“Aku gak nyangka, sehancur ini mereka. Tapi, aku juga bingung, harus kasian atau-”“Sayang ….”Arya kembali bersuara, mencoba menghentikan sang istri yang masih terus membicarakan keluarga dari mantan suami sahabat mereka, Devi. Siska langsung menoleh ke arah sang suami, dan melihat gelengan kepala laki-laki itu. Bahkan, Arya dengan sengaja berbicara dengan bahasa mata agar Siska mengerti alasannya menghentikan ocehan wanita itu. “Kenapa, Dev?” tanya Siska kemudian. Sesaat setelah dirinya mengikuti arah kode mata sang suami. “Kamu masih mikirin keluarga mantan suami mu itu?”“Aku hanya tak habis pikir, bagaimana mungkin Bang Handoko bisa setega itu pada Yessi. Yang aku tau, dia pria yang baik dan sangat menyayangi Rossi, anak mereka, tapi-”“Dev, sebagai sahabat baikmu, aku cuma mau bilang. Stop memikirkan sesuatu yang diluar kendali dan jangkauan mu. Tau gak, jika hukum negara tak bisa berlaku, ingatlah hukuman dari Yang Kuasa itu tak akan pernah salah sasaran. Siapa yang tau kalo
“Tidak … lepaskan aku, tolong ….”Suara e-rangan dan teriakan Yessi terdengar pilu. Tak ada yang tahu nasib dari wanita itu usai dibawa oleh atasan dan juga rekan bosnya tersebut. “Aku mohon, jangan seperti ini. Setidaknya perlakuan aku seperti layaknya manusia-”Suara wanita berambut pirang tersebut terputus, setelah sekepalan kain masuk ke dalam mulut wanita itu. Senyum seringai sosok tinggi besar yang kini menatap ganas pada Yessi tersebut, terlihat menakutkan. Tak hanya itu, bahkan saat ini sosok tersebut sudah bersiap untuk kembali melanjutkan aksinya. Dengan bibir yang ditarik sebelah, hingga menimbulkan senyum tak simetris, sosok yang kini hanya memakai kaos tanpa lengan berwarna hitam tersebut, mulai berjalan perlahan. Mendekat ke arah Yessi yang sejak tadi berusaha menjauh dari jangkauannya. “Mau kemana cantik? Bukankah, kau yang menawarkan diri ikut denganku. Lalu kenapa sekarang kau malah menjauh?” ujar sosok tersebut sambil membelai lembut wajah wanita di hadapannya.
“Nak Arya-”“Baiklah, aku tak punya banyak waktu. Mungkin sudah cukup aku membantu kalian sampai disini saja,” ujar Arya dengan nada tegas. Namun, tanpa disangka. Kejadian setelahnya malah membuat Jubaedah ternganga tak percaya. Sebab, di depan matanya ia melihat kejadian yang sudah lebih hari setengah tahun ini tak ia lihat. “Yo-yogi ….”Ya! Saat ini, Yogi sudah dalam posisi berdiri tepat di sisi kiri Arya. Meski laki-laki itu masih tampak ragu dengan kepala yang tertunduk, tapi bagi Arya ini satu langkah yang akan mempermudah rencana mereka. ‘Bagus, ini berhasil.’Arya sekilas menoleh ke sisi kiri, kemudian mulai mengayunkan kakinya. Namun sebelum itu … “Anda cukup berjalan di sisinya, tanpa harus memperlakukan dia secara istimewa,” tutur Arya tegas. Pria itu tak menyebutkan nama, namun Jubaedah tetap mengangguk. Sebab wanita paruh baya tersebut sadar. Jika pria yang kini tengah membelakangi dirinya memang sedang berbicara k
“Jadi, kau masih mengingat mereka?”Sebuah anggukan kepala dihadiahkan pada Arya, sebagai jawaban atas pertanyaan laki-laki itu. Puk! Kemudian, dengan tegas Arya menepuk pundak pria yang kini masih terus menatap dirinya. “Perbaiki dirimu! Setidaknya, sebelum kau bertemu mereka.”“Bukankah, kau ingin Rayyan dan Roni mengenalimu dan kembali memanggil ‘Ayah’ kepadamu?” tegas Arya pada mantan suami Devi tersebut. “Rayyan … Roni …,” ucap Yogi lirih dengan wajah sendu. Bahkan selaput embun sudah mulai menutup pandangannya. Arya terus memberikan afirmasi positif pada pria itu, berharap itu bisa sedikit membuat Yogi menemukan kembali semangatnya untuk sembuh. Setelah memastikan Yogi aman dan tak akan kembali berulah hingga menimbulkan masalah. Kemudian … “Ya sudah, kalian istirahatlah. Saya pamit undur diri. Masih banyak hal yang harus saya kerjakan,” tukas Arya pada pasangan ibu dan anak tersebut. Jubaedah kembali mengucapkan terima kasih berkali-kali. Wanita paruh baya itu sangat bers
“Dasar menantu tak berguna! Bisa-bisanya dia melakukan ini pada anakku. Liat saja, aku akan membalasmu nanti!”“Bu, Mas Hans, Bu. Dia … dia bawa Auroraku,” ucap Lisa dengan nada pilu. Rasa perih di sekujur tubuhnya seketika diabaikan oleh Lisa. Bagaimana tidak, dengan kondisinya yang masih belum juga membaik. Hans atau Handoko, suaminya, malah pergi meninggalkan dirinya dan membawa Aurora, putri kecilnya. “Bagaimana aku bisa hidup dengan baik tanpa Aurora, Bu. Tolong aku, tolong bawa kembali putriku.” Lisa masih terus meraung tepat di depan gerbang rumahnya. “Iiiuuhh, Mbak Lisa kenapa? Kok badan sama mukanya korengan gitu? Iihh ….”Tangis Lisa seketika berhenti, saat ada suara sosok lain yang masuk ke dalam indera pendengarannya. Lilis yang sejak tadi sibuk misuh-misuh atas kepergian menantunya yang membawa cucu satu-satunya itu, seketika terdiam. Dengan mata melotot dan tangan berkacak pinggang. Wanita paruh baya tersebut seolah bersiap untuk melahap siapapun yang berani mengusi
“Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K
“Kabur? Siapa yang kabur, Dev?” Pertanyaan pertama meluncur dari mulut Handoko. Devi tak menjawab, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan, jika wanita itu akan beranjak dari tempatnya kini. “Mas Handoko, setelah ini mau kemana?” Setelah meraih tasnya, Devi menoleh pada mantan kakak iparnya dan bertanya arah serta tujuan pria itu. Namun, gelengan kepala dari Handoko menjawab pertanyaan Devi dengan segera. Hingga detik berikutnya, wanita berambut panjang itu kembali bersuara, “Kalau begitu, akan lebih baik jika Mas Handoko pergi bersama kami.”Usai mengatakan hal tersebut, Devi mengayunkan kakinya menuju ke arah pintu keluar cafe tersebut. Tak hanya itu, dua orang lainnya tampak berjalan mengekor di belakang mantan istri dari Yogi itu. “Kok bisa dia kabur, sih?” tanya Devi yang kini sudah duduk di kursi belakang sebuah mobil. Sementara di sisi kanannya ada seorang wanita cantik yang amat dikenal oleh Devi. Sambil mengangkat kedua bahunya, wanita itu pun menjawab, “Mana aku tau Dev
“Bu-”Devi terus berusaha menenangkan mantan ibu mertuanya. Bersama dengan Siska ia terus melakukan negosiasi, namun nyatanya itu sama sekali tak berhasil. Hingga tak lama setelah itu, suasana semakin tegang, dan Handoko yang dari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. “Bu Jubaedah, saya hanya ingin bertemu dengan Rossi. Sebagai ayahnya, saya punya hak untuk tahu di mana dia berada.”Jubaedah mendengus marah, matanya menyipit saat menatap mantan menantunya. “Ayahnya? Setelah semua yang kau lakukan, kau masih berani menyebut dirimu ‘ayah’? Kau baru datang sekarang, tapi di mana kau selama ini ketika anakmu butuh dukungan?”Handoko terdiam, tak bisa membalas. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.Devi, yang melihat keadaan semakin memanas, melangkah maju. “Bu, tolong. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Rossi kabur, dan Ibu tentu tahu jika dia sedang tidak dalam kondisi baik. Kalau dia memang ada di sini, biarkan kami menemuinya. Kami h
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera
“A-apa? Siapa tadi namanya?”Devi tergagap, dan langsung menoleh ke arah Handoko. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar. Akan tetapi.. “Dok, tolong katakan sekali lagi. Apakah tadi Anda mengatakan jika pasien di kamar ujung itu bernama Yessi?”Dokter tersebut menoleh seketika, wajahnya menunjukkan keengganan yang samar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Benar. Beliau memang Yessi.”Devi nyaris limbung, sementara Handoko tak bisa mengalihkan pandangan dari dokter itu.“Kami ingin bertemu dokter yang merawatnya, apakah bisa?” kata Handoko, suaranya nyaris berbisik namun berisi kepastian yang tidak terbantahkan.Dokter tersebut menatap keduanya, lalu menghela nafas pendek. “Baiklah, saya akan mengatur agar kalian bisa berbicara dengannya. Semoga saja jadwal tidak terlalu padat.”“Tapi, apa kalian mengenal pasien itu?” Baru saja selesai mengatupkan mulutnya. Pria berjas putih tersebut kembali bersuara. Dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Devi dan Handoko. Kemudian, Devi
“Semoga Rossi baik-baik saja…”Gumaman Handoko terdengar lirih.Devi dan Handoko masih terdiam, duduk di bangku panjang ruang tunggu rumah sakit dengan pikiran berkecamuk. Mereka belum mendapat kabar dari dokter tentang kondisi Rossi, dan ketegangan di antara mereka semakin terasa. Suara bising dari pasien yang melintas, serta langkah-langkah terburu-buru para perawat yang sibuk, membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Devi menatap lurus ke lantai, sementara Handoko memegang tangan Aurora dengan erat, berusaha mencari ketenangan.Seketika, sebuah suara dari ujung lorong menarik, lagi-lagi berhasil perhatian mereka. Suara erangan seorang wanita, kembali sangat jelas meski teredam dari balik pintu. Devi dan Handoko saling berpandangan, ekspresi bingung terlukis di wajah mereka.“Mas Handoko dengar suara itu?” bisik Devi, suaranya hampir tenggelam di antara suara lain di sekitarnya.Handoko mengangguk pelan. “Iya. Suaranya sangat k
Devi merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tetesan keringat dingin mengalir di pelipisnya saat melihat Siska mendekat dengan wajah yang tak kalah tegang. Rossi, yang berada di ujung jembatan, tampak semakin tersudut, seperti seekor binatang yang siap menerkam siapa pun yang mendekat. Nafas Devi semakin berat, tetapi dia tetap berusaha menjaga suaranya tetap tenang, penuh tekad meski di dalam hatinya, dia dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.“Siska, aku tak tahu lagi harus gimana,” ucap Devi dengan suara bergetar, berusaha keras untuk tidak memicu kepanikan di dalam dirinya. “Rossi makin sulit dikendalikan.”Siska mengangguk cepat, pandangannya tajam, meski jelas ada ketakutan di balik matanya. Dia lalu berjongkok beberapa meter dari tempat Rossi berdiri. Gerakannya sangat hati-hati, seperti sedang mendekati kaca yang siap pecah kapan saja.“Rossi, dengerin Tante. Kita semua di sini buat kamu,” kata Siska pelan, berusaha menenangkan. “Kami n
Rossi berlari secepat mungkin, kakinya menjejak tanah keras di halaman yang sempit. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi yang jelas gadis itu benar-benar tidak ingin berada di sana. Pikirannya kacau, marah, kecewa, dan benci semuanya melebur, kemudian berbaur menjadi satu.“Rossi!” teriak Handoko sekali lagi, kali ini dengan nada putus asa. Pria itu mencoba mengejar, tapi sosok bocah mungil yang masih ada dalam gendongan, membuatnya tak bisa bergerak lebih cepat. Sementara disisi lain, Devi dan Siska segera melangkah keluar rumah. Wajah dua wanita cantik itu penuh kecemasan.“Biar aku yang kejar,” ujar Devi cepat, melepaskan diri dari genggaman Siska yang hendak menahannya.“Devi, tunggu!” Siska memanggil sang sahabat, tapi Devi sudah berlari mengikuti Rossi, keponakannya. “Aku tak boleh membiarkan gadis itu sampai kenapa-napa,” ucap Devi bergumam. Kakinya masih terus terayun, diiringi suara deru nafasnya yang kian memberat. Sepatu heels 5cm yang ia kenakan, semakin membuat wani
“Bu-”Devi terus berusaha menenangkan mantan ibu mertuanya. Bersama dengan Siska ia terus melakukan negosiasi, namun nyatanya itu sama sekali tak berhasil. Hingga tak lama setelah itu, suasana semakin tegang, dan Handoko yang dari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. “Bu Jubaedah, saya hanya ingin bertemu dengan Rossi. Sebagai ayahnya, saya punya hak untuk tahu di mana dia berada.”Jubaedah mendengus marah, matanya menyipit saat menatap mantan menantunya. “Ayahnya? Setelah semua yang kau lakukan, kau masih berani menyebut dirimu ‘ayah’? Kau baru datang sekarang, tapi di mana kau selama ini ketika anakmu butuh dukungan?”Handoko terdiam, tak bisa membalas. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.Devi, yang melihat keadaan semakin memanas, melangkah maju. “Bu, tolong. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Rossi kabur, dan Ibu tentu tahu jika dia sedang tidak dalam kondisi baik. Kalau dia memang ada di sini, biarkan kami menemuinya. Kami h
“Kabur? Siapa yang kabur, Dev?” Pertanyaan pertama meluncur dari mulut Handoko. Devi tak menjawab, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan, jika wanita itu akan beranjak dari tempatnya kini. “Mas Handoko, setelah ini mau kemana?” Setelah meraih tasnya, Devi menoleh pada mantan kakak iparnya dan bertanya arah serta tujuan pria itu. Namun, gelengan kepala dari Handoko menjawab pertanyaan Devi dengan segera. Hingga detik berikutnya, wanita berambut panjang itu kembali bersuara, “Kalau begitu, akan lebih baik jika Mas Handoko pergi bersama kami.”Usai mengatakan hal tersebut, Devi mengayunkan kakinya menuju ke arah pintu keluar cafe tersebut. Tak hanya itu, dua orang lainnya tampak berjalan mengekor di belakang mantan istri dari Yogi itu. “Kok bisa dia kabur, sih?” tanya Devi yang kini sudah duduk di kursi belakang sebuah mobil. Sementara di sisi kanannya ada seorang wanita cantik yang amat dikenal oleh Devi. Sambil mengangkat kedua bahunya, wanita itu pun menjawab, “Mana aku tau Dev
“Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K