“Apa salahku?”“Hah? Kocak bener punya sohib begini. Astaga,” keluh Siska yang tak habis dengan sahabatnya itu. Bertahun-tahun mengenal Devi, seharusnya ia sudah tak heran bukan dengan tabiat wanita di hadapannya itu. Tapi entah mengapa, wanita bermata sipit tersebut masih saja merasa gemas. Melihat Devi dengan pemikiran bo-dohnya itu. “Kamu lupa dengan kalimat ‘jangan balas kejahatan dengan kejahatan’ iya?” Suara Devi kembali terdengar. Menjawab ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Siska. “Bukan aku lupa atau gak inget. Tapi lebih tepatnya, aku gak mau pakai kalimat itu sebagai tolak ukur kehidupanku. Gi-la aja, orang yang udah jelas jelas dzalim sama kita sampai puluhan purnama. Terus mau ditolong gitu aja hanya berlandaskan kalimat munafik begitu! Gak ye!” tolak Siska mentah-mentah. Siska adalah tipe wanita berprinsip, sama seperti Devi. Hanya saja, Devi masih menggunakan hatinya. Sedangkan Siska lebih menggunakan logikanya. “Kamu sendiri inget gak sama kalimat ‘jika hukum s
“Terserah apa maumu! Urusin aja noh keluarga toxic yang bikin kamu cinta ma-ti sampai tergila gila!”“Sis … Siska. Tunggu!”Devi mempercepat langkah, mengejar Siska yang pergi dan keluar dari tokonya membawa sejuta rasa kesal pada dirinya. Brak! Pintu mobil Siska tertutup keras, tepat sebelum pemiliknya sempat masuk ke dalam mobil bercat putih tersebut. “Apa lagi sih, Deviii?”Siska yang memang masih merasa kesal semakin merasa gemas akan polah tingkah sang sahabat. Bagaimana tidak, sudahlah bebal dan sulit diberi nasehat. Tapi kini, wanita itu justru menghalangi jalannya, kala ingin pergi membawa rasa kesal yang membuncah dalam hati. “Aku ‘kan udah bilang tunggu. Denger gak sih?!” sungut Devi dengan nafas terengah. Akibat dari gerak cepatnya demi bisa mengejar sang sahabat. “Aku tuh mau tanya sesuatu sama kamu.”“Ck! Nanya apa lagi sih?! Buruan! 10 detik dari sekarang!” ucap Siska jengah. Ia sudah benar-benar merasa lelah menghadapi Devi yang selalu memakai hati. Meski berulang ka
“Dimana sih, kata Siska disini. Bener ‘kan ini tempatnya?”Seorang wanita cantik tampak menggerakkan tubuhnya, berputar ke segala arah. Tak hanya itu, kepala wanita itu pun terlihat celingak celinguk ke kanan dan kiri. Memindai segala tempat dan sisi yang bisa dijangkau oleh netranya. Namun, hingga lebih dari satu jam berlalu. Wanita itu masih juga belum menemukan apa yang ia cari. Terik matahari kian membakar tubuhnya. Membuat bulir keringat mulai mengalir dan membasahi wajah serta bajunya. “Awas aja si Siska. Kalo sampe ketauan dia lagi ngerjain aku!” rutuk Devi yang mulai kesal dan kelelahan. “Liat aja, apa yang bakal aku lakuin ke si sipit itu!”Akhirnya, ibu dua anak tersebut memilih untuk beristirahat sejenak. Kemudian mengayunkan kaki, menyambangi sebuah warung kopi yang berjejer di pinggir jalan. Meski ada lima buah warung kopi sekaligus, tapi mereka sama sekali tak menjadikan itu sebagai sebuah beban. Sebab mereka yakin jika rezeki sudah tertakar dan tak akan tertukar. “Iy
“Ada hak apa kau mengatakan hal itu?”“Atas dasar apa kau melayangkan tuduhan menjijikan seperti itu?”“Taukah kau, siapa yang kau sebut wanita licik itu?”Deretan kalimat menohok dilontarkan oleh sosok yang kini berdiri tepat di belakang tubuh Yessi. Tanpa mengenal rasa takut, Yessi segera berbalik. Ia bukanlah wanita yang mudah diintimidasi. Dengan pongah dan tatapan mata meremehkan, Yessi menyisir sosok wanita bermata sipit itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Siapa kau? Dan apa hubunganmu dengannya?”“Aku tak mengenalmu. Jadi ada baiknya bagimu, untuk tak usah ikut campur urusanku dengan wanita itu,” desis Yessi dengan nada ancaman. ‘Melihat dari penampilannya, sepertinya dia bukanlah orang sembarang,’ batin Yessi yang masih terus memperhatikan sosok di hadapannya. Tak kalah dengan Yessi, wanita bermata sipit yang tak lain adalah Siska, sahabat Devi, kini menatap tajam pada mantan kakak ipar sahabatnya. Ia memang tak mengenal persis siapa Yessi, namun ia bisa menebak sifa
“Kenapa menatapku begitu?”“Kau bertanya apa maksudku? Bukankah harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu?”Siska menatap Yessi dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebab wanita itu malah melayangkan pertanyaan padanya. “Apa maksudmu mengundang mereka duduk disini?” Yessi kembali mengulangi dan memperjelas maksudnya. “Apa kau ingin mencoba mempermalukan aku?”“Ha ha ha ha ha, lucu sekali mantan kakak iparmu ini, Dev. Benar benar lucu!” Bukan menjawab Siska malah justru tertawa hingga terpingkal pingkal. “Sebenarnya, apa yang ibumu berikan saat kau bayi. Sampai ketika dewasa begini, kau begitu sangat genius.”Semua orang yang berada di warung kopi tersebut tampak saling berbisik. Kala mendengar ucapan Siska yang seolah tengah bermaksud menyanjung Yessi, padahal hal itu sebenarnya dilakukan untuk membuat Yessi malu. Mendengar bisik bisik dan tatapan miring pada dirinya, sontak membuat Yessi berang dan semakin merasa kepanasan. Jika saja bisa dilihat, asap sudah mulai menguar, kelu
“Lebih baik kita pulang, berada disini pun tak akan membuat sesuatu menjadi lebih baik.”“Nggak, Bii! Mereka harus tau! Aku nggak mau mereka mengira jika Devilah yang bersalah. Karena-” Siska dengan tegas menolak dan membantah ucapan suaminya. Pria yang ia panggil ‘Abii’ itu meminta sahabatnya menyudahi drama ini. Namun, ini masih belum cukup bagi Siska. Sudah cukup dengan Devi hanya diam, menerima semua tuduhan buruk yang dilontarkan kepada wanita itu. Kali ini Siska ingin semua orang tahu, jika sahabatnya itu tidak bersalah. “Sayangku, kamu pasti pernah mendengar kalimat ini. Akan percuma menjelaskan sesuatu pada orang bodoh, karna mereka hanya akan percaya pada kebodohannya,” ujar Arya mencoba menjelaskan pada istrinya. “Biarkan mereka berkutat pada pemikiran mereka sendiri.”“Iya, Bii … aku tau, tapi ‘kan.”Wanita berkacamata itu ingin menyela, namun ternyata suaminya itu belum selesai dengan kalimatnya. “Sebab kita tak perlu berkoar-koar menjelaskan apapun tentang kita. Kenap
“Puas kamu sekarang? Dasar!”Siska masih bersungut-sungut, merasakan kekesalan yang mendalam pada sahabatnya. “Bii, habis ini kita cuci mobil, ya. Bila perlu ganti mobil. Biar gak kena virus gatel!” Wanita bermata sipit itu masih mengomel dan semakin menjadi-jadi. Melihat hal tersebut membuat Devi tertawa kecil. Ia tahu betul bagaimana sikap keras kepala temannya itu. Sementara Arya masih fokus menyetir, tanpa mengacuhkan obrolan istrinya.“Udahlah, Sis. Yang penting kita ke sana. Setelah itu, pulang ke rumah dan selesai masalah,” ucap Devi mencoba menenangkan temannya. “Sabar dikit napa. Jangan marah-marah gitu, ntar cepet keriput baru tau rasa!”“Sip. Aku setuju sama kamu, Dev.” Arya ikut merespons ucapan Devi. “Sayang, daripada kamu kayak cacing kepanasan gitu. Mending buka marketplace. Tuh liat, keranjang kamu udah 99+.”Siska tak merespon, ia hanya melirik ke arah sang suami yang melayangkan senyum manis ke arahnya. “Gak usah senyam-senyum gak jelas gitu! Sengaja mau tebar peso
“Bisa nggak sih kamu jangan terlalu baik sama mereka? Kamu gak lupa ‘kan dengan apa yang mereka lakuin selama ini?”Devi menghela nafas panjang, matanya masih tertuju pada sosok Yogi yang terlihat begitu rapuh. “Aku ingin membantu mereka, Sis.”“Biar apa coba? Buang waktu tauk!” Siska kembali melayangkan kalimat bernada sinis. Matanya terus menatap ke arah yang sama dengan arah pandang sahabatnya. “Entahlah, aku hanya merasa bersalah. Mungkin, bisa aja karena aku, Yogi jadi begini.” Devi menoleh, mengalihkan pandangan ke arah sang sahabat. Disaat yang sama, wanita berkacamata itu juga menoleh. Membuat tatapan mereka bertabrakan. Arya mengangguk mengerti. Ia tahu betul perasaan bersalah yang dirasakan Devi. “Aku setuju denganmu, Dev. Dengan nama kemanusiaan, aku rasa kita memang harus melakukan sesuatu.”“Cih! Kemanusiaan? Benarkah?” Seringai Siska tampak mengerikan saat mengajukan pertanyaan perihal apa yang dikatakan sang suami. “Kalian ini kenapa sih sebenernya?”“Masih belum lupa