“Terserah apa maumu! Urusin aja noh keluarga toxic yang bikin kamu cinta ma-ti sampai tergila gila!”“Sis … Siska. Tunggu!”Devi mempercepat langkah, mengejar Siska yang pergi dan keluar dari tokonya membawa sejuta rasa kesal pada dirinya. Brak! Pintu mobil Siska tertutup keras, tepat sebelum pemiliknya sempat masuk ke dalam mobil bercat putih tersebut. “Apa lagi sih, Deviii?”Siska yang memang masih merasa kesal semakin merasa gemas akan polah tingkah sang sahabat. Bagaimana tidak, sudahlah bebal dan sulit diberi nasehat. Tapi kini, wanita itu justru menghalangi jalannya, kala ingin pergi membawa rasa kesal yang membuncah dalam hati. “Aku ‘kan udah bilang tunggu. Denger gak sih?!” sungut Devi dengan nafas terengah. Akibat dari gerak cepatnya demi bisa mengejar sang sahabat. “Aku tuh mau tanya sesuatu sama kamu.”“Ck! Nanya apa lagi sih?! Buruan! 10 detik dari sekarang!” ucap Siska jengah. Ia sudah benar-benar merasa lelah menghadapi Devi yang selalu memakai hati. Meski berulang ka
“Dimana sih, kata Siska disini. Bener ‘kan ini tempatnya?”Seorang wanita cantik tampak menggerakkan tubuhnya, berputar ke segala arah. Tak hanya itu, kepala wanita itu pun terlihat celingak celinguk ke kanan dan kiri. Memindai segala tempat dan sisi yang bisa dijangkau oleh netranya. Namun, hingga lebih dari satu jam berlalu. Wanita itu masih juga belum menemukan apa yang ia cari. Terik matahari kian membakar tubuhnya. Membuat bulir keringat mulai mengalir dan membasahi wajah serta bajunya. “Awas aja si Siska. Kalo sampe ketauan dia lagi ngerjain aku!” rutuk Devi yang mulai kesal dan kelelahan. “Liat aja, apa yang bakal aku lakuin ke si sipit itu!”Akhirnya, ibu dua anak tersebut memilih untuk beristirahat sejenak. Kemudian mengayunkan kaki, menyambangi sebuah warung kopi yang berjejer di pinggir jalan. Meski ada lima buah warung kopi sekaligus, tapi mereka sama sekali tak menjadikan itu sebagai sebuah beban. Sebab mereka yakin jika rezeki sudah tertakar dan tak akan tertukar. “Iy
“Ada hak apa kau mengatakan hal itu?”“Atas dasar apa kau melayangkan tuduhan menjijikan seperti itu?”“Taukah kau, siapa yang kau sebut wanita licik itu?”Deretan kalimat menohok dilontarkan oleh sosok yang kini berdiri tepat di belakang tubuh Yessi. Tanpa mengenal rasa takut, Yessi segera berbalik. Ia bukanlah wanita yang mudah diintimidasi. Dengan pongah dan tatapan mata meremehkan, Yessi menyisir sosok wanita bermata sipit itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Siapa kau? Dan apa hubunganmu dengannya?”“Aku tak mengenalmu. Jadi ada baiknya bagimu, untuk tak usah ikut campur urusanku dengan wanita itu,” desis Yessi dengan nada ancaman. ‘Melihat dari penampilannya, sepertinya dia bukanlah orang sembarang,’ batin Yessi yang masih terus memperhatikan sosok di hadapannya. Tak kalah dengan Yessi, wanita bermata sipit yang tak lain adalah Siska, sahabat Devi, kini menatap tajam pada mantan kakak ipar sahabatnya. Ia memang tak mengenal persis siapa Yessi, namun ia bisa menebak sifa
“Kenapa menatapku begitu?”“Kau bertanya apa maksudku? Bukankah harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu?”Siska menatap Yessi dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebab wanita itu malah melayangkan pertanyaan padanya. “Apa maksudmu mengundang mereka duduk disini?” Yessi kembali mengulangi dan memperjelas maksudnya. “Apa kau ingin mencoba mempermalukan aku?”“Ha ha ha ha ha, lucu sekali mantan kakak iparmu ini, Dev. Benar benar lucu!” Bukan menjawab Siska malah justru tertawa hingga terpingkal pingkal. “Sebenarnya, apa yang ibumu berikan saat kau bayi. Sampai ketika dewasa begini, kau begitu sangat genius.”Semua orang yang berada di warung kopi tersebut tampak saling berbisik. Kala mendengar ucapan Siska yang seolah tengah bermaksud menyanjung Yessi, padahal hal itu sebenarnya dilakukan untuk membuat Yessi malu. Mendengar bisik bisik dan tatapan miring pada dirinya, sontak membuat Yessi berang dan semakin merasa kepanasan. Jika saja bisa dilihat, asap sudah mulai menguar, kelu
“Lebih baik kita pulang, berada disini pun tak akan membuat sesuatu menjadi lebih baik.”“Nggak, Bii! Mereka harus tau! Aku nggak mau mereka mengira jika Devilah yang bersalah. Karena-” Siska dengan tegas menolak dan membantah ucapan suaminya. Pria yang ia panggil ‘Abii’ itu meminta sahabatnya menyudahi drama ini. Namun, ini masih belum cukup bagi Siska. Sudah cukup dengan Devi hanya diam, menerima semua tuduhan buruk yang dilontarkan kepada wanita itu. Kali ini Siska ingin semua orang tahu, jika sahabatnya itu tidak bersalah. “Sayangku, kamu pasti pernah mendengar kalimat ini. Akan percuma menjelaskan sesuatu pada orang bodoh, karna mereka hanya akan percaya pada kebodohannya,” ujar Arya mencoba menjelaskan pada istrinya. “Biarkan mereka berkutat pada pemikiran mereka sendiri.”“Iya, Bii … aku tau, tapi ‘kan.”Wanita berkacamata itu ingin menyela, namun ternyata suaminya itu belum selesai dengan kalimatnya. “Sebab kita tak perlu berkoar-koar menjelaskan apapun tentang kita. Kenap
“Puas kamu sekarang? Dasar!”Siska masih bersungut-sungut, merasakan kekesalan yang mendalam pada sahabatnya. “Bii, habis ini kita cuci mobil, ya. Bila perlu ganti mobil. Biar gak kena virus gatel!” Wanita bermata sipit itu masih mengomel dan semakin menjadi-jadi. Melihat hal tersebut membuat Devi tertawa kecil. Ia tahu betul bagaimana sikap keras kepala temannya itu. Sementara Arya masih fokus menyetir, tanpa mengacuhkan obrolan istrinya.“Udahlah, Sis. Yang penting kita ke sana. Setelah itu, pulang ke rumah dan selesai masalah,” ucap Devi mencoba menenangkan temannya. “Sabar dikit napa. Jangan marah-marah gitu, ntar cepet keriput baru tau rasa!”“Sip. Aku setuju sama kamu, Dev.” Arya ikut merespons ucapan Devi. “Sayang, daripada kamu kayak cacing kepanasan gitu. Mending buka marketplace. Tuh liat, keranjang kamu udah 99+.”Siska tak merespon, ia hanya melirik ke arah sang suami yang melayangkan senyum manis ke arahnya. “Gak usah senyam-senyum gak jelas gitu! Sengaja mau tebar peso
“Bisa nggak sih kamu jangan terlalu baik sama mereka? Kamu gak lupa ‘kan dengan apa yang mereka lakuin selama ini?”Devi menghela nafas panjang, matanya masih tertuju pada sosok Yogi yang terlihat begitu rapuh. “Aku ingin membantu mereka, Sis.”“Biar apa coba? Buang waktu tauk!” Siska kembali melayangkan kalimat bernada sinis. Matanya terus menatap ke arah yang sama dengan arah pandang sahabatnya. “Entahlah, aku hanya merasa bersalah. Mungkin, bisa aja karena aku, Yogi jadi begini.” Devi menoleh, mengalihkan pandangan ke arah sang sahabat. Disaat yang sama, wanita berkacamata itu juga menoleh. Membuat tatapan mereka bertabrakan. Arya mengangguk mengerti. Ia tahu betul perasaan bersalah yang dirasakan Devi. “Aku setuju denganmu, Dev. Dengan nama kemanusiaan, aku rasa kita memang harus melakukan sesuatu.”“Cih! Kemanusiaan? Benarkah?” Seringai Siska tampak mengerikan saat mengajukan pertanyaan perihal apa yang dikatakan sang suami. “Kalian ini kenapa sih sebenernya?”“Masih belum lupa
“Aku gak nyangka, sehancur ini mereka. Tapi, aku juga bingung, harus kasian atau-”“Sayang ….”Arya kembali bersuara, mencoba menghentikan sang istri yang masih terus membicarakan keluarga dari mantan suami sahabat mereka, Devi. Siska langsung menoleh ke arah sang suami, dan melihat gelengan kepala laki-laki itu. Bahkan, Arya dengan sengaja berbicara dengan bahasa mata agar Siska mengerti alasannya menghentikan ocehan wanita itu. “Kenapa, Dev?” tanya Siska kemudian. Sesaat setelah dirinya mengikuti arah kode mata sang suami. “Kamu masih mikirin keluarga mantan suami mu itu?”“Aku hanya tak habis pikir, bagaimana mungkin Bang Handoko bisa setega itu pada Yessi. Yang aku tau, dia pria yang baik dan sangat menyayangi Rossi, anak mereka, tapi-”“Dev, sebagai sahabat baikmu, aku cuma mau bilang. Stop memikirkan sesuatu yang diluar kendali dan jangkauan mu. Tau gak, jika hukum negara tak bisa berlaku, ingatlah hukuman dari Yang Kuasa itu tak akan pernah salah sasaran. Siapa yang tau kalo
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera
“A-apa? Siapa tadi namanya?”Devi tergagap, dan langsung menoleh ke arah Handoko. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar. Akan tetapi.. “Dok, tolong katakan sekali lagi. Apakah tadi Anda mengatakan jika pasien di kamar ujung itu bernama Yessi?”Dokter tersebut menoleh seketika, wajahnya menunjukkan keengganan yang samar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Benar. Beliau memang Yessi.”Devi nyaris limbung, sementara Handoko tak bisa mengalihkan pandangan dari dokter itu.“Kami ingin bertemu dokter yang merawatnya, apakah bisa?” kata Handoko, suaranya nyaris berbisik namun berisi kepastian yang tidak terbantahkan.Dokter tersebut menatap keduanya, lalu menghela nafas pendek. “Baiklah, saya akan mengatur agar kalian bisa berbicara dengannya. Semoga saja jadwal tidak terlalu padat.”“Tapi, apa kalian mengenal pasien itu?” Baru saja selesai mengatupkan mulutnya. Pria berjas putih tersebut kembali bersuara. Dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Devi dan Handoko. Kemudian, Devi
“Semoga Rossi baik-baik saja…”Gumaman Handoko terdengar lirih.Devi dan Handoko masih terdiam, duduk di bangku panjang ruang tunggu rumah sakit dengan pikiran berkecamuk. Mereka belum mendapat kabar dari dokter tentang kondisi Rossi, dan ketegangan di antara mereka semakin terasa. Suara bising dari pasien yang melintas, serta langkah-langkah terburu-buru para perawat yang sibuk, membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Devi menatap lurus ke lantai, sementara Handoko memegang tangan Aurora dengan erat, berusaha mencari ketenangan.Seketika, sebuah suara dari ujung lorong menarik, lagi-lagi berhasil perhatian mereka. Suara erangan seorang wanita, kembali sangat jelas meski teredam dari balik pintu. Devi dan Handoko saling berpandangan, ekspresi bingung terlukis di wajah mereka.“Mas Handoko dengar suara itu?” bisik Devi, suaranya hampir tenggelam di antara suara lain di sekitarnya.Handoko mengangguk pelan. “Iya. Suaranya sangat k
Devi merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tetesan keringat dingin mengalir di pelipisnya saat melihat Siska mendekat dengan wajah yang tak kalah tegang. Rossi, yang berada di ujung jembatan, tampak semakin tersudut, seperti seekor binatang yang siap menerkam siapa pun yang mendekat. Nafas Devi semakin berat, tetapi dia tetap berusaha menjaga suaranya tetap tenang, penuh tekad meski di dalam hatinya, dia dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.“Siska, aku tak tahu lagi harus gimana,” ucap Devi dengan suara bergetar, berusaha keras untuk tidak memicu kepanikan di dalam dirinya. “Rossi makin sulit dikendalikan.”Siska mengangguk cepat, pandangannya tajam, meski jelas ada ketakutan di balik matanya. Dia lalu berjongkok beberapa meter dari tempat Rossi berdiri. Gerakannya sangat hati-hati, seperti sedang mendekati kaca yang siap pecah kapan saja.“Rossi, dengerin Tante. Kita semua di sini buat kamu,” kata Siska pelan, berusaha menenangkan. “Kami n
Rossi berlari secepat mungkin, kakinya menjejak tanah keras di halaman yang sempit. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi yang jelas gadis itu benar-benar tidak ingin berada di sana. Pikirannya kacau, marah, kecewa, dan benci semuanya melebur, kemudian berbaur menjadi satu.“Rossi!” teriak Handoko sekali lagi, kali ini dengan nada putus asa. Pria itu mencoba mengejar, tapi sosok bocah mungil yang masih ada dalam gendongan, membuatnya tak bisa bergerak lebih cepat. Sementara disisi lain, Devi dan Siska segera melangkah keluar rumah. Wajah dua wanita cantik itu penuh kecemasan.“Biar aku yang kejar,” ujar Devi cepat, melepaskan diri dari genggaman Siska yang hendak menahannya.“Devi, tunggu!” Siska memanggil sang sahabat, tapi Devi sudah berlari mengikuti Rossi, keponakannya. “Aku tak boleh membiarkan gadis itu sampai kenapa-napa,” ucap Devi bergumam. Kakinya masih terus terayun, diiringi suara deru nafasnya yang kian memberat. Sepatu heels 5cm yang ia kenakan, semakin membuat wani
“Bu-”Devi terus berusaha menenangkan mantan ibu mertuanya. Bersama dengan Siska ia terus melakukan negosiasi, namun nyatanya itu sama sekali tak berhasil. Hingga tak lama setelah itu, suasana semakin tegang, dan Handoko yang dari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. “Bu Jubaedah, saya hanya ingin bertemu dengan Rossi. Sebagai ayahnya, saya punya hak untuk tahu di mana dia berada.”Jubaedah mendengus marah, matanya menyipit saat menatap mantan menantunya. “Ayahnya? Setelah semua yang kau lakukan, kau masih berani menyebut dirimu ‘ayah’? Kau baru datang sekarang, tapi di mana kau selama ini ketika anakmu butuh dukungan?”Handoko terdiam, tak bisa membalas. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.Devi, yang melihat keadaan semakin memanas, melangkah maju. “Bu, tolong. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Rossi kabur, dan Ibu tentu tahu jika dia sedang tidak dalam kondisi baik. Kalau dia memang ada di sini, biarkan kami menemuinya. Kami h
“Kabur? Siapa yang kabur, Dev?” Pertanyaan pertama meluncur dari mulut Handoko. Devi tak menjawab, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan, jika wanita itu akan beranjak dari tempatnya kini. “Mas Handoko, setelah ini mau kemana?” Setelah meraih tasnya, Devi menoleh pada mantan kakak iparnya dan bertanya arah serta tujuan pria itu. Namun, gelengan kepala dari Handoko menjawab pertanyaan Devi dengan segera. Hingga detik berikutnya, wanita berambut panjang itu kembali bersuara, “Kalau begitu, akan lebih baik jika Mas Handoko pergi bersama kami.”Usai mengatakan hal tersebut, Devi mengayunkan kakinya menuju ke arah pintu keluar cafe tersebut. Tak hanya itu, dua orang lainnya tampak berjalan mengekor di belakang mantan istri dari Yogi itu. “Kok bisa dia kabur, sih?” tanya Devi yang kini sudah duduk di kursi belakang sebuah mobil. Sementara di sisi kanannya ada seorang wanita cantik yang amat dikenal oleh Devi. Sambil mengangkat kedua bahunya, wanita itu pun menjawab, “Mana aku tau Dev
“Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K