Leon menceritakan semua pada Hanun tentang kelakuan Biru dan keluarga toxicnya. Wanita itu mendengar dengan seksama, sekaligus dengan kondisi tidak enak hati. Gara-gara mantan suaminya, Leon dan keluarganya jadi susah. Jangan sampai Leon beranggapan bahwa ia adalah bagian dari kelicikan Biru."Saya tidak tahu harus berkata apa, Om." Hanun hanya bisa menghela napas berat. Leon menggenggam tangan Hanun, lalu menepuk punggung tangan itu perlahan. Telapak tangan Hanun bisa ia rasakan sedikit kasar. Tandanya wanita itu sangat pekerja keras sebelum bertemu dengannya."Hanun, aku mau minta tolong. Kamu lulusan SMA'kan?" tanya Leon. Hanun tentu saja mengangguk."Pernah jadi kasir minimarket sejuta umat juga, Om. Ada apa?""Mm ... Kamu bisa kerja di kantor? Maksudnya kamu mengerjakan pekerjaan asisten saya di restoran. Jadi, saya baru buka cabang. Saya biasanya bersama Ibnu, tetapi Ibnu pulang kampung karena menikah dengan orang Solo. Jadi, saya belum dapat asisten lagi. Jika kamu bisa, maka m
"Ada apa, Biru? Pulang-pulang muka kamu kesal. Ada masalah baru lagi sama anak-anak Marissa?" tanya Bu Wati pada putranya. Biru meletakkan topi dan jam tangan mahalnya di atas meja rias sang Istri yang masih terbaring di rumah sakit. "Ibu lihat ini!" Biru memberikan ponsel miliknya pada Bu Wati. Memperlihatkan update foto yang di post Hanun di akun vesbuk miliknya. Dua foto yang menampakkan keadaan terbaru Hanun yang sangat berbeda. Apalagi background foto tersebut adalah toko pakaian dan toko perhiasan. "Loh, loh, ini Hanun? Wah, berubah ini. Lebih segar dan juga kulitnya bersih. Melacur di mana mantan istri kamu ini? Pantas kemarin dia berani jumawa, rupanya udah digilir lelaki. Untunglah kamu gak jodoh lama-lama sama dia. Wanita seperti Hanun yang hanya tamatan SMA dan kerja jadi kasir Alma, pasti gak mungkin bisa belanja di mall ini dan beli emas segala jika bukan karena menjual dirinya," cerocos Bu Wati sambil memperbesar gambar agar bisa melihat detail foto mantan menantunya y
"Bik, lain kali siapkan rekaman percakapan Biru dan keluarganya ya. Tanpa itu, Mama gak akan percaya. Ponsel mama juga dipegang Biru. Saran saya, cepat hapus pesan bibik sebelum dibaca oleh Biru atau mama. Bisa berabe kalau Biru tahu, Bibik mengadu.""Oh, b-baik, Tuan. S-saya langsung hapus sekarang. Maaf sudah merepotkan Tuan.""Gak papa, Bik. Lakukan saja pelan-pelan sambil kumpulkan bukti ya.""Baik, Tuan, terima kasih."Bik Jum gemetaran melihat laporan pesannya pada Bu Marissa. Masih ceklis satu dan Bik Jum dengan cepat menghapus pesan itu. Wanita paruh baya itu berharap pesannya tidak dibaca oleh Biru maupun Bu Marissa. Ia gegabah, seharusnya ia lapor Leon sebelum ia kirimkan pada Bu Marissa. Keesokan paginya, Hanun bangun lebih pagi dan penuh semangat. Tentu saja ia menyiapkan sarapan untuk Leon dan dirinya yang mulai bekerja hari ini. Bibik juga belum datang karena masih jam lima pagi. Pukul setengah enam, setelah bihun goreng buatannya matang, barulah bibik datang."Wah, can
"Ya ampun Xabiru Lesmana anak Ibu ternyata setampan ini kalau banyak uang. Ibu sampai gak bisa ngenalin kamu," puji Bu Wati yang menatap Biru takjub. Kemeja, celana bahan, dan tubuh dibalut jas hitam model pas di badan sangat pantas dikenakan Biru yang memang posturnya tinggi tegap, meski tidak begitu berotot. Perutnya pun terlihat sedikit buncit, tetapi tetap memesona bagi Marissa dan juga ibunya."Biru cakep ya, Bu?" tanya Biru senang. Pria itu berputar di depan cermin, memastikan tampilannya sempurna. "Cakep sekali dan kamu cocok jadi suami orang kaya. Gak cocok jadi suami kasir, apalagi wanita malam. Ah, iya, ingat, Biru, kamu jangan macam-macam dengan Hanun. Jangan sampai kamu bikin ulah yang membuat Marissa marah dan mengambil semua fasilitas ini," pesan Bu Wati mengingatkan, sembari merapikan lipatan kerah kemeja yang dikenakan Biru."Iya, Bu. Biru mau cari aman saja dulu. Jadi suami baik." Biru mencium punggung tangan ibunya untuk berpamitan."Mas Biru, jangan lupa pesen Sasa
"Wah, kamu udah single? Kabar baik ini. Ah, iya, kamu boleh menyiapkan ruangan rapat dahulu ya. Kita nanti bicara lagi," ujar Bu Marissa yang tersenyum amat ramah pada Hanun."Baik, Bu, siap laksanakan. Mari Bapak, bapak, saya permisi." Hanun berlalu dengan begitu anggunnya. Sama sekali ia tidak menoleh lagi pada Biru. Tentu saja selama Hanun ada di dekatnya, Biru sedang menahan napas. Wajahnya pucat seperti ingin pingsan, tetapi begitu Hanun menjauh dan masuk ke dalam sebuah ruangan, pria itu bisa menghela napas lega. Pemandangan yang membuat Leon menahan tawa dan pria itu ingin sekali merekam ekspresi Biru, sayang sekali tidak mungkin."Mungkin kita menunggu Pak Cheng dan Bu Susan dulu ya. Bisa sambil minum kopi di dalam. Mari, Ma, Pak Alex!" Leon mempersilakan Bu Marissa dan relasinya, tetapi Biru, ia abaikan sama sekali. Leon sengaja memperlambat langkah agar sejajar dengan Biru. "Mungkin di film anak-anak ada bus biru Tayo, tetapi kalau kamu polisi gadungan Biru ha ha ha ...."
"Sayang, apa kamu baik-baik saja?" tanya Bu Marissa pada Biru. Pria itu tersenyum canggung sambil mengangguk. Wanita paruh baya itu tidak langsung percaya, melainkan saat itu juga menoleh pada Leon. "Kalian gak papa'kan?" tanya Bu Marissa lagi. "Mungkin Xabir sedang sakit perut, Ma. Jadinya lama di kamar mandi," jawab Leon asal. Biru kembali membisu. Ia kembali duduk dengan jantung yang masih berdetak cepat. "Apa kita perlu pending rapat hari ini karena Pak Xabir sedang tidak enak badan?" tanya Bu Susan. "Saya gak papa, Bu. Silakan dilanjutkan. Semua ini baru untuk saya, jadi tolong dimaklumi jika saya masih menyimak saja dahulu," ujar Xabir sok bijak. Hanun ingin sekali tertawa mendengar cara bicara mantan suaminya, tetapi ia tahan. Wanita itu hanya mampu menundukkan kepala agar tawanya tidak terlepas begitu saja.Acara meeting pun dilanjutkan hingga jam dua siang. Untung saja Hanun sudah memesan makan siang dari restoran tetangga. Restoran milik Leon baru tahap peresmian saja, t
"Bu, rupanya Hanun bekerja di restoran milik Leon. Sudah lama dan Hanun kenal dengan Bu Marissa. Jantung saya mau copot saat Bu Marissa bilang dia mengetahui keributan yang saya buat waktu di restoran. Ibu ingat, waktu saya mengambil tas Hanun dan menjual ponsel Hanun?" Bu Wati mengangguk kaku. "Jadi, apa pupus sudah harapan kita untuk menjadi orang kaya?" tanya Bu Wati lemah. Kali ini, giliran Biru yang mengangguk."Leon bilang, dia kasih kita waktu satu Minggu untuk meninggalkan rumahnya. Jika kita tidak mau, maka semua akan ia bongkar pada mamanya. Menurut Ibu bagaimana? Duh, baru mau jadi orang kaya dengan cepat, malah dapat halangan." Biru terduduk lemas di pinggir ranjang ibunya. Sasa pun ikut terdiam mendengarkan percakapan ibu dan anak itu. Jika Biru saja tidak ada harapan, apalagi dirinya?"Biru gak tahu harus melakukan apa, Bu? Biru bingung. Apa kita jujur saja?" "Jangan!" Bu Wati dan Sasa menolak serentak. "Jangan dulu, Ru. Kalau bisa, buat Bu Marissa benar-benar tidak b
Pagi-pagi sekali, Hanun sudah rapi. Baju kemeja dan celana panjang ia kenakan pas di tubuhnya. Hanun bercermin di kamar. Ia tidak pernah bermimpi sampai pada situasi seperti ini. Antara menegangkan dan juga seru. Bertemu dengan Leon, berpisah dengan Biru, dan kini menjadi wanita yang paling ingin dibahagiakan oleh pria dewasa bernama Leon.Xabiru dan keluarganya akan mengemis perhatian dan pengampunan ya suatu hari nanti dan bila saat itu tiba, ia lebih memilih tidak memaafkan mereka, karena akan ada orang yang lebih memiliki kekuatan untuk menghukum mereka bertiga. Batin Hanun.Tok! Tok!"Nun, kamu gak papa?" Hanun menoleh terkejut. Ia melamun terlalu lama, sampai-sampai Leon mengetuk pintu kamarnya. "I-iya, Om, saya sedang berganti pakaian. Maaf semalam ketiduran." Hanun segera mengambil handuk yang masih ada di atas ranjang, lalu menggantungnya. Wanita itu membuka pintu. Leon pun sudah rapi dengan kemeja biru tua dan juga celana jeans. Parfum yang digunakan pria itu selalu memberi