“Puas kamu sekarang? Dasar!”Siska masih bersungut-sungut, merasakan kekesalan yang mendalam pada sahabatnya. “Bii, habis ini kita cuci mobil, ya. Bila perlu ganti mobil. Biar gak kena virus gatel!” Wanita bermata sipit itu masih mengomel dan semakin menjadi-jadi. Melihat hal tersebut membuat Devi tertawa kecil. Ia tahu betul bagaimana sikap keras kepala temannya itu. Sementara Arya masih fokus menyetir, tanpa mengacuhkan obrolan istrinya.“Udahlah, Sis. Yang penting kita ke sana. Setelah itu, pulang ke rumah dan selesai masalah,” ucap Devi mencoba menenangkan temannya. “Sabar dikit napa. Jangan marah-marah gitu, ntar cepet keriput baru tau rasa!”“Sip. Aku setuju sama kamu, Dev.” Arya ikut merespons ucapan Devi. “Sayang, daripada kamu kayak cacing kepanasan gitu. Mending buka marketplace. Tuh liat, keranjang kamu udah 99+.”Siska tak merespon, ia hanya melirik ke arah sang suami yang melayangkan senyum manis ke arahnya. “Gak usah senyam-senyum gak jelas gitu! Sengaja mau tebar peso
“Bisa nggak sih kamu jangan terlalu baik sama mereka? Kamu gak lupa ‘kan dengan apa yang mereka lakuin selama ini?”Devi menghela nafas panjang, matanya masih tertuju pada sosok Yogi yang terlihat begitu rapuh. “Aku ingin membantu mereka, Sis.”“Biar apa coba? Buang waktu tauk!” Siska kembali melayangkan kalimat bernada sinis. Matanya terus menatap ke arah yang sama dengan arah pandang sahabatnya. “Entahlah, aku hanya merasa bersalah. Mungkin, bisa aja karena aku, Yogi jadi begini.” Devi menoleh, mengalihkan pandangan ke arah sang sahabat. Disaat yang sama, wanita berkacamata itu juga menoleh. Membuat tatapan mereka bertabrakan. Arya mengangguk mengerti. Ia tahu betul perasaan bersalah yang dirasakan Devi. “Aku setuju denganmu, Dev. Dengan nama kemanusiaan, aku rasa kita memang harus melakukan sesuatu.”“Cih! Kemanusiaan? Benarkah?” Seringai Siska tampak mengerikan saat mengajukan pertanyaan perihal apa yang dikatakan sang suami. “Kalian ini kenapa sih sebenernya?”“Masih belum lupa
“Aku gak nyangka, sehancur ini mereka. Tapi, aku juga bingung, harus kasian atau-”“Sayang ….”Arya kembali bersuara, mencoba menghentikan sang istri yang masih terus membicarakan keluarga dari mantan suami sahabat mereka, Devi. Siska langsung menoleh ke arah sang suami, dan melihat gelengan kepala laki-laki itu. Bahkan, Arya dengan sengaja berbicara dengan bahasa mata agar Siska mengerti alasannya menghentikan ocehan wanita itu. “Kenapa, Dev?” tanya Siska kemudian. Sesaat setelah dirinya mengikuti arah kode mata sang suami. “Kamu masih mikirin keluarga mantan suami mu itu?”“Aku hanya tak habis pikir, bagaimana mungkin Bang Handoko bisa setega itu pada Yessi. Yang aku tau, dia pria yang baik dan sangat menyayangi Rossi, anak mereka, tapi-”“Dev, sebagai sahabat baikmu, aku cuma mau bilang. Stop memikirkan sesuatu yang diluar kendali dan jangkauan mu. Tau gak, jika hukum negara tak bisa berlaku, ingatlah hukuman dari Yang Kuasa itu tak akan pernah salah sasaran. Siapa yang tau kalo
“Tidak … lepaskan aku, tolong ….”Suara e-rangan dan teriakan Yessi terdengar pilu. Tak ada yang tahu nasib dari wanita itu usai dibawa oleh atasan dan juga rekan bosnya tersebut. “Aku mohon, jangan seperti ini. Setidaknya perlakuan aku seperti layaknya manusia-”Suara wanita berambut pirang tersebut terputus, setelah sekepalan kain masuk ke dalam mulut wanita itu. Senyum seringai sosok tinggi besar yang kini menatap ganas pada Yessi tersebut, terlihat menakutkan. Tak hanya itu, bahkan saat ini sosok tersebut sudah bersiap untuk kembali melanjutkan aksinya. Dengan bibir yang ditarik sebelah, hingga menimbulkan senyum tak simetris, sosok yang kini hanya memakai kaos tanpa lengan berwarna hitam tersebut, mulai berjalan perlahan. Mendekat ke arah Yessi yang sejak tadi berusaha menjauh dari jangkauannya. “Mau kemana cantik? Bukankah, kau yang menawarkan diri ikut denganku. Lalu kenapa sekarang kau malah menjauh?” ujar sosok tersebut sambil membelai lembut wajah wanita di hadapannya.
“Nak Arya-”“Baiklah, aku tak punya banyak waktu. Mungkin sudah cukup aku membantu kalian sampai disini saja,” ujar Arya dengan nada tegas. Namun, tanpa disangka. Kejadian setelahnya malah membuat Jubaedah ternganga tak percaya. Sebab, di depan matanya ia melihat kejadian yang sudah lebih hari setengah tahun ini tak ia lihat. “Yo-yogi ….”Ya! Saat ini, Yogi sudah dalam posisi berdiri tepat di sisi kiri Arya. Meski laki-laki itu masih tampak ragu dengan kepala yang tertunduk, tapi bagi Arya ini satu langkah yang akan mempermudah rencana mereka. ‘Bagus, ini berhasil.’Arya sekilas menoleh ke sisi kiri, kemudian mulai mengayunkan kakinya. Namun sebelum itu … “Anda cukup berjalan di sisinya, tanpa harus memperlakukan dia secara istimewa,” tutur Arya tegas. Pria itu tak menyebutkan nama, namun Jubaedah tetap mengangguk. Sebab wanita paruh baya tersebut sadar. Jika pria yang kini tengah membelakangi dirinya memang sedang berbicara k
“Jadi, kau masih mengingat mereka?”Sebuah anggukan kepala dihadiahkan pada Arya, sebagai jawaban atas pertanyaan laki-laki itu. Puk! Kemudian, dengan tegas Arya menepuk pundak pria yang kini masih terus menatap dirinya. “Perbaiki dirimu! Setidaknya, sebelum kau bertemu mereka.”“Bukankah, kau ingin Rayyan dan Roni mengenalimu dan kembali memanggil ‘Ayah’ kepadamu?” tegas Arya pada mantan suami Devi tersebut. “Rayyan … Roni …,” ucap Yogi lirih dengan wajah sendu. Bahkan selaput embun sudah mulai menutup pandangannya. Arya terus memberikan afirmasi positif pada pria itu, berharap itu bisa sedikit membuat Yogi menemukan kembali semangatnya untuk sembuh. Setelah memastikan Yogi aman dan tak akan kembali berulah hingga menimbulkan masalah. Kemudian … “Ya sudah, kalian istirahatlah. Saya pamit undur diri. Masih banyak hal yang harus saya kerjakan,” tukas Arya pada pasangan ibu dan anak tersebut. Jubaedah kembali mengucapkan terima kasih berkali-kali. Wanita paruh baya itu sangat bers
“Dasar menantu tak berguna! Bisa-bisanya dia melakukan ini pada anakku. Liat saja, aku akan membalasmu nanti!”“Bu, Mas Hans, Bu. Dia … dia bawa Auroraku,” ucap Lisa dengan nada pilu. Rasa perih di sekujur tubuhnya seketika diabaikan oleh Lisa. Bagaimana tidak, dengan kondisinya yang masih belum juga membaik. Hans atau Handoko, suaminya, malah pergi meninggalkan dirinya dan membawa Aurora, putri kecilnya. “Bagaimana aku bisa hidup dengan baik tanpa Aurora, Bu. Tolong aku, tolong bawa kembali putriku.” Lisa masih terus meraung tepat di depan gerbang rumahnya. “Iiiuuhh, Mbak Lisa kenapa? Kok badan sama mukanya korengan gitu? Iihh ….”Tangis Lisa seketika berhenti, saat ada suara sosok lain yang masuk ke dalam indera pendengarannya. Lilis yang sejak tadi sibuk misuh-misuh atas kepergian menantunya yang membawa cucu satu-satunya itu, seketika terdiam. Dengan mata melotot dan tangan berkacak pinggang. Wanita paruh baya tersebut seolah bersiap untuk melahap siapapun yang berani mengusi
“Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K