"Hanun, apa yang kamu lakukan di sini?" Biru jelas terkejut dan tidak suka dengan kehadiran Hanun yang tiba-tiba. Hampir dua bulan Hanun pergi tidak ada kabar, tetapi kini muncul secara mengejutkan di tempat dan waktu yang tidak tepat menurut Biru dan Bu Wati. "Lepas, saya mau dibawa ke mana?!" Hanun mendadak punya kekuatan untuk melepas cengkeraman tangan Biru pada lengannya. Matanya menatap tajam Biru, lalu beralih pada Sasa dan Bu Wati. "Oh, iya, katanya kamu sekarang sudah menikah dengan orang kaya. Wanita kaya yang tertipu dengan semua kebohongan kamu. Siapa namanya? Ah, iya Marissa. Apa orangnya di sini?" Biru semakin takut jika Bu Marissa tiba-tiba datang dan bertemu Hanun. Tentu saja semua rencananya bisa gagal."Pergi, Hanun, kita bicara nanti!" Bu Wati mengusir Hanun dengan ketus."Saya gak mau. Saya masih istri Mas Biru'kan? Mas Biru belum cerai udah nikah lagi? Saya aja jadi istri nafkahi laki-laki ini dan keluarganya. Jelas saya miskin, sekarang dapat yang kaya, pasti l
Biru tidak ingin menambah sakit kepalanya dengan bertemu dengan Leon. Ia tahu anak sulung lelaki istrinya itu tidak suka dengannya. Jika bisa menghindar, kenapa tidak? Lelaki itu membuat mereka kehilangan mobil Leon. "Yah, di mana tadi?" gumam Bu Marissa. "Maaf, Sayang, kita kehilangan jejak Leon," kata Biru dengan suara parau, sembari menyentuh pipi istrinya. Sontak mata Bu Marissa fokus pada tangan kanan suaminya yang sedang memegang stir."Tangan kamu kenapa?" tanya Bu Marissa panik. Ia menarik tangan kanan suaminya saat mereka sedang antre di pintu keluar Ancol."Kamu digigit siapa? Ini seperti bekas gigitan?" tanya Bu Marissa dengan bola mata melebar. "B-bukan, ini bukan digigit. Ini gak papa, Sayang. Tadi aku juga ke toilet dan terpeselet. Tanganku gak sengaja memegang mainan anak-anak di sana. Entah gimana, bisa merah begini.""Kita ke dokter aja! Aku gak mau nanti kamu malah kenapa-napa dengan luka dalam itu!" "Aku gak papa, Sayang. Sebaiknya kita pulang saja! Apa kamu ma
"Bagaimana jalan-jalan hari ini? Apa pertemuan dengan Biru dan keluarganya masih menganggu kamu?" tanya Leon pada Hanun saat mereka sedang berhenti di lampu merah. Keduanya baru saja selesai berbelanja banyak, termasuk aneka pakaian untuk Hanun dan juga bahan kebutuhan dapur lainnya. "Sedikit, Om, tapi saya senang Om ajak jalan-jalan. Ini pertama kalinya saya berbelanja banyak di mall. Bajunya mahal semua. Biasanya saya beli di pusat grosir itu. Ada yang seratus ribu dapat tiga baju he he he ..." Leon pun ikut tersenyum. Hanun benar-benar sederhana dan tidak banyak menuntut. Asli wanita baik, hanya saja disia-siakan suami. Sebuah keuntungan tersendiri untuknya bukan? Batin Leon."Saya senang kalau kamu senang. Masih mau makan? Ini sudah malam, mungkin kamu mau makan pecel lele di pinggir jalan?" tawar Leon. Hanun menggelengkan kepala dengan pelan."Pulang saja, Om. Saya capek dan ngantuk juga, Om.""Baiklah, kita pulang saja!" Leon mengalah, laju mobil diarahkan menuju rumah yang ja
"Kamu datang bulan dan kamu suruh orang cuci celana kamu? Keterlaluan! Di rumah ini majikannya mama saya, kenapa kamu jadi nyolot ikutan jadi majikan? Kamu tamu, ngerti itu! Ibu pun tamu di rumah ini. Xabir pun tamu. Kalian bukan apa-apa! Awas jika aku dengar kalian menyembunyikan sesuatu, maka kalian bertiga akan ada di penjara! Ingat itu!" Suara Leon yang menggelegar membuat Sasa dan Bu Wati gemetaran. Sasa bahkan tidak bisa menahan pipisnya karena ia begitu takut dan malu. Baru mau dijodohkan, ia sudah membuat kesalahan fatal. Leon mendelik sebelum akhirnya pria itu meninggalkan dapur. "Bude, pipis!" Bu Wati mendelik kaget dan langsung menarik Sasa masuk ke dalam kamar mandi belakang. Tentu saja air pipis tadi berceceran dan itu membuat kerjaan baru bagi Bik Jum. Suara gaduh di luar, membuat Biru keluar dari kamarnya. "Eh, L-leon, ada kamu datang? M-mau apa?" tanya Biru gugup. Baru buka pintu kamar, ia sudah bertabrakan dengan tubuh tinggi besar anak tirinya. "Ini rumah ibu sa
"Jadi, kami harus percaya sama siapa?" tanya Leon pada Biru dan Bik Jum. Keduanya tengah diinterogasi pria itu karena mamanya sampai saat ini belum bisa bangun juga."Siapa yang menyiapkan makan dan minum mama?" tanya Leon."Saya, Tuan," jawab Bik Jum sambil meneteskan air mata. "Tapi, apa yang saya suguhkan untuk nyonya sudah seperti biasanya," jawab Bik Jum berusaha membela diri. Ia yang tidak tahu apa-apa tentu saja merasa tidak terima jika difitnah. Apalagi bekerja sudah dua puluhan tahun di rumah majikannya. "Bisa saja kamu melakukannya karena kamu kesal dengan keluarga saya, Bik," sela Biru dengan tatapan nyalang pada Bik Jum."Mana saya berani Tuan! Saya ini pengabdi di keluarga Bu Marissa. Saya gak ada keberanian berbuat jahat karena Bu Marissa sangat baik pada saya dan semua karyawannya.""Alah, pandai sekali kamu bersilat lidah!" Komentar Biru ketus."Kamu yang gak suka kalau ada majikan baru di rumah kamu, sehingga kamu lakukan ini pada istriku! Jujur kamu Bik! Mau aku la
Hanun sedang bersantai nonton TV di kamarnya saat ponselnya berdering. A"Halo, Om.""Halo, Hanun, kamu lagi apa?""Baru aja selesai beberes, Om. Hari ini bibik gak masuk. Jadi rumah dua lantai ini baru rapi.""Kamu jangan terlalu capek.""Iya, Om tenang saja. Ada apa? Kenapa suara Om terdengar tak semangat?""Mama masuk rumah sakit. Dirawat karena tidur gak bangun-bangun. Ada obat tidur dosis tinggi yang diberikan pada mama, tetapi gak tahu siapa? Sialnya, CCTV error!" Leon memijat keningnya dengan kuat. Pria itu tidak tahu, bahwa Biru kembali lagi ke rumah sakit karena jaketnya tertinggal. Lelaki itu mendengar percakapan Leon dan akhirnya bisa bernapas lega. Biru mengirimkan kembali pesan pada ibu dan sepupunya untuk kembali ke rumah karena keadaan sudah aman. Biru tersenyum senang. Mulai hari ini ia akan lebih hati-hati terhadap apa yang akan ia lakukan atau berikan pada istrinya karena ada anak-anak yang sangat pintar menjaga istrinya.Biru pergi ke kantin untuk membeli aneka kue
Leon menceritakan semua pada Hanun tentang kelakuan Biru dan keluarga toxicnya. Wanita itu mendengar dengan seksama, sekaligus dengan kondisi tidak enak hati. Gara-gara mantan suaminya, Leon dan keluarganya jadi susah. Jangan sampai Leon beranggapan bahwa ia adalah bagian dari kelicikan Biru."Saya tidak tahu harus berkata apa, Om." Hanun hanya bisa menghela napas berat. Leon menggenggam tangan Hanun, lalu menepuk punggung tangan itu perlahan. Telapak tangan Hanun bisa ia rasakan sedikit kasar. Tandanya wanita itu sangat pekerja keras sebelum bertemu dengannya."Hanun, aku mau minta tolong. Kamu lulusan SMA'kan?" tanya Leon. Hanun tentu saja mengangguk."Pernah jadi kasir minimarket sejuta umat juga, Om. Ada apa?""Mm ... Kamu bisa kerja di kantor? Maksudnya kamu mengerjakan pekerjaan asisten saya di restoran. Jadi, saya baru buka cabang. Saya biasanya bersama Ibnu, tetapi Ibnu pulang kampung karena menikah dengan orang Solo. Jadi, saya belum dapat asisten lagi. Jika kamu bisa, maka m
"Ada apa, Biru? Pulang-pulang muka kamu kesal. Ada masalah baru lagi sama anak-anak Marissa?" tanya Bu Wati pada putranya. Biru meletakkan topi dan jam tangan mahalnya di atas meja rias sang Istri yang masih terbaring di rumah sakit. "Ibu lihat ini!" Biru memberikan ponsel miliknya pada Bu Wati. Memperlihatkan update foto yang di post Hanun di akun vesbuk miliknya. Dua foto yang menampakkan keadaan terbaru Hanun yang sangat berbeda. Apalagi background foto tersebut adalah toko pakaian dan toko perhiasan. "Loh, loh, ini Hanun? Wah, berubah ini. Lebih segar dan juga kulitnya bersih. Melacur di mana mantan istri kamu ini? Pantas kemarin dia berani jumawa, rupanya udah digilir lelaki. Untunglah kamu gak jodoh lama-lama sama dia. Wanita seperti Hanun yang hanya tamatan SMA dan kerja jadi kasir Alma, pasti gak mungkin bisa belanja di mall ini dan beli emas segala jika bukan karena menjual dirinya," cerocos Bu Wati sambil memperbesar gambar agar bisa melihat detail foto mantan menantunya y