapi bibirnya kelu. "Tapi anak saya dijebak. Ini sama artinya yang menginginkan hal ini terjadi adalah Renata. Saya hampir tidak percaya, putri keturunan keraton bisa melakukan hal memalukan seperti ini. Bagaimana jika para leluhur kalian tahu semua ini? Jelas saya membela putra saya." Bu Marissa membuka suara."Karena kami ada foto dan bukti. Kami ingin selesaikan ini secara kekeluargaan saja Jeng Rissa. Kami gak mau berurusan dengan polisi. Leon harus bertang
"Jadi menurut kamu, saya cukup tanggung jawab saja?""Betul, kalau pun tidak mau tanggung jawab sebenarnya gak papa. Orang Pak Leon dijebak. Dia dan keluarganya mengakui. Jelas bayinya nasab ke ibunya. Beda kalau dilakukan atas dasar suka sama suka dan Pak Leon dalam keadaan sadar. Ini Bapak beneran gak inget apapun?" Leon mengangguk."Saya ingat betul waktu ke rumahnya, memang gak ada siapa-siapa. Saya disuguhi minum, terus saya juga lupa lagi ngapain. Besok paginya kebangun udah di kamar. Saya pikir malah karena terlalu lelah, makanya ketiduran." Hanun mendengarkan dengan seksama."Ya, jika mereka ingin lapor polisi, saya rasa mereka tidak akan kuat untuk menjebloskan Pak Leon ke penjara atau mungkin menuntut. Malah mereka mungkin akan malu." Sepanjang hari, Leon cukup terganggu dengan kehadiran Renata dan juga kedua orang tuanya. Belum lagi saran dari Hanun yang sangat masuk akal. Pria dewasa itu tidak ingin salah langkah, sehingga ia memutuskan untuk bicara dengan salah satu peng
"Sayang, kamu cemburu sama pembantu? Ya ampun, udah jelas lebih unggul kamu dari wanita mana pun," elak Biru dengan cepat. Lelaki itu tidak mau istrinya sampai curiga. "Lalu, kamu tahu dari mana kalau Hanun masih punya suami?""Aku asal nebak, Sayang. Hanun dari kampung'kan? Orang kampung itu rata-rata menikah muda. Umur enam belas tahun sampai sembilan udah dinikahin sama orang tuanya. Jadi mungkin aku ....""Tidak perlu bahas Hanun. Udahlah, aku mau ke dapur dulu." Bu Marissa pergi ke dapur, meninggalkan Biru yang masih dalam keadaan cemas. Ia khawatir Bu Marissa curiga atau malah mencari informasi atas dirinya.Sore hari, Biru melihat sang Istri sudah berdandan dengan begitu rapi, sedangkan ia tidak dapat informasi apapun dari wanita itu."Kamu mau ke mana udah sore, Sayang?" tanya Biru."Mau ke rumah Leon. Ada urusan." Bu Marissa mengoleskan lipstik di bibirnya. "Aku boleh ikut?""Kata Leon ini pribadi. Maaf, Sayang, kali ini aku jalan sendiri ya. Kamu di rumah saja. Aku gak lam
"Benar-benar memalukan! Jauh-jauh ke sini hanya untuk dibikin malu sama si Leon itu. Jumawa sekali dia menolak putri keraton!" "Sudahlah, Bu, mungkin belum jodoh." Renata menjawab dengan malas. Tatapannya kini fokus pada jalan di depannya. Hujan cukup deras mengantarnya pagi ini menuju bandara. Keputusan Leon sudah bulat dan lelaki itu menolak bertanggung jawab. "Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan kamu? Masa mau cari lelaki lain?""Saya mengasingkan diri saja sampai bayi ini lahir." "Kamu bicara dengan mudah, Rena. Kamu gak pernah pikirkan dampak perbuatan nekat yang kamu lakukan!" "Bu, sudah, sudah! Nanti biar kita pikirkan jalan keluarnya." Pak Cokro menengahi perdebatan ibu dan anak itu. Rena juga tidak mau ambil pusing karena mau dipaksa seperti apapun tetap saja Leon tidak akan mau bertanggung jawab."Jadi, Leon itu sukanya pembantu?" tanya Pak Cokro yang mendadak kepo. Rena mengangguk."Jika nama yang Rena dengar tadi adalah Hanun, maka gak salah lagi ka