"Bik, lain kali siapkan rekaman percakapan Biru dan keluarganya ya. Tanpa itu, Mama gak akan percaya. Ponsel mama juga dipegang Biru. Saran saya, cepat hapus pesan bibik sebelum dibaca oleh Biru atau mama. Bisa berabe kalau Biru tahu, Bibik mengadu.""Oh, b-baik, Tuan. S-saya langsung hapus sekarang. Maaf sudah merepotkan Tuan.""Gak papa, Bik. Lakukan saja pelan-pelan sambil kumpulkan bukti ya.""Baik, Tuan, terima kasih."Bik Jum gemetaran melihat laporan pesannya pada Bu Marissa. Masih ceklis satu dan Bik Jum dengan cepat menghapus pesan itu. Wanita paruh baya itu berharap pesannya tidak dibaca oleh Biru maupun Bu Marissa. Ia gegabah, seharusnya ia lapor Leon sebelum ia kirimkan pada Bu Marissa. Keesokan paginya, Hanun bangun lebih pagi dan penuh semangat. Tentu saja ia menyiapkan sarapan untuk Leon dan dirinya yang mulai bekerja hari ini. Bibik juga belum datang karena masih jam lima pagi. Pukul setengah enam, setelah bihun goreng buatannya matang, barulah bibik datang."Wah, can
"Ya ampun Xabiru Lesmana anak Ibu ternyata setampan ini kalau banyak uang. Ibu sampai gak bisa ngenalin kamu," puji Bu Wati yang menatap Biru takjub. Kemeja, celana bahan, dan tubuh dibalut jas hitam model pas di badan sangat pantas dikenakan Biru yang memang posturnya tinggi tegap, meski tidak begitu berotot. Perutnya pun terlihat sedikit buncit, tetapi tetap memesona bagi Marissa dan juga ibunya."Biru cakep ya, Bu?" tanya Biru senang. Pria itu berputar di depan cermin, memastikan tampilannya sempurna. "Cakep sekali dan kamu cocok jadi suami orang kaya. Gak cocok jadi suami kasir, apalagi wanita malam. Ah, iya, ingat, Biru, kamu jangan macam-macam dengan Hanun. Jangan sampai kamu bikin ulah yang membuat Marissa marah dan mengambil semua fasilitas ini," pesan Bu Wati mengingatkan, sembari merapikan lipatan kerah kemeja yang dikenakan Biru."Iya, Bu. Biru mau cari aman saja dulu. Jadi suami baik." Biru mencium punggung tangan ibunya untuk berpamitan."Mas Biru, jangan lupa pesen Sasa
"Wah, kamu udah single? Kabar baik ini. Ah, iya, kamu boleh menyiapkan ruangan rapat dahulu ya. Kita nanti bicara lagi," ujar Bu Marissa yang tersenyum amat ramah pada Hanun."Baik, Bu, siap laksanakan. Mari Bapak, bapak, saya permisi." Hanun berlalu dengan begitu anggunnya. Sama sekali ia tidak menoleh lagi pada Biru. Tentu saja selama Hanun ada di dekatnya, Biru sedang menahan napas. Wajahnya pucat seperti ingin pingsan, tetapi begitu Hanun menjauh dan masuk ke dalam sebuah ruangan, pria itu bisa menghela napas lega. Pemandangan yang membuat Leon menahan tawa dan pria itu ingin sekali merekam ekspresi Biru, sayang sekali tidak mungkin."Mungkin kita menunggu Pak Cheng dan Bu Susan dulu ya. Bisa sambil minum kopi di dalam. Mari, Ma, Pak Alex!" Leon mempersilakan Bu Marissa dan relasinya, tetapi Biru, ia abaikan sama sekali. Leon sengaja memperlambat langkah agar sejajar dengan Biru. "Mungkin di film anak-anak ada bus biru Tayo, tetapi kalau kamu polisi gadungan Biru ha ha ha ...."
"Sayang, apa kamu baik-baik saja?" tanya Bu Marissa pada Biru. Pria itu tersenyum canggung sambil mengangguk. Wanita paruh baya itu tidak langsung percaya, melainkan saat itu juga menoleh pada Leon. "Kalian gak papa'kan?" tanya Bu Marissa lagi. "Mungkin Xabir sedang sakit perut, Ma. Jadinya lama di kamar mandi," jawab Leon asal. Biru kembali membisu. Ia kembali duduk dengan jantung yang masih berdetak cepat. "Apa kita perlu pending rapat hari ini karena Pak Xabir sedang tidak enak badan?" tanya Bu Susan. "Saya gak papa, Bu. Silakan dilanjutkan. Semua ini baru untuk saya, jadi tolong dimaklumi jika saya masih menyimak saja dahulu," ujar Xabir sok bijak. Hanun ingin sekali tertawa mendengar cara bicara mantan suaminya, tetapi ia tahan. Wanita itu hanya mampu menundukkan kepala agar tawanya tidak terlepas begitu saja.Acara meeting pun dilanjutkan hingga jam dua siang. Untung saja Hanun sudah memesan makan siang dari restoran tetangga. Restoran milik Leon baru tahap peresmian saja, t
"Bu, rupanya Hanun bekerja di restoran milik Leon. Sudah lama dan Hanun kenal dengan Bu Marissa. Jantung saya mau copot saat Bu Marissa bilang dia mengetahui keributan yang saya buat waktu di restoran. Ibu ingat, waktu saya mengambil tas Hanun dan menjual ponsel Hanun?" Bu Wati mengangguk kaku. "Jadi, apa pupus sudah harapan kita untuk menjadi orang kaya?" tanya Bu Wati lemah. Kali ini, giliran Biru yang mengangguk."Leon bilang, dia kasih kita waktu satu Minggu untuk meninggalkan rumahnya. Jika kita tidak mau, maka semua akan ia bongkar pada mamanya. Menurut Ibu bagaimana? Duh, baru mau jadi orang kaya dengan cepat, malah dapat halangan." Biru terduduk lemas di pinggir ranjang ibunya. Sasa pun ikut terdiam mendengarkan percakapan ibu dan anak itu. Jika Biru saja tidak ada harapan, apalagi dirinya?"Biru gak tahu harus melakukan apa, Bu? Biru bingung. Apa kita jujur saja?" "Jangan!" Bu Wati dan Sasa menolak serentak. "Jangan dulu, Ru. Kalau bisa, buat Bu Marissa benar-benar tidak b
Pagi-pagi sekali, Hanun sudah rapi. Baju kemeja dan celana panjang ia kenakan pas di tubuhnya. Hanun bercermin di kamar. Ia tidak pernah bermimpi sampai pada situasi seperti ini. Antara menegangkan dan juga seru. Bertemu dengan Leon, berpisah dengan Biru, dan kini menjadi wanita yang paling ingin dibahagiakan oleh pria dewasa bernama Leon.Xabiru dan keluarganya akan mengemis perhatian dan pengampunan ya suatu hari nanti dan bila saat itu tiba, ia lebih memilih tidak memaafkan mereka, karena akan ada orang yang lebih memiliki kekuatan untuk menghukum mereka bertiga. Batin Hanun.Tok! Tok!"Nun, kamu gak papa?" Hanun menoleh terkejut. Ia melamun terlalu lama, sampai-sampai Leon mengetuk pintu kamarnya. "I-iya, Om, saya sedang berganti pakaian. Maaf semalam ketiduran." Hanun segera mengambil handuk yang masih ada di atas ranjang, lalu menggantungnya. Wanita itu membuka pintu. Leon pun sudah rapi dengan kemeja biru tua dan juga celana jeans. Parfum yang digunakan pria itu selalu memberi
Setelah Bu Marissa bersama mobilnya dari halaman rumah, barulah Bu Wati bernapas lega. "Nenek tua itu kenapa bicaranya seperti menyindir? Bude benar-benar gak suka. Kamu kan ponakan Bude, jadi emangnya kenapa kalau seleranya Bude?""Ucapan Bu Marissa benar, Bude. Biar belanja sama Bu Marissa aja,biar pakai uang dia. Emangnya Bude punya uang untuk belikan saya baju? Nah, tapi nanti Bude bisa ikut saya sama Bu Marissa, biar Bude dibelikan baju juga. Gimana?" Bu Wati tersenyum, lalu mengangkat jari jempolnya tanda setuju."Ya sudah, saya mau masuk dulu Bude." Sasa pun berjalan ke kamar, sedangkan Bu Wati pergi ke kamar Biru. Kamar sepi, hanya kasir saja yang terlihat amat berantakan. Pakaian menantunya juga sangat berantakan dan juga berserakan di mana-mana.Pintu kamar mandi terbuka. Biru baru saja keluar dari sana dengan tubuh segar."Mau ke mana? Tumben mandi pagi-pagi?" tanya Bu Wati. "Mau pergi ke dukun yang kemarin Ibu bilang. Ayo, Ibu juga siap-siap. Sasa gak perlu tahu. Ibu cu
"Om, ada apa? Kenapa diam saja? Ini susunya?" Hanun melambaikan tangan di depan wajah Leon. Sebelah tangan lagi memegang gelas susu milik pria dewasa Leon. Leon melamun sangat asik dengan mata yang terpejam dan sesekali menggigit bibirnya.Puk!"Om, ngapain sih?!" Hanun menepuk pundak Leon hingga pria itu terlonjak kaget. "Loh, apa ini? Saya di mana?" Hanun tertawa melihat kelakuan majikannya. "Om di rumah dan sedang menunggu saya membuat susu. Lalu setelah susu selesai saya buatkan, Om masih saja bengong sambil merem, sambil gigit bibir. Emangnya lagi mikirin mesum sama siapa?" Leon buru-buru mengambil gelas susunya. Wajahnya merah menahan malu. Sudah sangat gembira ia bisa menyusu langsung dari wadahnya, malah ternyata hanya halusinasi saja."Om, sakit?!" Seru Hanun lagi, tetapi Leon sudah telanjur masuk ke kamarnya. Hanun mengangkat bahu tidak paham. Wanita itu pun membuat susu untuknya, lalu ia bawa ke kamar.Kamarnya sangat nyaman dengan AC sebagai penyejuk. Ada juga televisi l