“Dasar menantu tak berguna! Bisa-bisanya dia melakukan ini pada anakku. Liat saja, aku akan membalasmu nanti!”“Bu, Mas Hans, Bu. Dia … dia bawa Auroraku,” ucap Lisa dengan nada pilu. Rasa perih di sekujur tubuhnya seketika diabaikan oleh Lisa. Bagaimana tidak, dengan kondisinya yang masih belum juga membaik. Hans atau Handoko, suaminya, malah pergi meninggalkan dirinya dan membawa Aurora, putri kecilnya. “Bagaimana aku bisa hidup dengan baik tanpa Aurora, Bu. Tolong aku, tolong bawa kembali putriku.” Lisa masih terus meraung tepat di depan gerbang rumahnya. “Iiiuuhh, Mbak Lisa kenapa? Kok badan sama mukanya korengan gitu? Iihh ….”Tangis Lisa seketika berhenti, saat ada suara sosok lain yang masuk ke dalam indera pendengarannya. Lilis yang sejak tadi sibuk misuh-misuh atas kepergian menantunya yang membawa cucu satu-satunya itu, seketika terdiam. Dengan mata melotot dan tangan berkacak pinggang. Wanita paruh baya tersebut seolah bersiap untuk melahap siapapun yang berani mengusi
“Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K
Prak!"Jadi mantu yang becus, dong! Udah jadi ibu gak beres, jadi istri juga bego, ini lagi ... Kamu mau ngeracunin aku sama Ibu, iya?!"Aku menatap tempat makan berisi lauk yang baru mertuaku lempar di depan mataku. Ini bukan pertama kalinya ia marah-marah seperti ini. Dan kali ini, ia marah gara-gara ada potongan bawang putih yang tidak tergiling sempurna di sambal balado yang kubuat."Maaf, Bu. Devi gak teliti tadi," jawabku. Sekilas, kulirik sambal balado yang berserakan di lantai. Itu pasti sudah tidak bisa dimakan lagi."Ah, sudahlah! Ibu udah gak berselera makan!" setelah itu, ibu mertuaku pergi begitu saja dari rumah.Ya, kami memang tinggal terpisah, tapi jarak rumah kami tidak begitu jauh. Itulah kenapa ibu mertuaku selalu datang untuk meminta makanan, atau sekadar menyuruhku ini-itu.Aku menghela napas, dan segera membereskan kekacauan itu sebelum Mas Yogi, suamiku, pulang kerja. Hari ini adalah hari gajian, jadi sebisa mungkin aku melayaninya dengan baik.Pukul 6 sore, Ma
Lagi, datang satu manusia yang akan membuat pagi ini semakin bermakna. Ku langkahkan kaki menuju ke ruang tamu dan membuka pintu. "Dimana Yogi?" tanyanya saat baru saja pintu utama rumah kami terbuka. Namun aku memilih berbalik tanpa menanggapi pertanyaannya. "Apa kau tuli, hah?!"Kini kalimat tanya itu kembali terdengar, namun dengan nada yang lebih tinggi. Membuatku menghentikan langkah. "Maaf Nyonya, saya tidak tahu jika ada manusia disini. Sebab sejak tadi saya hanya mendengar suara namun tanpa wujud," jawabku dengan nada sindiran. Manusia mana yang masuk rumah tanpa mengucapkan salam? Ku abaikan Mas Yogi yang mungkin nanti akan kembali berteriak minta kopi, lebih baik aku lanjutkan satu hal yang sejak tadi tertunda. Sambil duduk di bangku kecil milik anak-anak, tanganku kini kembali bergerak menyemir sepatu Mas Yogi. Sebelum laki-laki itu kembali berubah wujud menjadi tarzan. "Devi, dimana Yogi?" pertanyaan yang sama kembali terdengar, namun kali ini aku mencoba menjawabnya,
"Devi!" Kali ini suara Mas Yogi makin keras. Bahkan ia sampai menyudahi sarapan paginya dan berlalu bangkit mendekat ke arahku. Sret! Lengan kanan ku dicekal kuat oleh Mas Yogi, membuat ku meringis ngilu dibuatnya. "Kalo suami lagi ngomong itu didengerin! Bukan malah ditinggal pergi!""Sshh, sakit Mas!" keluhku merintih seraya meronta. Ku genggam tangan Mas Yogi yang masih mencekal lengan kananku. Mataku menatap nanar laki-laki yang selama ini bahkan tak pernah sama sekali berlaku kasar padaku. Meski tingkahnya sungguh sangat menyebalkan. "Ma-maaf, Dev. Mas gak sengaja.." lirihnya menyesal. Terlihat jelas tatapan matanya yang berkaca. Aku menghembuskan nafas perlahan, mencoba mengurai sesak atas perlakuan suamiku pagi ini. "Ini sudah siang, Mas! Aku harus mengantar anak-anak ke sekolah!" Aku mencoba menjelaskan mengapa terlihat ingin menghindar. Berharap jika Mas Yogi mengerti. "Kamu cukup jawab aja Devi. Kamu beneran masak cuma segitu?" Kini Mas Yogi mulai menurunkan nada bicar
"Ibu?" gumamku, kala terlebih dahulu mengintip dari jendela, siapa yang datang. Ku putar handle kunci dua kali dan membuka pintu. Ibu mertua menatap tajam padaku yang baru saja membuka pintu, "Kenapa pintunya dikunci?"Aku mengela nafas perlahan. Jika dulu aku akan gemetar saat mendapat tatapan tajam dan pertanyaan sinis ibu mertua. Namun sekarang tidak lagi, "Gak apa-apa kok,Bu! Aku cuma gak mau ada orang main nyelonong ke dalam rumah. Aku juga butuh privasi.""Heleh! Privasi.. Privasi.. Tai kucing!" sentak Bu Jubaedah, mertuaku."Katakan! Apa yang kau lalukan di dalam, huh?!" tanya wanita itu, lagi."Aku" Telunjukku mengacung, menunjuk diriku sendiri."Aku gak ngapain kok. Cuma lagi duduk santai aja!" jawabku santai. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh ibu mertua setelah ini. Benar saja, mu lihat mata ibu mertua melotot sempurna. Menandakan jika setelah ini akan ada rentetan kalimat yang meledak. "Apa kau bilang? Lagi santai? Gak punya otak kamu, hah?!" Telunjuk
Mataku membola sempurna, kala melihat sosok laki-laki yang amat aku kenal, tengah berdiri menatap tajam pada Mba Yessi, kakak dari Mas Yogi. "Yogi! Aku percayakan anakku padamu, tapi apa yang aku lihat sekarang?" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Tak sebanding dengan tubuhnya yang terlihat kurus tak terawat. "Bapak.." ujar Mas Yogi terkejut. Sama terkejutnya dengan diriku yang menatap tak percaya pada pria paruh baya yang kini berdiri di belakang tubuh mba Yessi. "Bapak, kok-""Jadi ini kelakuan keluarga suamimu padamu, Nak?" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku. Bapak sudah lebih dulu mencecarku dengan pertanyaan yang tak bisa lagi aku elak. Sebab, sudah dipastikan jika bapak bahkan mendengar semua kalimat yang diucapkan kakak ipar. "Kau ku ratukan di rumah, ku didik dan ku sayangi sepenuh hati. Bahkan tak akan ku biarkan seekor nyamuk sekalipun menyakiti dirimu. Tapi disini? Bukan menjadi ratu, tapi harga dirimu diinjak seolah kau tak berharga sama sekali di ma
Mataku melirik ke arah dimana ayah tengah berdiri, mengamati perdebatan yang terjadi antara aku dan keluarga Mas Yogi. Sekian lama ayah tak mengunjungi kami, kini saat ia datang dengan membawa sejuta kerinduan. Namun sayangnya, beliau justru malah disambut dengan hal yang tak terduga. Yakni perlakuan keluarga Mas Yogi padaku. "Yogi, kau tahu betapa lelahnya istrimu karena harus mengurus rumah tangga sekaligus membesarkan anakmu yang mulai semakin pintar itu. Dua puluh ribu sehari, apa kau pikir cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka?" katanya dengan nada marah namun terus mencoba menurunkan emosi yang masih membuncah. Mas Yogi hanya terdiam, tak bisa menjawab apa-apa. Bahkan aku sendiri tak tahu, mengapa Mas Yogi bisa berubah sepelit ini. Masih melekat kuat diingatanku, moment-moment sebelum ini semua terjadi... "Mas, apa ini gak kebanyakan?" ucapku saat baru saja menerima gaji milik Mas Yogi kala itu. "Kebanyakan gimana? Kalo kebanyakan yang tinggal disimpen aja Dev. Kalo kurang,